Minggu, 04 Oktober 2009

CERPEN "Doa Lelaki yang Kehilangan Ibu"

CATATAN: Cerpen ini dimuat di Jurnal Bogor, edisi Minggu, 4 Oktober 2009


DOA LELAKI YANG KEHILANGAN IBU
Oleh KHRISNA PABICHARA


HELGA Suryandari nama aslinya. Tak terlalu cantik dibandingkan ibu-ibu lain di desa Adi. Juga tidak terlalu kaya. Biasa saja. Tapi, orangnya sangat ramah. Karena keramahannya, warga sedesa mengenalnya. Bahkan, satu kecamatan. Tidak heran jika dia digelari Perempuan dengan Senyum Paling Ramah. Dia ramah pada siapa saja, kapan dan di mana saja. Karena itu dia dipanggil Ibu Ramah, bukan Ibu Helga. Karena itu pula dia dilamar partai—yang gemar menampung orang terkenal—untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan.

Sebenarnya, Adi menentang keinginan ibunya. Ya, tidak seorang pun anaknya setuju Ibu Ramah menerima pinangan partai itu. Tapi ibunya kadung mengiya. Dia yakin bakal melenggang dengan mudah ke kantor dewan di Cibinong, lalu dipanggil takzim dengan sebutan “anggota dewan yang terhormat”. Bambang, kakak Adi, berulang kali bolak-balik Tebet-Parung untuk menahan ibunya agar tidak mencalonkan diri. Sejak kecil, Bambang memang terkenal dekat pada ibunya. Tapi, kali ini Bambang tidak berhasil. Ia gagal total. Ibunya tidak goyah, tetap kukuh ingin maju. Kamu tidak perlu sibuk mengumpulkan dana kampanye, uang Ibu lebih dari cukup, kata ibunya.

Deasy, adik Adi, rela menginap di rumah Adi demi misi merayu ibunya agar mengundurkan diri dari pencalonan. Tapi, seperti juga Bambang, Deasy tidak berhasil membujuk ibunya. Kamu tidak perlu kalut Ibu akan depresi jika gagal, mental Ibu sudah terlatih, tukas ibunya.

Itulah sebabnya Adi membatalkan keinginan untuk memaksa ibunya berhenti menebar janji-janji kepada warga desa. Janji yang belum tentu kelak bisa dibayar tunai. Janji yang belum pasti bakal terpenuhi.

Tuhan, saya tak mau kehilangan Ibu!

☼☼☼

IBU Ramah begitu sumringah. Bibirnya yang tipis terus tersenyum. Dalam matanya—yang bulat tepat di bawah alis yang halus, dengan hidung ramping berbentuk indah—memerkah binar-binar cahaya. Dia begitu bahagia. Tak dinyana, perolehan suaranya di TPS 02, jarak 100 meter dari rumah Adi, mencapai 257 suara. Nyaris 100% dari jumlah wajib pilih di TPS itu.

Adi terperangah. Ia sama sekali tak berharap perolehan suara ibunya sebanyak itu. Ia lebih suka ibunya kalah. Ia berdoa agar ibunya tidak terpilih. Tuhan, saya tak mau kehilangan Ibu! Tapi, sepertinya Tuhan tidak mengabulkan doanya. Hampir semua TPS di Desa Iwul dimenangkan oleh ibunya. Hanya di satu TPS saja ibunya menderita kekalahan, di TPS 08. Kata ibunya, itu wajar. TPS itu berada di halaman rumah Kepala Desa Iwul. Sementara, istri Kepala Desa—Ibu Nana Nuryanah—adalah pesaing ibunya.

Anehnya, Adi malah berusaha membesarkan hati ibunya. Jangan sedih Ibu, siapa tahu di TPS lain suara Ibu besar, bisiknya. Ibunya tidak menjawab.

Malamnya, tim sukses melaporkan kemenangan mutlak Ibu Ramah di Desa Iwul. Tinggal menunggu laporan dari desa lain di Kecamatan Parung. Mendengar berita itu, Ibu Ramah langsung sujud syukur. Adi, yang tidak rela ibunya menang, mengelus dada. Hilang sudah hangatnya bercengkerama dengan Ibu, batinnya. Besoknya, Ibu Ramah menggelar syukuran. Nyaris seluruh warga desa tumpah ke rumahnya. Ramai sekali. Hasilnya, isi empat petak empang dan warung kelontong di beranda habis dikuras warga sedesa.

Sejak itu, ibunya tidak dipanggil Ibu Ramah lagi. Sekarang, orang sedesa mengganti panggilan ibunya menjadi Ibu Dewan.

☼☼☼


TIBALAH masa rekapitulasi suara di kantor KPUD Kabupaten Bogor. Waktu itu, hujan sedang sibuk-sibuknya mengepung Cibinong dari segala penjuru. Seolah ada yang menghentak di rongga dada Adi ketika telinganya lamat-lamat menangkap suara anggota KPUD mengumumkan hasil perolehan suara setiap caleg, termasuk ibunya. Ketika ibunya asyik membilang setiap demi setiap peluang, Adi malah sibuk merapal doa agar ibunya tidak terpilih.

Tuhan, saya tak mau kehilangan ibu!

Tuhan mengabulkan doanya. Suara ibunya hanya terpaut tiga angka dari Ibu Nana. Ibunya meraup 4.405 suara, sedangkan Ibu Nana mengumpulkan 4.408 suara. Jadi yang lolos Ibu Nana. Bukan Ibu Dewan, ibunya. Ibunya tidak bisa menerima kekalahan. Ibunya menuding terjadi kecurangan. Ada penggelembungan suara.

Tapi ibunya tak punya cukup bukti.

☼☼☼

SEJAK itu, ibunya mulai bertingkah aneh. Jadi pendiam, tapi tiba-tiba bisa ngakak, terbahak-bahak. Tak lama berselang, air matanya membanjir. Lain waktu, bergaya bak juru kampanye nasional, berdiri tegap di atas meja, berteriak membakar semangat massa, berjoget ria seperti dulu sering dilakukannya ketika sedang berkampanye di atas panggung.

Adi kelabakan. Tidak pernah ia duga sebelumnya, ibunya akan menderita tekanan batin karena kegagalan itu. Tahu bakal seperti itu, ia akan mendoakan agar ibunya menang. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tuhan terlanjur mengabulkan doanya.

Ini malam ketiga ibunya menderita kelainan jiwa. Penyakit gila! Penyakit yang sangat dibenci Adi. Sama bencinya ia pada rumah sakit. Adi benci rumah sakit karena bau karbolnya, sengit obatnya, senyum palsu susternya, dan biayanya yang mencekik leher. Adi juga sangat benci orang gila karena bau badannya, kucel rambutnya, dekil tubuhnya, dan seringai busuk yang memperlihatkan gigi berwarna kuning. Jangankan duduk berdekatan, bertemu atau bersisihan jalan saja, ia tak sudi.

Namun, apa yang harus ia lakukan jika yang gila itu ibunya? Pernah terbetik keinginan berlagak pilon atau pura-pura tidak hirau, seperti kakak dan adiknya. Tapi, ah! Tidak mungkin. Saya harus membunuh rasa benci, batinnya. Sebenci apa pun ia pada orang gila, harus ia bunuh rasa benci itu ketika yang gila ibunya. Hitung-hitung sebagai tanda bakti. Bodoh, untuk apa mengurus orang gila, tiba-tiba ada suara lain memenuhi pori-pori hatinya. Dia kan ibu saya, bantah hati kecilnya, tidak mungkin saya biarkan begitu saja. Suara itu membantah lagi, salah sendiri mendoakan ibumu kalah. Ingin rasanya Adi berteriak sekeras mungkin, biar perbantahan di hatinya terhenti. Dasar lelaki dungu, anak durhaka. Suara itu muncul lagi. Diam, bangsat!

Anehnya, suara-suara itu tidak mau diam.

☼☼☼

MUSTAHIL membiarkan ibunya terus di rumah. Tidak sehat bagi anaknya. Juga, istrinya. Apalagi bagi orang-orang sedesanya yang mulai nyinyir. Orang sedesa yang dulu memanggil ibunya dengan Ibu Ramah. Lalu Ibu Dewan. Dan, sekarang jadi Ibu Gila. Ibu-ibu yang dulu rajin berkumpul di rumahnya, sekarang transmigrasi ke rumah caleg terpilih, Ibu Nana. Mereka yang dulu suka bermanis muka setiap berpapasan di jalan, sekarang melengos membuang muka.

Begitulah watak manusia. Habis manis sepah dibuang. Asli!

☼☼☼


ADI benci rumah sakit. Apalagi rumah sakit jiwa. Tapi, semua harus dijalaninya dengan ikhlas. Masih setengah lima subuh ketika mereka tiba di rumah sakit. Halaman parkir sangat lengang. Hanya ada satu mobil diparkir di sana, mobil ambulans yang kuyup diguyur embun. Tak ada yang menyambut mereka ketika tiba di depan pintu masuk. Suasana sangat sepi.

Adi membuka sendiri pintu rumah sakit. Tak ada siapa-siapa.

Ia memaksakan diri berjalan di lorong selebar dua meter itu. Lantai berdetak setiap sepatunya menyentuh keramik putih polos. Matanya melirik kanan-kiri. Di bangku taman, seorang lelaki tua berbadan ceking dengan rambut penuh uban, duduk khusyuk di atas rumput taman. Ia pasti orang gila, batin Adi. Tidak mungkin orang waras mau mandi embun. Akhirnya Adi sampai ke ruang kantor. Jarak sepanjang lima meter itu seakan ditempuhnya selama berjam-jam. Lambat sekali. Ia lalu mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Perlahan ia mendorong pintu.

Di meja pendaftaran, seorang suster sedang tertidur. Pulas.

Jangan-jangan ia juga orang gila. Adi membangunkan suster itu dengan pelan. Suster itu kaget. Terhenyak. Mengusap mukanya. Merapikan bajunya, lalu berkirim senyum. Sok akrab, gerutu Adi dalam hati. Ia lalu mengisi formulir, sambil sesekali melirik wajah suster. Cantik juga suster ini, batinnya. Parasnya seperti orang Korea. Wajahnya putih, bersih. Matanya sipit, antik. Bibirnya mungil, menarik. Dan, ia suka! Setelah memenuhi semua ketentuan, formulir itu diserahkannya kepada suster berwajah Korea itu.

“Korban demokrasi?” tanya suster itu.

Adi mengangguk. Jengah.

“Hubungan Ibu Helga dengan Bapak?”

“Saya anaknya,” jawabnya lirih. Risih.

“Kenapa tidak dibawa ke padepokan?”

“Ibu saya sedang tidak ingin belajar silat…”

Suster itu tersenyum. Indah sekali. Dekik di kedua pipinya terlihat jelas. “Semua urusan administrasi telah selesai. Pasien segera ditangani pihak rumah sakit. Bapak boleh pulang.”

Pulang? Tadi Adi memang ingin segera pulang. Sekarang? Tidak lagi. Ia sedang sibuk mematut diri dan membayangkan bentuk tubuh suster itu.

☼☼☼

SIANG ini, Adi harus kembali ke rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Kabarnya, ibunya berulah. Adi sudah coba menghubungi kakaknya, Bambang. Tapi Bambang sama sekali tak peduli. Katanya, ia sedang sibuk mengurusi restoran cepat sajinya. Lagi pula, kakaknya itu terlanjur marah, karena sarannya supaya tidak nyalon, tidak digubris oleh ibunya. Adi tertawa perih. Dalam hati Adi berkata, kakaknya pasti enggan dijuluki anak orang gila.

Akhirnya, ia sendiri yang ke rumah sakit.

Berbeda ketika membawa ibunya tadi pagi, siang ini rumah sakit sangat ramai. Menemukan tempat parkir saja lama sekali. Cuaca mendung yang menyelimuti Bogor ternyata tidak cukup mendinginkan suasana rumah sakit. Barangkali suster berwajah Korea itu masih duduk di meja pendaftaran, batin Adi. Ternyata, harapannya tidak terpenuhi. Sudah ada suster lain di sana. Tapi, ini juga menarik. Di rumah sakit ini ternyata banyak perempuan menarik.

Adi langsung masuk ke bangsal tempat ibunya dirawat. Bangsal khusus yang dipersiapkan bagi para korban pemburu kursi. Bangsal yang baru diresmikan sebulan sebelum pesta demokrasi berlangsung. Ibunya dirawat di kamar tiga. Melihat ibunya, tanpa terasa air mata Adi meleleh. Ia merasa jadi penyebab ketakwarasan ibunya. Ia menyesal telah berdoa demi kegagalan ibunya. Ia juga menyalahkan Tuhan yang mau begitu saja mengabulkan doanya. Tuhan tidak salah, bantah hatinya. Tiba-tiba saja Adi tidak tega membiarkan ibunya terus mendekam di kamar ini, tak lebih bagus dari penjara. Meski ada tempat tidur mewah, televisi, dan ruangan dengan pendingin yang bisa diatur sekehendak hati.

Tapi, apa manfaat semua itu bagi ibunya?

“Pak, ada kemungkinan Ibu Helga bakal dirawat agak lama di sini…”

Tiba-tiba terdengar suara lembut, suara yang semalam disimpan dengan baik oleh ingatannya. Semenjak remaja, belum pernah sebelumnya Adi merasa jantungnya berdegup sekeras itu ketika melihat perempuan. Secantik apapun.

“Pak, saya Sandra,” kata suster berwajah Korea itu.

Adi mengulurkan tangan. Ternyata nama suster itu Sandra, keren juga.

“Ibu Helga menderita kerusakan syaraf permanen, butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.”

Adi merasakan debar di dadanya makin tak beraturan. Adi bahkan tidak bisa menangkap apa yang sedang disampaikan suster berwajah Korea itu, karena degup jantungnya yang berlebihan. Tapi, ia suka!

Tiba-tiba, ibunya naik ke tempat tidur. “Menjadi wakil rakyat itu amanah. Bagi saya, partai itu hanya jembatan. Jika saya terpilih, kepentingan rakyat akan didahulukan setiap mengambil keputusan. Jangan tergoda bujuk rayu, penampilan, atau hadiah. Apalah artinya uang sepuluh ribu jika menggadaikan masa depan kita selama lima tahun. Karena itu, pilih yang pasti. Pilih nomor tiga, Helga Suryandari!”

“Buuu…!” Adi menggelosor ke lantai. Air matanya tak terbendung lagi. Ia merasa telah kehilangan ibunya, karena Tuhan mengabulkan doanya.

Tuhan, sembuhkan Ibu saya!

☼☼☼


KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen, Jakarta. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Jurnal Bogor, Media Indonesia, Riau Pos, Batam Pos, Padang Ekspres, Fajar, Global, Sumatra Ekspres, Pedoman Rakyat, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar