CATATAN: Tulisan ini, yang dimuat di Sumatera Ekspres (Minggu, 04/10/2009) pada rubrik Horison, dimaksudkan untuk menelisik Kumpulan Puisi "Sirami Jakarta dengan Cinta" karya Gemi Mohawk.
BERHALA BERNAMA CINTA
Oleh: KHRISNA PABICHARA
PUISI, sejatinya, selalu menghargai keragaman tafsir dan perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Bagi sebuah puisi, tidak ada “kebenaran tafsir” yang mutlak. Setiap umatnya—pembaca yang menikmatinya—berhak menerjemahkan makna yang diusung sebuah puisi berdasarkan “kuasa baca” yang dimilikinya. Hal itu dimungkinkan karena puisi adalah sebentuk ekspresi yang akan menjadi berarti sejauh ekspresi itu dapat diinterpretasikan berdasarkan intuisi penikmatnya. Tanpa interpretasi semacam itu, puisi hanya tumpukan kata, atau malah sajian data, yang dipindahkan dari realitas kehidupan semata. Tentu saja, setiap “penyajak” sebagai “pemberi” mengharapkan pembaca sebagai “penerima”, dapat menyingkap tabir imajinasinya lewat interpretasi yang melibatkan “ruh rasa”.
PADA 1840, seorang penyair kawakan Inggris,Percy Bysse Shelley, lewat esainya The Defense of Poetry menyangkal keras tuduhan Thomas L. Peacock tentang puisi yang tak lagi berguna di tengah kemajuan sains. “Puisi bersumber dari imajinasi,” kata Shelley, “fakultas kreatif manusia yang berada di atas fakultas nalar-analitik kebendaan semata.” Sebagai salah satu figur kunci kaum romantik Inggris, Shelley meletakkan penyair sebagai legislator dengan sensibilitas yang mampu mengubah segala hal menjadi indah, sekaligus meluruhkan cara berpikir konvensional. Karena itu, kehadiran puisi sangat mendesak, terlebih ketika pengetahuan empiris lewat pendekatan matematis-mekanis lebih diutamakan. “Puisi menawarkan kesenangan dan keteraturan pada dunia,” imbuh Shelley.
Sementara itu, pada penghujung abad ke-18, kaum romantik Jerman—dipelopori oleh Schlegel dan Schiller—mulai meneruka jalan baru untuk keluar dari belitan “krisis modernitas”. Mereka mengajukan puisi sebagai pintu keluar. Bukan sains atau filsafat. Juga bukan agama. Bagi mereka, puisi merupakan pintu keluar dari perpecahan kreatif dan intelektual manusia modern. Bahkan, Schelling dengan tegas menyatakan, “Seperti aliran sungai, filsafat dan ilmu pengetahuan akan mengalir pulang ke dalam lautan puisi.” Artinya, puisi nomor satu, karena esensi puisi bersumber dari “mata air kehidupan” yang diracik bersama cinta melalui mesin kreatif bernama estetika.
Itulah yang dilakukan Gemi Mohawk dalam mendedahkan ihwal kota dan cinta dalam sekumpulan sajaknya, Sirami Jakarta dengan Cinta. Penyair kelahiran Palembang ini menawarkan Jakarta sebagai “kolam bening” tempat semua kota di nusantara bisa mengacakan wajahnya. Jakarta, kota yang menjadi “gula rebutan” para prajurit semut, telah menjelma menjadi pulau persinggahan yang menawan bagi pemuja “berhala” duniawi—tempat yang pas untuk menuntaskan hasrat konsumtif. Kebiasaan berbelanja guna memenuhi kebutuhan hidup bukan karena dorongan kebutuhan (need) yang bersifat material, melainkan karena desakan hasrat (desire) dan keinginan (want) yang bersifat simbolik. Akibatnya, segala cara dihalalkan untuk memenuhi hasrat dan keinginan itu. Jika perlu, gosok-ke-kanan-gesek-ke-kiri, termasuk korupsi.
Lewat Sirami Jakarta dengan Cinta, Gemi menampilkan wajah Jakarta yang buram, Jakarta yang disesaki polusi, sarang nyaman bagi koruptor, rumah pepat kaum pengangguran, kawah pencetak generasi culas. Pada sajak Besok, penyair menyanyikan balada orang-orang tergusur yang tersingkir dan jadi tumbal “pembangunan”. Ia pun bersorak tentang hajat kaum buruh yang “menuntut” perhitungan upah dari sisi maksimum, agar mereka bisa menikmati esensi kemerdekaan. Hal itu dianggitnya dalam sajak Individu Merdeka. Bahkan, lewat sajak Liar, seolah-olah penyair menyeret kita dalam gairah menggebu untuk hidup benar-benar merdeka, baik dalam berpikir maupun dalam berbuat.
Maka Gemi lewat puisinya, seperti hajat Shelley dan Schelling, menawarkan “cinta” sebagai pintu keluar dari keburaman kota. Jakarta bukanlah kerajaan surgawi tempat “yang kuat” menjajah “yang lemah”. Bukan pula arena sabung tempat “yang kaya” dan “yang miskin” terus bertarung. Jakarta—juga kota besar lainnya—adalah kota cinta. Kota tempat semua manusia saling “memberi” dan “menerima”. Ya, cinta selalu mampu menghangatkan hati. Cinta bisa menata-letakkan semua kota sebagai rumah yang nyaman bagi siapa saja. Cintalah yang bisa “mengerem” kebiasaan pamer harta kaum “golongan atas” sehingga tidak menyulut rasa benci dan iri bagi “golongan bawah”. Cinta juga bisa melemahkan “libido korup” para pejabat. Dan, cinta pula yang bisa “menuntun” generasi penerus untuk lebih peduli pada masa depan ketimbang memuaskan hasrat berahinya. Memang tidak mudah, tapi tidak berarti tidak bisa.
Persoalannya, masihkah kita punya cinta?
Bukankah sebagian besar di antara kita lebih menjadikan harta benda sebagai “berhala” ketimbang cinta? Maka, tidak heran jika setiap demi setiap kota lebih sering mempertunjukkan adegan kekerasan, kejahatan, kemerosotan moral, dan penderitaan daripada kebahagiaan, kegembiraan, kebersamaan, dan kenikmatan. Gagasan cinta yang diusung penyair, seyogianya menjadi tawaran menarik bagi kita semua, laksana musafir kehausan yang menemukan oase, menenggak habis cinta itu lalu menebarkannya dalam seluruh sisi kehidupan sehingga semua kota mengucurkan kebaikan bagi seluruh warga, tanpa membedakan asal-usul dan latar personalnya.
Hanya saja, cinta yang ditawarkan Gemi, melalui kumpulan puisi pertamanya itu, terlalu melebar. Apalagi, beberapa puisi yang ditawarkan olehnya, relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Padahal, puisi berlatar potret sosial memiliki potensi untuk “menggetarkan” dan “menggentarkan”. Kita bisa melihatnya pada karya-karya Rendra, Emha, atau Wiji Thukul. Meski demikian, kita bisa mencerap Sirami Jakarta dengan Cinta sebagai pilihan cerdas untuk membebaskan diri dari belitan carut-marut kehidupan kota.
Bagaimanapun, penyair yang aktif berkesenian ini telah memilih “puisi” sebagai jalan hidupnya. Dan, mestinya diyakini, memilih menjadi “yang ini” berarti menyisihkan peluang untuk menjadi “yang itu”.
Maka, mari kita singkirkan berhala “harta benda”, dan menggantinya dengan berhala baru: “cinta”.
***
KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Jurnal Bogor, Riau Pos, Padang Ekspres,Fajar, Global, Sumatera Ekspres, Pedoman Rakyat, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar