Senin, 11 April 2011

[ESAI] Rumah Kata, Rumah Budaya

Catatan: Disampaikan di peluncuran Rumah Kata Bogor, Sabtu (9/4/2011).


Rumah Kata, Rumah Budaya
Oleh Khrisna Pabichara


Rumah adalah tempat terindah untuk meneduhkan jiwa, menenangkan hati, dan melepaskan penat yang mengimpit sepanjang hari. Tentu jika iklim yang mengelimuni rumah adalah cinta, bukan amarah yang hawanya bisa pans tiba-tiba. Rumah adalah oase yang paling dirindui para pejalan, bukan sekadar tempat meluruskan kaki atau mengeringkan peluh, melainkan sebagai perlambang eksistensi, penanda bahwa diri masih tetap ada. Rumah adalah sekolah paling sangkil untuk menanamkan pekerti dan membangun karakter diri, dengan keluarga sebagai pendidik dan cinta sebagai alas kurikulumnya.

Kata adalah sekumpul huruf yang bergerak dinamis menjadi setapung kalimat, kelak bisa kita maknai dengan segenap tafsir yang kita punyai. Kata adalah senjata santun untuk membentuk eksistensi: pencandra kemewaktuan, penanda kemengadaan dan tapal batas keberadaan. Kata tak semata rentet huruf yang bisa dieja dan diberi arti, tapi ialah alat bagi prajurit kebudayaan dan kehidupan. Dari katalah bermula kalimat, menjadi buku yang ruasnya tak pernah habis kita singkap.

Bermula dari sana hajat penamaan lembaga yang malam ini hendak bersama-sama kita absahkan. Rumah Kata, lembaga nirlaba yang darinya dikehendaki beragam aktivitas berkehidupan: dialog, pelatihan, pengembangan kecakapan, dan lainnya. Rumah Kata, upaya serius untuk bersumbangsih dalam pembangunan bangsa, terutama pengembangan kecakapan emosional dan spiritual: padepokan tala dengan harmoni selaras antara usaha “mengisi hati dan kepala”.

Dari latar pikir itu, jelas kiranya betapa kita butuh kehadiran lembaga-lembaga sejenis, ketika perhelatan negeri ini begitu marak dengan kabar-kabar miring: rumah “wakil rakyat” ngotot dipermegah manakala “rumah rakyat yang diwakilinya” banyak yang tak layak huni, pemimpin negara yang masih berkesah tentang upah rendah yang diterimanya pada saat banyak rakyat sibuk mempertahankan nyawa karena ketidak-jelasan pendapatan, kepercayaan nasabah dikemplang begitu saja oleh oknum yang sibuk memplastikkan tubuhnya, tahanan yang bisa pelesir ke mana-mana ketika yang lain malah “mati rasa” di penjara, dan peristiwa lain yang tak berhenti mencorengkan aib di kening bangsa.

“Negara salah urus,” begitu sindir rakyat kecil di atas tumpukan sampah, dekat kediaman saya di Parung. “Rakyat salah pilih,” begitu esensi keluhan Gemi Mohawk dalam antologi sajak megaknya, Indonesianus. “Kita kerap salah menafsirkan makna perbedaan,” begitu sari pikiran Hanna Fransisca lewat kumpulan puisinya, Konde Penyair Han. Dan apaada akhirnya, Muhidin M. Dahlan menyebut negeri ini lewat kalimat miris, “Negeri Tuna Sejarah”.

Cobalah sejenak saja kita renungkan konsep pembangunan yang dulu ditata pemerintah Yunani. Athena dibangun dari alas filsafat, darinya lahirlah para pemikir yang namanya abadi hingga kini. Sparta dibangun dari konsep “kebadanan”, maka perang demi perang berhasil mereka menangkan. Hari ini, buah pikir Plato, Socrates, atau pemikir Athena lainnya masih bisa kita manfaatkan, sementara Sparta hanya mewariskan “semangat” untuk melecut diri, semisal ajakan, “Ayo, lebih spartan!”.

Lalu, mari kita alihkan ke rencana pembangunan gedung mewah “wakil rakyat” yang kini menuai banyak kecaman. Mungkin karena para wakil yang kita pilih itu jarang baca filsafat, mereka pun mayoritas tidak paham “mana yang semestinya didahulukan, mana yang semestinya diperjuangkan”. Keuletan mereka membela sarana spa, fitnes, dan kamar pribadi tak sebanding lurus dengan ketangkasan mereka dalam membela usulan pembangunan sarana vital bagi masa depan bangsa. Sebut contoh konkret dana yang dianggarkan negara—lewat Pemprov. DKI Jakarta—untuk merawat koleksi langka di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Tentulah jomplang jika angka Rp 1,16 triliun kita bandingkan dengan angka Rp 50 juta.

Bertambah miris hati kita jika membincangkan sengkarut “orang-orang besar”: pertikaian PSSI, kasus korupsi yang patah tumbuh hilang berganti, tarik-menarik partai di koalisi, dan berangkai kasus lain yang menghiasi media massa ataupun media sosial.

Tentulah mengeluh saja tidak menyelsaikan masalah. Kita harus berbuat, harus melalukan sesuatu, seberapa pun kecilnya dampak dari perbuatan itu. Inilah pula yang melatari hajat Erha Limanov, Jafar Fakhrurrozi, Ifan Ahab Zoer, Rudy Ginting, dkk untuk membentuk sebuah institusi bernama Rumah Kata. Lembaga yang dirancang sebagai tempat untuk berbincang, bersantai, belajar dan mengembangkan diri ini, boleh juga dinamai Rumah Budaya, tempat sekumpulan orang membincangkan kebudayaan.

Hajat mulai yang sangat layak kita dukung, kita apresiasi, dan kita bantu.

Semoga pula semakin banyak orang atau lembaga yang terpikat hatinya untuk melakukan hal sama, melakukan banyak hal untuk menghindari keterpurukan bangsa.

Bogor, April 2011

Minggu, 10 April 2011

[ESAI] #Koinsastra, Melawan Pembiaran

Catatan: Esai ini dimuat di Kompas Minggu, edisi 10 April 2011, halaman 20. Semoga Sahabat fesbuk berkenan membacanya. Salam #koinsastra.


#Koinsastra, Melawan Pembiaran
Oleh: Khrisna Pabichara


Bermula dari kecemasan Pengurus Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, lewat Ajip Rosidi, jika hibah Pemprov. DKI Jakarta tidak segera dikucurkan dalam tenggat dua bulan, lembaga itu akan gulung tikar. Kekhawatiran terhadap penutupan lembaga yang didirikan oleh Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, itulah yang mendorong lahirnya gerakan #Koinsastra.

Fenomena “koin” sebagai wujud kepedulian melahirkan pertanyaan menggelitik: seberapa banyak yang bisa dilakukan lewat pengumpulan receh demi receh? Lalu, apakah gerakan itu akan bertahan lama dan bisa memastikan PDS H.B. Jassin tetap bertahan dan bernyawa?

Semenjak dilansir pada 18 Maret 2011, #Koinsastra menuai banyak silang pendapat. Ada yang aktif mendukung, ada yang secara diam-diam berpartisipasi, ada yang mencibir dan menuding sebagai sesuatu yang sia-sia, ada yang bahkan memboikotnya. Apa pun bentuknya, silang pendapat itu membuktikan bahwa keberadaan #Koinsastra mulai dilirik, dilihat, bahkan ditatap dengan saksama oleh banyak lapisan masyarakat. Dan, pada gilirannya, semakin banyak pihak yang mengetahui atau bersimpati pada nasib PDS H.B. Jassin. Dari pedagang asongan di Stasiun Senen hingga pengusaha sekaliber Ir. Ciputra secara spontan menyatakan kepeduliannya. Dari warga negara yang berdiam di wilayah Nusantara hingga yang tengah bermukim di luar negeri juga peduli.

Fenomena ini menguatkan pernyataan penyair Warih Wisatsana bahwa #Koinsastra adalah gerakan moral untuk melawan tradisi "pembiaran" yang dapat menyebabkan luluh lantaknya sejarah peradaban bangsa.

Literasi

Lantas, seberapa banyak yang bisa dilakukan lewat pengumpulan koin itu? Lima program yang ditawarkan #Koinsastra, sejatinya, adalah jawaban konkret betapa gerakan ini butuh ruang lapang dan waktu lama, bukan sekadar kegiatan temporal yang bisa tunai hanya dalam tempo satu-dua bulan. Pertama, program “wisata sastra” bagi siswa sekolah menengah sebagai upaya lebih mengintimkan sastra dengan generasi muda dirancang selama dua tahun. Kedua, menjadikan PDS H.B. Jassin sebagai “rumah teduh” bagi komunitas seniman dan budayawan. Ketiga, menggalang relawan untuk membantu kegiatan pendokumentasian juga bakal menyita banyak waktu. Keempat, program digitalisasi literatur diyakini tidak bakal selesai dalam tempo yang singkat. Dan, kelima, penerjemahan naskah ke dalam beberapa bahasa pasti akan berlangsung lama.

Idealnya, upaya penyelamatan PDS H.B. Jassin memang tak bisa dibebankan kepada satu pihak saja, melainkan kerja kolektif yang niscaya melibatkan banyak komponen bangsa. Itulah mengapa salah satu alas pijak gerakan #Koinsastra adalah seruan bagi seluruh komponen bangsa untuk lebih peduli pada kekayaan literasi, sejarah, dan peradaban bangsa.

Sejarah telah menunjukkan betapa banyak kekayaan intelektual kita yang kini terpisah jauh dari tanah muasalnya—tersimpan di Leiden, misalnya—dan tentulah kita tidak berniat mengulang kesalahan itu. Kecenderungan pembiaran sebenarnya bukan hanya menimpa khazanah sastra, tetapi juga pada jejak-jejak sejarah dan peradaban kita. Sekadar menyebut contoh, kita tak lagi bisa menyaksikan kemegahan atau keruntuhan Sriwijaya karena tak banyak artefak yang tersimpan atau terawat sebagaimana mestinya.

Kunjungan

Usai kunjungan mendadak Gubernur DKI Jakarta, Fawzi Bowo, ke PDS H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, gerakan ini malah makin marak. Padahal, gubernur kedua—setelah Ali Sadikin—yang menyambangi pusat penyimpanan dokumen sastra langka dan bersejarah itu telah meminta maaf dan mengakui kelalaian penandatanganan surat keputusan yang berisikan hibah bagi PDS H.B. Jassin, yang “cuma” Rp 50 juta untuk tahun 2011.

Uniknya, publik menengarai kelalaian itu bukan kesalahan tak disengaja, melainkan akumulasi dari rentetan kebiasaan (baca: tradisi) “pembiaran”. Inilah yang memicu semakin suburnya gerakan #Koinsastra dan menyebabkan banyak pihak yang bersedia menampung koleksi PDS H.B. Jassin kalau Pemprov. DKI Jakarta masih “setengah hati” memperlakukan istana sastra itu.

#Koinsastra memang bukan jaminan kelanggengan PDS H.B. Jassin. Setidaknya, masyarakat makin peduli dan mulai bergerak melawan “tradisi” pembiaran itu. Masyarakat makin melek terhadap “mana yang seharusnya dibela” atau “apa yang semestinya didahulukan”. Masyarakat makin mengamini keyakinan H.B. Jassin bahwa penyelamatan dokumentasi sastra adalah “pekerjaan serius” untuk memperpanjang, memperdalam, dan memperluas ingatan kolektif bangsa.

Masyarakat juga telah menunjukkan bahwa cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” tak bisa dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Bukan karena meragukan kemauan atau kemampuan pemerintah, melainkan karena pemerintah kerap lebih peduli pada sektor “yang menghasilkan dalam jangka singkat” dan cenderung abai pada “yang hasilnya belum atau tak tertakar jumlah atau besarannya”.

Coba kita tengok museum-museum yang nasibnya semakin suram dan tak menentu. Lihat pula tempat-tempat bersejarah yang nuansa heroiknya kalah oleh bau pesing. Tak terurus, tak terawat. Seolah—atau memang—sengaja dilupakan! Bandingkan dengan fasilitas mewah yang disediakan bagi para petinggi negara, yang masih layak pakai empat-lima tahun malah dipoles semegah-megahnya, sampai-sampai beberapa penghuninya sibuk mendengkur di saat mereka semestinya tekun membincangkan hajat hidup rakyat banyak.

Gerakan #Koinsastra memang—sejatinya—simbol belaka. Hajat terbesarnya adalah keinginan untuk memiliki pusat dokumentasi yang refresentatif dan menyenangkan, yang aman bagi penyimpanan dokumen dan nyaman bagi siapa saja yang datang bertandang. Angka Rp 110.263.300 dan donasi peralatan senilai Rp 47.500.000 belumlah memadai untuk hajat besar itu.

Konser #Koinsastra di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (13/4) pukul 19.30, dengan melibatkan banyak artis, seniman, dan budayawan adalah seruan santun agar lebih banyak lagi pihak yang berkenan menyalurkan bantuannya.

Pada akhirnya, drama pembiaran terhadap aset bangsa harus segera diakhiri. Budaya menghargai “laku dokumentasi” harus lebih dimarakkan. Ayo, kita lawan tradisi pembiaran! (*)

Khrisna Pabichara, novelis dan salah seorang penggagas #Koinsastra