Selasa, 13 Oktober 2009

ESAI "Kota Tuhan, Kota Cinta..."

KOTA TUHAN, KOTA CINTA...
Oleh: KHRISNA PABICHARA

SUATU KETIKA, Jalaluddin Rumi berujar, “Perjalanan menuju Tuhan sebanyak bilangan nafas insan.” Karena itu, jalan menuju Tuhan dipenuhi labirin yang membingungkan dan menyesatkan. Kita sering tidak menyadari apakah bakal menjadi seorang saleh yang taat atau seorang gila yang sesat. Kita pun sering ragu apakah sudah menempuh jalan kebenaran hakiki atau malah menapaki lorong kebinasaan sejati. Perjalanan religius itu tidak hanya menuntut kecerdasan emosi, tapi sekaligus membutuhkan kepekaan ruhani.

Puisi—bagi beberapa “penyair”—menjadi pilihan dalam meneruka perjalanan ruhani, perjalanan menuju Tuhan. Sebut misalnya Jalaluddin Rumi. Melalui Masnawî, Dîwân-i Syams-i Tabrîz dan Fîhî Mâ Fîhî, Rumi bertutur tentang kisah penyatuan antara dirinya sebagai “pencinta” kepada Tuhan sebagai “kekasihnya”.

Begitu pula Adonis, sastrawan Arab kontemporer, yang menuangkan kembara jiwanya melalui puisi-puisi penuh pukau. Pada Mihyar, Adonis bersyair: //Seorang Tuhan telah mati/Tuhan yang dulu turun dari sana/dari tengkorak langit.// Bagi Rumi dan Adonis, agama bukanlah alat ritus belaka, melainkan “kendaraan” menuju perjalanan ruhani yang mencengangkan. Perjalanan yang menawarkan kebaruan dalam memandang bangunan keilahian. Mereka meyakini puisi dapat mengantar “umat pembacanya” menyusuri imajinasi-imajinasi dan perenungan-perenungan yang dalam, karena puisi memiliki potensi untuk menghadirkan sensasi tekstual, sekaligus sensasi “sakral” dengan kekayaan makna spiritual.

Eka Budianta juga memanfaatkan perjalanan ruhani sebagai sarana puitiknya. Ia meneropong ihwal gereja—sebagai Rumah Tuhan—yang sakral, “maqam” untuk merekam ritus-magis semisal pelepasan jenazah, pembaptisan, dan pernikahan. Ritus yang dipenuhi-sesaki oleh nilai ruhani. Bahkan, pada puisi Sketsa Burung Desember, ia bergerak liar menarikan gelisah hatinya ketika diamuk rindu pada Tuhan: //Seekor burung di hutan agama/tidak menciap-ciap memanggil Tuhan/ketika surga menyebut namanya.//

Sebut pula Afrizal Anoda yang menolak penjara dogma statis tentang penamaan dan penyebutan Tuhan. Katanya: Tuhan, atau apalah Kau mesti kupanggil. Ia meneriakkan keinginan untuk lebih intim, maka ia pampatkan jarak antara “aku” dengan “Kau”. Begitu imbuhnya dalam sajak Doa.

Hal sama dilakukan oleh Handoko F. Sainzam. Penyair yang mendalami sastra Jawa ini banyak meniupkan ruh-ruh spiritual pada sajak-sajak yang dihimpunnya dalam antologi puisi Kota Sunyi: Tahajud Cinta Kunang-kunang. Ia membedah pergulatan batin yang dialaminya. Ia memotret sisi “magis” hubungannya dengan Dia Yang Segala. Ia bermain dengan “cantik” dalam balutan diksi, majas, dan gaya bahasa. Baginya, Tuhan tidak “menakutkan” sehingga harus diperlakukan sebagai “musuh” mengerikan.

Ia malah mengajak Tuhan—seperti menggandeng teman sepermainan—menikmati jamuan makan malam. //Hanya seteko doa/Yang bisa aku tuangkan/Dalam gelas-gelas permohonan/saat jamuan makan malam//. Ada nuansa intim dari ajakannya itu. Ia seperti seseorang yang memendam hajat besar, lalu menawarkan perjamuan, agar bisa menuturkan permohonan pada sahabatnya. Akrab. Dan mesra. Tanpa ruang, tanpa jarak.

Kota Sunyi menjadi terminal bagi Handoko dalam menempuh perjalanan ruhani. Dewasa ini, tidak mudah menemukan kota sunyi di tengah semarak modernitas, sama tidak mudahnya “mengasingkan diri” dari belitan hasrat duniawi. Dalam antologi Kota Sunyi, penyair mengamsalkan dirinya sebagai “kunang-kunang” yang sedang melakukan “tahajud cinta”. Mengapa harus kunang-kunang? Kita tentu tidak asing pada serangga yang gemar terbang rendah dengan cahaya yang meruah dari kedua sayapnya itu. Itulah metafora, itulah alegori. Maka kota sunyi, tahajud cinta, dan kunang-kunang, menjadi kata-kata cerdas untuk menisbahkan ekspresi pencarian, penuh makna artifisial yang bisa memudahkan penikmat sajaknya dalam membangun asosiasi imajinasi di luar bangunan teksnya.

Coba kita simak sajak Bintang. //Hentikan tunjukan jarimu/Bintang tak kan selesai kau hitung/karena langit tak kau tahu tepinya//. Handoko berhasil menitiskan kompleksitas persoalan eksistensialisme modern melalui tamsil “bintang”. Ia seperti menegaskan bahwa kita lebih banyak “tidak tahu”, justru ketika kita kerap mengaku “banyak tahu”. Padahal, seperti pesan Martin Heidegger, kita sendiri lebih sering tidak mengetahui “apa” yang kita cari, termasuk “kenapa” dan “bagaimana” mencarinya. Maka, tentu saja, supaya perjalanan ruhani yang kita tempuh bisa menapak anak tangganya, seyogianya, kita lebih banyak menggunakan “mata batin” ketimbang “mata lahir”, sama seperti ketika menatap atau menghitung bintang bagi Handoko.

Begitulah, petualangan Handoko adalah kembara tak berujung, lelaku pencarian yang tak kunjung usai. Ia terjebak dalam pengelanaan yang buram, mengedari labirin kota yang sunyi dan menyesatkan. Tapi ia punya suluh bernama “cinta”. //Aku ingin mendengar kata cinta/Bukan dongeng kancil dengan buaya/Yang terjebak kebohongan//.

Lagi-lagi, lewat sajak Kata Cinta, penyair mengajak kita membuka selubung “topeng” yang menyungkupi wajah. Amsal dongeng kancil dan buaya bisa kita cantelkan pada keberadaan surga dan neraka, yang jadi patokan para “hamba” pemburu pahala. Sebagai pencinta, ia tidak ingin terjebak pada imbalan surga ketika ia berbuat kebajikan dan ganjaran neraka sesudah ia melakukan kejahatan. Bahkan tanpa ada surga dan neraka pun, ia akan tetap mencinta, sebagaimana Rumi dan Adonis mencintai “Sang Kekasih” atau Eka dan Afrizal menyapa Tuhan dengan cintanya.

Maka, jelaslah, untuk memasuki tualang menantang di tengah “Kota Tuhan”, kita bisa menjadi seperti “kunang-kunang” yang merentang sayap-sayap bercahaya cinta...

KHRISNA PABICHARA,
penyuka sastra, tinggal di pinggiran Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar