Minggu, 11 Oktober 2009

CERPEN "Laduka"

Cerpen ini dimuat di Republika (Ahad, 11/10/2009)


LADUKA
Oleh Khrisna Pabichara


SUNGGUH menakjubkan, setelah perjuangan melelahkan melewati selonjoran kaki dan desakan penumpang di geladak kapal, Laduka, lelaki bertubuh kurus dan ringkih itu bisa juga menemukan keindahan perjalanan. Hari sudah petang dan matahari nyaris terbenam. Pelabuhan Tanjung Priok mulai mengecil di matanya. Ia memang tidak pernah berniat pulang ke tanah kelahiran dengan cara melelahkan seperti ini. Tapi tiket pesawat yang melambung tinggi di awang-awang membuatnya gigit jari, dan terpaksa memilih jalur laut. Yang penting ia bisa bertemu putra semata wayang yang belum pernah dilihatnya semenjak lahir. Sekaligus mengikuti hajat keluarga, khitanan, mengantar anaknya memasuki gerbang remaja. Di kampungnya, pesta sunatan adalah ritus sakral yang tidak bisa dipandang remeh.

Sebenarnya ia belum berniat pulang. Bagi Laduka: kualleangi tallanga na towaliya. Lebih baik karam di tengah laut daripada pulang bertangan hampa. Ke mana muka hendak disurukkan jika pulang berbekal kantung keropong? Tapi, telepon putranya telah merubuhkan tekadnya itu. Matanya yang tajam di bawah alis hitam tebal bergerak liar menahan desakan angin.

”Ayah pulang, ya. Habis disunat, Rewa ingin dipangku ayah. Janji ya, Ayah!”

Dengan cemas, Laduka menjawab, ”Iya, iya!”

☼☼☼

Ibunya meninggal tepat ketika ia dilahirkan. Itu sebabnya ia diberi nama Laduka. Artinya, lelaki yang lahir bersama duka. Sebenarnya, ia tak pernah bermimpi menikah di usia muda. Ia ingin sekolah tinggi. Ia ingin buktikan bahwa kelahirannya bukan pembawa bencana. Kematian ibunya adalah takdir. Seluruh perhatiannya tercurah untuk belajar. Karena itu ia putuskan kekasihnya, Tari. Tak dinyana tak dikira, tiga bulan berikutnya, Tari datang bersama ayahnya—tentara berdarah Batak— membawa kabar tentang perut Tari yang sudah bunting tiga bulan, sekaligus tuntutan tanggung jawab untuk segera menikahi Tari.

Dengan tegas Laduka menolak bertanggung jawab atas kehamilan “mantan” kekasihnya itu. Ia merasa tidak pernah menanam benih apapun. Memang, lidahnya piawai memasang jerat-rayu yang bisa memikat hati banyak perempuan. Tapi ia tak pernah berlaku kurang ajar, bermesraan melampaui batas, apalagi sampai menghamili. Mendengar penolakan Laduka, ayah Tari murka. Wajah Laduka ditamparnya berkali-kali. Bukannya menciut, nyali Laduka malah tersulut. Ia tantang Tari dan ayahnya untuk tes DNA. Tari histeris. Sembari menahan isak, dia mengakui bukan Laduka yang menanam benih kehidupan di rahimnya. Dia bertutur lirih tentang tiga laki-laki tanggung yang sedang mabuk memerkosanya di sebuah senja. Ayah Tari terpana.

Akhirnya, ayah Laduka menengahi silang-sengkarut itu dan meminta Laduka bersedia menikahi Tari sampai janin di rahimnya itu lahir.

☼☼☼

Setelah pernikahan itu, Laduka belajar mencintai Tari lagi. Tapi ia hendak merantau. Ia tidak mau terus hidup di bawah ketiak ayahnya. Apalagi mertuanya. Mertuanya berusaha keras menghalangi kepergiannya, begitu pun ayahnya. Ia tidak peduli. Ia bersikukuh tetap ingin merantau. Jiwa tualangnya sebagai lelaki tak tertahankan. Ia tinggalkan Tamarunang tepat ketika usia kehamilan istrinya memasuki bulan ketujuh.

Sebenarnya, setelah jabang bayi lahir, ia berniat segera menceraikan Tari. Tapi ayahnya, lelaki yang sangat dikaguminya, tak merestuinya. Agama yang dijunjungnya pun melarang segala bentuk pemeliharaan amarah dan dendam.

Maka, ia tetap suami Tari. Dan ayah bagi anaknya, Rewa.

☼☼☼

Kapal bergerak lamban. Membelah gelombang begitu perlahan. Matahari sudah sejak tadi terbenam. Laduka berjalan menuju pintu masuk dek, namun itu tidak mudah. Selain harus melewati kaki dan tubuh penumpang yang berserakan memenuhi lantai lorong dek, juga harus kuat menahan guncangan kapal. Jika kurang hati-hati, bisa menginjak kaki atau tubuh orang. Guncangan seperti itu pula yang membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk. Ia takut perutnya mual dan kehilangan banyak tenaga. Ia berhenti, jongkok, lalu memejamkan mata. Setelah pusing di kepalanya berkurang, ia berjalan lagi. Ombak keras menghantam kapal dan membuatnya terhuyung. Ia kehilangan keseimbangan. Kaki kanannya menginjak tangan penumpang yang sedang terlelap. Perempuan itu bangun, matanya melotot.

Laduka terus berjalan, ingin segera sampai di dek 4. Lalu, tidur dengan tenang.

☼☼☼

Ombak dahsyat menghantam. Kapal oleng. Laduka terlempar dari dipan. Sebelum kesadarannya pulih, tubuhnya terpelanting menabrak dinding kapal. Kepalanya pening, jidatnya berdarah. Ia belum juga mengerti apa sesungguhnya yang terjadi. Yang ia lihat, penumpang-penumpang lain panik, lari menyelamatkan diri.

Ia coba berdiri. Ia harus bisa mencapai dek 6 dan menemukan sekoci. Ia harus selamat agar bisa memangku putranya selepas disunat. Tapi belum lagi sempurna ia berdiri, gelombang penumpang yang lari serabutan tanpa ampun menabrak tubuhnya. Dan menginjak-injakinya.

Kali ini, ia benar-benar pingsan.

☼☼☼

Ketika sadar, ia gelagapan. Secara alami ia gerakkan tangan dan kaki biar tetap mengambang di permukaan. Namun ombak mahahebat melentingkan tubuhnya ke udara. Sesaat ia melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada pecahan kayu, sekoci, atau apa saja yang bisa dijadikan tumpangan. Tapi tak ada apa-apa. Kecuali penumpang-penumpang lain yang sibuk berjuang menantang gelombang. Sia-sia saja mengharapkan mukjizat. Lalu, ombak menelan tubuhnya lagi.

Ia memutuskan untuk diam, tidak menggapai-gapai. Tenaganya harus dihemat. Dan, sepotong besi menghantam dadanya. Ia pingsan lagi.

☼☼☼

Mukjizat bagi Laduka. Tiga meter di depannya, selempeng kayu memantulkan terik matahari. Mungkin itu potongan peti kayu atau permukaan meja. Ia tak peduli. Yang penting bisa menjangkau dan berbaring tenang di atasnya. Ia menggerakkan tangan dan kaki. Berat sekali. Tungkainya terasa copot. Perlahan ia bisa menggerakkan tubuh dan berhasil menggapai ujung lempeng kayu itu.

Lumayan lebar untuk ukuran tubuhnya yang kurus dan ringkih. Ia menarik tubuhnya ke atas lempeng kayu itu, diam dalam posisi nyaman agar bisa meringankan rasa sakitnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Lengang. Hanya ada jaket dan benda-benda lain terapung di permukaan air. Luka-luka di tubuhnya terasa sakit oleh embusan angin laut. Tapi ia merasa lega. Saya harap tak perlu berenang lagi, pikirnya. Lalu, ia telungkup bertelekan tangan, takut terik matahari menghanguskan wajahnya. Dan, matanya mulai redup.

Saya tidak akan tidur, ombak bisa mengempas tiba-tiba.

☼☼☼

Sudah senja ketika Laduka mendengar deru pesawat dari kejauhan. Ia buka bajunya, lalu melambai-lambaikannya ke udara. Hasilnya mudah ditebak, orang-orang di pesawat itu tidak bisa melihatnya. Pesawat itu menjauh, terus menjauh, menjadi titik hitam, lalu lenyap.

Laduka berteriak. Tapi sia-sia. Akhirnya ia memaki, mengumpat, mencaci sesuka hati. Di tengah laut lepas, ia bebas mengatakan apa saja. Ia maki Pelni yang tetap mengoperasikan kapal tua. Ia damprat nakhoda kapal yang terus menerima penumpang meski kapalnya sudah sesak. Ia sumpahi pemerintah yang tak bisa menata jalur transportasi laut sehingga kecelakaan terus-menerus terjadi. Ia kutuk dirinya sendiri karena tidak serius mewarisi ilmu leluhurnya: menjadi pelaut ulung yang menari di pucuk gelombang.

Tapi ia tidak memaki Tuhan. Ia masih mau hidup.

☼☼☼

Laduka berjalan melewati daerah asing yang belum pernah dilaluinya. Mula-mula ia masuki tanah kosong. Sejauh mata memandang, ia tak melihat apa-apa. Sepi. Sangat lengang. Ia berjalan terus memasuki ladang sunyi, lalu tanah kosong lagi, lalu padang ilalang, lalu tanah kosong lagi. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Ajaib. Ia merasa tiba-tiba dirinya berada di tengah perkampungan sunyi. Seperti kota purba yang mati. Jalanannya pun sepi. Hidungnya mencium sesuatu. Bau anyir. Seperti bau nanah atau lendir. Ia berjalan terus. Hingga telinganya mendengar suara tangis. Tangis itu lenyap setelah angin malas melayap. Begitu angin bertiup lebih keras, tangis itu terdengar lagi. Kali ini ia yakin itu suara tangis perempuan. Tangis lirih yang menyayat-nyayat uluhati. Tangis itu persis seperti tangis istrinya lima tahun silam, ketika ia berkeras tetap pergi merantau, sebelum bayi di rahim istrinya itu dilahirkan. Kali ini ia merasa sangat bersalah.

Amboi, dari mana tangis itu bermula?

Ia bulatkan hati untuk tidak menyusahkan diri mencari asal-muasal tangis itu. Tapi tangis itu makin keras. Menendang-nendang gendang telinganya. Menggedor-gedor dinding hatinya. Ia tak mungkin berdiam diri atau berlagak tak hirau. Ia pun berhenti. Matanya terpacak pada rumah paling kusam. Umbul-umbul berjajar rapi di halamannya. Sepertinya sebuah pesta baru saja usai. Di beranda rumah itu, seorang perempuan berbaju bodo sedang terisak memangku seorang bocah dekil, kurus kering, dengan tubuh dibalut baju adat pengantin sunat khas Makassar. Tapi baju itu kusam, kumal, dan usang. Ia mendekat, terus mendekat. Hingga ia lihat jelas perempuan itu sedang memegang mangkuk plastik berisi makanan berlinang-linang kuah santan. Mungkin sisa jamuan pesta. Tapi aneh, aromanya tak sedap. Dan dipenuhi-sesaki oleh belatung. Bocah kecil itu melahap kuah santan penuh belatung seperti orang kelaparan yang berhari-hari tak bertemu makanan.

Perempuan itu berdiri. “Pergi dari sini lelaki asing!”

Laduka tersentak.

“Pergi!”

“Kamu lapar?”

“Pergi, kami tak mau diganggu,” jerit perempuan itu.

Laduka merasa pernah mengenal perempuan itu. Di mana? Oh...

☼☼☼

Hiruk-pikuk pantai membangunkan Laduka dari tidurnya. Hari sudah sore. Akhirnya, ia selamat. Ombak mengantarnya tepat ke pantai tempat ia bermain mencari kerang, belajar berenang dan menyelam, ketika masih kanak. Pantai itu ramai sekali. Matanya nanar mencari sosok yang sangat dirinduinya. Istri dan putra semata wayangnya.

Ia tak menemukan Tari, istri yang mulai dicintainya. Juga Rewa, putranya yang sebentar lagi jadi pengantin sunat. Lalu bagaimana caranya ia bisa memangkunya? Mengapa mereka tak menunggu di pantai seperti orang-orang yang ramai berkerumun di sepanjang garis pantai?

Samar-samar Laduka melihat tubuhnya bergegas diturunkan dari lempengan kayu oleh empat lelaki berbaju hitam dengan sigap dan cekatan.

Ia saksikan jasadnya pelan-pelan menghilang ditelan kantung jenazah.

☼☼☼

KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975. Saat ini bermukim di pinggiran Jakarta. Bergiat di Kosakata dan Komunitas Planet Senen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar