Selasa, 23 November 2010

[ESAI] Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang

Catatan: Tulisan ini adalah Sambutan Koordinator Dewan Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa 2009-2010, Damhuri Muhammad. Dinukil dari bookletThe 10th Khatulistiwa Literary Award.


Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang
oleh Damhuri Muhammad

Ada sebuah peristiwa sederhana di akhir kerja penjurian KLA 2010. Meski sederhana, pengaruhnya terasa sampai saat saya menulis ulasan ini. Waktu itu saya menghubungi salah seorang nominator via telepon untuk memintasoftcopy sampul buku, biodata, dan foto terkini guna dicantumkan pada bookletyang ada di tangan Anda pada malam ini. Dengan nada sinis, nominator itu mempertanyakan keseriusan kerja penjurian. Ia bilang, bukunya tipis tapi bisa masuk 5 besar. Lalu, saya membuat beberapa asumsi. Pertama, ia beranggapan bahwa hanya buku-buku dengan ketebalan maksimal yang bakal terjaring dalam seleksi shortlist, padahal kerja penjurian sama sekali tidak mempertimbangkan tebal-tipis dan berat-ringan buku yang sedang dinilai. Kedua, ia tidak memperkirakan sebelumnya bahwa bukunya bakal menembus tahap 5 besar, mungkin karena ia merasa di tahun ke-10 ini persaingannya semakin ketat, atau ia sudah tidak percaya pada objektivitas dalam kerja penjurian. Ketiga, ia tidak mengetahui betapa panjang dan tidak gampangnya proses kerja penjurian sebelum sampai pada tahap longlist dan shortlist.

Sebagai pekerja sastra, saya menimbang anugerah Khatulistiwa Literary Award tegak di atas sebuah itikad untuk menghargai, bukan saja kedalaman eksplorasi estetik dalam sebuah karya sastra, tapi jauh lebih penting adalah menghargai pilihan hidup sebagai pengarang, jalan kepengarangan yang terjal, penuh onak-duri, berliku-liku, sebelum membuahkan karya besar. Proses kreatif dalam melahirkan sebuah novel misalnya, tersendat-sendat lantaran minimnya biaya riset dan pengumpulan data. Kalaupun akhirnya novel itu terselesaikan, pengarang sendiri yang mengupayakannya. Persoalan selanjutnya adalah berhadapan dengan penerbit yang semakin alergi dengan naskah-naskah dari negeri sendiri. Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini sangat jomplang; 10 : 1. Artinya, penerbit-penerbit yang concern pada buku sastra, mencetak 10 novel asing dan hanya 1 novel lokal. Konon, itu sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski bila ditimbang dengan analisis pasar, dipastikan tak bakal balik-modal.

Kalaupun ada satu-dua naskah yang dinyatakan layak-buku, pengarang harus bersenang hati menerima royalti senilai 10% dari harga jual, dibayar secara berkala per tiga bulan sekali. Tak ada bergaining potition bagi pengarang guna menaikkan nilai royalti menjadi 15%-20%, misalnya. Setelah dihitung-hitung, ternyata pihak yang paling banyak diuntungkan dari bisnis perbukuan adalah toko buku, yang tidak segan-segan menuntut rabat 45%-50% kepada distributor. Urutan kedua dipegang distributor, lalu penerbit, dan bagian paling kecil adalah pengarang, kreator yang menyebabkan semua transaksi terjadi. Masih beruntung bila naskah itu jatuh ke penerbit major label yang manajemen keuangannya sudah tertata. Tapi, bila jatuh ke penerbit kecil, ceritanya lain. Laporan penjualan yang seharusnya per tiga bulan sekali bisa dirapel menjdi enam bulan sekali, dan lebih parah lagi, data penjualan kerap dimanipulasi guna mengurangi nilai pembayaran pada pengarang. Buku yang terjual 100 eksemplar, katakanlah dalam dua bulan, bisa terlapor 50 eksemplar. Masalah ini memang bukan dalam wilayah artistik, tapi begitu mendesak, sebab menyangkut hak dan kesejahteraan para sastrawan yang seumur-umur telah mendedikasikan hidup mereka pada sastra Indonesia.

