Jumat, 18 Desember 2009

[Artikel] Keteladanan dan Kemerdekaan Anak

Catatan: Tulisan ringan ini dimuat di Tabloid Assalamu'alaikum, Rubrik Usrah, Edisi Desember 2009.


KETELADANAN DAN KEMERDEKAAN ANAK
OLEH KHRISNA PABICHARA


SUATU ketika, seorang penyair Lebanon, Kahlil Gibran, berpesan kepada kita, “Anak kita bukanlah milik kita, melainkan milik kehidupan.” Petuah itu layak jadi landasan bagi setiap orangtua dalam membesarkan anaknya. Orangtua seyogianya memahami bahwa setiap anak dilahirkan bersama hak paling asasi; kemerdekaan. Kewenangan orangtua adalah “mengarahkan” agar hak paling asasi itu berjalan di atas rel kemanusiaan.


Pada hakikatnya, setiap anak bukanlah “jajahan” ayahnya ataupun “koloni” ibunya. Hanya saja, pada mulanya kemerdekaan itu masih harus bergantung pada kasih sayang orangtua. Meski demikian, jika kasih sayang orangtua itu ikhlas tanpa berharap apa-apa, maka nilai-nilai kemerdekaan sang anak tidak akan tercemari oleh rasa ketergantungan. Di balik kemerdekaan itu terdapat batasan yang harus diindahkan. Batasan itu adalah penyeimbang agar setiap anak mengerti, bahwa selain mempunyai hak, mereka juga memiliki kewajiban. Mereka harus bisa “memberi” sekaligus “menerima”. Artinya, harus ada keseimbangan.


Ketidakseimbangan kerap terjadi di muka bumi. Sejarah mencatat, sejak manusia mengenal peradaban, terjadilah peras-memeras, tindas-menindas, paksa-memaksa, dan kuasa-menguasai. Semuanya terjadi karena manusia lalai menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima, keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sebagian besar manusia selalu ingin menerima dalam jumlah yang banyak, tetapi enggan banyak memberi.


Di sinilah posisi orangtua dibutuhkan. Melalui keteladanan, prinsip kemerdekaan bisa diterapkan. Fred G. Gosman, seorang peneliti dunia anak, mengatakan, “Seorang anak yang tidak diberi batasan akan tumbuh menjadi pembenci kebebasan.” Dalam hal ini, kemerdekaan tidaklah bermakna kebebasan mutlak, tetapi kebebasan yang disertai batasan. Maka tidak berlebihan jika Rasulullah Saw. berpesan, “Setiap anak dilahirkan fitrah, orangtualah yang membuat mereka jadi Majusi atau Yahudi.”


Sekarang, coba kita teropong kondisi aktual. Dewasa ini, ibu-ibu sibuk berdebat tentang pola asuh anak yang tepat di facebook atau lewat seminar di hotel-hotel mewah, sementara anaknya dibiarkan bersama pengasuhnya. Bapak-bapak bersilang pendapat hingga larut malam tentang metode merawat anak, setibanya di rumah mereka tidak sempat lagi mengecup kening anaknya, apalagi memberinya kasih sayang.


Tentu saja tak ada yang salah jika kaum ibu memilih bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Pun, tak salah jika kaum bapak banting-tulang menghidupi keluarganya. Yang salah jika mereka lebih memilih kemegahan harta ketimbang menumbuhkan cinta kasih bersama keluarga. Padahal, alangkah indahnya, jika keduanya bisa diraih tanpa harus mengorbankan salah satunya. Anak boleh dijejali dengan harta, tetapi cinta jangan sampai terlupa.


Anehnya, banyak orangtua yang menganggap anaknya bagai burung piaraan; disediakan sangkar yang bagus, dan diberi pakan yang cukup. Akibatnya, sang anak kehilangan kemerdekaan dan kebebasan yang dilimpahkan Allah kepadanya bersama kelahirannya. Mereka dilimpahi kemewahan, tetapi mereka tidak merasakan indahnya berbagi cerita, menemukan jawaban pada masa ”penuh pertanyaan”, dan mendapat ”perhatian” ketika mereka butuh ”diperhatikan”.


Hal remeh yang paling sering orangtua lakukan, ketika menerapkan nilai-nilai kejujuran. Tidak banyak orangtua yang sanggup berbesar hati menerima kenyataan ketika mendapati anaknya “berbohong”. Padahal mereka sendiri yang tanpa sadar menerapkan “kurikulum kebohongan” dalam kehidupan yang menyehari. Semisal pada saat menjawab telepon, sang anak diminta menjawab: orangtuanya sedang tidak di rumah. Jika itu terjadi, semestinya orangtua tidak menuntut lebih pada anaknya, karena merekalah yang menciptakan “tradisi berbohong” itu.

KHRISNA PABICHARA, penyuka sastra dan motivator pembelajaran.

Rabu, 16 Desember 2009

[Artikel] Mendidik Anak dengan Cinta

Catatan: Artikel ini dimuat di Tabloid Assalamu'alaikum edisi November 2009.


MENDIDIK ANAK DENGAN CINTA
Oleh Khrisna Pabichara


SUATU ketika, seorang psikolog ternama dari Damaskus, Ma’ruf Mushthafa Zurayq, berpesan kepada kita, “Jika cinta tidak diajarkan di dalam rumah, jangan harap anak kita akan menemukannya di luar.” Pendapat itu benar adanya. Rumah adalah sekolah terfavorit untuk mencetak generasi masa depan yang tangguh. Rumah adalah universitas terbaik untuk menyiapkan intelektual gemilang di masa datang. Dan, seperti pesan Ma’ruf, mustahil menemukan generasi yang memiliki kepekaan rasa dan kecerdasan emosi yang andal, jika di rumah mereka tidak mendapatkan ‘asupan kurikulum’ yang bisa mengasah kekuatan hatinya.


Dari sanalah tulisan ini bermula. Setiap orangtua pasti berhasrat agar anaknya kelak menjadi anak cerdas yang shaleh. Kecerdasan dan keshalehan itu bukan tanggung jawab lembaga pendidikan semata. Melainkan tanggung jawab bersama, termasuk orangtua. Karenanya, setiap orangtua ‘wajib’ memiliki kemampuan; (1) mendidik, (2) mengajar, dan (3) melindungi.


Keunggulan orangtua dalam mendidik, jelas merupakan aset vital, karena setiap orangtua pasti mengetahui karakter, bisa menakar batas maksimal kemampuan, serta mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap anaknya. Ilustrasi yang bisa kita gunakan, seorang guru dalam kelas mendidik setidaknya 30-40 siswa. Setiap siswa memiliki karakter, kemampuan, dan daya serap berbeda. Tentu saja butuh kemampuan ekstra untuk mendidik siswa dengan latar beragam itu. Tapi tidak demikian halnya bagi orangtua di rumah. Dengan demikian, intensitas pertemuan, kedekatan emosional, ikatan batin yang kuat, seyogianya menjadi modal dasar dalam mendidik anak.


Hal sama berlaku dalam upaya mengajar anak. Oleh karena setiap orangtua memahami gaya dan daya serap anaknya, maka tidaklah susah untuk mengajarkan beragam ilmu pengetahuan. Jika sang anak lebih suka gaya belajar visual, langkah yang tepat tentulah dengan sesekali mengajak anak rekreasi ke kebun binatang ketimbang sibuk menjejalkan teori-teori tentang jenis-jenis hewan. Jika sang anak cenderung kinestetik, maka memberikan kesempatan ‘mencoba’ jauh lebih menjanjikan daripada memaksa mereka menggumuli angka-angka agar bisa menguasai matematika, misalnya. Jika sang anak termasuk jago menyerap bahan ajar dengan mendengarkan, tentu saja orangtua bisa mengajari anaknya lewat mendongeng atau bercerita.


Sementara itu, kemampuan melindungi, lebih condong pada kemampuan orangtua dalam memberikan “rasa nyaman” selama proses pembelajaran. Ketika anak berprestasi, penghargaan (reward) harus diberikan. Tentu saja, hadiah yang tidak berlebihan dan tidak memanjakan. Pada saat melakukan kesalahan, hukuman harus dilakukan. Bukan dalam kerangka menunjukkan kesalahan, tapi lebih pada pembiasaan “bertanggung jawab” atas segala hal yang telah dilakukan. Sehingga yang tumbuh bukanlah rasa bersalah saja, tapi sekaligus sebuah “pelajaran” untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.


Ketiga kemampuan itu—mendidik, mengajar, dan melindungi—adalah sarat mutlak yang harus dimiliki setiap orangtua. Namun, ketiga kemampuan itu akan semakin dahsyat jika kita melakukannya dengan sepenuh cinta. Ya, hanya dengan cinta, bukan pemaksaan kehendak, yang mampu mewujudkan impian mencetak anak sejati, generasi sejati. Dan, kita tidak akan menjadi “manusia sejati”, jika pada masa kanak-kanak kita tidak pernah menjadi “anak sejati”.


Karena itu, mari mendidik anak dengan cinta. Bukan karena desakan ambisi agar anak kita kelak menjadi “ini” atau “itu”.


Khrisna Pabichara,
Sastrawan dan motivator pembelajaran, bermukim di pinggiran Jakarta

Senin, 14 Desember 2009

Sajak-sajak Saya di Analisa Medan

Catatan: Sajak-sajak ini dimuat pada Minggu (01/11/2009)


Sungai Luka

sungai dipenuhi rupa-rupa busa luka. “barangkali
aku memang tak pernah mengenal dirimu.” lalu,
kau pergi bersama hulu, dalam jenak yang purna.

Parung, Mei 2008


Perempuan Terluka

perempuan itu baru saja belajar mencinta.
aku letih menjadi sarang luka, katanya.
petaka tak memberinya jeda.

ceruk di matanya menjelma telaga,
tempat nestapa riuh berdansa. oi, ingin
sekali aku menghiburnya dengan lagu
paling jenaka. sayang, dia sudah lupa
bagaimana caranya tertawa.

sudah, bersandarlah di bahuku!

Bogor, Januari 2009


Batu Penanda

aku ingin berlari ke puncak sajak. melipat jalan setapak di matamu yang berkabung. merentang telaga lengang: biar ikan-ikan dan nestapa berenang dengan bebas. menanti perempuan penyair berambut kabut, yang selalu berselisih dengan waktu, berusaha menemu bahasa suasana paling bisu. kita pernah jadi nelayan di laut itu. berenang meninggalkan semenanjung kata: tempat kita merancang istana riang.

ayo, perempuanku, kita ziarah ke makam pantun. mata kita basah mencium hujan berkali-kali. lihatlah, perempuanku, lihat: kayu nisan, huruf-huruf dan nyeri itu makin biru. sudah lama kita ingin berguru bagaimana bisa menahan gelinjang rindu, sambil memanggil masa-masa haru dan tersedu dengan pilu. sungguh, perempuanku, sungguh. tak perlu keluh-kesah. kita harus mencari penanda cinta: dalam kata, dalam makna.

Bogor, Januari 2009


Birahi Janji
—untuk Warga Senayan

musim janji sudah usai. bunga-bunga kamuflase memerkah di mana-mana, di pagi dan sore hari. semerbak fatamorgana membayang, geming tenang di jantung waktu. kami hendak memanen buah janji di ladang-ladang nurani. tentang harga bensin, solar dan minyak tanah. tentang lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan gratis. tentang pinjaman lunak, jaminan bank dan regulasi. tentang semua yang dibilang dalam angka seratus hari pertama.

musim janji sudah usai. spanduk-spanduk partai sudah diturunkan, di simpang dan di sisi jalan. selebaran tak lagi penuhi jembatan, gapura warga dan tiang lampu jalanan. umbul-umbul dan bendera partai menari diterbangkan angin sepanjang hari.

mana janjimu!

Parung, November 2008

Selasa, 01 Desember 2009

[Cerpen] Haji Baso

Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika, edisi Ahad (22/11/2009)


HAJI BASO
Oleh KHRISNA PABICHARA


SUDAH lama saya tidak menghiraukan kehadiran kulau bassi, batu hitam bertuah peninggalan ayah. Bukan karena tidak menghargai warisan leluhur, tapi lantaran takut tuah kulau bassi itu dapat mengguncang iman saya. Betapa tidak, tuah batu berwarna hitam pekat seukuran biji jagung itu bisa menjadikan pemiliknya kebal terhadap segala jenis senjata. Dari besi tajam hingga timah peluru. Suatu saat, saya pernah mencobanya ketika menantang Raha—lelaki yang mencoba merayu kekasih saya—bertarung satu lawan satu di tanah lapang dekat kantor desa. Waktu itu, badik Raha hanya merobek baju yang saya kenakan, tapi tidak bisa melukai kulit saya meski hanya sebatas goresan. Sejak saat itu saya digelari I Kabbala’, lelaki yang kebal segala rupa senjata.

Pada mulanya saya menolak ketika ayah hendak mewariskan kulau bassi itu. Bagi saya, cukuplah ilmu silat mancak Turatea sebagai bekal membela diri di tanah rantau. Tak perlu azimat sakti, apalagi benda yang berpeluang jadi berhala. Tapi cinta dan takzim pada sang ayah membuat saya tak punya pilihan lain, kecuali menerima warisan itu. Sejak itu pula kulau bassi, batu bertuah incaran banyak orang, sah menjadi milik saya. Bermula dari sana mental saya jadi temperamental. Disenggol sedikit langsung marah. Mudah panas dan gampang terbakar. Salah sedikit main gampar, salah banyak main tikam. Jelas saja saya jadi tidak nyaman. Sebagai perantau, saya tidak pernah berniat sedikit pun melukai orang lain, apalagi sampai meninggalkan luka codet atau parut di tubuh mereka. Maka, tak pernah kulau bassi itu menghuni salah satu ruang di dompet saya. Dan, saya juga tidak mencoba menanam batu hitam itu di daging paha, sebagaimana orang lain memperlakukan kulau bassi-nya.

Hingga suatu hari Baso, seorang saudara sepupu, bertandang ke rumah saya dan mengusik segala tuah batu hitam itu. Katanya, seseorang telah mempermalukan dirinya, mengalahkannya dalam sebuah duel yang tak seimbang, lima lawan satu. Saya, sebagai jawat kerabat sekampung, diminta membela kehormatannya. Tidak perlu ikut berkelahi, katanya, cukup dengan meminjamkan kulau bassi itu, barang sehari atau dua hari. Saya, tentu saja, memanfaatkan peluang itu untuk meloloskan diri dari sekap batu hitam sebiji jagung itu. Walhasil, warisan leluhur itu telah menemukan tuan yang baru, Baso, sepupu sepermainan di masa kecil.

Dari sana bermula segala celaka.


SAYA memang mudah percaya, apalagi pada kerabat sendiri. Saya kira Baso akan meminjam kulau bassi itu dalam jangka satu-dua hari saja. Ternyata tidak. Satu-dua bulan telah berlalu, ia belum juga menampakkan batang hidungnya untuk mengembalikan batu bertuah itu. Lalu tersiar kabar, kini ia telah menjadi penguasa Pulogadung. Jagoan demi jagoan tumbang di tangannya. Satu demi satu wilayah ditaklukkannya. Ia telah menjadi jawara tanpa lawan setara. Bersabung dari satu arena ke medan tarung lainnya. Rumah gubuknya telah menjadi istana. Motor bututnya telah berganti mobil mewah. Takdir telah mengubah nasibnya menjadi kaya raya.

Tapi kulau bassi itu belum juga dikembalikan olehnya. Padahal sudah dua tahun berlalu semenjak ia meminjamnya.


HINGGA suatu ketika kabar gembira datang dari kampung halaman. Baso, yang semasa merantau hanya berbekal pakaian yang melekat di badannya,telah menjadi “pahlawan” yang dielu-elukan setiap hari di tanah kelahiran. Langgar yang nyaris rubuh di Kappoka jadi mentereng karena uang kirimannya. Masigik tua di Borongtammatea makin megah karena sumbangannya. Banyak anak asuh bergantung padanya.

Sungguh kabar itu menggembirakan, sekaligus memilukan bagi saya. Kabar itu sangat menggembirakan sebab Baso jadi simbol sukses kaum perantau. Tapi memilukan bagi saya karena semua orang menyandingkan kesuksesan Baso dengan kemiskinan saya—simbol perantau yang dicap gagal di negeri orang. Namanya juga pengarang. Jangankan untuk menyumbang ini-itu ke kampung, bertahan hidup saja susahnya minta ampun.


KEMUDIAN, Haji Tutu—ayah Baso yang juga adik ayah saya—berkunjung sendirian ke rumah saya dengan berbekal kopor besar seolah bakal menginap lama. Tentu saja saya terperangah. Bukan karena tak siap kedatangan tamu, namun karena sungkan jika Haji Tutu yang—konon mulai—terbiasa hidup mewah itu harus bermukim lama di rumah saya yang sederhana.

“Jangan malu, Nak,” kata Haji Tutu seakan mampu membaca pikiran saya. “Saya tak mungkin menginap di rumah Baso, sepupu bejatmu itu,” katanya lagi dengan sorot mata tuanya.

Saya tersentak. “Ada apa, Hajji?”

Haji Tutu menghela napas. Seolah semua beban lepas ketika napas itu diembuskan olehnya. Lalu, ia menatap mata saya begitu lekat. “Baso lupa diri, Nak. Harta ditumpuknya dengan cara yang tak halal. Kata orang, ia sekarang jadi raja copet di Pulogadung. Setiap hari ia tampung perantau dari kampung, lalu ia didik menjadi pencopet tangguh. Kau bayangkan bagaimana sikap orang di kampung pada pamanmu ini. Tak ada lagi murid yang datang ke rumah paman untuk belajar mengaji. Paman tak pernah lagi mendapat panggilan barzanji atau akrate’. Semua karena Baso, Nak.”

Haji Tutu terduduk lemas di kursi. Selama ini ia menjalani masa pensiun dengan tenang. Semula keluarganya hidup sangat sederhana hingga Baso tampil sebagai penolong. Wajarlah kiranya jika Haji Tutu kaget ketika menyadari bahwa kemakmuran keluarganya ternyata disokong oleh seorang raja copet. Bayangkan betapa terhinanya seorang guru ngaji, yang kegembiraan terbesar baginya ketika menerima banyak murid, lalu ditinggal sendirian dalam riuh sunyi. Apakah yang sekarang dirasakannya? Pastilah sebuah kengerian yang luar biasa sampai ia tak sanggup lagi bertahan di kampung—dengan masyarakat tradisi yang teguh dan kukuh memelihara norma-norma adat.

Saya mendongak ketika melihat Haji Tutu masih saja terduduk di kursi. Tak pernah sebelumnya ia bersikap begitu. Di dunia ini, tak ada lelaki yang lebih kukuh memelihara nilai-nilai kearifan lokal melebihi pamannya itu. Kepada tiap orang ia selalu bertutur ramah. Kepada tiap murid ia selalu berlembut sapa. Jika ada panggilan membaca kitta pattumateang—kitab berbahasa Makassar yang kerap dibaca ketika ada orang meninggal—ia tak pernah membeda-bedakan. Bahkan jika tak mendapat imbalan pun matanya tetap bercahaya.

“Apa yang hendak paman lakukan?”

“Saya sudah menasihati Baso, Nak, tapi paman tidak digubris. Bagaimana pun ia harus tobat,” kata Haji Tutu.

Saya mengangguk. “Naik haji?”

“Ya,” jawab Haji Tutu. “Jika Baso naik haji, lalu meninggalkan kebiasaan buruknya, ia pasti bisa diterima kembali di tengah masyarakat. Dan hanya kamu yang bisa menegurnya, Nak. Hanya kamu...”


SEBENARNYA tidak terlintas dalam benak saya untuk menemui Baso. Kulau bassi itu penyebabnya. Entah mengapa saya belum bisa menerima sikap Baso yang tak jujur dan gemar ingkar janji. Namun amanat Haji Tutu tak mungkin saya abaikan. Lalu, kami pun bertemu di kedai Coto Makassar Daeng Tata di bilangan Tebet. Tadinya saya pikir ada bagusnya menyampaikan kedatangan ayahnya ke Jakarta. Tapi saya tak mampu mengucapkannya. Kami hanya melantur kanan-kiri, sambil menyeruput es pisang ijo dan melahap dua mangkok coto makassar, layaknya dua sahabat yang lama tak bertemu. Hingga tiba masa saya bertanya kapan ia berniat memuliakan keluarga dengan berhenti dari profesi copetnya, profesi yang telah menguarkan aib keluarga.

“Kamu bisa minta apa saja, cikali,” katanya dengan tegas, “tapi jangan minta kulau bassi itu. Saya terlanjur jatuh hati. Lagi pula kamu tak pernah menggunakannya.” Ia mengedikkan bahu, kemudian berkata, “Kalau cuma naik haji, tenang saja, saya mampu melakukannya berkali-kali.”

“Bukan sekadar naik haji, tapi berhenti nyopet demi nama baik keluarga.”

“Mengapa harus sibuk menjaga nama baik keluarga, tapi hidup melarat dan tidak bisa berguna bagi keluarga?” cecar Baso. “Saya tidak punya keahlian apapun selain nyopet. Meskipun tamatan Aliyah, saya tak sanggup jadi guru honor di madrasah dengan gaji seratus limapuluh ribu sebulan. Tak mungkin juga melamar jadi office boy yang upahnya hanya cukup buat bayar kontrakan. Jika dengan naik haji saya bisa memutihkan nama keluarga, akan saya lakukan. Besok saya daftar, lalu pulang kampung buat manasik haji, dan mengundang orang-orang munafik di kampung yang mencibir dan membuang muka, tapi menerima setiap pemberian atau kiriman saya.”

Saya terdiam. Bagaimana menyampaikan semua ini pada ayahnya?


BEGITULAH kisahnya. Baso naik haji. Lima bulan lamanya ia dan keluarga malang-melintang di kampung. Seperti biasa ia royal, suka memberi kanan-kiri. Orang-orang kembali memujanya sebagai Haji Baso yang Baik Hati. Lalu ia kembali ke Jakarta. Alasannya sederhana, istri dan anaknya tidak betah berlama-lama hidup di kampung sunyi. Mereka lebih akrab dengan riuh kota.

Ia bawakan oleh-oleh berupa dendeng daging kuda kegemaran saya. Tapi ia belum juga mengembalikan kulau bassi itu.


SAYA pikir semua masalah sudah teratasi. Baso sudah naik haji. Ayahnya sudah mengajar kanak mengeja lontarak—aksara Makassar yang mulai terlupakan. Dan orang kampung melupakan masa lalu Haji Baso. Ternyata, belum. Ada masalah baru tiba-tiba menghantui saya. Haji Baso belum tobat. Ia kembali menggeluti profesi lamanya—copet. Ia buron, dikejar-kejar polisi. Ia kabur bersama kulau bassi milik saya. Kemarin ia kedapatan sedang menyiksa anak buahnya hingga nyaris sekarat meregang nyawa. Lima butir timah panas yang dilontarkan polisi singgah di dadanya, tapi tak satu pun yang mampu menembus kulitnya. Peluru-peluru itu rontok seperti daun kering luruh ke tanah. Polisi-polisi yang mengepungnya menganga dan terperangah. Haji Baso buron lagi. Orang-orang ramai membicarakan kekebalannya. Kabarnya gencar memenuhi layar televisi. Koran-koran pun berlomba memuat fotonya.

Akibatnya fatal, Haji Tutu terkena serangan jantung. Sesaat sebelum ia mengembuskan napas terakhir, paman yang rendah hati itu menyebut nama saya. Dan kulau bassi itu. Bagaimana saya jelaskan kepada semua kerabat mengapa warisan itu bisa pindah ke tangan Baso?

Dan, Haji Tutu kembali bertamu. Kali ini menyambangi saya dalam mimpi.

☼☼☼

Jakarta, 20/11/2009

Senin, 19 Oktober 2009

ESAI "Potret Manusia dalam Sekarini"

SUMBER: Harian Analisa Medan (Minggu, 11/10/2009)


POTRET MANUSIA DALAM SEKARINI
Oleh Khrisna Pabichara


MANUSIA adalah binatang berpikir, demikian ditegaskan filsuf besar, Aristoteles. Artinya, satu-satunya potensi besar yang membedakan manusia dengan binatang adalah karena manusia memiliki akal. Akal ini merupakan aset unik yang bisa menegaskan keunggulan manusia dari binatang. Dengan akal, manusia bisa menjadi “binatang beradab”. Dengan akal pula, manusia bisa mengendalikan karakter kebinatangannya. Ihwal inilah yang didedahkan dengan lugas oleh Vivi Diani Savitri dalam sekumpulan cerita pendeknya, Menanti Sekarini. Bermula dari kegelisahan, Vivi seakan menghunjamkan rupa-rupa tanya perihal ketergeseran—atau malah kembalinya—perilaku dan tabiat manusia pada dominasi karakter kebinatangannya.

15 cerpen yang dianggit Vivi, seperti menguak penegasan Thomas Hobbes (1588-1679) tentang karakter binatang—lebih tepatnya iblis—dalam diri manusia. Lewat Kasih Sukesi, pengarang memotret wajah perempuan yang sudah tidak memercayai kesejatian cinta tapi memasrah-serahkan diri pada Larno, lelaki yang menjadikannya semata sebagai batu loncatan untuk menjalankan rencana besar: menguras isi rumah majikannya. Pada Minyak Tawon, Vivi menohok imajinasi kita lewat sosok perempuan bermuka dua—tidak mau diduakan sementara dia sendiri merebut Effendy dari tangan istri dan putrinya—yang meradang begitu menemukan “bosnya Effendi” ada “main” dengan tukang pijat, Linda. Di lain pihak, Linda, perempuan yang dicemburui oleh perempuan bermuka dua itu, menjalani profesi “tukang pijat” tidak semata untuk mengendurkan syaraf pelanggannya, tapi sekaligus sebagai jalan mencarikan “ayah baru” bagi putranya.

Potret Sundari, ibu yang lembut, penuh kasih sayang, dan telaten mengurus anak-anaknya, bisa tiba-tiba menjadi kalap ketika menemukan kertas kumal berisi rajukan dan protes Nina, perempuan muda bekas calon sekretaris suaminya, karena tidak lulus dalam enam bulan masa percobaan, padahal sudah sering “digarap” oleh suaminya. Cerpen Saat Sundari Bunuh Diri ini dianggit dengan ciamik dalam meneropong batin perempuan tegar yang bisa kalap bunuh diri karena diamuk karakter kebinatangannya.

Ada juga kisah lelaki bonafide, Bahri, yang dua putranya dari dua perempuan berbeda dalam kondisi kritis. Lelaki itu merasa dilematis, bak makan buah simalakama, apakah hendak menjenguk putranya dari istri sahnya atau dari istri simpanannya. Memilih jalan yang aman, Bahri membesuk putra dari istri sahnya. Alih-alih terlepas dari himpitan beban, kabar tentang kesuksesan operasi malah menguarkan keperihan baru, anaknya yang lain dari perempuan lain tidak dapat diselamatkan. Ironis. Sekaligus, tragis.

Tapi, sesederhana itukah pencapaian etis Menanti Sekarini? Tidak. Semula, terbukti lewat Minyak Tawon, Menanti, Tabuh Sunyi Sebelum Mati, Angka & Sarita, juga Menanti Sekarini, Vivi menawarkan langgam penceritaan yang khas dengan keterampilan estetik yang penuh pukau. Namun, lantaran muatan gagasan besar yang diusungnya, sesekali dia terlihat tersendat. Anehnya, ketersendatan yang “tak disengaja” itu malah bisa jadi bumbu penyedap yang dapat dengan hebat merangsang hajat pembacaan.

Di ranah etik, Vivi melakukan perlawanan sporadis dan pragmatik terhadap kepalsuan watak manusia. Ada maklumat yang disampaikan secara tersirat olehnya, sebuah ajakan untuk menyandera karakter kebinatangan lewat fasilitas akal yang dimiliki setiap manusia. Menurutnya, manusia modern itu, lewat karakter tokoh-tokohnya berhasil mendedahkan kiasan perihal sisi buram kehidupan dalam konstelasi kehidupan masa kini. Pengarang menawarkan sebuah kemungkinan baru untuk menerabas kembali lelaku buruk manusia dalam ritus kehidupan yang menyehari. Tawaran untuk membuka ruang baru yang lebih manusiawi. Jika itu berhasil dilakukan, perilaku agresif dan destruktif, bahkan irrasionalitas yang menyelimuti perilaku “pejabat negara” dan politisi, seperti korupsi, pesiar nirmakna dan selingkuh, bisa dihindarkan. Memang, tidak semudah itu. Tapi, itulah gagasan mulia yang disodorkan Vivi kepada “umat pembaca”.

Di ranah estetis, mantan None Jakarta Selatan ini datang dengan asongan cerita yang menarik. Kehidupan duniawi, sebagai ruang persinggahan bagi manusia-manusia modern, ditumpahkan ke dalam cerita menawarkan kebaruan, hasil dari eksperimentasi bentuk yang dilakukan secara serius. Eksperimentasi bentuk yang memberi banyak kemungkinan pembebasan pada langgam pakem yang ada selama ini. Kita dapat menikmati suguhan menarik pada Angka & Saritai atau Tahi Lalat.

Kita diajak menyeruput banyak “petuah terselubung” tanpa harus merasa digurui, apalagi dihakimi.

Pengarang seolah ingin memastikan kepada “khalayak pembaca”, bahwa semua manusia itu bertopeng. Topeng yang menutupi karakter asli manusia, karakter kebinatangan. Potret buram lewat aroma ketidakpuasan, budaya kelabu-mengelabui, bahkan “pengkhianatan” seorang mantan demonstran yang dulu getol membela rakyat kemudian jadi pragmatis demi kebutuhan hidup sanak-keluarga. Baginya, tak ada sesuatu yang bisa dimaklumatkan oleh manusia, selain basa-basi, kepalsuan, dan kebohongan. Kalaupun ada sosok yang menawarkan kesetiaan dan kekukuhan cinta, itu semu dan palsu. Tetap menyertakan pamrih. Semacam isyarat: memberi karena ingin menerima yang lebih.

Maka, pengabaran lewat kombinasi cantik antara kecerdasan estetis dan etis dalam Menanti Sekarini, belumlah bermakna apa-apa sebelum kita letakkan kembali fitrah kita sebagai manusia, lengkap dengan karakter kebinatangannya. Hanya saja, kita sertakan saringan bernama akal untuk mengawal kita menuju “maqam manusia yang manusia”.

KHRISNA PABICHARA,
cerpenis dan penyuka sastra, tinggal di pinggiran Jakarta.

Selasa, 13 Oktober 2009

ESAI "Kota Tuhan, Kota Cinta..."

KOTA TUHAN, KOTA CINTA...
Oleh: KHRISNA PABICHARA

SUATU KETIKA, Jalaluddin Rumi berujar, “Perjalanan menuju Tuhan sebanyak bilangan nafas insan.” Karena itu, jalan menuju Tuhan dipenuhi labirin yang membingungkan dan menyesatkan. Kita sering tidak menyadari apakah bakal menjadi seorang saleh yang taat atau seorang gila yang sesat. Kita pun sering ragu apakah sudah menempuh jalan kebenaran hakiki atau malah menapaki lorong kebinasaan sejati. Perjalanan religius itu tidak hanya menuntut kecerdasan emosi, tapi sekaligus membutuhkan kepekaan ruhani.

Puisi—bagi beberapa “penyair”—menjadi pilihan dalam meneruka perjalanan ruhani, perjalanan menuju Tuhan. Sebut misalnya Jalaluddin Rumi. Melalui Masnawî, Dîwân-i Syams-i Tabrîz dan Fîhî Mâ Fîhî, Rumi bertutur tentang kisah penyatuan antara dirinya sebagai “pencinta” kepada Tuhan sebagai “kekasihnya”.

Begitu pula Adonis, sastrawan Arab kontemporer, yang menuangkan kembara jiwanya melalui puisi-puisi penuh pukau. Pada Mihyar, Adonis bersyair: //Seorang Tuhan telah mati/Tuhan yang dulu turun dari sana/dari tengkorak langit.// Bagi Rumi dan Adonis, agama bukanlah alat ritus belaka, melainkan “kendaraan” menuju perjalanan ruhani yang mencengangkan. Perjalanan yang menawarkan kebaruan dalam memandang bangunan keilahian. Mereka meyakini puisi dapat mengantar “umat pembacanya” menyusuri imajinasi-imajinasi dan perenungan-perenungan yang dalam, karena puisi memiliki potensi untuk menghadirkan sensasi tekstual, sekaligus sensasi “sakral” dengan kekayaan makna spiritual.

Eka Budianta juga memanfaatkan perjalanan ruhani sebagai sarana puitiknya. Ia meneropong ihwal gereja—sebagai Rumah Tuhan—yang sakral, “maqam” untuk merekam ritus-magis semisal pelepasan jenazah, pembaptisan, dan pernikahan. Ritus yang dipenuhi-sesaki oleh nilai ruhani. Bahkan, pada puisi Sketsa Burung Desember, ia bergerak liar menarikan gelisah hatinya ketika diamuk rindu pada Tuhan: //Seekor burung di hutan agama/tidak menciap-ciap memanggil Tuhan/ketika surga menyebut namanya.//

Sebut pula Afrizal Anoda yang menolak penjara dogma statis tentang penamaan dan penyebutan Tuhan. Katanya: Tuhan, atau apalah Kau mesti kupanggil. Ia meneriakkan keinginan untuk lebih intim, maka ia pampatkan jarak antara “aku” dengan “Kau”. Begitu imbuhnya dalam sajak Doa.

Hal sama dilakukan oleh Handoko F. Sainzam. Penyair yang mendalami sastra Jawa ini banyak meniupkan ruh-ruh spiritual pada sajak-sajak yang dihimpunnya dalam antologi puisi Kota Sunyi: Tahajud Cinta Kunang-kunang. Ia membedah pergulatan batin yang dialaminya. Ia memotret sisi “magis” hubungannya dengan Dia Yang Segala. Ia bermain dengan “cantik” dalam balutan diksi, majas, dan gaya bahasa. Baginya, Tuhan tidak “menakutkan” sehingga harus diperlakukan sebagai “musuh” mengerikan.

Ia malah mengajak Tuhan—seperti menggandeng teman sepermainan—menikmati jamuan makan malam. //Hanya seteko doa/Yang bisa aku tuangkan/Dalam gelas-gelas permohonan/saat jamuan makan malam//. Ada nuansa intim dari ajakannya itu. Ia seperti seseorang yang memendam hajat besar, lalu menawarkan perjamuan, agar bisa menuturkan permohonan pada sahabatnya. Akrab. Dan mesra. Tanpa ruang, tanpa jarak.

Kota Sunyi menjadi terminal bagi Handoko dalam menempuh perjalanan ruhani. Dewasa ini, tidak mudah menemukan kota sunyi di tengah semarak modernitas, sama tidak mudahnya “mengasingkan diri” dari belitan hasrat duniawi. Dalam antologi Kota Sunyi, penyair mengamsalkan dirinya sebagai “kunang-kunang” yang sedang melakukan “tahajud cinta”. Mengapa harus kunang-kunang? Kita tentu tidak asing pada serangga yang gemar terbang rendah dengan cahaya yang meruah dari kedua sayapnya itu. Itulah metafora, itulah alegori. Maka kota sunyi, tahajud cinta, dan kunang-kunang, menjadi kata-kata cerdas untuk menisbahkan ekspresi pencarian, penuh makna artifisial yang bisa memudahkan penikmat sajaknya dalam membangun asosiasi imajinasi di luar bangunan teksnya.

Coba kita simak sajak Bintang. //Hentikan tunjukan jarimu/Bintang tak kan selesai kau hitung/karena langit tak kau tahu tepinya//. Handoko berhasil menitiskan kompleksitas persoalan eksistensialisme modern melalui tamsil “bintang”. Ia seperti menegaskan bahwa kita lebih banyak “tidak tahu”, justru ketika kita kerap mengaku “banyak tahu”. Padahal, seperti pesan Martin Heidegger, kita sendiri lebih sering tidak mengetahui “apa” yang kita cari, termasuk “kenapa” dan “bagaimana” mencarinya. Maka, tentu saja, supaya perjalanan ruhani yang kita tempuh bisa menapak anak tangganya, seyogianya, kita lebih banyak menggunakan “mata batin” ketimbang “mata lahir”, sama seperti ketika menatap atau menghitung bintang bagi Handoko.

Begitulah, petualangan Handoko adalah kembara tak berujung, lelaku pencarian yang tak kunjung usai. Ia terjebak dalam pengelanaan yang buram, mengedari labirin kota yang sunyi dan menyesatkan. Tapi ia punya suluh bernama “cinta”. //Aku ingin mendengar kata cinta/Bukan dongeng kancil dengan buaya/Yang terjebak kebohongan//.

Lagi-lagi, lewat sajak Kata Cinta, penyair mengajak kita membuka selubung “topeng” yang menyungkupi wajah. Amsal dongeng kancil dan buaya bisa kita cantelkan pada keberadaan surga dan neraka, yang jadi patokan para “hamba” pemburu pahala. Sebagai pencinta, ia tidak ingin terjebak pada imbalan surga ketika ia berbuat kebajikan dan ganjaran neraka sesudah ia melakukan kejahatan. Bahkan tanpa ada surga dan neraka pun, ia akan tetap mencinta, sebagaimana Rumi dan Adonis mencintai “Sang Kekasih” atau Eka dan Afrizal menyapa Tuhan dengan cintanya.

Maka, jelaslah, untuk memasuki tualang menantang di tengah “Kota Tuhan”, kita bisa menjadi seperti “kunang-kunang” yang merentang sayap-sayap bercahaya cinta...

KHRISNA PABICHARA,
penyuka sastra, tinggal di pinggiran Jakarta.

Minggu, 11 Oktober 2009

CERPEN "Laduka"

Cerpen ini dimuat di Republika (Ahad, 11/10/2009)


LADUKA
Oleh Khrisna Pabichara


SUNGGUH menakjubkan, setelah perjuangan melelahkan melewati selonjoran kaki dan desakan penumpang di geladak kapal, Laduka, lelaki bertubuh kurus dan ringkih itu bisa juga menemukan keindahan perjalanan. Hari sudah petang dan matahari nyaris terbenam. Pelabuhan Tanjung Priok mulai mengecil di matanya. Ia memang tidak pernah berniat pulang ke tanah kelahiran dengan cara melelahkan seperti ini. Tapi tiket pesawat yang melambung tinggi di awang-awang membuatnya gigit jari, dan terpaksa memilih jalur laut. Yang penting ia bisa bertemu putra semata wayang yang belum pernah dilihatnya semenjak lahir. Sekaligus mengikuti hajat keluarga, khitanan, mengantar anaknya memasuki gerbang remaja. Di kampungnya, pesta sunatan adalah ritus sakral yang tidak bisa dipandang remeh.

Sebenarnya ia belum berniat pulang. Bagi Laduka: kualleangi tallanga na towaliya. Lebih baik karam di tengah laut daripada pulang bertangan hampa. Ke mana muka hendak disurukkan jika pulang berbekal kantung keropong? Tapi, telepon putranya telah merubuhkan tekadnya itu. Matanya yang tajam di bawah alis hitam tebal bergerak liar menahan desakan angin.

”Ayah pulang, ya. Habis disunat, Rewa ingin dipangku ayah. Janji ya, Ayah!”

Dengan cemas, Laduka menjawab, ”Iya, iya!”

☼☼☼

Ibunya meninggal tepat ketika ia dilahirkan. Itu sebabnya ia diberi nama Laduka. Artinya, lelaki yang lahir bersama duka. Sebenarnya, ia tak pernah bermimpi menikah di usia muda. Ia ingin sekolah tinggi. Ia ingin buktikan bahwa kelahirannya bukan pembawa bencana. Kematian ibunya adalah takdir. Seluruh perhatiannya tercurah untuk belajar. Karena itu ia putuskan kekasihnya, Tari. Tak dinyana tak dikira, tiga bulan berikutnya, Tari datang bersama ayahnya—tentara berdarah Batak— membawa kabar tentang perut Tari yang sudah bunting tiga bulan, sekaligus tuntutan tanggung jawab untuk segera menikahi Tari.

Dengan tegas Laduka menolak bertanggung jawab atas kehamilan “mantan” kekasihnya itu. Ia merasa tidak pernah menanam benih apapun. Memang, lidahnya piawai memasang jerat-rayu yang bisa memikat hati banyak perempuan. Tapi ia tak pernah berlaku kurang ajar, bermesraan melampaui batas, apalagi sampai menghamili. Mendengar penolakan Laduka, ayah Tari murka. Wajah Laduka ditamparnya berkali-kali. Bukannya menciut, nyali Laduka malah tersulut. Ia tantang Tari dan ayahnya untuk tes DNA. Tari histeris. Sembari menahan isak, dia mengakui bukan Laduka yang menanam benih kehidupan di rahimnya. Dia bertutur lirih tentang tiga laki-laki tanggung yang sedang mabuk memerkosanya di sebuah senja. Ayah Tari terpana.

Akhirnya, ayah Laduka menengahi silang-sengkarut itu dan meminta Laduka bersedia menikahi Tari sampai janin di rahimnya itu lahir.

☼☼☼

Setelah pernikahan itu, Laduka belajar mencintai Tari lagi. Tapi ia hendak merantau. Ia tidak mau terus hidup di bawah ketiak ayahnya. Apalagi mertuanya. Mertuanya berusaha keras menghalangi kepergiannya, begitu pun ayahnya. Ia tidak peduli. Ia bersikukuh tetap ingin merantau. Jiwa tualangnya sebagai lelaki tak tertahankan. Ia tinggalkan Tamarunang tepat ketika usia kehamilan istrinya memasuki bulan ketujuh.

Sebenarnya, setelah jabang bayi lahir, ia berniat segera menceraikan Tari. Tapi ayahnya, lelaki yang sangat dikaguminya, tak merestuinya. Agama yang dijunjungnya pun melarang segala bentuk pemeliharaan amarah dan dendam.

Maka, ia tetap suami Tari. Dan ayah bagi anaknya, Rewa.

☼☼☼

Kapal bergerak lamban. Membelah gelombang begitu perlahan. Matahari sudah sejak tadi terbenam. Laduka berjalan menuju pintu masuk dek, namun itu tidak mudah. Selain harus melewati kaki dan tubuh penumpang yang berserakan memenuhi lantai lorong dek, juga harus kuat menahan guncangan kapal. Jika kurang hati-hati, bisa menginjak kaki atau tubuh orang. Guncangan seperti itu pula yang membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk. Ia takut perutnya mual dan kehilangan banyak tenaga. Ia berhenti, jongkok, lalu memejamkan mata. Setelah pusing di kepalanya berkurang, ia berjalan lagi. Ombak keras menghantam kapal dan membuatnya terhuyung. Ia kehilangan keseimbangan. Kaki kanannya menginjak tangan penumpang yang sedang terlelap. Perempuan itu bangun, matanya melotot.

Laduka terus berjalan, ingin segera sampai di dek 4. Lalu, tidur dengan tenang.

☼☼☼

Ombak dahsyat menghantam. Kapal oleng. Laduka terlempar dari dipan. Sebelum kesadarannya pulih, tubuhnya terpelanting menabrak dinding kapal. Kepalanya pening, jidatnya berdarah. Ia belum juga mengerti apa sesungguhnya yang terjadi. Yang ia lihat, penumpang-penumpang lain panik, lari menyelamatkan diri.

Ia coba berdiri. Ia harus bisa mencapai dek 6 dan menemukan sekoci. Ia harus selamat agar bisa memangku putranya selepas disunat. Tapi belum lagi sempurna ia berdiri, gelombang penumpang yang lari serabutan tanpa ampun menabrak tubuhnya. Dan menginjak-injakinya.

Kali ini, ia benar-benar pingsan.

☼☼☼

Ketika sadar, ia gelagapan. Secara alami ia gerakkan tangan dan kaki biar tetap mengambang di permukaan. Namun ombak mahahebat melentingkan tubuhnya ke udara. Sesaat ia melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada pecahan kayu, sekoci, atau apa saja yang bisa dijadikan tumpangan. Tapi tak ada apa-apa. Kecuali penumpang-penumpang lain yang sibuk berjuang menantang gelombang. Sia-sia saja mengharapkan mukjizat. Lalu, ombak menelan tubuhnya lagi.

Ia memutuskan untuk diam, tidak menggapai-gapai. Tenaganya harus dihemat. Dan, sepotong besi menghantam dadanya. Ia pingsan lagi.

☼☼☼

Mukjizat bagi Laduka. Tiga meter di depannya, selempeng kayu memantulkan terik matahari. Mungkin itu potongan peti kayu atau permukaan meja. Ia tak peduli. Yang penting bisa menjangkau dan berbaring tenang di atasnya. Ia menggerakkan tangan dan kaki. Berat sekali. Tungkainya terasa copot. Perlahan ia bisa menggerakkan tubuh dan berhasil menggapai ujung lempeng kayu itu.

Lumayan lebar untuk ukuran tubuhnya yang kurus dan ringkih. Ia menarik tubuhnya ke atas lempeng kayu itu, diam dalam posisi nyaman agar bisa meringankan rasa sakitnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Lengang. Hanya ada jaket dan benda-benda lain terapung di permukaan air. Luka-luka di tubuhnya terasa sakit oleh embusan angin laut. Tapi ia merasa lega. Saya harap tak perlu berenang lagi, pikirnya. Lalu, ia telungkup bertelekan tangan, takut terik matahari menghanguskan wajahnya. Dan, matanya mulai redup.

Saya tidak akan tidur, ombak bisa mengempas tiba-tiba.

☼☼☼

Sudah senja ketika Laduka mendengar deru pesawat dari kejauhan. Ia buka bajunya, lalu melambai-lambaikannya ke udara. Hasilnya mudah ditebak, orang-orang di pesawat itu tidak bisa melihatnya. Pesawat itu menjauh, terus menjauh, menjadi titik hitam, lalu lenyap.

Laduka berteriak. Tapi sia-sia. Akhirnya ia memaki, mengumpat, mencaci sesuka hati. Di tengah laut lepas, ia bebas mengatakan apa saja. Ia maki Pelni yang tetap mengoperasikan kapal tua. Ia damprat nakhoda kapal yang terus menerima penumpang meski kapalnya sudah sesak. Ia sumpahi pemerintah yang tak bisa menata jalur transportasi laut sehingga kecelakaan terus-menerus terjadi. Ia kutuk dirinya sendiri karena tidak serius mewarisi ilmu leluhurnya: menjadi pelaut ulung yang menari di pucuk gelombang.

Tapi ia tidak memaki Tuhan. Ia masih mau hidup.

☼☼☼

Laduka berjalan melewati daerah asing yang belum pernah dilaluinya. Mula-mula ia masuki tanah kosong. Sejauh mata memandang, ia tak melihat apa-apa. Sepi. Sangat lengang. Ia berjalan terus memasuki ladang sunyi, lalu tanah kosong lagi, lalu padang ilalang, lalu tanah kosong lagi. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Ajaib. Ia merasa tiba-tiba dirinya berada di tengah perkampungan sunyi. Seperti kota purba yang mati. Jalanannya pun sepi. Hidungnya mencium sesuatu. Bau anyir. Seperti bau nanah atau lendir. Ia berjalan terus. Hingga telinganya mendengar suara tangis. Tangis itu lenyap setelah angin malas melayap. Begitu angin bertiup lebih keras, tangis itu terdengar lagi. Kali ini ia yakin itu suara tangis perempuan. Tangis lirih yang menyayat-nyayat uluhati. Tangis itu persis seperti tangis istrinya lima tahun silam, ketika ia berkeras tetap pergi merantau, sebelum bayi di rahim istrinya itu dilahirkan. Kali ini ia merasa sangat bersalah.

Amboi, dari mana tangis itu bermula?

Ia bulatkan hati untuk tidak menyusahkan diri mencari asal-muasal tangis itu. Tapi tangis itu makin keras. Menendang-nendang gendang telinganya. Menggedor-gedor dinding hatinya. Ia tak mungkin berdiam diri atau berlagak tak hirau. Ia pun berhenti. Matanya terpacak pada rumah paling kusam. Umbul-umbul berjajar rapi di halamannya. Sepertinya sebuah pesta baru saja usai. Di beranda rumah itu, seorang perempuan berbaju bodo sedang terisak memangku seorang bocah dekil, kurus kering, dengan tubuh dibalut baju adat pengantin sunat khas Makassar. Tapi baju itu kusam, kumal, dan usang. Ia mendekat, terus mendekat. Hingga ia lihat jelas perempuan itu sedang memegang mangkuk plastik berisi makanan berlinang-linang kuah santan. Mungkin sisa jamuan pesta. Tapi aneh, aromanya tak sedap. Dan dipenuhi-sesaki oleh belatung. Bocah kecil itu melahap kuah santan penuh belatung seperti orang kelaparan yang berhari-hari tak bertemu makanan.

Perempuan itu berdiri. “Pergi dari sini lelaki asing!”

Laduka tersentak.

“Pergi!”

“Kamu lapar?”

“Pergi, kami tak mau diganggu,” jerit perempuan itu.

Laduka merasa pernah mengenal perempuan itu. Di mana? Oh...

☼☼☼

Hiruk-pikuk pantai membangunkan Laduka dari tidurnya. Hari sudah sore. Akhirnya, ia selamat. Ombak mengantarnya tepat ke pantai tempat ia bermain mencari kerang, belajar berenang dan menyelam, ketika masih kanak. Pantai itu ramai sekali. Matanya nanar mencari sosok yang sangat dirinduinya. Istri dan putra semata wayangnya.

Ia tak menemukan Tari, istri yang mulai dicintainya. Juga Rewa, putranya yang sebentar lagi jadi pengantin sunat. Lalu bagaimana caranya ia bisa memangkunya? Mengapa mereka tak menunggu di pantai seperti orang-orang yang ramai berkerumun di sepanjang garis pantai?

Samar-samar Laduka melihat tubuhnya bergegas diturunkan dari lempengan kayu oleh empat lelaki berbaju hitam dengan sigap dan cekatan.

Ia saksikan jasadnya pelan-pelan menghilang ditelan kantung jenazah.

☼☼☼

KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975. Saat ini bermukim di pinggiran Jakarta. Bergiat di Kosakata dan Komunitas Planet Senen.

Jumat, 09 Oktober 2009

ARTIKEL BAHASA "Mengajar atau Mengajarkan"

Mengajar atau Mengajarkan Matematika?
Suhatri Ilyas*

BAHASAN kali ini berkenaan dengan ketelitian atau ketepatan kita dalam berbahasa. Dalam hal ini, faktanya tak jarang kita menggunakan unit-unit bahasa yang sesungguhnya salah secara kaidah. Tetapi, karena digunakan terus-menerus dan sesama pengguna bahasa telah saling paham maksud-maknanya, kesalahan itu seperti telah jadi kebenaran. Artinya, kesalahan itu terus digunakan sebagai suatu kebenaran.

Kasus ini menjadi topik kali ini karena juga terjadi di media massa, apalagi di masyarakat. Bahasan kasus ini memang terutama terinspirasi dari kisah ketika saya pergi ke sekolah anak saya. Salah satu orangtua, yang juga mengantar anaknya ketika itu, bertanya, "Bapak itu (menunjuk ke salah satu guru yang lewat tak jauh dari tempat kami berdiri) mengajar apa, sih?" Yang ditanya menjawab, "O, mengajar matematika!"

Selanjutnya, muncul kalimat-kalimat yang kira-kira berbunyi, "Saya kira dia mengajar kimia", dan lain sejenisnya. Pokoknya, bapak itu mengajar matematika, mengajar kimia, dan lain-lain. Saya sebagai pemerhati bahasa—yang entah mengapa sensitif apabila menemukan hal seperti ini—sesungguhnya agak kebingungan juga menyadari hal itu. Betapa tidak, "Bapak itu mengajar kimia, Bapak itu mengajar matematika".

Awalan /me-/ dalam bahasa Indonesia bisa berarti 'melakukan atau memberikan' sesuatu yang menjadi kata dasar imbuhan /me-/ tersebut kepada objek yang ada dalam suatu kalimat sehingga si objek—dalam hal ini kata dasar /ajar/, jadi /mengajar/—menjadi "bisa" atau "lebih bisa/pintar". Jadi, kalau "mengajar matematika" mestinya berarti "matematika" menjadi bisa atau lebih pintar'. Nah!

Ini dapat kita bandingkan dengan kata kerja lain yang menggunakan awalan /me-/, seperti /membawa/ dan /memukul/. Karena kata kerja ini berarti 'melakukan perbuatan terhadap sesuatu', maka kalimat ini menghendaki adanya objek (kalimat transitif). Jadi lengkapnya kalimat ini mestinya 'membawa buku' atau "memukul beduk'. Sama seperti halnya 'mengajar' itu, mestinya ada objek mengajar, yaitu "siswa", jadi harusnya mengajar siswa kelas tiga, misalnya.

Dengan demikian, kalau ingin mengetahui pelajaran apa dalam pertanyaan sang ibu tadi, harusnya adalah "Bapak itu mengajarkan apa?" Jawabnya adalah bapak itu mengajarkan matematika, bukan "Bapak itu mengajar matematika". Rasanya tak mungkin si bapak guru bisa membuat sang matematika jadi "bisa" atau jadi "lebih bisa".

Ini dalam konteks linguistik (ilmu bahasa). Sekarang kita berbicara dalam konteks semantik yang berkaitan dengan arti akhiran /kan/ dalam kata kerja yang digunakan dalam kalimat. Dalam hal ini, ada dua, yaitu kausatif dan benefaktif (menghendaki adanya objek menjadi seperti kata predikat dan menghendaki adanya objek kedua atau objek yang diuntungkan). Contohnya, (kausatif) Perbuatannya mengotorkan lembaga yang dia pimpin; (benefaktif) Uang itu dia gunakan untuk membelikan rumah buat istri keduanya.

Nah, dalam konteks bahasa pers, kehadiran /kan/ sering diabaikan. Padahal, jika ada objek kausatif (menjadi seperti kata dasar predikatnya) atau benefaktif (ada objek kedua yang diuntungkan dalam kalimat tersebut), seharusnya kehadiran /kan/ itu wajib. Jadi, tidak bisa 'Bapak itu mengajar matematika', tapi 'Bapak itu mengajarkan matematika'; atau bukan 'Pejabat itu membeli rumah untuk istri gelapnya, tapi 'Pejabat itu membelikan rumah untuk istri gelapnya'. Ya, kan?

*Suhatri Ilyas, penyelaras bahasa

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 Juni 2009

Kamis, 08 Oktober 2009

"12 Rahasia Pembelajar Cemerlang"

Catatan: Buku "12 Rahasia Pembelajar Cemerlang", ternyata mendapat sambutan hangat dari para pembaca, terbukti dengan larisnya cetakan pertama sebanyak 5.000 eksemplar (Januari 2007) dan cetakan kedua 5.000 eksemplar (Mei 2007). Saat ini, Oktober 2009, sedang proses cetakan ketiga. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda memiliki buku “berharga” ini?

Berikut ini saya akan bertutur tentang keistimewaan buku ini, yang tidak akan Anda temukan pada buku bertema sama. Tulisan ini saya nukil dari pengantar buku tersebut, sebagai gambaran bagi Sahabat Pembelajar. Semoga menjadi motivasi bagi "semangat" dan "gairah" belajar kita semua.



ADA APA DENGAN BUKU INI?

APAKAH ANDA pernah berharap pada akhir tahun ajaran, Anda berdiri di atas panggung menerima penghargaan sebagai pembelajar terbaik? Apakah Anda sering mengalami kesulitan memahami pembelajaran tertentu? Apakah Anda sering bingung pada saat menghadapi tes atau ujian yang mendadak? Jika ‘ya’, Anda harus mengambil keputusan jitu, membaca buku ini.

Sebagian besar manusia pembelajar (siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum) merasa tidak nyaman belajar dan tidak mampu: menyimak sesuatu yang semestinya disimak, memahami sesuatu yang seharusnya dipahami, serta mengerti sesuatu yang seharusnya dimengerti. Pada umumnya, mereka merasakan belajar itu pekerjaan yang sangat berat, sulit, membosankan, dan melelahkan. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga merasa bahwa belajar itu kurang menyenangkan? Beruntunglah jika Anda bisa enjoy dan fun menikmati proses belajar. Akan tetapi, jika ‘tidak’, Anda tidak perlu panik. Hanya bermodalkan sedikit nyali, bersama buku ini, beberapa pembelajar telah berhasil menemukan cara belajar secara lebih asyik dan lebih menyenangkan (edutainment).

Saya berharap, Anda pun berani melakukan hal yang sama. Akan tetapi, buku ini bukan segalanya. Buku ini jangan dianggap seperti peri (dengan tongkat saktinya dalam sekejap dapat menyulap Anda menjadi manusia pembelajar yang cerdas). Sebaliknya, Anda memandang buku ini sebagai teman yang Anda butuhkan dalam menemukan cara-cara baru belajar yang lebih efektif.

So, tunggu apa lagi? Inilah saatnya Anda bangkit!

Buku ini adalah solusi cerdas untuk menemani Anda menyerap dan mengolah informasi tentang cara baru belajar yang siap pakai untuk kemudian Anda manfaatkan dalam kehidupan. Kandungan buku ini mengungkap 12 rahasia yang dapat membantu Anda menemukan, memanfaatkan, dan mendayagunakan (empowerment) seluruh potensi diri, sehingga dapat menemukan cara-cara belajar yang bisa membuat Anda berteriak penuh semangat: WOW! Belajar itu ternyata menyenangkan. Semua manusia pembelajar (siswa-mahasiswa, guru-dosen, pria-wanita, tua-muda) sangat membutuhkan buku ini, termasuk Anda.

Di dalam buku ini, Anda pun akan menjumpai pesan-pesan utama berupa quotation, fatwa-fatwa religius, dan kata-kata bijak beberapa pembelajar sukses dan ternama. Saya berharap pesan-pesan utama tersebut dapat menjelma menjadi spirit of change, menginspirasi Anda untuk melakukan perubahan signifikan menuju prestasi gemilang.

BAGAIMANA ANDA MENGGUNAKAN BUKU INI?

APAKAH ANDA sering merasa kaku, saat membaca buku harus selalu runut dari bagian depan? Jangan khawatir, buku ini menawarkan banyak kemudahan dan kelebihan. Anda dapat mulai membacanya dari bagian awal, tengah, bahkan dari bagian penutupnya. Semuanya terserah Anda!

Buku ini disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti. Semua isinya adalah endapan pengalaman saya, selama hampir sepuluh tahun menggeluti profesi sebagai trainer dan motivator pengembangan minat dan kecakapan belajar. Selain itu, Anda bisa menjadikan buku ini sebagai hadiah spesial untuk Anda persembahkan kepada orang terdekat Anda, putri-putri Anda, orang tua Anda, sanak-kerabat Anda, atau sahabat terkarib Anda.

Demikianlah, saya berharap dapat membantu Anda menemukan cara-cara baru belajar yang lebih efektif dan lebih fun. Selamat menikmati petualangan membaca buku ini, semoga tetap merasa nyaman dan tetap tertantang.

Senang rasanya berbagi pengetahuan besar kepada Anda.

Minggu, 04 Oktober 2009

ARTIKEL BAHASA "Baku atau Tak Baku"

CATATAN: Tulisan ini karya seorang penelisik bahasa, Suhatri Ilyas, disebarluaskan pertama kali oleh Suara Karya (Sabtu, 12/09/2009) di Rubrik Bahasa dan Kita. Saya unggah di catatan ini dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.


"BAKU ATAU TAK BAKU, TERPULANG KEPADA ANDA"
Oleh Suhatri Ilyas


Apa sesungguhnya perbedaan arti dan penggunaan kata rubuh dan roboh, kukuh dan kokoh, mulur dan molor, atau bahkan telur dan telor. Kata-kata yang dibedakan hanya dengan satu bunyi (fonem) /u/ dan /o/ ini dalam penggunaannya cukup membingungkan. Selain sering tertukarkan begitu saja (suatu saat mulur berarti molor, tapi pada situasi lain molor juga berarti mulur), ada juga pengertian lain berkaitan dengan penggunaannya dalam ragam tertentu.

Bila dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebenarnya cukup jelas arti dan penggunaan kata-kata tersebut. Namun, mari kita lihat satu per satu kata-kata itu sebagaimana tercantum dalam KBBI tersebut.

Rubuh dan roboh berbeda ternyata hanya sebagai variasi pengucapan saja. Soalnya, kata rubuh dalam lema KBBI itu ditandai dengan anak panah yang merujuk lema roboh. Artinya, kata rubuh hanya varian dari kata roboh, dan karena itu kata rubuh disarankan tidak dipakai sebagai bentuk baku, termasuk dalam ragam tulis seperti di media massa. Sedangkan lema roboh sendiri, sesuai KBBI, berarti (kata kerja/verba/v) "runtuh" (tentang bangunan yang besar, seperti rumah dan tembok); "rebah, tumbang" (tentang pohon, tanaman); atau (kata kerja intransitif/ki) "jatuh" (dalam berbagai arti seperti bangkrut, kalah, tidak dapat bertahan lagi, luntur imannya).

Bagaimana dengan kukuh dan kokoh? Kasusnya sami mawon dengan roboh dan rubuh, hanya saja yang tidak bakunya di sini adalah kata kokoh. Anehnya, dalam penggunaan sehari-hari, kadang-kadang juga dalam media massa, yang lebih banyak dipakai dan dianggap baku adalah kata kokoh.

Padahal, secara etimologis justru kokoh adalah variasi kata kukuh (terjadi pelemahan pengucapan). Penggunaan dalam bentuk lain, kata kukuh itu lebih terterima, misalnya dalam mengukuhkan gelar itu dia tampak terharu. Jika digunakan kata kokoh, yaitu dalam mengokohkan itu dia tampak terharu, terasa jadi aneh. Sementara lema kukuh sendiri sesuai KBBI berarti (adjektif/ad) "kuat terpancang pada tempatnya, tidak mudah roboh atau rusak"; atau "teguh" (tentang pendiriannya dan sebagainya).

Lain dengan mulur dan molor. Kedua kata ini ada dalam KBBI dan keduanya ada dengan penjelasan artinya yang lengkap. Hanya saja molor terdapat dalam dua lema. Yang pertama lema molor yang ditandai sebagai cakapan (cak), yang berarti "tidur" (bahasa Jakarta). Sedangkan yang kedua, juga ditandai dengan cakapan (cak) dengan arti lengkap sama seperti mulur.

Artinya, perbedaan keduanya sama seperti kukuh dan kokoh atau rubuh dan roboh, yaitu hanya bervariasi, yang ujung-ujungnya sampai pada bentuk baku dan tidak baku. Hanya saja, kata molor di satu sisi sudah diberi arti lengkap sama seperti mulur (bersinonim), di sisi lain ada arti lain, yaitu "tidur", seperti dalam kalimat kerjaan kamu molor saja tidak sama dengan kalimat kerjaan kamu mulur saja.

Adapun arti mulur yang lazim dalam bentuk baku adalah "menjadi panjang, dapat menjadi panjang"; (kata kerja intransitif/ki) "dapat ditunda, diperpanjang" (tentang waktu); atau "mempunyai toleransi, tidak keras kepala". Untuk memperjelas uraian di atas, sebagai ilustrasi sengaja kami tampilkan contoh lain atas perbedaan kedua kata contoh itu lantaran ada perbedaan bunyi /u/ dan /o/ dalam kata bahasa Indonesia, yaitu telur dan telor.

Bunyi /u/ dan /o/ dalam kata telur dan telor itu ternyata dan terbukti tidak membedakan arti walaupun dalam khazanah fonologi bahasa Indonesia satuan bunyi /u/ dan /o/ adalah dua fonem yang berbeda, artinya dua bunyi yang berfungsi sebagai pembeda arti, seperti terlihat dalam contoh ulah dan olah atau utak dan otak. Tetapi memang antara /u/ dan /o/ kadang-kadang tertukarkan, terutama untuk awam, dan cenderung tidak membedakan arti. Selain kata-kata contoh di atas, ada banyak bunyi /u/ dan /o/ lain yang tidak membedakan arti, seperti ubah dan obah, urang dan orang, dan lain-lain. Jadi, dalam hal ini kita memang perlu berhati-hati dan mewaspadai perbedaan kata oleh perbedaan fonem antara /u/ dan /o/. Cukup banyak kita temukan perbedaan itu yang sesungguhnya tidak membendakan arti. Mungkin ini salah satu kecenderungan yang ada dalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh bahasa daerah, terutama bahasa Jakarta. Namun, yang perlu dicatat di sini adalah sikap kita dalam berbahasa, terutama kekonsistenan dalam memelihara bahasa baku sebagai bahasa standar, bahasa yang digunakan dalam konteks resmi, termasuk dalam media massa.

Dengan demikian, persoalan tinggal pada kita apakah akan konsisten dengan bahasa baku atau terbawa oleh arus perkembangan bahasa di masyarakat. Kata kokoh adalah variasi dari kata kukuh, molor adalah variasi dari kata mulur (kecuali molor yang berarti tidur), rubuh adalah variasi dari roboh, dan digunakan sebagai ragam cakapan (nonstandar dan tidak baku), semua terpulang kepada pengguna bahasa. Bukankah bahasa itu yang menentukan penggunanya sendiri.

Penulis adalah penelisik bahasa media massa.

CERPEN "Doa Lelaki yang Kehilangan Ibu"

CATATAN: Cerpen ini dimuat di Jurnal Bogor, edisi Minggu, 4 Oktober 2009


DOA LELAKI YANG KEHILANGAN IBU
Oleh KHRISNA PABICHARA


HELGA Suryandari nama aslinya. Tak terlalu cantik dibandingkan ibu-ibu lain di desa Adi. Juga tidak terlalu kaya. Biasa saja. Tapi, orangnya sangat ramah. Karena keramahannya, warga sedesa mengenalnya. Bahkan, satu kecamatan. Tidak heran jika dia digelari Perempuan dengan Senyum Paling Ramah. Dia ramah pada siapa saja, kapan dan di mana saja. Karena itu dia dipanggil Ibu Ramah, bukan Ibu Helga. Karena itu pula dia dilamar partai—yang gemar menampung orang terkenal—untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan.

Sebenarnya, Adi menentang keinginan ibunya. Ya, tidak seorang pun anaknya setuju Ibu Ramah menerima pinangan partai itu. Tapi ibunya kadung mengiya. Dia yakin bakal melenggang dengan mudah ke kantor dewan di Cibinong, lalu dipanggil takzim dengan sebutan “anggota dewan yang terhormat”. Bambang, kakak Adi, berulang kali bolak-balik Tebet-Parung untuk menahan ibunya agar tidak mencalonkan diri. Sejak kecil, Bambang memang terkenal dekat pada ibunya. Tapi, kali ini Bambang tidak berhasil. Ia gagal total. Ibunya tidak goyah, tetap kukuh ingin maju. Kamu tidak perlu sibuk mengumpulkan dana kampanye, uang Ibu lebih dari cukup, kata ibunya.

Deasy, adik Adi, rela menginap di rumah Adi demi misi merayu ibunya agar mengundurkan diri dari pencalonan. Tapi, seperti juga Bambang, Deasy tidak berhasil membujuk ibunya. Kamu tidak perlu kalut Ibu akan depresi jika gagal, mental Ibu sudah terlatih, tukas ibunya.

Itulah sebabnya Adi membatalkan keinginan untuk memaksa ibunya berhenti menebar janji-janji kepada warga desa. Janji yang belum tentu kelak bisa dibayar tunai. Janji yang belum pasti bakal terpenuhi.

Tuhan, saya tak mau kehilangan Ibu!

☼☼☼

IBU Ramah begitu sumringah. Bibirnya yang tipis terus tersenyum. Dalam matanya—yang bulat tepat di bawah alis yang halus, dengan hidung ramping berbentuk indah—memerkah binar-binar cahaya. Dia begitu bahagia. Tak dinyana, perolehan suaranya di TPS 02, jarak 100 meter dari rumah Adi, mencapai 257 suara. Nyaris 100% dari jumlah wajib pilih di TPS itu.

Adi terperangah. Ia sama sekali tak berharap perolehan suara ibunya sebanyak itu. Ia lebih suka ibunya kalah. Ia berdoa agar ibunya tidak terpilih. Tuhan, saya tak mau kehilangan Ibu! Tapi, sepertinya Tuhan tidak mengabulkan doanya. Hampir semua TPS di Desa Iwul dimenangkan oleh ibunya. Hanya di satu TPS saja ibunya menderita kekalahan, di TPS 08. Kata ibunya, itu wajar. TPS itu berada di halaman rumah Kepala Desa Iwul. Sementara, istri Kepala Desa—Ibu Nana Nuryanah—adalah pesaing ibunya.

Anehnya, Adi malah berusaha membesarkan hati ibunya. Jangan sedih Ibu, siapa tahu di TPS lain suara Ibu besar, bisiknya. Ibunya tidak menjawab.

Malamnya, tim sukses melaporkan kemenangan mutlak Ibu Ramah di Desa Iwul. Tinggal menunggu laporan dari desa lain di Kecamatan Parung. Mendengar berita itu, Ibu Ramah langsung sujud syukur. Adi, yang tidak rela ibunya menang, mengelus dada. Hilang sudah hangatnya bercengkerama dengan Ibu, batinnya. Besoknya, Ibu Ramah menggelar syukuran. Nyaris seluruh warga desa tumpah ke rumahnya. Ramai sekali. Hasilnya, isi empat petak empang dan warung kelontong di beranda habis dikuras warga sedesa.

Sejak itu, ibunya tidak dipanggil Ibu Ramah lagi. Sekarang, orang sedesa mengganti panggilan ibunya menjadi Ibu Dewan.

☼☼☼


TIBALAH masa rekapitulasi suara di kantor KPUD Kabupaten Bogor. Waktu itu, hujan sedang sibuk-sibuknya mengepung Cibinong dari segala penjuru. Seolah ada yang menghentak di rongga dada Adi ketika telinganya lamat-lamat menangkap suara anggota KPUD mengumumkan hasil perolehan suara setiap caleg, termasuk ibunya. Ketika ibunya asyik membilang setiap demi setiap peluang, Adi malah sibuk merapal doa agar ibunya tidak terpilih.

Tuhan, saya tak mau kehilangan ibu!

Tuhan mengabulkan doanya. Suara ibunya hanya terpaut tiga angka dari Ibu Nana. Ibunya meraup 4.405 suara, sedangkan Ibu Nana mengumpulkan 4.408 suara. Jadi yang lolos Ibu Nana. Bukan Ibu Dewan, ibunya. Ibunya tidak bisa menerima kekalahan. Ibunya menuding terjadi kecurangan. Ada penggelembungan suara.

Tapi ibunya tak punya cukup bukti.

☼☼☼

SEJAK itu, ibunya mulai bertingkah aneh. Jadi pendiam, tapi tiba-tiba bisa ngakak, terbahak-bahak. Tak lama berselang, air matanya membanjir. Lain waktu, bergaya bak juru kampanye nasional, berdiri tegap di atas meja, berteriak membakar semangat massa, berjoget ria seperti dulu sering dilakukannya ketika sedang berkampanye di atas panggung.

Adi kelabakan. Tidak pernah ia duga sebelumnya, ibunya akan menderita tekanan batin karena kegagalan itu. Tahu bakal seperti itu, ia akan mendoakan agar ibunya menang. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tuhan terlanjur mengabulkan doanya.

Ini malam ketiga ibunya menderita kelainan jiwa. Penyakit gila! Penyakit yang sangat dibenci Adi. Sama bencinya ia pada rumah sakit. Adi benci rumah sakit karena bau karbolnya, sengit obatnya, senyum palsu susternya, dan biayanya yang mencekik leher. Adi juga sangat benci orang gila karena bau badannya, kucel rambutnya, dekil tubuhnya, dan seringai busuk yang memperlihatkan gigi berwarna kuning. Jangankan duduk berdekatan, bertemu atau bersisihan jalan saja, ia tak sudi.

Namun, apa yang harus ia lakukan jika yang gila itu ibunya? Pernah terbetik keinginan berlagak pilon atau pura-pura tidak hirau, seperti kakak dan adiknya. Tapi, ah! Tidak mungkin. Saya harus membunuh rasa benci, batinnya. Sebenci apa pun ia pada orang gila, harus ia bunuh rasa benci itu ketika yang gila ibunya. Hitung-hitung sebagai tanda bakti. Bodoh, untuk apa mengurus orang gila, tiba-tiba ada suara lain memenuhi pori-pori hatinya. Dia kan ibu saya, bantah hati kecilnya, tidak mungkin saya biarkan begitu saja. Suara itu membantah lagi, salah sendiri mendoakan ibumu kalah. Ingin rasanya Adi berteriak sekeras mungkin, biar perbantahan di hatinya terhenti. Dasar lelaki dungu, anak durhaka. Suara itu muncul lagi. Diam, bangsat!

Anehnya, suara-suara itu tidak mau diam.

☼☼☼

MUSTAHIL membiarkan ibunya terus di rumah. Tidak sehat bagi anaknya. Juga, istrinya. Apalagi bagi orang-orang sedesanya yang mulai nyinyir. Orang sedesa yang dulu memanggil ibunya dengan Ibu Ramah. Lalu Ibu Dewan. Dan, sekarang jadi Ibu Gila. Ibu-ibu yang dulu rajin berkumpul di rumahnya, sekarang transmigrasi ke rumah caleg terpilih, Ibu Nana. Mereka yang dulu suka bermanis muka setiap berpapasan di jalan, sekarang melengos membuang muka.

Begitulah watak manusia. Habis manis sepah dibuang. Asli!

☼☼☼


ADI benci rumah sakit. Apalagi rumah sakit jiwa. Tapi, semua harus dijalaninya dengan ikhlas. Masih setengah lima subuh ketika mereka tiba di rumah sakit. Halaman parkir sangat lengang. Hanya ada satu mobil diparkir di sana, mobil ambulans yang kuyup diguyur embun. Tak ada yang menyambut mereka ketika tiba di depan pintu masuk. Suasana sangat sepi.

Adi membuka sendiri pintu rumah sakit. Tak ada siapa-siapa.

Ia memaksakan diri berjalan di lorong selebar dua meter itu. Lantai berdetak setiap sepatunya menyentuh keramik putih polos. Matanya melirik kanan-kiri. Di bangku taman, seorang lelaki tua berbadan ceking dengan rambut penuh uban, duduk khusyuk di atas rumput taman. Ia pasti orang gila, batin Adi. Tidak mungkin orang waras mau mandi embun. Akhirnya Adi sampai ke ruang kantor. Jarak sepanjang lima meter itu seakan ditempuhnya selama berjam-jam. Lambat sekali. Ia lalu mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Perlahan ia mendorong pintu.

Di meja pendaftaran, seorang suster sedang tertidur. Pulas.

Jangan-jangan ia juga orang gila. Adi membangunkan suster itu dengan pelan. Suster itu kaget. Terhenyak. Mengusap mukanya. Merapikan bajunya, lalu berkirim senyum. Sok akrab, gerutu Adi dalam hati. Ia lalu mengisi formulir, sambil sesekali melirik wajah suster. Cantik juga suster ini, batinnya. Parasnya seperti orang Korea. Wajahnya putih, bersih. Matanya sipit, antik. Bibirnya mungil, menarik. Dan, ia suka! Setelah memenuhi semua ketentuan, formulir itu diserahkannya kepada suster berwajah Korea itu.

“Korban demokrasi?” tanya suster itu.

Adi mengangguk. Jengah.

“Hubungan Ibu Helga dengan Bapak?”

“Saya anaknya,” jawabnya lirih. Risih.

“Kenapa tidak dibawa ke padepokan?”

“Ibu saya sedang tidak ingin belajar silat…”

Suster itu tersenyum. Indah sekali. Dekik di kedua pipinya terlihat jelas. “Semua urusan administrasi telah selesai. Pasien segera ditangani pihak rumah sakit. Bapak boleh pulang.”

Pulang? Tadi Adi memang ingin segera pulang. Sekarang? Tidak lagi. Ia sedang sibuk mematut diri dan membayangkan bentuk tubuh suster itu.

☼☼☼

SIANG ini, Adi harus kembali ke rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Kabarnya, ibunya berulah. Adi sudah coba menghubungi kakaknya, Bambang. Tapi Bambang sama sekali tak peduli. Katanya, ia sedang sibuk mengurusi restoran cepat sajinya. Lagi pula, kakaknya itu terlanjur marah, karena sarannya supaya tidak nyalon, tidak digubris oleh ibunya. Adi tertawa perih. Dalam hati Adi berkata, kakaknya pasti enggan dijuluki anak orang gila.

Akhirnya, ia sendiri yang ke rumah sakit.

Berbeda ketika membawa ibunya tadi pagi, siang ini rumah sakit sangat ramai. Menemukan tempat parkir saja lama sekali. Cuaca mendung yang menyelimuti Bogor ternyata tidak cukup mendinginkan suasana rumah sakit. Barangkali suster berwajah Korea itu masih duduk di meja pendaftaran, batin Adi. Ternyata, harapannya tidak terpenuhi. Sudah ada suster lain di sana. Tapi, ini juga menarik. Di rumah sakit ini ternyata banyak perempuan menarik.

Adi langsung masuk ke bangsal tempat ibunya dirawat. Bangsal khusus yang dipersiapkan bagi para korban pemburu kursi. Bangsal yang baru diresmikan sebulan sebelum pesta demokrasi berlangsung. Ibunya dirawat di kamar tiga. Melihat ibunya, tanpa terasa air mata Adi meleleh. Ia merasa jadi penyebab ketakwarasan ibunya. Ia menyesal telah berdoa demi kegagalan ibunya. Ia juga menyalahkan Tuhan yang mau begitu saja mengabulkan doanya. Tuhan tidak salah, bantah hatinya. Tiba-tiba saja Adi tidak tega membiarkan ibunya terus mendekam di kamar ini, tak lebih bagus dari penjara. Meski ada tempat tidur mewah, televisi, dan ruangan dengan pendingin yang bisa diatur sekehendak hati.

Tapi, apa manfaat semua itu bagi ibunya?

“Pak, ada kemungkinan Ibu Helga bakal dirawat agak lama di sini…”

Tiba-tiba terdengar suara lembut, suara yang semalam disimpan dengan baik oleh ingatannya. Semenjak remaja, belum pernah sebelumnya Adi merasa jantungnya berdegup sekeras itu ketika melihat perempuan. Secantik apapun.

“Pak, saya Sandra,” kata suster berwajah Korea itu.

Adi mengulurkan tangan. Ternyata nama suster itu Sandra, keren juga.

“Ibu Helga menderita kerusakan syaraf permanen, butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.”

Adi merasakan debar di dadanya makin tak beraturan. Adi bahkan tidak bisa menangkap apa yang sedang disampaikan suster berwajah Korea itu, karena degup jantungnya yang berlebihan. Tapi, ia suka!

Tiba-tiba, ibunya naik ke tempat tidur. “Menjadi wakil rakyat itu amanah. Bagi saya, partai itu hanya jembatan. Jika saya terpilih, kepentingan rakyat akan didahulukan setiap mengambil keputusan. Jangan tergoda bujuk rayu, penampilan, atau hadiah. Apalah artinya uang sepuluh ribu jika menggadaikan masa depan kita selama lima tahun. Karena itu, pilih yang pasti. Pilih nomor tiga, Helga Suryandari!”

“Buuu…!” Adi menggelosor ke lantai. Air matanya tak terbendung lagi. Ia merasa telah kehilangan ibunya, karena Tuhan mengabulkan doanya.

Tuhan, sembuhkan Ibu saya!

☼☼☼


KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen, Jakarta. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Jurnal Bogor, Media Indonesia, Riau Pos, Batam Pos, Padang Ekspres, Fajar, Global, Sumatra Ekspres, Pedoman Rakyat, dll.

Sabtu, 03 Oktober 2009

ESAI "Berhala Bernama Cinta"

CATATAN: Tulisan ini, yang dimuat di Sumatera Ekspres (Minggu, 04/10/2009) pada rubrik Horison, dimaksudkan untuk menelisik Kumpulan Puisi "Sirami Jakarta dengan Cinta" karya Gemi Mohawk.


BERHALA BERNAMA CINTA
Oleh: KHRISNA PABICHARA


PUISI, sejatinya, selalu menghargai keragaman tafsir dan perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Bagi sebuah puisi, tidak ada “kebenaran tafsir” yang mutlak. Setiap umatnya—pembaca yang menikmatinya—berhak menerjemahkan makna yang diusung sebuah puisi berdasarkan “kuasa baca” yang dimilikinya. Hal itu dimungkinkan karena puisi adalah sebentuk ekspresi yang akan menjadi berarti sejauh ekspresi itu dapat diinterpretasikan berdasarkan intuisi penikmatnya. Tanpa interpretasi semacam itu, puisi hanya tumpukan kata, atau malah sajian data, yang dipindahkan dari realitas kehidupan semata. Tentu saja, setiap “penyajak” sebagai “pemberi” mengharapkan pembaca sebagai “penerima”, dapat menyingkap tabir imajinasinya lewat interpretasi yang melibatkan “ruh rasa”.

PADA 1840, seorang penyair kawakan Inggris,Percy Bysse Shelley, lewat esainya The Defense of Poetry menyangkal keras tuduhan Thomas L. Peacock tentang puisi yang tak lagi berguna di tengah kemajuan sains. “Puisi bersumber dari imajinasi,” kata Shelley, “fakultas kreatif manusia yang berada di atas fakultas nalar-analitik kebendaan semata.” Sebagai salah satu figur kunci kaum romantik Inggris, Shelley meletakkan penyair sebagai legislator dengan sensibilitas yang mampu mengubah segala hal menjadi indah, sekaligus meluruhkan cara berpikir konvensional. Karena itu, kehadiran puisi sangat mendesak, terlebih ketika pengetahuan empiris lewat pendekatan matematis-mekanis lebih diutamakan. “Puisi menawarkan kesenangan dan keteraturan pada dunia,” imbuh Shelley.

Sementara itu, pada penghujung abad ke-18, kaum romantik Jerman—dipelopori oleh Schlegel dan Schiller—mulai meneruka jalan baru untuk keluar dari belitan “krisis modernitas”. Mereka mengajukan puisi sebagai pintu keluar. Bukan sains atau filsafat. Juga bukan agama. Bagi mereka, puisi merupakan pintu keluar dari perpecahan kreatif dan intelektual manusia modern. Bahkan, Schelling dengan tegas menyatakan, “Seperti aliran sungai, filsafat dan ilmu pengetahuan akan mengalir pulang ke dalam lautan puisi.” Artinya, puisi nomor satu, karena esensi puisi bersumber dari “mata air kehidupan” yang diracik bersama cinta melalui mesin kreatif bernama estetika.

Itulah yang dilakukan Gemi Mohawk dalam mendedahkan ihwal kota dan cinta dalam sekumpulan sajaknya, Sirami Jakarta dengan Cinta. Penyair kelahiran Palembang ini menawarkan Jakarta sebagai “kolam bening” tempat semua kota di nusantara bisa mengacakan wajahnya. Jakarta, kota yang menjadi “gula rebutan” para prajurit semut, telah menjelma menjadi pulau persinggahan yang menawan bagi pemuja “berhala” duniawi—tempat yang pas untuk menuntaskan hasrat konsumtif. Kebiasaan berbelanja guna memenuhi kebutuhan hidup bukan karena dorongan kebutuhan (need) yang bersifat material, melainkan karena desakan hasrat (desire) dan keinginan (want) yang bersifat simbolik. Akibatnya, segala cara dihalalkan untuk memenuhi hasrat dan keinginan itu. Jika perlu, gosok-ke-kanan-gesek-ke-kiri, termasuk korupsi.

Lewat Sirami Jakarta dengan Cinta, Gemi menampilkan wajah Jakarta yang buram, Jakarta yang disesaki polusi, sarang nyaman bagi koruptor, rumah pepat kaum pengangguran, kawah pencetak generasi culas. Pada sajak Besok, penyair menyanyikan balada orang-orang tergusur yang tersingkir dan jadi tumbal “pembangunan”. Ia pun bersorak tentang hajat kaum buruh yang “menuntut” perhitungan upah dari sisi maksimum, agar mereka bisa menikmati esensi kemerdekaan. Hal itu dianggitnya dalam sajak Individu Merdeka. Bahkan, lewat sajak Liar, seolah-olah penyair menyeret kita dalam gairah menggebu untuk hidup benar-benar merdeka, baik dalam berpikir maupun dalam berbuat.

Maka Gemi lewat puisinya, seperti hajat Shelley dan Schelling, menawarkan “cinta” sebagai pintu keluar dari keburaman kota. Jakarta bukanlah kerajaan surgawi tempat “yang kuat” menjajah “yang lemah”. Bukan pula arena sabung tempat “yang kaya” dan “yang miskin” terus bertarung. Jakarta—juga kota besar lainnya—adalah kota cinta. Kota tempat semua manusia saling “memberi” dan “menerima”. Ya, cinta selalu mampu menghangatkan hati. Cinta bisa menata-letakkan semua kota sebagai rumah yang nyaman bagi siapa saja. Cintalah yang bisa “mengerem” kebiasaan pamer harta kaum “golongan atas” sehingga tidak menyulut rasa benci dan iri bagi “golongan bawah”. Cinta juga bisa melemahkan “libido korup” para pejabat. Dan, cinta pula yang bisa “menuntun” generasi penerus untuk lebih peduli pada masa depan ketimbang memuaskan hasrat berahinya. Memang tidak mudah, tapi tidak berarti tidak bisa.

Persoalannya, masihkah kita punya cinta?

Bukankah sebagian besar di antara kita lebih menjadikan harta benda sebagai “berhala” ketimbang cinta? Maka, tidak heran jika setiap demi setiap kota lebih sering mempertunjukkan adegan kekerasan, kejahatan, kemerosotan moral, dan penderitaan daripada kebahagiaan, kegembiraan, kebersamaan, dan kenikmatan. Gagasan cinta yang diusung penyair, seyogianya menjadi tawaran menarik bagi kita semua, laksana musafir kehausan yang menemukan oase, menenggak habis cinta itu lalu menebarkannya dalam seluruh sisi kehidupan sehingga semua kota mengucurkan kebaikan bagi seluruh warga, tanpa membedakan asal-usul dan latar personalnya.

Hanya saja, cinta yang ditawarkan Gemi, melalui kumpulan puisi pertamanya itu, terlalu melebar. Apalagi, beberapa puisi yang ditawarkan olehnya, relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Padahal, puisi berlatar potret sosial memiliki potensi untuk “menggetarkan” dan “menggentarkan”. Kita bisa melihatnya pada karya-karya Rendra, Emha, atau Wiji Thukul. Meski demikian, kita bisa mencerap Sirami Jakarta dengan Cinta sebagai pilihan cerdas untuk membebaskan diri dari belitan carut-marut kehidupan kota.

Bagaimanapun, penyair yang aktif berkesenian ini telah memilih “puisi” sebagai jalan hidupnya. Dan, mestinya diyakini, memilih menjadi “yang ini” berarti menyisihkan peluang untuk menjadi “yang itu”.

Maka, mari kita singkirkan berhala “harta benda”, dan menggantinya dengan berhala baru: “cinta”.

***

KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Jurnal Bogor, Riau Pos, Padang Ekspres,Fajar, Global, Sumatera Ekspres, Pedoman Rakyat, dll.

ARTIKEL BAHASA "Kata Sambung 'di mana'"

CATATAN: Tulisan ini karya seorang penelisik bahasa, Suhatri Ilyas, disebarluaskan pertama kali oleh Suara Karya (Sabtu, 1/08/2009) di Rubrik Bahasa dan Kita. Saya unggah di catatan ini dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.


KATA SAMBUNG "DI MANA"
Oleh Suhatri Ilyas


Frase preposisional di mana sering pula digunakan di luar arti kata yang membentuk frase tersebut, yakni “di” dan “mana”. Soalnya, berdasarkan arti kata di dan mana, frase tersebut sesungguhnya berarti interogatif tentang tempat, yakni di "mana suatu itu (misalnya) berada": di mana dia tinggal, alamatnya di mana, dan lain-lain.

Namun, tak jarang frase ini ditemukan dalam kalimat-kalimat dengan arti lain sebagai berikut: (1) Negeri di mana dia dibesarkan; (2) Pihak Kejaksaan Sumatera Barat di Padang dewasa ini menggarap puluhan perkara tidak pidana korupsi, di mana sebagian di antaranya sudah dalam tahap penuntutan; dan (3) Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, di mana secara tidak langsung telah memengaruhi usaha-usaha pemerintah. Dalam kalimat-kalimat yang sepenuhnya dikutip dari koran ini jelas bahwa frase di mana kurang atau malah tidak sesuai dengan arti sesungguhnya.

Dalam kalimat contoh pertama (1), meski menunjuk "tempat", tidaklah ada sifat interogatifnya, tidak mengandung pertanyaan, tetapi hanya informatif. Dengan demikian, seyogianya saja digunakan kata tempat itu sebagai penggantinya, dan itu jauh lebih lugas dan luwes. Lihat saja jadinya: Negeri tempat dia dibesarkan. Ya, kan?

Pada contoh kedua (2), frase di mana lebih pada fungsi sebagai konjungsi, berfungsi sebagai penyambung satu klausa dengan klausa lain untuk membentuk kalimat majemuk. Maka, frase di mana tersebut sebaiknya diganti dengan fungsi sebenarnya itu, yakni sebagai konjungsi, penyambung, dalam hal ini bisa kata yang, sehingga jadinya sebagai berikut: Pihak Kejaksaan Sumatra Barat di Padang dewasa ini menggarap puluhan perkara tidak pidana korupsi, yang sebagian di antaranya sudah dalam tahap penuntutan.

Kalau kita bicara dalam konteks bahasa jurnalistik, yang membutuhkan kalimat-kalimat yang jelas dan lugas, yang biasanya diwujudkan dalam kalimat-kalimat pendek, maka frase di mana bisa juga dihilangkan dan menjadikan kalimat majemuk itu dua kalimat tunggal. Dan ini jadinya memang jauh lebih jelas dan lugas. Lihat saja: Pihak Kejaksaan Sumatra Barat di Padang dewasa ini menggarap puluhan perkara tidak pidana korupsi. Sebagian di antara perkara itu sudah dalam tahap penuntutan. Ya, kan?

Contoh ketiga (3) kasusnya mirip dengan contoh kedua (2). Hanya saja kalimatnya lebih panjang. Pemecahannya juga sama, bisa dijadikan dua bentuk, yakni mengganti "di mana" dengan yang, atau menjadikannya dua kalimat tunggal. Jadi, kalimat tersebut menjadi: Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, yang secara tidak langsung telah memengaruhi usaha-usaha pemerintah. Atau: Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu. Itu secara tidak langsung telah memengaruhi usaha-usaha pemerintah.

Jadi, dalam hal ini kita menggunakan kalimat sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, baik sesuai makna leksikal (arti kata-kata) pembentuk struktur satuan bahasa (dalam hal ini frase) itu maupun makna struktural dalam kaitannya dengan kata-kata lain dalam struktur yang lebih besar.

Namun, bahasa kita sering direcoki persepsi-persepsi yang tidak berkaitan dengan aspek bahasa atau hanya sekadar meniru kaidah bahasa lain (untuk tujuan "kegayaan" atau berkesan "orang berpendidikan atau terpelajar") sehingga ketika diterapkan dalam bahasa kita, meski tampak benar, penggunaan itu jadi rancu. Itulah yang terjadi pada penggunaan di mana (atau juga yang mana) ini. Frase itu hanya terjemahan kata bahasa Inggris, yaitu which, yang dalam kamus memang berarti "di mana".

Penulis adalah penilik bahasa media massa.

ARTIKEL BAHASA "Penulisan Kata Depan Di"

CATATAN: Tulisan ini karya seorang penelisik bahasa, Suhatri Ilyas, disebarluaskan pertama kali oleh Suara Karya (Sabtu, 22/08/2009) di Rubrik Bahasa dan Kita. Saya muat di blog ini dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.


DICERAI, PENULISAN KATA DEPAN DI
Oleh Suhatri Ilyas


Aneh bin ajaib, masih ada yang belum bisa membedakan antara di sebagai kata depan (preposisi) dan di sebagai imbuhan (prefik), terutama dalam penulisannya. Aneh bin ajaib, karena yang tidak bisa membedakan itu termasuk wartawan, orang yang menggunakan bahasa sebagai alat dalam melakukan pekerjaannya. Ini ibarat petani yang tidak mengenal cangkul.

Lagi-lagi kasus ini ditemukan pada media (biasanya koran dan tabloid) yang tidak memiliki bagian bahasa (copi editor). Namun, tak tertutup ini juga terdapat pada koran yang sudah ada copi editor-nya. Entahlah, kenapa.

Perhatikan contoh yang diambil dari koran terkenal di Jakarta berikut: (1) Perampokan itu melibatkan orang dalam, diantaranya staf sekuriti. (2) Ketiga demonstran telah di lepas aparat sore harinya. (3) Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah memengaruhi usaha-usaha pemerintah.

Mari kita bahas satu per satu kasus penggunaan di dalam kalimat contoh yang sepenuhnya diambilkan dari media (koran) ini. Kata di pada contoh (1) tak ada penafsiran lain selain kata depan (preposisi). Ini karena kata yang mendampinginya (kata yang mengikutinya) adalah antara, yaitu kata yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, di itu mengandung pengertian yang langsung menunjuk tempat, yaitu antara. Maka, ia mesti ditulis terpisah.

Salah satu identitas di sebagai kata depan adalah artinya menunjuk pada tempat, seperti pada contoh tersebut, atau pada kutipan-kutipan berikut: di pasar, di dalam, di sini, di Jakarta.. Jelas sekali ini berbeda dengan identitas di lain, yakni sebagai pembentuk kata kerja, yang menunjukkan arti sebagai "perbuatan", "pekerjaan", atau yang lain-lain. Bandingkanlah contoh ini dengan contoh-contoh berikut: dibuat, dilanjutkan, dilempar, atau dijunjung. Dengan penjelasan ini sebenarnya sudah dapat diketahui kesalahan pada contoh (2), yakni Ketiga demonstran telah di lepas aparat sore harinya, yakni penulisan di lepas, yang membentuk kata kerja, harusnya ditulis disambung, yaitu dilepas.

Ini karena dalam EYD disebutkan bahwa kata depan, baik di maupun ke, ditulis terpisah atau tercerai dari kata yang ada di sekitarnya. Ini berbeda dengan imbuhan di- dan ke-. Sebagai imbuhan, satuan tata bahasa ini membentuk kata bersama kata dasar yang dilekatinya sehingga ia harus merapat atau ditulis serangkai dengan kata dasarnya.

Dari berbagai kasus kesalahan penulisan kata depan ini, penulis berkesimpulan ada dua penyebabnya. Yang pertama memang karena tidak tahu penulisan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai imbuhan. Sedangkan yang kedua, ini terjadi karena "selebor" saja. Dia tahu, tapi tidak peduli. Toh, tak ada bedanya, demikian mereka berkata seenaknya.

Sebenarnya kasus ini sungguh sangat sederhana, dan kalau masih ada yang salah, apalagi pada wartawan, itu sungguh menyedihkan. Pertama, menyedihkan karena sebagai wartawan, yang mencari nafkah dari penggunaan bahasa, ia justru belum memahami bahasa.

Orang seperti ini tulisan-tulisan yang ia buat cenderung "jorok". Sedangkan yang kedua, orang ini ibarat mengotori sendiri air yang dia gunakan untuk mandi. Betapa tidak, ia tahu, tetapi tak mau membuat yang terbaik.

Untuk contoh yang ketiga (3), yakni Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah memengaruhi usaha-usaha pemerintah, ada masalah di sini. Dari arti kata yang membentuknya jelas bahwa “di” di sini adalah kata depan, yang harusnya ditulis terpisah, karena artinya di (mana) menunjuk pada suatu tempat (interogatif). Namun, ada fungsi dalam konstruksi ini sebagai kata sambung (konjungsi), yang bukan menunjuk arti pada tempat, yang merupakan terjemahan dari konjungsi kata bahasa Inggris "which". Oleh karena itu, ada yang beranggapan penulisan “di” di sini digabung (disambung) dengan mana. Sayangnya, sejauh ini belum ada pembahasan lengkap tentang kata ini (kalau sudah ada, dimohonkan perkenaan Anda untuk diinformasikan).

Namun, hemat penulis, mengacu pada EYD dan filosofi penulisan ejaan bahasa Indonesia, seyogianya dimana itu (kalau dipakai, karena konstruksi di mana sebagai kata sambung dalam bahasa Indonesia yang baik sebaiknya tidak digunakan, lihat tulisan terdahulu) tetap ditulis terpisah, dicerai. Jadi, ya di mana.

@ Penulis adalah penelisik bahasa media massa

Jumat, 02 Oktober 2009

SAJAK "Kucari Kabarmu di Semua Berita"

kepada sahabatku, Wlly Lintang Rinaldi


Kabar tentang dirimu itu yang kubawa ke dunia baruku, dunia sepi dan keterkejutan pada setiap sudutnya. Ada yang mengecil dalam benakku, sebuah harap pada perjumpaan kemudian yang entah bisa atau tidak bakal terjadi lagi. Betapapun, perjalanan kabarmu telah menguarkan keindahan baru, "Kuharap kau baik-baik saja, di sepi setelah amuk gempa". Tapi, pada semua berita tak kunjung jelas sehat atau sakitmu. Lalu, aku berkeras tetap mencari kabarmu di semua berita, agar dunia sepiku tak terus-terusan diguncang gempa rindu.


Kabar tentang dirimu itu yang kubawa ke ruang lengangku: orang-orang mendobrak pintu dan berhamburan ke jalan-jalan. Ada yang terperangkap di bawah reruntuhan dengan sekelip sisa harapan, “Beri aku nyawa, satu lagi, Tuhan”. Bagaimanapun, tidak mudah bagiku menghapus jejakmu dalam telaga rinduku. Mengingatmu menjadi sebuah pekerjaan baru yang memiuh ulu hati, tapi selalu ingin kulakukan. Pertemuan di depan sebuah stasiun di tengah gemuruh kota, perjalanan ke rumah seorang sastrawan besar, dan kelelahan menandai setiap demi setiap kata, menjadi pintu yang selalu terbuka kapan saja dan terus-terusan memanggilku untuk memasukinya, “Di sini ada ingatan masa lalu, ingatan tentangmu.” Ingatan dan masa lalu itu menjadi dua jendela, tempat aku setia menunggangi sepi, sampai kelak kudapati sejumput saja berita ihwal selamatmu.


Kabar tentang dirimu itu yang kucari sepanjang hari sepanjang malam sementara gempa mengguncang rindu yang membatu di hati.


Kayla Pustaka, 01/10/2009

Kamis, 01 Oktober 2009

CERPEN "Taruhan Perawan"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Batam Pos pada Minggu (27/09/2009)


TARUHAN PERAWAN
Oleh Khrisna Pabichara


”AKU menantang kamu taruhan. Kalau aku kalah, aku akan belikan minuman favoritmu, es dawet,” tantang Rangga.

Ah, Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia, terlalu menyepelekan aku. Bahkan melecehkan kemampuanku. Ia lupa betapa sebulan belakangan ini aku rajin main master dengan peringkat lima bintang. Dan, demi tirakat mengalahkannya, aku mendobrak pemeo bahwa jarang ada perempuan gila bola. Malam ini, ketika sepi merangkak menuju separuh perjalanan, Rangga menantang akan mencarikan es dawet, jika aku mampu mengalahkannya. Mana ada penjual es dawet pukul dua belas malam? Harapanku untuk memberinya pelajaran semakin menggelora. Jangan pernah meremehkan perempuan. Mereka bisa apa saja. Termasuk mengandung dan melahirkan, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan oleh lelaki paling sakti sekali pun. Ya, aku akan memberinya pelajaran. Tepatnya, mempermalukan!

”Kalau aku kalah?” tanyaku.

”Aku bisa mencium keningmu selama yang aku mau!”

BUG! Bantal kursi tamu yang sejak tadi berada di pangkuku, segera berpindah tempat ke muka Rangga.

”Kamu keenakan...” protesku.

”Kata siapa, kalau aku kalah, bukan hal mudah mencari penjual es dawet jam dua belas malam kan?”

Tapi memberikan kening untuk dikecup seorang lelaki juga bukan hal mudah, rutukku dalam hati. Seorang perempuan timur, tidak akan pernah membiarkan dirinya disentuh lelaki yang bukan keluarganya, sekali pun hanya keningnya. Termasuk yang tidak boleh itu teman bermain sejak kecil. Atau pacar. Atau, bahkan calon suami. Sekali saja kening seorang perempuan jatuh ke bibir lelaki, maka ia akan menguasai perempuan itu kapan saja lelaki itu mau. Ya, pada mulanya kening, lalu pipi, lalu hidung, lalu bibir. Lalu ini, lalu itu!

Aku tidak mau!

Hanya saja, gairah menaklukkan Rangga begitu menggebu. Sebagai seorang gamer sejati, mengalahkan Rangga berarti mengalahkan jawara se-Jabodetabek. Selain itu, ini pertaruhan gengsi. Prestise. Nama baik. Bahkan, ini perang gender. Ya, gender. Bukankah lelaki kebanyakan menganggap perempuan satu atau dua tingkat di bawah mereka? Dan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ya! Rangga harus ketemu batunya. Harus dikalahkan. Harus dipermalukan!

Stik kontrol pun berpindah ke tanganku. Aku memilih Internazionale Milan. Selain karena aku suka Italia, aku juga Interisti sejati. Bangsat! Rangga memang meremehkanku. Lihat saja, ia memilih PSM Makassar. Kurang ajar. Siapa yang ia banggakan di kesebelasan Juku Eja itu? Syamsul Khaeruddin? Aldo Bareto? Atau Syamsidar? Tanpa bermaksud mengecilkan sepak bola Indonesia, tetapi adalah mustahil kesebelasan Indonesia melawan kesebelasan Italia. Seperti David melawan Goliath. Ya, Rangga memandang kemampuanku dengan sebelah mata. Ia harus menanggung risikonya. Harus!

Jangan remehkan perempuan, apalagi merendahkannya. Jangan! Rutukku, lagi-lagi dalam hati.

☼☼☼

PAGI hari, tersiar kabar ke seluruh penjuru kampung, bahwa Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia yang jadi rebutan hampir semua gadis se-Jabodetabek, baru saja mengalami kecelakaan. Seluruh isi Kampung Jawa gempar. Orang-orang pun datang berduyun, berkerumun di depan rumah sang idola. Kebanyakan para gadis menjelang puber pertama. Aku ingin tidak percaya. Tapi Rangga memang selalu bisa menarik perhatian. Seperti pagi ini, ia berhasil menguras perhatian para perawan. Ia sukses mengalahkan popularitas kampanye capres-cawapres yang beberapa minggu belakangan ini menguasai pemberitaan semua media. Ia bahkan sanggup menyingkirkan kasus pemukulan dan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Manohara sebagai fokus gosip di warung-warung, di rumah-rumah, di pasar-pasar, bahkan di media massa.

Begitulah, Rangga memang selalu penuh kejutan. Seperti pagi ini, sebelum matahari sempat bergegas naik sepenggalah. Ia, dengan tangan menggantung di depan dada terbebat kain kasa putih, tetap dengan wajahnya yang tenang, teduh, dan jantan. Belum lagi sepatah pun kata ia lontarkan, gadis-gadis itu merangsak, merapat hingga pagar tembok itu berderak seolah-olah bakal rubuh. Pada wajah-wajah mereka meremang sungkawa atas musibah yang menimpa Rangga. Mereka semua begitu mengkhawatirkan Rangga. Sangat peduli pada keselamatannya. Menyulut iri yang menggeming di hati.

Mengapa tidak hanya aku yang mencemaskan nasib Rangga?

Lihat, mata mereka dipenuhi ruap-ruap tanya. Membayang berderet prasangka tentang apa dan mengapa ada luka di siku Rangga. Mereka-reka cerita yang semua bermuara pada iba dan bela sungkawa. Menyunting deskripsi sendiri-sendiri tentang proses kecelakaan yang menimpa Rangga. Menyusun alur, mengatur kalimat, dan menata kata tentang kabar besar yang terus mencecar. Rangga terluka, kecelakaan, itulah judul beritanya.

Padahal, Rangga tidak terluka parah. Hanya luka kecil, menggores sikunya. Ya, hanya luka kecil. Tentu saja tidak membahayakan nyawanya, tapi gadis-gadis itu begitu cemas. Sangat waswas. Termasuk aku. Mengapa? Karena yang terluka adalah sang idola. Meskipun Rangga hanya luka biasa.

”Rangga.... kamu baik-baik saja kan?” seru seorang gadis berambut ikal dari sela kerumunan.

”Mengapa kecelakaan itu bisa terjadi, Rangga?”

”Di mana ....”

”Kapan ....”

”Apa....”

”Bagaimana ....”

Tuh kan, mereka menjadi laiknya wartawan pemburu berita, bertanya dengan pola 4W, yakni what, when, why, dan where. Bahkan, masih ditambah dengan 1H, how. Anehnya, Rangga seperti menikmati kecemasan gadis-gadis itu. Mukanya, yang memang ganteng, disetel mengenaskan dengan warna pucat memias. Matanya yang biasanya selalu memendar cahaya gairah yang memancar, sekarang meredup. Bibirnya bergerak lembut membentuk selengkung senyum. Senyum dikulum itu mampu meredam gelisah fans setianya.

”Saya tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil,” tutur Rangga dengan pelan. Khas.

Lihat, gadis-gadis itu begitu terpukau.

”Sebenarnya kecelakaan ini tidak perlu terjadi, andai saja ....”

DUG! Tiba-tiba jantungku memukul-mukul dadaku begitu keras. Detaknya serasa melaju cepat. Rasa cemas menyergapku dari segala arah. Dan waswas mengerubungiku dari semua penjuru. Rangga celingak-celinguk, seperti mencari seseorang. Dan, mata itu, berhenti di wajahku. Mengulitiku. Ah!

”Andai saja Tya ....”

Betul, kan? Akhirnya Rangga menyeret-nyeret namaku. Memaksa namaku memasuki arena skenarionya. Dan, lihat! Semua mata menoleh ke belakang, tertuju padaku. Dadaku mendadak terasa sesak. Lidahku kelu.

”Semalam,” tutur Rangga setelah semua mata kembali menoleh padanya, ”aku taruhan bola di playstation melawan Tya. Aku yakin pasti menang. Tya jarang main bola. Jadi aku berani menantang Tya taruhan. Kecuali Tuhan membantunya, Tya tak mungkin menang. Sedangkan, setahuku, Tuhan tidak hobi main playstation, apalagi taruhan. Bukankah Tuhan melarang segala bentuk dan jenis perjudian? Jadi, Tuhan takkan membantu Tya dan kemenangan pasti di tanganku. Artinya jelas, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Aku pasti bisa mencium kening Tya selama yang aku mau.”

Rangga menarik napas. Panjang. Dan lama. “Sedemikian yakinnya aku pasti menang, sehingga aku main sambil merem-melek. Lebih banyak menutup mata. Sementara waktu sepuluh menit melaju begitu cepat. Aku barulah berusaha mencetak gol di menit-menit terakhir. Aku mati-matian di masa injury time. Hasilnya, nihil. Bahkan di babak perpanjangan waktu pun aku tak berkutik. Tya bertahan total. Alhasil, aku kalah adu penalti 5-6. Karena kalah taruhan, aku harus mencari penjual es dawet jam dua malam. Aku lupa, mana ada penjual es berkeliaran menjajakan dagangan di tengah malam buta? Aku sudah mengitari Jakarta Selatan pada separuh malam tersisa. Dari Kebayoran Lama hingga Manggarai. Dari Tebet hingga Jagakarsa. Tak kutemui satu pun penjual es dawet. Di Lenteng Agung, seorang pengemudi ugal-ugalan menabrakku dari samping tepat pada saat menikung. Aku jatuh.”

Rasakan! Rutukku dalam hati. Pelan-pelan aku menarik diri. Pantas Rangga tidak nongol lagi di rumahku, padahal aku menunggunya semalaman, setelah berhasil memberinya satu fatwa berharga: jangan remehkan perempuan. Apalagi merendahkannya. Jangan!

☼☼☼

”AKU tidak butuh luka di sikumu. Aku minta es dawet seperti perjanjian kita sebelum bertanding semalam,” sengitku.

Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia, terhenyak. Sejenak. Lalu, ia tersenyum. Mungkin itu senyum termanis Rangga yang pernah aku lihat. Lalu, tangan kanannya yang tidak terluka, dan sedari tadi disembunyikan di punggungnya, bergerak perlahan mengulurkan setangkai mawar merah. Rangga memberiku setangkai mawar merah? Ini baru gosip. Berita ini pasti sanggup mematahkan hati para penggemarnya.

”Jangan kira aku bisa tunduk dengan mawar di tanganmu. Tidak! Aku tidak butuh setangkai bunga, Rangga. Baik itu bunga mawar maupun bunga deposito. Apa kamu pikir semua perempuan bisa kamu rayu semau hatimu?”

”Tya ...”

”Aku butuh komitmen. Kesetiaanmu pada janji. Itu saja!” Tandasku sambil membanting pintu, meninggalkan Rangga yang terkesima.

Jangan remehkan perempuan. Apalagi merendahkannya. Jangan!

☼☼☼


KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen, Jakarta. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Riau Pos, Padang Ekspres, Harian Fajar, Harian Global, Jurnal Bogor, Pedoman Rakyat, dll.

ARTIKEL BAHASA "Aliran dan Ajaran"

CATATAN: Tulisan ini karya seorang munsyi, Jos Daniel Parera, disebarluaskan pertama kali oleh Kompas (Jumat, 18/04/2008) di Rubrik Bahasa, halaman 15. Saya muat di blog ini dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.


ALIRAN DAN AJARAN

KATA aliran diturunkan dari alir, mengalir, seperti dalam sebari lagu “Bengawan Solo”: air mengalir sampai jauh. Apa makna aliran? Saya mencarinya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Pusat Bahasa, dan pada dasarnya bermakna ‘bergerak maju tentang air, hawa, udara, barang cair’.

Kalau saya berguru kepada kamus, saya akan mengalami kesulitan dalam memahami aliran dana, aliran sesat, dan beberapa aliran lain. Filsuf Ludwig Wittgenstein mengatakan, “jangan bertanya tentang makna sebuah kata, tetapi tanyakan pemakaiannya”. Nah, pertanyaan ini membantu karena pengalaman kita dalam bahasa Indonesia, makna kata dapat berkeliling bergantung pada siapa pemakainya, dalam konteks apa, dan kapan serta di mana dipakai.

Saya mencatat, aliran yang terakhir adalah aliran sesat. Ketika orang ramai-ramai dengan aliran sesat, muncul aliran dana BI dan BLBI. Yang sudah lama ada tentulah aliran kepercayaan.

Aliran sungai patut diwaspadai karena ia dapat beralih menjadi banjir. Aliran listrik dapat berhenti alias mati listrik, tetapi aliran listrik pun dapat menciptakan kebakaran. Aliran dana dapat mengakibatkan korupsi hingga koruptor berhadapan dengan kejaksaan, kepolisian, atau KPK dan Tipikor. Aliran darah dapat bikin stroke atau pingsan. Aliran-aliran ini tidak menuju ke tempat yang semestinya dan menghasilkan malapetaka. Jadi, aliran-aliran itu tergolong aliran sesat tingkat pertama.

Aliran berikut tidak berhubungan dengan aliran sesat tingkat pertama. Aliran yang kedua berhubungan dengan pandangan, sikap, haluan. Ke dalam aliran ini dimasukkan aliran kepercayaan, aliran politik, aliran filsafat. Agar aliran dalam pengertian kedua ini tidak mengalir ke kesesatan, maka aliran ini sebaiknya disebut ajaran.

Sistem politik Indonesia pada masa lalu dalam pengamatan Herbert Feith (1930-2001), Indonesianis terkemuka yang masyhur dengan bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, didasarkan pada aliran. Muncullah istilah politik aliran.

Pada mulanya, mazhab berhubungan dengan hukum dalam agama. Namun, seperti telah dicatat, pemakaian mazhab sudah diperluas ke bidang-bidang yang tidak berhubungan dengan agama, misalnya bidang politik, ekonomi, hukum, dan bidang ilmu pengetahuan yang lain. Dalam bidang ekonomi di Indonesia kita kenal mazhab Widjojo.

Akhir-akhir ini kita perlu mencermati penggunaan makna aliran sebab ia bisa sesat secara teknis dan sesat secara ideologis. Aliran yang bersifat ideologis dikatakan ajaran. Jadi, jika ajaran itu sesat, maka yang sesat adalah ajarannya. Yang perlu dijaga ialah jangan sampai mazhab dan ajaran yang muncul dianggap sesat lagi.

Apakah kita mau memilih aliran, ajaran, atau mazhab? Terserah! Yang harus dijaga adalah pilihan itu tidak mendapat atribut sesat.

JOS DANIEL PARERA, Munsyi