Rabu, 30 Juni 2010

KOLECER & HARI RAYA HANTU: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal

Catatan: Penulis yang anggitan ceritanya termuat di Kolecer & Hari Raya Hantu: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal masing masing Benny Arnas, Cessilia Ces, Gunawan Maryanto, Hanna Fransiska, Iwan Soekri, Khrisna Pabichara, Nenden Lilis A, Noena, Oka Rusmini, Sastri Bakry, Saut Poltak Tambunan.


Kolecer & Hari Raya Hantu: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal

BERANGKAT dari beragam latar belakang pendidikan, profesi, dan usia, buku ini diikat oleh satu simpul nilai yang menarik: Kearifan lokal. Penulis-penulis cerita pendek dalam buku ini membabar tema yang sama dengan sudut pandang dan gaya penceritaan berbeda. Lokalitas didaras dengan apik dan penuh pikat. Semua cerita seolah mengajak kita kembali ke dunia yang hangat, alam yang pernah diakrabi, dan suasana yang selalu ingin diputar-ulang tidak semata dalam kenangan.

Cerita-cerita yang disajikan adalah rangkain peristiwa yang mungkin asing bagi mereka yang lahir dan besar di kota besar, tetapi menjadi semacam "kunci pembuka" imajinasi yang dengan santun menuntun kita memasuki dunia "seolah-olah". Seolah-olah kita sendiri yang mendengar nyanyian khas kolecer, seolah-olah kita sendiri yang berjalan di atas pematang sawah, seolah-olah kita sendiri yang mendapati hantu di hari raya, seolah-olah kita sendiri yang rindu kampung halaman, dan pelbagai seolah-olah lainnya yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja.

Sebagai salah seorang dari 11 penulis yang bersepakat membabar cerpen-cerpennya dalam buku ini, saya mengusung cerita dengan latar Sulawesi Selatan sebagai tempat segala ingatan dan kenangan mengalir. 

Ini pendapat DR. Free Hearty tentang cerpen-cerpen saya yang dimuat dalam buku ini.

Khrisna Pabichara dari Sulawesi Selatan, memberikan warna lokal dalam tiga cerpennya Laduka, Pembunuh Parakang, dan Selasar. Ada dendam yang tak pernah padam dalam hasrat yang selalu disimpan. Kepercayaan terhadap mitos. Mitos sering menggiring ke arah yang salah. Ketika mitos tak lagi memberi pengaruh maka pragmatisme merampas semua. Ketika kekasih bisa direbut, maka bukan mistis yang bekerja, tetapi hati yang patah lebih menunjukkan kekuatan akan kehancuran atau untuk menghancurkan. Orang yang merasa diri hebat dan terhormat sering merasa pantas untuk membalas dendam demi kehormatan yang berbau gengsi tetapi kadang mengorbankan harga diri. Maka orang sering salah membedakan yang harus dipertahankan, Gengsi atau harga diri? Itulah yang ditampilkan Khrisna dalam Pembunuh Parakang.

Laduka berkisah tentang kerinduan perantau yang akhirnya memilih pulang, meski dengan tangan hampa. Karena kepulangan perantau biasa membawa kesuksesan. Tetapi kepulangan lelaki Laduka hanya membawa kerinduan yang akhirnya berakhir tragis dalam sebuah tragedi. Hanya arwah dirinya yang pulang. Tradisi pulang dengan sukses atau ketidaksuksesan harus diputus dengan berpulang?

Dalam Selasar, Khrisna menyuguhkan cinta yang tak lekang dan kukuh disetiai. Si lelaki patah tetap datang menunggu setiap hari di selasar kenangan rumah orangtua si gadis, kendati ia tahu itu sia-sia. Ia mencoba tak percaya bahwa Si Gadis yang dia cintai terkena doti—mantra ampuh penakluk perempuan—dari Rangka, lelaki kaya teman sepermainan masa kecil yang beristri dua beranak delapan itu. Nyatanya, si gadis meninggalkannya dan nekad dibawa silariang—kawin lari. 

Jadi, tunggu tanggal edarnya. Buku ini layak Anda miliki.

Salam takzim,
Khrisna Pabichara 

Jumat, 25 Juni 2010

Veronika Memutuskan Mati

Judul buku: Veronika Memutuskan Mati
Judul Asli: Veronika Decides to Die
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Lina Yusuf
Penyunting: Candra Gautama
Cetakan: Keenam, November 2009
Halaman: viii + 258 halaman, 11,5 cm x 19 cm
Penerbit: KPG (Kepustakaan Gramedia Populer)


VERONIKA MEMUTUSKAN MATI
Khrisna Pabichara


1

"ADA saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani." Begitu petuah Lucius Annaeus Seneca dalam bukunya Epistulae Morales ad Lucilium (Clarendon, 1965). Ya, bertahan hidup itu tidaklah mudah. Butuh upaya, butuh usaha. Persaingan sengit--kadang saling sikut dan saling sikat--memaksa kita untuk bersikeras meneguhkan hati. Jika tidak, akan lahir putus asa, kekecewaan, dan kepedihan. Ujung-ujungnya: hasrat untuk mati.

Inilah yang dibabar Coelho dalam novel Veronika Memutuskan Mati. Seperti lumrahnya novel-novel Coelho lainnya, novel ini pun menghadirkan rupa-rupa pertanyaan yang menuntun kita dengan lembut ke ruang permenungan, yang dapat lebih mengayakan pemahaman kita ihwal hakikat kehidupan. Novel ini berkisah tentang Veronika yang merasa tak sanggup lagi menanggung beban kehidupan. Segala terasa amat berat baginya. Maka, ia putuskan bunuh diri. Alkisah, empat bungkus pil tidur yang dilahapnya sekali telan, ternyata belum cukup mengantarnya bertemu dengan Malaikat Maut. Takdir berkehendak lain. Ia diselamatkan seseorang. Begitu sadar, Veronika menemukan dirinya di tengah kerumunan orang-orang gila.

Ya, ia terlempar ke rumah sakit jiwa, bersama orang gila-orang gila lainnya--yang dicemooh masyarakat lainnya karena hasrat, impian, perilaku, dan sikap hidup mereka menyimpang dari yang dianggap kehidupan normal oleh masyarakat lainnya. Padahal, Veronika tidak merasa gila. Satu-satunya yang ia yakini hanyalah bahwa ia ingin mati.


2

TERSEBUT dalam sebuah riwayat, seorang tukang sihir dengan kesaktian mahaampuh bermaksud menghancurkan seluruh kerajaan. Ia masukkan ramuan ajaib ke dalam sumur tempat semua orang minum. Siapa pun yang meminum air itu akan menjadi gila. Keesokan harinya, semua penduduk kerajaan itu mengambil air di sumur itu dan meminumnya, kecuali Raja dan keluarganya yang minum dari sumur lain. Akibatnya, selain Raja dan keluarganya, seluruh penduduk kerajaan itu gila. 

Melihat kondisi rakyatnya, Raja berusaha mengendalikan keadaan. Aturan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kesehatan umum mulai dimaklumatkan. Tetapi, polisi dan kepala polisi yang juga meminum air dari sumur bertulah itu menganggap aturan yang ditetapkan Raja sangatlah aneh dan musykil diterapkan. Rakyat pun menuding Raja telah gila karena membuat aturan yang tak bisa diterima oleh akal mereka. Lantas, rakyat pun meminta Raja segera turun tahta--karena mereka tak mau diperintah oleh orang gila. 

Raja putus asa dan berniat turun tahta. Namun, Ratu memintanya bersabar dan meminum air di sumur bertulah itu. Alhasil, setelah minum air sumur itu, Raja pun bersikap gila sama gilanya dengan rakyatnya.

Petikan kisah di atas dapat kita temukan dalam novel ini di halaman 42. Sepertinya Coelho hendak bertanya kepada kita, "Sebenarnya siapa yang gila?"


3

APA saja yang ditawarkan novel ini? Semula saya berpikir pastilah keindahan pembacaan yang ditawarkan Coelho sama seperti novel-novel sebelumnya. Ternyata, saya tenggelam dalam kenikmatan membaca. Setiap demi setiap lembar serasa menghadirkan kejutan yang menyenangkan, meneduhkan, dan menantang. Hati saya seolah diseret ke sebuah negeri misterius yang mencengangkan dan menakjubkan. 

Sebutlah kisah menggelitik seperti tertera pada bagian dua di atas. Apakah manusia yang dianggap normal adalah mereka yang patuh pada kelaziman, sementara mereka yangg bertingkah di luar kelaziman itu akan dicap gila? Benarkah yang gila itu Rakyat, Raja dan keluarganya, atau Sang Penyihir yang menyebabkan kegilaan itu? Bagaimanakah menentukan sesuatu disebut normal atau gila, baik atau buruk, mulia atau jahat? 

Tidak berhenti di sana, Coelho juga mengajak batin saya untuk menikmati perjalanan spiritual. Saya seolah diajak ke labirin indah tentang hakikat penciptaan manusia dan makrifat keberadaan saya sebagai manusia. Pun pergolakan psikologis yang menyingkap tabir keindahan di balik kegelapan, bahwa tak semua yang menyakitkan selalu harus disikapi dengan air mata. Dan, lebih mengejutkan lagi, Coelho juga mengajak saya menyaksikan pertarungan klasik antara kesadaran seksual dan cinta. 

Maka, setamat membacanya, saya yakin tak rugi menyempatkan diri membaca novel ini. 


4

APA pun yang terjadi dan menimpa kita di kehidupan ini, selalu ada hikmah dan rahasia yang kerap tak kita sadari. Seperti Veronika yang lebih memilih mati ketimbang menikmati hidup yang serba gelap, serba hitam. 

Dan, seperti pesan Seneca, bertahan hidup itu sulit. (*)

Jakarta, Juni 2010

Kamis, 24 Juni 2010

Dicari 6 Mahasiswa Penulis untuk Program Residensi di Makassar

Program Residensi Mahasiswa Penulis di Makassar
Program residensi ini adalah insitiatif independen dari sejumlah individu. Program ini adalah usaha sederhana yang bertujuan untuk membangun gambaran mahasiswa Makassar yang berbeda dari pencitraan media massa selama ini, menyebarkan wacana alternatif lewat karya-karya yang dihasilkan peserta program residensi, menciptakan wadah kreatifitas alternatif terhadap kegelisahan dan tuntutan mahasiswa di Makassar serta membangun ajang belajar bersama antar mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia.
Program residensi ini terbuka untuk mahasiswa penulis atau penulis yang masih berstatus mahasiswa (Strata 1) dari seluruh Indonesia. Peserta program residensi ini terdiri dari 6 orang mahasiswa penulis (3 orang dari luar Makassar dan 3 orang dari Makassar). Para pendaftar akan diseleksi berdasarkan syarat pendaftaran yang telah ditentukan. Hasil akhir program ini adalah sejumlah tulisan yang akan dicetak dalam sebuah buku dan atau dimuat di media online.
Program ini akan berlangsung di Makassar selama satu bulan, 10 Juli – 10Agustus 2010. Program ini tidak memungut biaya dari peserta. Transportasi para peserta terpilih yang berasal dari luar Makassar akan ditanggung oleh pelaksana. Peserta juga akan mendapatkan uang saku, biaya konsumsi dan transportasi serta akomodasi selama program berlangsung.
Persyaratan pendaftaran:
1.    peserta masih aktif sebagai mahasiwa S1 (diutamakan yang aktif di sebuah lembaga kampus atau luar kampus)
2.    mengirimkan curriculum vitae,
3.    mengirimkan tulisan sepanjang 750 – 1000 kata yang berisi tentang alasan mengikuti program,
4.    mengirimkan minimal 2 contoh tulisan (bisa berupa reportase, esai atau ulasan).
Kirimkan data-data persyaratan di atas ke: tawaranmahasiswa@gmail.com atau via pos ke Pelaksana Program Residensi Mahasiswa Penulis, BTN Bumi Bung Permai blok A5/18, Makassar, 90245 selambat-lambatnya 25 Juni 2010.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi M Aan Mansyur (081355862094) atau baca informasinya di www.tawaranmahasiswa.wordpress.com

Selasa, 22 Juni 2010

MARADONA MENARI, TUHAN MEMBERI!

Judul buku: 100+ Fakta Unik Piala Dunia
Penulis: 
Asep Ginanjar & Agung Harsya
Penyunting: 
Anton Kurnia
Penerbit: 
Serambi
Cetakan I, 
Januari 2010 236 hal.





MARADONA MENARI, TUHAN MEMBERI!
Khrisna Pabichara



Kisah gol "Tangan Tuhan" tak lekang diceritakan. Bahkan telah melegenda. Maradona menjadi aktor utama terjadinya kisah unik itu. Pertarungan antara Inggris melawan Argentina pada Piala Dunia 1986 di Meksiko itu telah menyuguhkan drama tak berkesudahan. Baiklah! Kita coba memutar kembali ingatan ketika peristiwa unik itu terjadi. Ketika itu, babak pertama berlangsung sengit tapi tak membuahkan gol. Skor kacamata, 0-0. Tetapi, enam menit setelah jeda, drama itu terjadi. Lewat tarian khasnya, Maradona bertukar umpan dengan Jorge Valdano. Sayangnya, umpan Valdano tidak sempurna karena membentur kaki Steve Hodge. Bola melambung ke tengah kotak pinalti dan Peter Shilton--kiper Inggris ketika itu--segera menyongsongnya. Dengan tinggi badan yang kalah jauh dari Shilton, Maradona tak kehilangan akal. Tangan kirinya menjulur ke udara mendahului tangan Shilton. Alhasil, kena! Bola sempurna bersarang di gawang Inggris. Uniknya, Ai Ben Nasser, wasit asal Tunisia yang memimpin pertandingan itu tak melihat aksi tangan Maradona. Ia pun mengesahkan gol, dan Maradona pun mengajak rekan-rekan setimnya untuk merayakan gol spektakuler itu.

Apakah drama itu bersudah di sana? Tidak! Tiga menit sesudahnya, Maradona menampilkan sisi uniknya sebagai pebola andal. Dari wilayah permainan sendiri ia menggiring bola melewati Glenn Hoddle dan Peter Reid. Kenny Sansom dan Terry Butcher juga tak mampu mengadang laju Maradona. Bahkan, Terry Fenwick terkecoh begitu mudah sehingga Maradona leluasa menggiring bola ke dalam kotak penalti. Benteng terakhir Inggris, Shilton, berusaha menutup ruang gerak Maradona. Ajaibnya, hanya dengan sepakan klasik yang sederhana, Maradona sukses menceploskan bola ke gawang yang sudah melompong. Begitulah. Setelah mencetak gol lewat "sentuhan" tangannya, Maradona melahirkan gol yang kelak digelari gol terbaik sepanjang masa. Tahun itu pun jadi milik Maradona. Ia aktor uatama--jika tidak disebut tunggal--yang mempersembahkan gelar Juara Dunia bagi Argentina.

Sungguh, kisah "Tangan Tuhan" itu hanyalah penggalan kecil dari keunikan Piala Dunia. Buku100+ Fakta Unik Piala Dunia hasil kolaborasi cantik dua maniak bola, Asep Ginanjar danAgung Harsya, menghadirkan rupa-rupa keunikan Piala Dunia yang mungkin terlupakan. 


Tandukan dan Joget Perut yang Menghebohkan

Masih ingat tandukan Zinedine Zidane (Prancis) ke dada Marco Materazzi (Italia) pada Piala Dunia 2006? Ini juga cerita menarik yang ditorehkan selama Piala Dunia yang berlangsung di Jerman itu. Setelah sukses menyelesaikan tugasnya sebagai algojo penalti, Zidane menghadirkan cerita yang tak kalah menariknya. Kepalanya bersarang di dada Materazzi--yang seperti pemain Italia lainnya, ia juga jago akting. Wasit Horacio Elizondo asal Argentina pun menghadiahi Zidane dengan kartu yang paling dibenci pemain bola: Kartu Merah. 

Apa yang terjadi setelahnya? Tak seperti pemain lain ketika dihukum kartu Merah, Zidane langsung ngeloyor ke luar lapangan dan dengan gontai melewati trofi Piala Dunia yang dipajang di pinggir lapangan. Sirna sudah mimpi Prancis untuk menjuarai Piala Dunia untuk kedua kalinya. Tahukah Anda asal-muasal pemicu tandukan sesangar banteng itu terjadi? Hingga saat ini, tak ada jawaban pasti. Seusai turnamen, Zidane menuding Materazzi menghina ibu dan saudara perempuannya. Sedangkan Materazzi bersikukuh membela diri. Begitulah. Drama terjadi lagi.

Oh ya, ada juga kisah menarik tentang goyang perut di sisi lapangan. Jangan mengira Inul Daratista pelakunya. Bukan! Ini juga bukan aksi David Beckam yang banyak digandrungi kaum Hawa. Pelaku goyang perut itu seorang lelaki berusia 38 tahun, Roger Milla. Pada mulanya, Milla sudah menyatakan pensiun dari timnas Kamerun. Tetapi, telepon Presiden Kamerun, Paul Biye, yang meminta kesediaannya untuk kembali membela Kamerun, telah meluluhkan hatinya. Lalu, muncullah goyang perut itu sebagai bentuk selebrasi setelah mencetak gol. Pada saat Kamerun mengalahkan juara bertahan Argentina di laga pembuka, Milla merayakan golnya dengan khas. Begitu pun ketika ia memboyong dua gol ke gawang Rumania di pertandingan kedua, dan dua gol ke gawang Kolombia di babak 16 besar. 

Sejak itu, selebrasi gol mulai cair. Tak lagi kaku, tak lagi membosankan. 


Tim Kurcaci Paling Berwarna

Pernahkah Anda membayangkan Indonesia jadi juara dunia? Mungkin--seperti kebanyakan penduduk Indonesia--itu adalah hal musykil yang betapa sulit terjadi. Betapa tidak, jangankan juara dunia, lolos ke putaran final Piala Dunia saja susahnya minta ampun. Tetapi, jangan salah terka. Pada Piala Dunia 1938, Hindia Belanda--yang pemainnya berasal dari Nusantara--ikut bertanding dan disemati gelar "Tim Kurcaci". Ya, sejarah mencatat, Hindia Belanda adalah tim Asia pertama yang meramaikan Piala Dunia. Namun karena kalah teknik dan fisik, pertandingan pertama melawan Hungaria berlangsung timpang. Skor 6-0 untuk kemenangan Hongaria. 

Saat itu, tim Hindia Belanda memakai segala berbau Belanda. Kaus tim berwarna oranye, dan lagu kebangsaan yang dinyanyikan adalah Het Wilhelmus, lagu kebangsaan Belanda. Perbedaan fisik menjadi ihwal paling menyolok saat itu. Walikota Reims menyatakan, "Saya seperti melihat 22 atlet Hongaria dikerubungi 11 kurcaci." Selain kalah fisik, kulit paling berwarna juga jadi milik Hindia Belanda. Tim itu terdiri dari dua pemain asal Sumatra, dua orang Ambon, seorang Jawa, empat orang etnis Tionghoa, dan sisanya berdarah Belanda.

Jadi, kapan lagi kita bisa berlaga di Piala Dunia dengan kostum dan lagu kebangsaan sendiri: Indonesia?


Segala yang Unik di Piala Dunia

Tahukah Anda pemain yang bermain di dua Piala Dunia dan bermain untu dua negara berbeda? Buku setebal 236 halaman ini menyuguhkan jawabannya. 

Adalah Luis Monti pelakonnya. Piala Dunia 1930 sejatinya adalah pertarungan dua jawara dunia, Uruguay dan Argentina. Luis Monti, sang kapten Argentina, dihantui ancaman pembunuhan. Tetapi ia tetap bermain dengan elegan. Yang lebih unik, final itu menggunakan dua bola. Babak pertama menggunakan bola buatan Argentina, dan babak kedua bola produksi Uruguay. Babak pertama Argentina unggul 2-1--dengan menggunakan bola sendiri, babak kedua Uruguay menang 3-0--juga dengan bola sendiri. Karena itu, final 1930 juga dikenal dengan the game of two balls. Nah, kembali ke Luis Monti. Setelah membela Argentina pada Piala Dunia 1930, Monti membela Italia pada Piala Dunia 1934. Uniknya, jika di Uruguay keluarganya diancam akan dibunuh kalau Argentina menang, maka pada Piala Dunia 1934 Monti mendapat ancaman dari Benito Mussolini apabila mengalami kekalahan. 

Kisah unik lainnya adalah selebrasi porno a la Giuseppe Meazza. Riwayat mencatat, ketika partai semifinal Piala Dunia 1938, Meazza bermain sangat memikat. Alhasil, kakinya menjadi incaran bek lawan. Ketika Italia mendapat hadiah penalti, Meazza pun bersiap mengemban amanat. Anehnya, tiba-tiba saja celananya melorot dan terpampanglah "sesuatu" yang membuat sebagian penonton tertawa geli. Namun, Meazza tak peduli. Tangan kiri memegang celana, tangan kanan meletakkan bola di titik penalti. Lalu, sembari tangan kiri tetap memegang celana, ia menyepak bola. Kiper Brasil, Walter de Souza Goulart, tak mampu menahan geli. Alhasil, bola meluncur deras ke gawangnya. Tentu saja Meazza kegirangan dan mengacungkan kedua tangannya ke udara untuk merayakan kegembiraan. Kontan saja celananya melorot, dan pemain lain mengerubunginya guna menutupi auratnya. Inilah selebrasi paling unik: Pemain setim mengerumuni pencipta gol, bukan untuk tindih-tindihan atau menari bersama, tapi untuk menunggu sampai celana baru tiba.

Masih banyak kejadian lain yang layak Anda ketahui dari buku ini. Semuanya disajikan dengan bahasa lugas yang mudah dicerna. 


2010: Tahun Messi?

Oke. Sekarang kita tengok Piala Dunia paling mutakhir. Siapakah yang bakal jadi juara? Sebagai pendukung fanatik, saya pilih Argentina. Tunggu, jangan menduga saya asal pilih. Tidak! Argentina dihuni talenta mumpuni. Tiga starter di lini depan adalah striker maut di liga tempat mereka berkiprah. Sebutlah Messi, Tevez, dan Higuain. Jangan abaikan kehadiran Milito yang baru saja mencetak 2 gol ke gawan Bayern Muenchen di final Liga Champions Eropa 2010. Pun menantu Maradona, Kun Aguero, yang punya kecepatan dan kemampuan penuh pukau. Di tengah, mereka punya Angel Di Maria, Javier Mascherano, dan Maxi Rodriguez. Jangan lupa sihir pemain gaek, Juan Sebastian Peron. Di belakang? Wah, saya suka gaya Samuel. Belum lagi pelatih paling heboh yang memiliki kaul aneh kalau jadi juara, Maradona. 

Yang pasti, sihir Messi punya daya pikat sendiri. Tiga kali percobaan gol ke gawang Nigeria, dan empat kreasi bola yang membuahkan gol ke gawang Korea Selatan. Betapa pun, Messi pewaris keunikan sang mentornya. Ia mencetak gol ke gawang Getafe di Copa del Rey 2007 dengan mendribel bola dari tengah, mirip dengan gol Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Ia juga mencetak gol “Tangan Tuhan” ke gawang Espanyol, layaknya gol Maradona yang kontroversi ke gawang Peter Shilton. Sisanya, ia sedang merintis jalan menuju Juara Dunia, seperti yang dilakukan Maradona pada 1986.

Apa yang unik dari Piala Dunia 2010? Bagi saya, tumbangnya tim-tim unggulan pada pertandingan pertama dan kedua adalah sesuatu yang unik. Siapa lagi yang bakal tumbang? Siapa yang akan pulang lebih cepat? Siapa yang akan jadi juara?

Semoga: Argentina! (*)

Senin, 21 Juni 2010

"LIDAH MENARI, LIDAH MELUKAI: Telaah Ringan terhadap Status Saya tentang Menteri Komunikasi dan Informasi"






LIDAH MENARI, LIDAH MELUKAI

"Mulutmu harimaumu." Begitu tandas pepatah. Secara ringan, pepatah ini bisa dimaknai bahwa mulut kita adalah harimau yang dapat menyakiti, menerkam, dan membunuh orang lain, tetapi juga dapat menyakiti, menerkam, dan membunuh kita sendiri. Dengan kata lain, luka karena tebasan pedang mudah disembuhkan, tetapi luka karena sabetan lidah kerap musykil diobati.

Pada mulanya, saya prihatin mendengar pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi, Tiffatul Sembiring. Sebagai seorang tokoh publik yang gerak-gerik dan tutur-lakunya selalu diincar media, mestinya bersikap lebih bijak. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Entah karena niatan berseloroh, atau memang karena pemikiran yang entah bermula dari mana, mantan Presiden PKS itu melepaskan "harimau"-nya. Pada sebuah diskusi yang digelar dalam rangka menyikapi maraknya video mesum di Kementerian Kominfo (Jumat, 18/06/2010), tokoh yang gemar berpantun ini mengeluarkan pernyataan--dalam bentuk analogi--yang sangat mengejutkan dan menyentak. Mengejutkan karena saya menganggap pernyataan itu tak layak keluar dari "harimau" seorang tokoh publik. Menyentakkarena pernyataan itu diucapkan oleh seorang tokoh yang rajin menebar senyum.


Dari Mana Bermula Status Saya

Baiklah. Saya kembali ke muasal status yang saya terakan di facebook. Ini teks lengkap status saya: Mestinya Tiffatul Sembiring bisa bersikap lebih bijak. Ditilik dari sudut manapun, kasus video mesum taklah bisa dibandingkan dengan kisah penyaliban Yesus. Selain dapat memicu salah tafsir, juga melukai keberagaman bangsa. Maaf jika ada pihak yang tersinggung karena status ini!

Kemudian, saya menambahkan sebuah komentar--oleh karena keterbatasan ruang untuk status, jadi tak bisa dicantumkan secara kesuluruhan: Oleh karena pernyataan Pak Tiffatul tersebar luas di pelbagai media, maka permintaan maaf lewat akunfacebook dan twitter belumlah cukup. Bangsa harus dibangun dari keteladanan, dan pemimpin--terkait posisi Pak Tiffatul selaku Menkominfo--adalah salah satu acuan keteladanan. 

Andai tak ada api, tentulah tak ada asap. Begitu pun dengan status saya di atas. Tersebab keprihatinan karena pernyataan Pak Tiffatul itulah maka saya uarkan "kegelisahan hati" lewat status. Bahkan jika status saya pun diselisik lebih teliti, kalimat pembukanya pun saran yang dibungkus dalam kemasan bernama kritik. "Mestinya Tiffatul Sembiring bisa bersikap lebih bijak." Baik secara tersirat ataupun tersurat, jelas bahwa saya "menyarankan" agar Pak Tiffatul bersikap lebih bijak, lebih arif. Baiklah, supaya lebih benderang, kita perlu menyimak kembali pernyataan Pak Tiffatul pada saat jumpa pers di Kementerian Kominfo (Jumat, 18/06/2010). Saat itu beliau bertutur bahwa perihal "mirip-mirip" (kaitannya dengan video mirip artis) itu pernah terjadi dalam sejarah penyaliban Yesus. Umat Islam, kata beliau, meyakini bahwa yang disalib bukan Yesus, melainkan seseorang yang "mirip" dengan Yesus. Sementara umat Kristen, kata beliau lagi, meyakini bahwa yang disalib adalah Yesus.

Nah, dari sudut pandang Pak Tiffatul, boleh jadi yang ditekankan adalah "mirip" itu. Tetapi, keliru adanya jika kasus video mirip itu menyeret-nyeret kisah penyaliban. Ini yang saya maksud dengan "dapat memicu salah tafsir", atau "melukai keberagaman bangsa". Agar persinggungan itu tidak semakin melebar, tentulah permintaan maaf bisa "menyembuhkan". Dan, di akhir status pun saya mencantumkan: "Maaf jika ada pihak yang tersinggung karena status ini!". Saya sendiri yakin status saya dapat memicu pro-kontra, dapat menyulut silang-pendapat, bahkan dapat membuat orang atau pihak lain terluka. Oleh karenanya, saya meminta maaf.


Bukan Sekadar Kritik

Sebuah pesan pendek--yang tak layak saya tuturkan siapa pengirimnya--menuding bahwa saya hanya bisa menyuguhkan "kritik". Padahal, seperti telah saya paparkan di atas, kalimat pembuka dari status saya pun sejatinya adalah sebuah "saran", sebuah ajakan santun agar Pak Tiffatul bisa lebih bersikap bijak, lebih bersikap arif. Mengapa? Karena beliau adalah seorang "tokoh publik". Apalagi, jabatan yang diamanatkan kepada beliau adalah Menteri Komunikasi dan Informasi. Bukankah salah informasi bisa berpontensi melahirkan salah tafsir? Informasi tentang perbedaan keyakinan "siapa sebenarnya yang disalib" antara Islam dan Kristen--sebagaimana diungkapkan Pak Tiffatul boleh jadi benar. Lantas, di mana letak kesalahannya? Karena informasi itu dikait-tautkan dengan kasus video mesum. Ini yang tak masuk logika saya--tersebabkan tentulah karena keterbatasan saya.

Jika alas pikir yang digunakan Pak Tiffatul semata karena "mirip-mirip" itu, mengapa analogi penyaliban yang didedah sebagai pembanding? Apakah tidak ada analogi lain yang lebih tepat untuk digunakan? Inilah yang saya sebut sebagai kesalahan di antaranya tersebabkan oleh kebodohan dan dianggap beberapa pihak sebagai komentar asal bunyi. Sah-sah saja jika komentar itu dianggap asal bunyi, tetapi saya pribadi merasa bahwa seandainya saja Pak Tiffatul berpikir lebih cerdas, analogi itu takkan menjadi "harimau" yang bisa menerkam balik. Bukankah diam lebih baik daripada mengeluarkan pernyataan yang berpotensi menyakiti banyak orang?

Dan, sekali lagi, saya tidak semata menguarkan kritik. Saya pun telah mengajukan saran. Entah apakah kelak saran itu tersampaikan kepada Pak Tiffatul atau tidak, biarlah "sesuatu di laur saya" yang bekerja. Saya juga tiidak semata berkomentar di status, tetapi juga dalam banyak dialog atau diskusi yang saya ikuti. Nah, sebagai pengingat semata, "saran" saya--yang sebenarnya juga disuarakan banyak tokoh pluralis--agar Pak Tiffatul berbesar hati untuk meminta maaf atas pernyataannya itu di media yang kuat pengaruhnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Sebut misalnya televisi atau media cetak. 


Pada Akhirnya...

Memang tidaklah mudah, karena "meminta maaf" itu membutuhkan "kebesaran jiwa". Tetapi, sebagai seorang tokoh publik, saya berharap (ini saran juga!) agar Pak Tiffatul mau berbesar jiwa. Nah...


Khrisna Pabichara