Novelis, cerpenis, apalagi penyair, mengalami ketidakmujuran yang sama. Kerja mereka dalam segi-segi non-artistik hampir sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna mendedahkan karya bermutu. Tengoklah cerpenis yang belakangan ini begitu gencar melakukan self-marketing lewat situs jejring sosial Facebook. Sebutlah misalnya Benny Arnas yang baru saja melepas antologi cerpen bertajuk Bulan Celurit Api (2010). Awal Oktober 2010 bukunya turun cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direc-selling di dunia maya. Hasilnya spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 eksemplar BCA telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimantan, Yogyakarta, Padang, Medan. Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit Api, bakal cetak ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Kerja semacam ini juga dilakukan olehBamby Cahyadi untuk bukunya Tangan untuk Utik (2009), dan Khrisna Pabichara untuk kumpulan cerpen Mengawini Ibu (2010). Barangkali fenomena ini dapat disambut sebagai kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Namun, sebagai pekerja seni, energi dan stamina mereka tentu bakal terkuran untuk hal-ihwal yang non-artistik. Mereka pengarang yang sekaligus juga pedagang.

Maka, dalam konteks inilah peran Khatulistiwa Literary Award dapat ditandai. Dengan nilai penghargaan yang terbilang memadai, sedapat-dapatnya ia memperkuat posisi tawar para pengarang, untuk terus bertahan dan bersetia menempuh jalan kepengarangannya, dan tidak tergoda untuk berganti haluan lantaran keterbatasan demi keterbatasan dan apresiasi setengah hati. Jayalah terus para pengarang Indonesia...

Damhuri Muhammad
Koordinator Dewan Juri

Senin, 15 November 2010

Memamah Hikmah dari 'Kolecer'

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Lampung Post, 7 November 2010



Memamah Hikmah dari ‘Kolecer’


Judul Buku : Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal
Editor : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selaras Pena Kencana
Cetakan I : Juni 2010
Tebal : 224 halaman

KOLECER atau baling-baling, sering juga disebut kitiran, mainan anak-anak yang terbuat dari daun kelapa muda atau bisa juga dari bambu yang akan berputar jika ditiup angin. Semasa kecil, saya dan teman-teman sering berlari bersama mencari angin supaya kolecer dapat berputar dengan kencang. Semakin kencang putaran kolecer, semakin rianglah hati kami.

Begitu juga yang dirasakan Neng Tin dalam cerpen Kolecer yang ditulis Nenden Lilis A. Neng Tin, tokoh penutur, menceritakan kehidupan Bi Nanah yang berputar seperti kolecer.

Bi Nanah adalah murid dari ayah Neng Tin. Karena kesibukan orang tua Neng Tin, di masa kecilnya, Bi Nanahlah yang mengasuhnya. Setiap pagi Neng Tin dibawa ke rumah Aki dan Nini (kakek dan nenek Bi Nanah), di mana Bi Nanah tinggal. Sore harinya ia dipulangkan ke rumah orang tuanya. Di tempat itulah Neng Tin kecil tahu bagaimana Bi Nanah dengan tekun merawat keperluan Aki dan Nininya yang sudah payah.

Bi Nanah juga yang mengurus kebun dan harta benda Aki dan Nini karena semua anaknya telah menjadi orang sukses di kota. Mereka tak sempat lagi merawat Aki dan Nini. Meskipun Aki sangat menginginkan Bi Nanah sekolah tinggi dan sukses seperti paman dan bibinya di kota, Bi Nanah memilih merawat Aki dan Nini. Dia kasihan dengan kondisi kakek dan neneknya itu jika harus mengurus kebun dan sawahnya, mengurus diri sendiri pun sudah susah.

Sejak kelas I SD, ibu Bi Nanah meninggal dunia, sedang ayahnya kabur dengan perempuan lain. Ibunya yang malang itu sebelumnya sakit-sakitan karena tak tahan setelah suaminya membawa istri baru di kampungnya. Sepeninggal sang ibu, Bi Nanah tinggal dengan Aki dan Nini. Keduanya sangat menyayangi Bi Nanah. Sejak kecil hingga Bi Nanah beranjak remaja, Aki selalu membuatkan kolecer yang sangat disukai Bi Nanah.

Neng Tin sangat menikmati suara kolecer itu. Sampai dia dewasa pun masih terngiang-ngiang suaranya, juga seluruh kenangan bersama Bi Nanah dan Aki-Nininya. Neng Tin tak menyangka, kolecer itu bukan sekadar mainan anak-anak, melainkan juga tamsil hidup. Setelah lama berpisah dengan Bi Nanah, dalam pertemuan yang mengharukan, di mana Bi Nanah telah tua, Neng Tin tersadar kalau hidup Bi Nanah seperti kolecer, mainan kesukaannya.

Bi Nanah akhirnya mengalami nasib serupa dengan ibunya, sakit karena perlakuan laki-laki yang menikahinya karena menginginkan harta, hingga ajal menjemput Bi Nanah. Laki-laki itu menyangka Bi Nanah akan mendapatkan warisan dari Aki dan Nini karena Bi Nanahlah yang tekun merawatnya.

Ternyata anak-anak Aki dan Nini tak memberikan apa pun pada Bi Nanah sepeninggal Aki dan Nini, karena Bi Nanah hanya cucu. Maka laki-laki itu kecewa dan berselingkuh dengan banyak perempuan lain. Bi Nanah sakit-sakitan hingga ajal menjemputnya.

Kolecer adalah salah satu dari kumpulan cerpen yang berjudul Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Kumpulan cerpen ini berangkat dari beragam cerita dan tragedi anak manusia berdasar kearifan lokal di daerah masing-masing, membuat kita seperti bertamasya ke khazanah budaya Nusantara.

Buku ini memuat 20 cerpen dari 11 penulis yang sudah cukup mempunyai nama, seperti Benny Arnas yang menulis dua cerpen dalam buku ini. Cerpen Anak Ibu yang Kembali sebagai cerpen pembuka cukup membuat pembaca terkesima. Cerpen ini mengisahkan kesunyian perempuan tua yang mempunyai lima anak perempuan dan telah dibawa suami masing-masing. Mereka jauh dari orang tuanya yang sebatang kara, tak bisa merawat, atau sekadar menengok sang ibu.

Sang ibu terkenang dengan almarhum suaminya yang begitu menginginkan anak laki-laki. Di hari tuanya, dia baru menyadari kenapa suaminya sangat menginginkan anak laki-laki. Karena anak perempuan akan dibawa pergi, sedangkan anak laki-laki akan membawa istrinya dan diharapkan dapat menemani hari tua mereka.

Apa pun kisah yang disajikan penulis, kearifan lokal, baik itu tradisi, pandangan hidup, adat istiadat, maupun dongeng rakyat, yang diceritakan ulang menjadi latar belakang hampir pada seluruh cerpen. Membaca kumcer ini, kita akan mencecap bening nilai lokal lengkap dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, seperti cerpen Pastu yang ditulis Oka Rusmini, yang kental dengan nilai-nilai Hindu-Bali yang meyakini karma.

Sementara itu, Khrisna Pabichara dalam tiga cerpennya, Laduka, Membunuh Parakang dan Selaras, menjadikan budaya Sulawesi Selatan sebagai latar budaya sekaligus landasan menatah cerita. Baminantu yang diracik Sastri Yunizarti Bakri mengisahkan pertentangan adat istiadat Minangkabau-Jawa antara ibu dan anak yang mamahami adat secara berbeda. Kisah lain yang membicarakan adat yakni Antara Bali dan Balige, yang ditulis Cesillia Ces. Cerpen ini mengisahkan sepasang kekasih yang berbeda suku dan adat istiadat, memilih melepaskan diri dari "warisan" norma leluhurnya atas nama cinta.

Kisah yang tak kalah seru ditulis Gunawan Maryanto tentang Sarpakenaka. Dalam cerpen ini, penulis mampu menghadirkan masa lalu ke masa kini, tradisi dan teknologi, dengan menghadirkan sejarah kelam G30S PKI, yang membuat pembaca terbetot untuk menandaskan cerita. Selain cerpenis di atas, ada cerpen Hanna Fransisca yang menulis Hari Raya Hantu.

Lalu, ada Noena dengan Sri Sumini, dengan cerita berlatar belakang Hong Kong, yang mengisahkan TKI. Selain itu, ada cerpen Sutan Iwan Sukri Munaf, dan Saut Poltak Tambunan. Menelusuri karya mereka, memperkaya pengetahuan kita tentang kearifan yang ada di bumi Indonesia.

S.W. Teofani
, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 November 2010

Dongeng Berperan dalam Pendidikan

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Antaranews.com.


Dongeng Berperan Dalam Pendidikan



Waykanan, Lampung (ANTARA News) - Motivator pengembangan kecakapan belajar, Khrisna Pabichara mengatakan dongeng memiliki posisi strategis dalam mengembangkan kecerdasan berbahasa bagi anak didik sehingga tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.

"Melalui dongeng, seorang pendidik juga dapat merangsang kecerdasan intelegensia, kemampuan berpikir secara logis sistematis, kemampuan beriteraksi dengan sesama anak, maupun selera berbahasa dan nilai seni," ujarnya di Blambanganumpu, Minggu.

Oleh sebab itu, lanjut dia, dongeng jangan dikesampingkan begitu saja dari pendidikan, karena kecerdasan hati yang meliputi kecerdasan emosional dan spiritual ada pada dongeng.

"Jika selama ini asupan pendidikan lebih ditekankan pada pengembangan kecerdasan intelegensia anak didik, lewat dongeng anak juga bisa mengasah kecerdasan hati, karena banyak dongeng baik yang berasal dari nusantara maupun dari mancanegara mengusung nilai moral dasar," jelasnya.

Selain itu juga, lanjut dia, dongeng juga mampu merangsang imajinasi dan kreativitas anak.

"Dongeng jenis petualangan akan membantu perkembangan kecerdasan estetika dan kemampuan menganalisa masalah pada anak yang kelak akan berguna bagi diri peserta didik itu sendiri dan bagi lingkungannya," tegasnya.

Ia juga menambahkan, kesadaran berdisiplin dapat ditanamkan melalui dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kedisiplinan.

"Dongeng juga perlu memiliki unsur jawaban terhadap beberapa hal yang ingin diketahui anak didik, namun, untuk dongeng seperti ini, dibutuhkan kreativitas pendongeng dalam mengemas dan mengembangkan cerita," paparnya.

Anak usia dini, sambung dia, terutama di bawah usia lima tahun memiliki aktivitas yang spontan, alami, dan sangat bersemangat untuk mengetahui hal-hal yang baru ditemui atau dialaminya.

"Oleh sebab itu, setiap pendongeng perlu memahami kondisi anak didik, terutama proses tumbuh-kembang kreativitasnya. Karena itu, dongeng yang diceritakan harus dipilah secara bijak dan tepat dan jangan asal," katanya.

Ia pun mengharapkan, para guru pendidikan usia dini (PAUD) di daerah itu memiliki minat tinggi dalam hal membaca dan mengasah ketrampilan berkomunikasi sebagai bekal mendongeng.

"Seorang pendongeng dituntut mempunyai kemampuan bercerita. Ia mesti piawai memainkan intonasi suara, ekspresi, dan bahasa tubuh," pungkasnya.
(T.ANT-247/P003)

Mengawini Ibu, Kumcer "Perempuan Banget", Karya Khrisna Pabichara

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari notes Mbak Faradina Izdhihary. Terima kasih saya haturkan ke hadapan Mbak Fara. Sukses selalu.


Mengawini Ibu, Kumcer "Perempuan Banget", Karya Khrisna Pabichara
Oleh Faradina Izdhihary

Sebenarnya paket buku kiriman Kayla Pustaka sudah sampai di kantor hari Sabtu, 13 November 2010. Namun, karena hari itu saya harus bezuk saudara ipar di rumah sakit dan melepas keberangkatan suami yang akan tugas  ke ibukota, jadilah hari itu saya tak masuk kerja (sebenarnya memang hari Sabtu kebetulan tak ada jam ngajar saya).

Pagi ini, usai upacara saya terima paket itu. Kebetulan saya ngajar jam ke 4. Jadi langsung saya lalap buku cerpen yang judulnya sangat menggoda, “Mengawini Ibu”. Tapi, setelahnya saya membaca cerpen pertama Gadis Pakarena.

Mau tahu komentar saya? Wuah… kumcer yang hampir semua menggunakan sudut pandang orang pertama (aku) ini ternyata lebih perempuan dari cerpen yang ditulis oleh cerpenis perempuan. Artinya, hampir sebagian cerpen (meski beberapa baru saya baca sekilas) menggunakan gaya bahasa seperti bahasa perempuan, dan sangat mengilik-ngilik perasaan saya yang sangat menyukai cerpen atau novel yang “perempuan style”. Sedikit saya bocorkan cerpen Gadis Pakarena, cerpen pertama yang langsung membuat saya menyimpulkan bahwa kumcer ini benar-benar “selera saya”.

Gadis Pakarena menceritakan kisah “aku” yang berkunjung ke kota Wuhan untuk menemui kekasihnya, seorang gadis keturunan yang pandai karawitan dan menarikan tarian tradisional “pakarena”. Itulah sebabnya si aku menyebutnya Gadis Pakarena. Seperti umumnya jalinan cinta dua orang yang berbeda suku, agama, dan budaya baik pihak keluarga laki-laki (berdarah Makasar) dan perempuan berdarah Tionghoa, percintaan mereka pun tak mendapat restu. Namun, si aku, pada suatu waktu seperti yang telah dijanjikan mencari gadis impiannya ke kota kelahiran kekasihnya itu,  Wuhan. Jalinan ceritanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luar biasa, namun sangat lancar dan mengalir. Namun endingnya sungguh membuat saya tercekat, merinding, dan meneteskan air mata (hhhh... kebiasaan buruk saya kalau membaca sesuatu yang sangat menyentuh perasaan).

Saya tuliskan saja dua paragraf terakhir cerpen ini tanpa banyak komentar. Silakan dirasakan betapa sakit yang mengiris akan menganga di dada kita.

… Aku merasa tidak berada di dunia, terbangun dan menyadari diri terbaring di tempat yang lengang dan asing. Tanpa kamu, tanpa sesiapa. Aku tak mengerti bagaimana bisa aku tiba di sebuah pusara, dan menemukan namamu tertatah di nisannnya yang masih Nampak baru. Kesedihan yang begitu asing, yang baru kualami sepanjang hidupku, membuatku limbung dan nyaris pingsan. Kabut yang datang dan pergi tiba-tiba seakan menjadi latar yang sempurna bagiku, satu-satunya pelakon di panggung sunyi ini. Dan kupingku dikejutkan oleh bisikan lirih yang memaksa bulu-bulu di tubuhku sekonyong-konyong berdiri. Entah dari mana asal bisikan itu, aku tak tahu. Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku: Kim Mei telah tiada. Dia mati bersama luka perkosa kerusuhan Mei, yang dia bawa hingga tanah kelahirannya.

Kamu telah menempuh jalan Juliet. Akankah juga kutempuh jalan Romeo?


Sungguh, bukan kematian Kim Mei (Gadis Pakarena) yang membuat saya menangis tersedu membacanya. Tapi luka sejarah bangsa ini begitu mengiris. Persis seperti kalimat dalam cerpen itu, “Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku”.

Mengawini Ibu menceritakan tentang seorang anak yang menyimpan dendam dan amarah pada bapaknya yang doyan kawin dan main perempuan, Meski demikian si ibu tetap setia dan tidak mendendam pada apa yang dilakukan suaminya. Simak beberapa penggalan jawaban sang ibu tiap kali si aku memrotes sikap sabar dan pemaaf ibunya.

a. Cinta, Nak, adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka.
b. Mencintai itu pekerjaan abadi, Nak, tak pernah selesai.
c. Hidup, Nak, acap kali tak seperti yang kita bayangkan.
d. Perempuan bukan boneka Nak, mereka punya hati.

Ternyata saya juga menemukan lagi suara hati seorang ibu, seorang istri, yang sangat kuat, sekuat Mengawini Ibu, yaitu dalam Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu. Saya daftar saja beberapa pernyataan indah tentang cinta yang dalam bayangan saya sulit lahir dari hati seorang laki-laki. Hm, barangkali hanya lelaki paling romantis dan berhati lembut (ssst, Daeng, biasa aja, jangan jadi besar kepala) yang bisa menuliskan kata-kata indah berikut ini.

a. Cinta itu, Sayang, anak kandung pengertian dan pengorbanan.
b. Cinta itu, Sayang, dimasak dari ramuan paling purba bernama ketulusan.
c. Cinta itu, Sayang, menyembuhkan dan mematikan.
d. Cinta itu, Sayang, tersembunyi di balik kepedihan.
e. Cinta itu, Sayang, penuh kejutan yang menyakitkan.
f.  Cinta itu, Sayang, bersenyawanya tawa dan air mata.

Andaikata saya tidak mengenal Daeng Khrisna (meski secara nyata baru ketemu satu kali), dan tidak tahu bahwa kumcer ini adalah tulisannya, barangkali saya akan mengira bahwa kumcer ini ditulis oleh seorang cerpenis perempuan berhati ibu (baca: lembut dan perasa).

Dalam pengalaman hidup saya banyak saya temui lelaki berkarakter seperti sang bapak, begitu pun banyak istri yang berkarakter seperti ibu. Lelaki berkhianat, membagi cinta di mana-mana, kawin-cerai, si istri menerima dan selalu memaafkan. Apakah ini sebuah bukti adanya penindasan laki-laki atas perempuan? Dalam cerpen ini, Daeng Khrisna berhasil mebaca perasaan paling hakiki dari seorang perempuan, seorang istri. Bahkan sangat seuai dengan prinsip ibu saya, yang di kemudian hari juga saya pegang, “Cinta adalah kesetiaan dan pengabdian.” Inilah yang sangat kuat ditampilkan melalui tokoh ibu.

Pun saya tertawa miris, saat membaca protes si anak berikut ini.


… Saking sabarnya (ibu), ayah bebas melakukan apa saja yang dia hasrati. Aku bingung jika kamu bertanya apa kekurangan ibu hingga ayah berselingkuh. Ibu adalah sosok perempuan yang sempurna. Dia tak suka mengeluh, apalagi membantah. Dia tak bernoda, tak bercela. Satu-satunya kekurangan ibu, menurutku, adalah dia terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama. Pernah terlintas di benakku, Tuhan salah menitiskan karakter pada ibu. Tetapi bukankah tak baik menyeret-nyeret Tuhan ke dalam sebuah masalah seperti ini? Lagi pula mana mungkin Tuhan salah? Memang dasar Ayah yang gila, Ibu juga.


Sumpah, saya tertawa. Dulu saya pun pernah protes pada ibu saya mengapa mau menjadi istri bapak saya (astaghfirullahal adhiem) bila melihat bapak (yang temperamental) memarahi ibu. Kok Ibu diam saja, gak melawan, gak protes? Padahal kan tidak selalu ibu yang salah. Tapi catat ya: Bapak saya setia, sangat setia. Tak pernah ada perempuan lain. Hal yang sama ternyata juga pernah dilakukan banyak teman saya, bahkan saudara ipar perempuan saya. Kelak saat memasuki gerbang pernikahan, kami menyadari bahwa demikianlah perempuan (istri) dijadikan danau peneduh dan pendingin bagi lelaki. Heheh... (sory ya Daeng, aku mengikuti bagian ini “terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama”). Bagi istri, memaafkan menjadi sebuah kebahagiaan batin yang tak terukur.

Ah, baru saya dapatkan jawaban mengapa cerpen-cerpen Daeng Khrisna demikian "perempuan" (lembut dan menyentuh perasaan) setelah saya lahap habis epilog kumcer ini: Segala Terima Kasih. Secara gamblang, Daeng menuliskan ucapan terima kasih di urutan 3, 4, dan 5 adalah ibunya, istrinya, dan anak perempuannya. Simaklah larik-larik menyentuh ucapan terima kasih berikut ini.


Kepada Shafiya Djumpa—perempuan paling ibu yang menemaniku belajar tentang hakikat cinta dan kehidupan. Terima kasih Bunda, atas cinta yang selalu meruah dari segala arah tanpa takar untukku. Yang entah dengan apa dan bagaimanasemestinya aku nyatakan. Rinduku selalu, Bunda. Selalu! (hiks… air mata saya menitik membacanya. Daeng, titip salam takzim buat bundamu ya… I believe, tak ada perempuan yang paling indah selain ibu.)

Kepada Mamas Aurora Masyitoh—perempuan paling perempuan yang mengajariku bagaimana semestinya jadi lelaki dan suami. Terima kasih, Cinta, atas setia dan senyummu yang selalu teduh dan meneduhkan. Sungguh, entah bagaimana aku jika kamu tak setia menemaniku. Semasa suka, semasa duka. Dan aku yakin masihlah lebih banyak duka dari sukanya. Sayangku selalu, Cinta. Selalu! (saya bergetar membacanya, sebuah pengakuan cinta dan kejujuran yang luar biasa).


Ternyata, Daeng Khrisna Pabichara adalah seorang pencinta perempuan.

Hehehe..., kiranya pembacaanku baru dua cerpen. Tapi saya yakin bakal membuat para istri "ngiler" untuk segera membaca buku ini. Dua puluh menit lagi aku ada kelas. Tapi, simpulan awal saya, insya Allah gak salah dech: Cerpen ini paling yahud buat dibaca para perempuan, terutama para istri. Hayo para ibu, (eh para istri, kasihan yang belum ada momongan)  serius nih, nyesel kalau gak dapetin kumcer yang perempuan banget ini.

Untuk Daeng Khrisna, peace ya, kalau kukatakan cerpen-cerpenmu perempuan banget. Hehehehe, style yang sangat “aku banget”.  Makasih yaaaaa. (Maaf saya tak membuat ulasan ilmiah dan lengkap. Suka-suka saya yaaaaa)

Kamis, 11 November 2010

[PUISI] Segala Bara di Matamu

Catatan: Puisi ini termuat di "Antologi Puisi: Roket Pun Bersyair" (Tekro Publishing, Juni 2010) Terima kasih kiriman bukunya, Man Atek.

Segala Bara di Matamu
Khrisna Pabichara

Tidur sini, Nak. Di pangku ayahmu. Banyak hikayat yang tak layak kau cerna. Perihal hantu sudah tak jaman. Seperti lapuknya riwayat buaya yang tak usai menyesali diri selepas dikadali si kancil—yang kau selalu bilang itu bukan kancil, tapi kelinci. Begini saja, Nak. Kau bacalah harapan yang rimbun di getir kenyataan. Seperti pertama kali tangismu memanjang dan orang-orang sibuk tertawa. Seperti ketika kau tanya jenis kelamin Tuhan dan ibumu repot mencari jawaban. Seperti waktu kau bersikeras membuat roket dari kertas agar kau bisa menjemput cita-cita—karena gurumu meminta cita-cita itu harus kau gantung di pucuk langit.

Segala menyala di matamu, Nak. Riuh rindu mengamuk bersama kecewa yang kerap menyalip tiba-tiba. Tak perlu berkilah apalagi mengeluh hanya karena nilai bahasa dan matematikamu tak lebih dari lima. Hidup, Nak, tak bisa ditakar semata dengan angka. Begini saja, Nak, kita bincangkan nasib kanak-kanak yang tak bisa sekolah dan mengubur mimpinya di jalanan. Kau ejalah peruntungan yang intim di pedih kehidupan. Seperti pertama kali hasratmu mengalir untuk merakit kendali nuklir. Seperti ketika kau tanya gaji penyair dan ibumu ramai membilang utang. Seperti waktu kau bersikeras jadi astronot agar kau bisa memulung bintang—karena kakakmu selalu menepuk dada setelah menjadi bintang kelas.

Tidur sini, Nak, di pangku ayahmu. Bolehkah kita berhenti bicara? Kadang-kadang, Nak, matamu lebih berkuasa daripada kata-katamu.

Bogor, November 2008