Jumat, 24 Juni 2011

Dari Barrang Lompo ke Museum Kota

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Ketiga (Rabu, 15 Juni 2011)


Dermaga Barrang Lompo dan Puisi

Rabu, 15 Juni 2011, pukul 10.25, pertama kalinya saya menyambangi pulau ini. Dulu, dulu sekali, semasa masih bermukim di tanah anging mammiri’, saya belum sempat bertandang ke pulau ini, meski Barrang Lompo tak asing di kuping saya. Pulau itu tidak terlalu luas. Hanya 0,49 km2. Tidak terlalu jauh dari Makassar. Cukup 45 menit dengan menggunakan perahu cepat. Dermaga sederhana menyambut rombongan peserta MIWF 2011

Tepat di seberang ujung jalan dermaga, seorang perempuan muda tersenyum ramah. Aminah. Matanya bercahaya, tubuhnya ramping, raut wajahnya ramah. Beberapa tombak di belakangnya, tampak sebuah plang kecil bertuliskan “Taman Baca Samudra Ilmu”. Sekar Chamdi, pegiat Forum Indonesia Membaca, ternyata ikut membacanya. Dan, seolah dikomando, kami memasuki ruang baca yang berada di kolong rumah panggung salah seorang penduduk. Ukurannya tidak terlalu lapang, mungkin 2 x 4 meter. Di sebelah kiri, 3 meja berderet rapat ke dinding, 6 kursi dan 3 rak buku tersusun dengan bentuk huruf L. Erni Alajai juga sudah ikut nimbrung, melihat-lihat koleksi bersama saya dan Sekar. Sungguh, saya sangat terharu.

“Dari mana koleksi buku-buku ini?” tanya Sekar.

“Bantuan Pemkot Makassar dan beberapa lembaga, Bu,” jawab Aminah.

Lalu, Erni pun bertutur tentang komunitas di Makassar yang bersusah payah mengumpulkan donasi buku, kemudian dikirim ke beberapa perpustakaan di pulau-pulau sekitar Makassar. Sempat pula saya ajukan kemungkinan untuk mengirimkan bantuan buku dari Jakarta.

“Ongkos kirimnya terlalu mahal, Khris. Lebih baik digalang gerakan donasi buku di Makassar. Kalau perlu, satu buku satu rumah,” tutur Sekar.

Begitulah. Anak-anak berdiri di pinggir jalan. Orang-orang dewasa berkerumun di kolong-kolong rumah. Iring-iringan semakin panjang, anak-anak pulau menyatu dengan rombongan penulis. Kamaruddin Azis—yang lebih intim dengan sapaan Makassarnya, Daeng Nuntung—menemani Mazaa dan Abeer berbincang dengan warga pulau. Mereka terkesima melihat semangat gotong royong yang masih terjaga.

Kuburan tua. Unik dan penuh pikat. Terapit di antara dua pohon besar—saya lupa catat nama pohonnya—yang akar-akarnya menyatu dengan bangunan cungkup makam. Bagi saya, ini langka. Atau, setidaknya, ajaib. Akar pohon menyesuaikan diri dengan bangunan yang ada, lambat laun menyusun di sela-sela bata. Rodhaan dan Abeer sangat mengagumi keganjilan itu, Mazaa sibuk foto-foto bersama anak-anak pulau.

Matahari makin tinggi. Ubun-ubun mulai panas. Rombongan kembali bergerak. Arak-arakan semakin panjang. Peserta-peserta MIWF dari mancanegara pastilah menjadi daya pikat bagi penduduk pulau. Di tepi pantai, di bawah terik matahari, seorang remaja sedang berjemur. Agus namanya. Konon, kakinya lumpuh setelah menyelam ke dasar laut mencari teripang. Risiko jadi penyelam, begitu tutur Daeng Sese, salah seorang warga pulau. Tak seberapa lama, rombongan kembali menyusuri pulau. Menyisir Lorong Janda, berbaur dengan perempuan-perempuan yang suami mereka meninggal karena disergap badai sewaktu melaut.

Akhirnya, makan bersama pun tiba.

Pukul 12.40. Kami harus segera kembali ke Makassar, ombak bisa menyulitkan perjalanan kami. Akan tetapi, perahu belum siap. Lily Yulianti Farid, Direktur MIWF 2011, mengusulkan agar Rodhaan baca puisi sambil menunggu perahu. Vlucht naar de zee segera mengalun di bibir Rodhaan, mengalahkan deru ombak. Setelah rampung, Rodhaan meminta Wildan—juru potret pribadinya—membacakan terjemahan puisi itu. Lebih unik lagi, setelah terjemahan Indonesianya usai dibacakan, Rodhaan meminta agar Wildan menerjemahkannya ke dalam bahasa Makassar. Tampaknya, Wildan kesulitan. Saya coba membantunya, kata per kata. Akibatnya, saya didaulat Rodhaan untuk menerjemahkannya. Aih, pengalaman pertama!

Orang-orang mulai berkerumun. Dermaga mulai padat. Kuli-kuli yang menurunkan muatan perahu, berhenti. Mereka menikmati simfoni kami. Alhasil, Kak Lily mengusulkan satu puisi lagi.

Alangkah!

Para Pengarang di Negeri Rantau

Pukul 16.15. Sudah banyak penghadir di lantai dua Museum Kota Makassar. Untung saya sudah mandi setiba di hotel, tadi. Kalau tidak, bisa merusak suasana. Ternyata, usut punya usut, banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas yang menghadiri sesi siang ini. Yakin, ini pasti karena dua pembicara adalah alumni Ilmu Komunikasi, Ryana Mustamin dan Fauzan Mukrim. Jadi, semacam reuni kecil-kecilan. Hehehe....

M. Aan Mansyur membuka acara Bincang Komunitas. Tema perbincangannya ialah Menulis Membuka Jalan. Pembicaranya adalah pengarang-pengarang kelahiran Makassar yang berkarya di perantauan: Ryana Mustamin, Fauzan Mukrin, dan Khrisna Pabichara. Mula-mula Kak Ana bertutur tentang proses kreatif kepengarangannya. Praktisi perbankan yang menganggit cerpen sejak SMP ini bertutur banyak: sejarah, manfaat, dan apa saja yang dialaminya semenjak menulis.

Peserta begitu antusias.

Tiba giliran saya membakar semangat untuk menulis. Tak ada yang sulit, bila kita tekun dan bersungguh-sungguh. Saya juga berkicau tentang pilihan saya menceburkan diri seutuhnya ke dunia kepenulisan. Terakhir, Fauzan Mukrim berbagi pengalaman. Ia berkisah tentang perjalanannya yang kemudian diabadikannya lewat tulisan, jadi buku, dan laris. Sekarang, ia masih tekun menulis, sembari menekuri dunia yang dicintainya, fotografi.

Namanya juga bincang komunitas, tentulah ada sesi tanya-jawab.

Dari enam orang penanya, ada satu yang tak terlupakan. Namanya, Maya.

“Mohon izin bertanya!” Begitu kalimat pembukanya dengan gaya sikap sempurna. Ia mengulangnya lagi, dan lagi, karena belum ada yang merespons permintaannya.

“Saya izinkan!” jawab saya.

Kontan saja, Maya segera menyampaikan apa yang hendak diutarakannya. Saya yakin, banyak penghadir yang merekam kejadian ini dalam ingatan mereka. Terutama Anzhu Amarah dan Mubarak. Lihat saja linikala mereka di twitter. Sesekali mereka berkicau dengan kalimat pembuka, “Mohon izin bertanya....”

Saking asyiknya, perbincangan sore itu seolah lebih laju dari waktu.

Antara Makassar, Irak, dan Belanda

Panggung bertingkat dengan warna merah menyala, gelar karpet merah, orang-orang berseliweran di Jalan Balaikota, dan satu demi satu “pengagum rahasia” yang minta ditandatangani buku programnya—mulai narsis—mengawali malam pembacaan karya.

Ketika Luna Vidya berkicau, seorang perempuan muda mendatangi saya, mengajak foto bareng. Sebenarnya saya malu menjadi pusat perhatian. Namun, demi membahagiakan hatinya, saya penuhi harapannya. Namanya, Anata Aulia Kautsar. Keren banget! Di buku kecilnya saya tulis, “Cinta tak mengenal kata tetapi!” Konon, ia menyukai suara saya. Halah!

Di panggung, Mazaa begitu ekspresif bertutur, sangat memikat. Gunduz juga tampil memukau, esainya yang sangat kritis membabar gonjang-ganjing politik. Lalu, Abeer mencekam penonton lewat kedalaman cerita pendeknya. Tiba giliran Rodhaan, gaya khas dan postur tubuhnya yang—sesekali saya bayangkan tubuh saya seperti tubuhnya—kukuh menyihir penonton.

“Saya minta Khrisna menemani saya di panggung,” kata Rodhaan.

Aih, sepertinya peristiwa di dermaga Barrang Lompo bakal terulang. Dalam hati, saya berharap, semoga hanya satu puisi. Sungguh, menerjemahkan sajak ke dalam bahasa Makassar secara spontan bukanlah sesuatu yang mudah, menguras tenaga. Apalagi, di sela penonton, ada beberapa orang yang saya kenal dan saya tahu sangat paham bahasa ibu saya. Tapi, pede aja! Rodhaan mulai beraksi. Suara beratnya yang sarat daya magis sangat membantu saya menemukan “rasa baca”.

Puisi pertamanya, Ik Heb je Nodig. Terjemah Indonesia-nya, Aku Membutuhkanmu. Saya alihkan ke bahasa Makassar, Sukku’ Kukellanu, Andi’. Begitu raampung kami bacakan satu puisi, tepuk tangan membahana. Bahkan, kata Kak Lily, beberapa pengendara motor menghentikan kendaraannya, menyimak takzim sajian kami. Lalu, Rodhaan membaca sajak kedua, Vlucht Naar de Zee (Tu Na Anyukanga Kalenna ri Tamparanga—Makassar). Langgam ratap ala Makassar jadi pilihan saya, appitoto. Sesudahnya, penonton bersuka cita.

Lalu, puisi ketiga. Lalu, puisi keempat. Saya yakin inilah puisi terakhir, maka saya tetap memberikan yang terbaik. Seperti Rodhaan yang tampaknya makin larut, makin yahud. Ternyata dugaan saya keliru, dan penonton pun tertawa. O ya, gaya saya seolah-olah sudah usai pertunjukannya. Padahal, masih ada satu puisi.

“Ini puncaknya,” kata Rodhaan, melirik saya dengan lengkung samar di bibirnya.

Ketika sepintas membaca terjemahan Indonesia di layar. Saya bayangkan gaya royong, gaya seorang ibu menidurkan buah hatinya atau gaya seseorang merindukan belahan hatinya. Saya reka-reka alun suara dan ekspresi yang akan saya gunakan. Saya pindahkan “ruh” Rodhaan ke dalam “rasa” saya, dan saya alihkan ke bahasa Makassar sebelum Rodhaan menyerahkan kertas yang masih di genggamannya. Ekstase!

Aku ingin berbaring di sisimu, seperti ombak di sisi ombak.
Aku ingin menyatu denganmu, seperti ombak dengan ombak.
Aku ingin lenyap dalam dirimu, seperti ombak dalam ombak.

Cinna sikaliya’, Andi’, attinro ri sa’ringnu
Sanrapang tinrona se’rea bombang ri bombang maraengannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lessa’ ri kalennu
Sanrapang lessa’na se’rea bombang ri bombang rioloangannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lannya’ ri atingnu
Sanrapang lannya’na se’rea bombang ri bombang najammengiya


Sungguh, Rodhaan sempat menangkap kristal yang menggantung di ujung kelopak mata saya, dan saya juga selintas melihat matanya berkaca-kaca. Bahasa boleh berbeda, tapi rasa kami saling luluh, saling leleh. Kami berpelukan, erat sekali. Terpampang di benak saya bayang-bayang seolah sayalah yang dikejar-kejar tentara Irak, bersembunyi dari satu semak ke semak lainnya, menahan napas setiap truk tentara melintas, dan tiba di negeri pelarian demi mempertahankan prinsip: menolak perintah wajib militer. Selintas saja pelukan itu, tapi rasanya berbulan-bulan, bertahun-tahun.

Begitulah. Konon, Riri Reza dan Arman Dewarti pun menyukai duet kami. Bahkan Fauzan menggelari kami “duet maut”. Bahkan Anata pun berkaca-kaca matanya. Bahkan Abeer Soliman pun berat melepaskan genggaman tangannya.

Bahkan, letih seusai berjalan kaki dari Museum Kota ke Hotel Valentino tak berasa.

(Bersambung)

Kamis, 23 Juni 2011

Kubiarkan Rinduku Berguguran di Setiap Mengingatmu

Kubiarkan Rinduku Berguguran di Setiap Mengingatmu
Anata Aulia Kautsar


Rinduku, Kekasih, membuta di benakku dan membatu di hatiku. Ketahuilah, rinduku adalah anak panah waktu yang melaju ke hatimu, melampaui segala yang mungkin kamu pahami.

Bahkan, sesungguhnya, rinduku tak merawat dua kata: jarak dan waktu. Dan hatimu, sejatinya, ruang paling teduh untuk merumahkan rinduku. Sayang, ada rindu lain yang berdiang di sana.

Rinduku, Kekasih, tak menyertakan apa-apa, kecuali kamu. Ketahuilah, di dalam tubuhku selalu ada yang bertambah, yang bertumbuh, yang menjadi. Yang darinya, kemudian, segala bermula.

Bahkan, sesungguhnya, jari-jari hujan yang mengantarkan rinduku takkan pernah tiba di dinginmu, karena kamu sibuk mengejar awan lain. Selebihnya, kita biarkan jarak berkuasa. Hingga rindu tak mampu lagi memampatkannya.


Parung, Juni 2011

Makassar Tidak Kasar

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Kedua (Selasa, 14 Juni 2011)


Berperang Melawan Rasa Enggan

Alarm yang sengaja saya setel pukul 07:00 ternyata tidak sanggup menyeret saya dari peluk mimpi. Sudah pukul 08:25 ketika saya terjaga, padahal hari ini rencana ikut program perjalanan penulis ke Galesong. Ya, hari kedua MIWF 2011. Mestinya pagi ini saya sudah berada di Galesong bersama Mazaa Mengiste (Ethiopia), Rodhaan Al Galidi (Irak), Gűndűz Vassaf (Turki), Abeer Soliman (Mesir), Ton Van De Langkruis dan Judith Uyterlinde dari Belanda, serta Wendy Miller dari Australia. Mestinya saya sudah bercengkerama dengan komunitas dan pelajar di pesisir Galesong bersama penulis Makassar yang saya kagumi, Hendragunawan S. Thayf, dan peteater yang namanya sudah lama intim di hati saya, Shinta Febriany. Mestinya saya sudah menyisir bibir pantai, bertukar sapa dengan penduduk pesisir bareng Hamran Sunu—novelis muda Makassar yang semalam suntuk dituturkan kepiawaiannya oleh M. Aan Mansyur—dan penulis muda Makassar lainnya, Erni Aladjai.

Faktanya, saya masih bertangkup selimut, belum sikat gigi, belum cuci muka, apalagi mandi. Ketika mata saya menoleh ke dipan Aan, tilamnya sudah kosong. Saya langsung teringat linikala Esha Tegar Putra di twitter yang menyebut Aan sebagai kurator plus LO.

AC yang disetel di angka 16 mulai terasa dinginnya. Matahari sudah menyelinap lewat gordin yang sedikit tersingkap. Yang pertama memikat hati saya, seperti biasa, adalah telepon genggam. Dan, di layarnya. Bujug! Ada 12 panggilan tak terjawab, 8 pesan pendek, dan akun twitter yang seolah melambai untuk segera disambangi. Handphone itu saya taruh kembali, lalu bergegas bangkit, bermalas-malasan meraih sebotol air mineral yang telah disediakan pihak manajemen hotel di sisi lemari pakaian. Terasa kesegarannya ketika air itu meniti tenggorokanku. Aih, lebay deh!
Baru saja berniat ke kamar mandi, handphone-ku menjerit. Ternyata Si Cantik dari Parung, Shahrena.

“Ayah lagi ngapain?”
“Mau mandi!”
“Idih, jorok. Penulis internasional kok malas mandi.”
“Eh, dilarang ceramahi orangtua, kualat.”
“Hehehe, Ayah diktator.”
Dan, tawa renyah bidadari kecilku berayun-ayun di telinga.

Begitu Rena menutup perbincangan, saya segera bergegas ke kamar mandi.

Makassar Tidak Kasar

Matahari sudah terasa teriknya begitu saya tiba di pelataran hotel Valentino. Tak ada taksi, tak ada pete-pete yang lewat. Tapi, di sudut kanan jalan, seorang tukang becak sedang mangkal. Segeralah tanganku melambai, begitu melihat ia menoleh kepadaku. Langkahku terayun begitu ringan. Dan setelah bertanya ongkos ke Museum Kota Makassar, saya segera duduk di joknya. Naik becak di Kota Makassar, lama nian tak merasakaannya. Dan, setelah perbincangan ringan dengan daeng becak, ternyata ia sekampung dengan teman SMP saya di Jeneponto. Nah, makin rindu kampung deh!

Begitulah. Makassar sudah terik sepagi ini.

Akhirnya tibalah saya di Museum Kota Makassar. Bisa ditebak, wajah yang langsung saya kenali adalah penyair kelahiran Bone yang selalu dirahasiakan tahun kelahirannya, Aan. Tanda pengenal dan buku program segera berpindah ke tanganku. Aan juga yang mengabarkan bahwa penyair kelahiran Surakarta, Sapardi Djoko Damono, sudah tiba lebih dahulu. Bersama istrinya, Prof Sapardi—begitu biasa saya menyapanya—sedang asyik mengamati koleksi museum. Sembari mengulurkan tangan, dengan lembut saya sapa penyair yang sajaknya kerap diterakan di kartu undangan pernikahan itu.
Ya, hari ini, saya akan duduk semeja dengan Prof Sapardi untuk berbincang soal kreativitas bersama komunitas di Makassar. Acara Bincang Komunitas ini terselenggara berkat kerja sama antara MIWF 2011 dengan Gerakan Makassar Tidak Kasar, gerakan yang selama ini hanya kerap saya baca di media maya. Yang menggembirakan adalah karena pagi ini saya juga bertemu dengan pemilik akun @SupirPete2 di twitter. Ternyata!

Pukul 10.00. Aan segera menyapa seluruh peserta dan mengajak mereka menempati kursi yang telah disediakan. O ya, salah satu keunikan pengemasan acara ini adalah becak yang berderet rapi, sengaja disediakan sebagai tempat duduk bagi para penghadir. Unik, selera unik yang menggelitik. Dan, Keyka pun mulai mengenalkan apa dan hendak mengapa Gerakan Makassar Tidak Kasar itu.

“Tidak bisa dimungkiri, media turut menanam saham, sehingga wajah Makassar yang kesohor di luar adalah wajah yang ‘sangar’ dan ‘kasar’. Berita yang dikabarkan pun selalu berkisar pada kekerasan. Mengingat berita memang membutuhkan hal-hal aneh, kita terpaksa memakluminya. Tapi, seandainya boleh berharap, setidaknya disampaikan secara berimbang, atau menuturkan pula muasal tindak kekerasan itu,” begitu kata Keyka saat dipersilakan Aan untuk memulai perbincangan.

Bagi saya, kritik semacam itu perlu. Tugas media bukanlah semata mencari sensasi, mereka juga wajib mengambil bagian dalam upaya “membangun kecerdasan bangsa”. Berita seputar Makassar, hingga saat ini, memang didominasi rekaman sedih dari hal-hal mengerikan yang mewarnai pertumbuhannya: perkelahian antar-gang, demonstrasi rusuh, dan tindak kekerasan lain, semua ini adalah potret buram Makassar yang menghiasi ruang media, terutama media televisi. Seolah asin dan garam, Makassar dan kekerasan seolah kembar identik yang tak terpisahkan. Akan tetapi, media kan memang gemar memburu sensasi.

Keyka juga berkisah tentang kegiatan yang selama ini telah dilakukan, termasuk kampanye menumbuhkan kreativitas kalangan muda Makassar. Mawar, seorang penyiar radio yang turut aktif dalam gerakan ini, juga memaparkan program Piknik Asyik, pelesir ke ruang-ruang publik—yang jumlahnya makin terbatas—dengan santai dan menyenangkan. Unjuk saran pula, Ancu Amarah, pegiat Kampung Buku, bertutur tentang program layar tancap. Semacam ajakan bagi kalangan muda untuk menonton film-film berkualitas. Konon, lewat @dewi_boelan, komunitas ini secara rutin menyajikan kutipan-kutipan inspiratif dari petikan dialog film.

Lalu, tiba giliran saya bertutur soal pengalaman menggiatkan Gerakan #koinsastra, gerakan yang bersama-sama teman-teman juga bermula dari kicauan di twitter. Bincang asyik itu pun diakhiri dengan gaya khas Prof Sapardi yang membabar pentingnya kreativitas dalam hidup ini.

Tradisi Massure’ dan Film Persembahan

Akhirnya, tibalah kita di malam pembukaan. Inilah salah satu di antara sekian banyak keunikan MIWF 2011. Sebenarnya, Sekar Chamdi dan Ana P. Diwayana sudah memulakan rangkaian program MIWF pada hari pertama (Senin, 13 Juni 2011) lewat program Creating Bookcraft bersama Forum Indonesia Membaca. Begitu pun Aan dan penulis Makassar yang telah mengangkasa lewat program Sastra di Udara, tepatnya di Selebes FM. Namun, secara resmi, pembukaan MIWF 2011 baru akan dilakukan malam ini.

Malam ini saya ditemani guru teater semasa di SMKI Negeri Ujung Pandang, Asia Ramli Prapanca. Menyasar Pantai Losari, lalu masuk ke Hotel Pantai Gapura. Dan, gila! Saya takjub—boleh juga disebut terkagum-kagum—melihat arsitektur restoran Balla’ Irate yang terapung di pinggir Laut Makassar. Betapa tidak, tiang-tiang penyangga terpacak kukuh ke tubuh laut. Alangkah!

Dan, sayat kesok-kesok, alat musik tradisional yang kerap mengiringi sinrilik—sastra tutur khas Makassar—menyambut tetamu. Sungguh, tak banyak orang yang kukenal. Hingga tampaklah Moch. Hasymi, esais yang dulu kerap saya baca karyanya di koran-koran. Lantas Arman Dewarti, peracik film. Yang lebih mengejutkan adalah perjumpaan saya dengan teman seangkatan di SMKI Negeri Ujung Pandang, Ancu Batara. Bayangkan, saya terpisah dengannya nyaris 16 tahun.

Setelah acara makan-makan (hiks, ada ikar bakar favorit saya!), malam pembukaan pun dimulai. Luna Vidya, jago monolog yang sudah melanglang buana, membuka ritual dengan celetukan-celetukan yang segar. Lagi-lagi, satu kejutan yang menggetarkan, Indo’ Masse tampil Massure’, sastra lisan Bugis yang kini jarang tertemukan. Mozaik tradisi yang memukau. Setiap lengkingnya adalah simfoni merdu membelai kalbu. Tak lama berselang, seperti lumrahnya ritual pembukaan acara, sambutan demi sambutan digelar. Bermula dari Direktur MIWF 2011, Lily Yulianti Farid, lalu Direktur Rumata’ yang juga sineas kelahiran Makassar, Riri Reza. Terakhir, sambutan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Ritual pembukaan ditandai dengan pemukulan 4 gong secara serentak oleh Lily, Riri, Walikota, dan Direktur Writers Unlimited de Hague Literatue Network, Ton Van De Langkruis.

Pada saat menuturkan sambutannya, Lily juga memperkenalkan 4 pendekar sastra Makassar yang dipilih kurator menjadi peserta MIWF 2011, yakni Hendragunawan S. Thayf, Shinta Febriany, Hamran Sunu, dan Erni Aladjai. Kemudian, Lily memperkenalkan pembicara tamu kelahiran Makassar, yakni Ryana Mustamin, Fauzan Mukrim, dan saya.

Tibalah giliran Ton menampilkan satu demi satu peserta dari mancanegara. Bermula dari Mazaa Mengiste. Novelis kelahiran Ethiopia ini kini bermukim di New York, Amerika Serikat. Lalu, Abeer Soliman. Penulis asal Mesir ini memulai debutnya lewat Diary of an Old Spinster. Konon, ia termasuk pegiat revolusi Mesir. Berikutnya, esais dari Turki, Gűndűz Vassaf. Terakhir, Rodhaan Al Galidi, penyair kelahiran Irak yang kini menetap di Belanda. Kelak, di catatan berikutnya, akan saya tuturkan kehebatan karya mereka, termasuk duet maut saya dengan Rodhaan dan kolaborasi cantik saya dengan Abeer.

Kejutan lain akhirnya tiba. Film persembahan untuk Muhammad Salim tayang di layar. Tampillah sosok sejarawan dan pejuang literasi yang dengan tekun menerjemahkan I La Galigo, karya sastra Bugis yang diamini banyak kalangan sebagai epik terpanjang di dunia. Tidak banyak sosok yang bisa setekun Salim dalam menceburkan dirinya secara menyeluruh ke dunia literasi. Maka, layaklah film ini dipersembahkan secara khusus kepadanya. Film dokumenter ini diracik oleh sutradara eksentrik, Arman Dewarti. Di ujung tayang film, tersaji lagi adegan yang memiuh-miuh hati: penyerahan film kepada istri almarhum Muhammad Salim. Apresiasi yang menggetarkan dari kalangan muda kepada pendahulunya. Salut!

Ritual pembukaan pun ditutup dengan parade pembacaan sajak Sapardi Djoko Damono yang dianggitnya dari terjemahan I La Galigo. Hamran, Erni, Shinta, Hendra, dan Aan tampil satu per satu, kemudian dipungkasi oleh Prof Sapardi.

Dan, berakhirlah acara pembukaan yang menggetarkan hati.

Sejam di Gedung Kesenian Makassar

Selepas acara pembukaan, saya tak bersegera ke hotel Valentino. Alih-alih merebahkan penat di kamar, saya malah bertandang ke Gedung Kesenian Makassar—yang hingga kini renovasinya tak kunjung rampung. Adalah kegembiraan bersejarah bisa kembali mencecap angin mammirik di pelataran gedung. Rupa-rupa tingkah ada di sana. Satu meja digelimuni anak-anak muda yang asyik main domino, satu meja sedang sibuk bercengkerama, satu meja lagi menyaksikan adu strategi catur. Sesekali terdengar gurauan khas Makassar.

Begitulah. Hari kedua MIWF. Tak terlupakan!

(Bersambung)

Rabu, 22 Juni 2011

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Pertama (Senin, 13 Juni 2011)


Buku Menunggu, Menunggui Buku

Sebenarnya ini adalah perjalanan kembali ke tanah kelahiran. Semacam tapak-tilas yang—sambil menyelam minum air—memungkinkan saya dapat mengikuti program Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011 sekaligus menyambangi keluarga di Makassar. Begitulah awalnya. Saya terima ajakan Lily Yulianti Farid untuk berpartisipasi di MIWF sebagai penulis tamu, semacam sumbangsih saya, penulis kelahiran Makassar, bagi dunia literasi di tanah kelahiran.

Tentulah perlu saya tuturkan alasan yang melatari ketakziman saya pada kegiatan dahsyat ini. Sebagai seorang praktisi perbukuan, dunia literasi adalah panggilan jiwa. Tak elok rasanya jika menampik tawaran untuk berpartisipasi dalam kegiatan ‘mewah’ ini. Betapa tidak, MIWF 2011 dirancang serius untuk memperkenalkan sastra dunia dan menumbuhkan minat baca dan tulis di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan muda agar lahir generasi yang mengapresiasi sastra dan memiliki minat baca yang tinggi. Selain itu, kegiatan ini dalam upaya membangun citra Makassar sebagai kota yang ramah, aman dan representatif bagi kegiatan seni dan budaya, yang diharapkan sekaligus bersinergi dengan sektor pembangunan lainnya, termasuk pendidikan sastra dunia, dan promosi wisata sejarah dan budaya.

Jelas sekali, kegiatan ini ibarat oase bagi petualang, menyegarkan!

Masih siang, Parung sedang mendung. Taksi yang saya tumpangi mulai bergerak ke bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 12.00 BBWI. Sebenarnya pesawat yang saya tumpangi tinggal-landas pukul 17.30 BBWI, tetapi karena takut macet merintangi perjalanan, akhirnya saya berangkat lebih cepat. Apalagi saya berencana singgah di kantor teman, Bamby Cahyadi, untuk mengambil beberapa buku yang dulu saya titip simpan di kantornya. Benar saja, jarak yang hanya sekitar 50-an km dari Parung ke Cipete harus ditempuh selama 2 jam. Macet memang luar biasa! Alhasil, tibalah saya di kantor Bamby Cahyadi setelah melalui perjuangan penatnya ditelan macet. Sebatang rokok putih tamat riwayatnya, mumpung turun dari taksi. Lalu, perjalanan ke bandara pun dilanjutkan.

Alhasil, pukul 16.17., tibalah saya di bandara. Saya pun bergegas masuk, boarding pass dan segera ke ruang tunggu. Tentu saja, sebagai perintang jenuh menunggu jadwal terbang, Maria, novel anggitan Vladimir Nabokov menemani liuk tarian mata saya. Masih lama, 17.35. baru naik ke pesawat. Novel sejumlah 205 halaman yang bertutur tentang kisah cinta pertama Maria dan seorang pemuda yang terperangkap di masa silam itu tamat, tepat ketika pengumuman penundaan pesawat disampaikan oleh petugas bandara. Aih, lagu lama! Segera saya buka tas lagi, kali ini tangan saya bertukar sapa dengan Umar Kayam, Jalan Menelikung. Menunggu memang menjemukan, tapi membaca selalu menenangkan!

Waktu di telepon genggam saya sudah menunjukkan pukul 18.45. ketika amar ke pesawat singgah di telinga. Dua buku untuk maskapai yang, konon, merugi karena terbiasa delay. Katanya rugi, kok delay melulu. Heran, kan?

Gairah Itu Terbaca di Mata Mereka

Sudah pukul 22.25 BTWI ketika telepon genggam saya berdering. Di layarnya terpampang nama penyair yang kerap menyihir hati saya lewat sajak-sajaknya, M. Aan Mansyur. Darinya saya dapat kabar ihwal nomor kamar dan—yang paling menggembirakan—saya sekamar dengannya. Sebut saja ini reuni, semacam tualang di semenanjung kenang sembari menyigi kembali sejarah kepenulisan saya. Betapapun, dari Aan-lah bermula gairah menulis di hati saya, ia yang menyemangati dengan cara yang samar dan menantang dengan cara tak lumrah. Jadi, tak pelak lagi, rianglah hati ini, dan segala letih di perjalanan lesap sudah.

Semakin ruap bahagia di hati ketika mendapati kakak saya, Bakaring, begitu setia menunggu kedatangan saya. Alamat tak perlu pusing mencari kendaraan menuju hotel tempat menginap. Gratis, bro! Lagi-lagi, seperti biasa, sayalah yang selalu memulakan perbincangan. Hahaha, namanya juga tukang kompor. Meski saudara sekandung, tabiat saya dan kakak saya bak pinang tak pernah dibelah, satu pendiam satunya lagi rajin bicara. Hingga tibalah saya di Hotel Valentino. Risno, menantu Kak Baka, langsung kembali ke Sudiang. Sedangkan saya langsung disambut penjemput tamu dengan senyum khas—senyum yang disetel seperti mesin—dan mengabarkan bahwa kamar 303 sudah siap ditempati. Hmmm, bakal tidur lelap nih!

Begitu keluar dari lift di lantai 3, Aan sudah menanti saya dengan pelukan hangat, mata sarat cahaya, dan senyum tulusnya. Aih, rindu terbayarkan. Saya pun masuk kamar, bertukar kabar dengan Aan, dan bersegera membuka akun twitter. Ternyata, kamar 303 bakal diserbu sahabat-sabahat yang lama tak bersua. Anchu Amarah, Bondan, Mubarak, Reysha, dan Jimpe siap bertandang dan menyasar makanan malam khas Makassar. Letih? Tidak juga. Bertemu sahabat adalah ritual penting yang selalu ‘membahagiakan’.

Malam pertama MIWF 2011 saya habiskan bersama semangkuk coto bagadang dan segelas kopi Daeng Rustam. Tentu saja, digelimuni sahabat-sahabat yang di mata mereka gairah selalu bercahaya.

Alangkah!


Di Atas Tanah Kelahiran

Demikianlah. Setiap kecintaan dan kepedulian terhadap ranah leluhur selalu bisa melahirkan rupa-rupa warna emosional. Ketika hasrat itu terpenuhi, rasa bahagia berkelindan di hati, mengalami kesenangan dan ketenangan tak tepermanai, dan merasakan kegembiraam tak berhingga. Betapa tidak, sepanjang hidup di perantauan, kabar yang marak didendangkan media dari Makassar acapkali tak beranjak jauh dari perselisihan, tawuran, demonstrasi rusuh, atau pertumpahan darah. Seolah Makassar itu tak ada apa-apa selain kekasaran dan kekerasan.

Malam ini, saya turut ambil bagian dalam kerja budaya yang luhur, bergabung dengan penulis Makassar dan mancanegara untuk berbagi pengalaman dan pemikiran. Dari sudut ini, patutlah kiranya panitia mendapat acungan jempol. Salut atas kerja cerdas teman-teman Rumata' dan seluruh pihak yang berkontribusi sehingga acara ini dapat terlaksana.

Di atas tanah kelahiran. Ini nyata. Bukan mimpi!

(Bersambung)

Kamis, 16 Juni 2011

Kamulah Lautku!

Kamulah Lautku!
Khrisna Pabichara


Kamu, bagiku, adalah laut yang birunya selalu
tak pernah tamat kuselami teduhnya. Dan, ombakmu
adalah geletar rindu yang tak selesai membentuk
garis lengkung di hatiku. Selalu lagu, selalu
warna, selalu puisi.

Seolah telah ditakdirkan aku menjadi perahu,
kamulah pantai yang melambai-lambaikan karang
kerinduan yang lebih purna dari kemurnian, dan
singgah seringkali peristiwa paling sejarah.
Selalu indah, selalu penuh, selalu bunyi.

Ketika tujuan menjadi musabab sebuah tualang,
kamulah sesungguhnya tujuan itu. Lihatlah awan
berselisih dengan burung pengabar, benarlah
semua rindu bisa terbaca dan tersembuhkan. Aih,
akulah rindu yang selalu hujan di hatimu.

Kamu, bagiku, adalah laut keabadian. Yang tak
merisaukan, yang tak menakutkan. Beri aku satu
ombakmu, satu saja, agar kamu tahu sesungguhnya
akulah yang kekal merindumu.

Makassar, Juni 2011

Minggu, 12 Juni 2011

Hikayat Para Perindu

Hikayat Para Perindu
Khrisna Pabichara


1.
Bahkan malam sembunyikan rembulan
karena sepakat denganku, alangkah
matamu lebih cahaya.

Ketahuilah, karena rindu, aku bahkan
lebih gila dari Qais, yang bermusim-
musim menunggui Laila di sesat rimba.

2.
Lalu, tiba-tiba senyap membunyikan
rindu di ceruk malam. Adalah kamu
yang berkeredip di langkan angan.

Padahal kamu berjanji, demi rindumu,
tak perlu pura-pura mati seperti Romeo
sewaktu memburu rindu Juliet?

3.
Rindu memerkah setiap malam. Seolah
tertemu rumah teduh, walaupun kamu
tak berdiang di senyapnya.

Selebihnya, aku adalah Datu Museng
yang berjanji menemui Maipa, ketika
petang memanjakan bayang-bayang.

Parung, Juni 2011

Sabtu, 11 Juni 2011

Tuhan Mengirimkan Kamu untuk Kurindui

Tuhan Mengirimkan Kamu untuk Kurindui
Khrisna Pabichara


Pernah aku sesali perkenalanku dengan malam. Tetapi,
begitu mengenalmu, aku tahu malam selalu indah,
karena rindu. Kepadamu. Bagiku, matamu adalah kelu
rindu paling rahasia yang betapa sulit menakarnya.

Malam ini, rindu ialah cermin hening yang memantul-
mantulkan bayangmu dan memental-mentalkan sepiku.
Tak perlu bertanya kenapa atau demi apa, muasal
rinduku tak dilahirkan oleh bilamana atau dari mana.

Seperti telah terkatakan, perempuanku, rinduku lahir
dari kepurbaan mencinta dan selalu terbarukan. Bunga
dan kupu sudah lelap. Taman dan jalan mulai mati.
Tinggal aku, tetap berjaga di tidurmu menunggui rindu.

Ketahuilah, rindu bagiku adalah ketika hujan tumpah
dan laut bersiap mengarak awan baru. Begitulah Tuhan
mengajariku merindu dan mengirimkan kamu untuk selalu
kurindui. Begitu. Selalu.

Parung, Juni 2011


Parung, Juni 2011

Kado Cinta untuk Rena

Kado Cinta untuk Rena
Sebuah catatan ringkas di usia ke-6 Shahrena Adenia Pabichara


Setiap menjejak 11 Juni, Anakku, yang terpampang adalah detik-detik menjelang kelahiranmu. Ayah ingat, Nak, waktu itu, Jumat malam, ketika dompet Ayah sedang kering-keringnya, perut bundamu melilit menunjukkan isyarat kamu--yang waktu itu masih dalam rahim--hendak segera diayun di lengan ringkih Ayah. Tengah malam, Sayang, tak ada kendaraan atau apa pun yang bisa digunakan untuk berangkat ke rumah bidan.

Kamu tahu, Nak, seperti kerap Ayah ceritakan kepadamu, Ayah membangunkan Daeng Uddin untuk mengantar ke rumah Kak Susan, tantemu yang bidan itu. Tetapi kelahiranmu--yang sengaja dipilihkan di kampung leluhur Ayah--memang sudah digelimuni cinta. Tiba-tiba saja banyak yang datang menawarkan motor atau mobil untuk mengantar Bunda dan tante-tantemu ke rumah Kak Susan. Begitulah, Nak, semesta kerap menyediakan rahasia keburuntungan yang kita tak tahu bilamana dan dari mana.

Seperti telah pula Ayah kisahkan kepadamu, Nak, tersebabkan terlahir dengan tanda-tanda khusus yang diyakini masyarakat Turatea, dulu Ayah dicap akan sulit mendapatkan keturunan. Tetapi takdir memang telah digariskan, bahwa engkau--cahaya mataku--sungguh adalah kegembiraan dan kebahagiaan tak tepermanai. Maka, tentulah kelahiranmu ditunggu-tunggu keluarga besar Yadli Malik Daeng Ngadele.

Proses menunggu kelahiranmu pun istimewa. Setelah pembukaan pertama pada Sabtu dinihari, segala terhenti. Tak ada tanda bakal segera tuntas, kecemasan menggantung di benak Ayah, peluh menggantung di kening Bundamu, dan Kak Susan yang takjub dan tetap tersenyum, hingga selepas azan Ashar barulah isyarat itu menjadi nyata. Om Armin, pamanmu yang dulu menemani masa remaja Ayah, mendorong perut Bundamu, bersama Tante Upi dan Ayah yang terperenyak melihat Bundamu tak mampu lagi mengejan. Nyaris diputuskan untuk menempuh cara lain, tapi Ayah berkukuh memilih kelahiran alamiah. Tuhan dan semesta memberikan kemudahan, kamu terlahir sempurna tanpa isak tanpa tangis seperti lumrahnya bayi yang baru lahir. Bahkan hingga pundakmu ditepuk lembut Kak Susan dan Ayah membacakan sajak cinta di kupingmu, kamu belum juga menangis. Keanehan yang mencemaskan.

Terlahirlah kamu, 11 Juni 2005, dengan nama yang sudah dipilihkan oleh Ayah: Shahrena Adenia Pabichara, putri Pabichara yang riang yang seharum bunga Adenium. Begitulah, Nak, kamu lahir di tengah suasana prihatin, tetapi Ayah dan Bunda selalu punya cinta. Ketika usiamu 42 hari, dengan menumpang kapal laut Bukit Siguntang, kamu berangkat ke Parung bersama Bunda dan nenekmu, Milah Jamilah, yang menyusul ke Makassar 3 hari setelah kelahiranmu. Sementara Ayah masih harus tinggal di Jeneponto karena menjadi Kepala Asrama di sebuah kegiatan, Akademi Pelajar Cerdas Turatea 2005. Ayah baru bisa memelukmu lagi, mencium keningmu lagi, membacakan dongeng-dongeng lagi, ketika usiamu sudah tiga bulan. Sejak lahir kamu memang jarang bersama Ayah, tapi bukan karena tak cinta, Sayang.

***

Kini, kamu sudah berusia enam tahun. Sudah bisa membaca, sudah mulai mengaji, dan terus menagih janji Ayah untuk mengajarkan cara mengeja aksara lontarak. Pertemuaan kita yang kerap tak lebih dari dua atau tiga kali dalam seminggu, tentulah bukan penghalang bagi kita untuk tetap saling mencinta. Ibundamu, Mamas Aurora Masyitoh, selalu ada di sampingmu, Nak. Menemanimu bertumbuh, menemanimu bertambah.

Kini, di rahim bundamu, sedang tumbuh janin adikmu. Telah kita sepakati namanya, Rayya atau Rendra, yang bagimu adalah kado ultah terindah. Tetaplah penuh cinta, Nak, tetaplah penuh cinta. Seperti bundamu, seperti ayahmu. Seperti kedua almarhum kakekmu: Yadli Malik Daeng Ngadele dan Didin Syamsudin. Seperti cinta pamanmu, Bakaring Yadli, dan seluruh kerabat di Makassar. Seperti cinta eyangmu, Mak Iyoh Rosmiah, yang baru berpulang ke sisi-Nya seminggu silam.

Dan, tahukah kamu, Nak? Diam-diam Ayah menangis ketika kamu meminta kado. "Kehadiran Ayah di sisi Rena adalah kado terindah yang paling membahagiakan bagi Rena." Terima kasih, Nak. Kamulah cahaya yang selalu memerkah di hati Ayah dan Bunda.

Selamat Ulang Tahun, Sayang. Ayah mencintaimu. Selalu. Bahkan lebih dari sekadar selalu!

Parung, 11 Juni 2011

Jumat, 10 Juni 2011

Jantung Rinduku

Jantung Rinduku
Khrisna Pabichara


Bahkan di rahim malam aku temukan matamu
terpejam, seluruh yang hidup di tubuhku
seolah lesap ke dalamnya.

Bahkan aku lupa caranya menyebut namamu,
karena jantungku setia membisikkan namamu
di setiap denyutnya.

Bahkan rinduku melebihi bening embun, dan
selalu lekat di hening subuhmu.

Bogor, Juni 2011

Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu

Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu
Khrisna Pabichara

Barangkali yang bisu hanyalah puisi. Yang
kutulis menjelang rindu, dan angin malam
membisikkannya di hatimu.

Aku tak mampu menerjemahkan setitik embun
yang menggantung di sudut matamu. Begitu
rahasia, begitu membakar.

Sungguh, aku tersesat di setapak perasaan
ketika peta menghapus namamu, dan sunyi
makin menjauhkanmu dariku.

Parung, Juni 2011

Rabu, 08 Juni 2011

Balada Sang Pejudi

Balada Sang Pejudi
Khrisna Pabichara


Aku bak pejudi dan rinduku adalah peruntungan,
beribu kemungkinan yang bisa menyata, Cinta.

Dan, namamu adalah mata dadu, setiap sisinya
adalah harapan—kemalangan dan kemenangan.

Hingga warna kematian mengalir dan mengalur
di kepung kabung. Gilang dan malang bertindihan.

Kita, sejatinya, adalah rindu yang mendentam
bertalu-talu di kujur tubuh dan ruh. Ah!

Bogor, Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

Puisi Pencatat Rindu

Puisi Pencatat Rindu
Khrisna Pabichara


1.
Dari urat-urat pagi menetes kesunyian, mungkin
terus terjadi selama waktu tak berhingga, dan
kesunyian menelusup melesapkan rinduku.

2.
Ketahuilah, aku takkan mengabarkan rinduku,
karena aku khawatir angin akan mengaburkannya
dan kamu tak pernah sempat merasa kurindui.

3.
Akulah yang senantiasa menyediakan segalanya
untukmu, meskipun kamu belum juga menjanjikan
apa pun untukku. Karena rindu, Kekasih, rindu.

4.
Karena kamu adalah hulu, maka akulah hilir
yang selalu bermula darimu. Betapa pun jauh
rinduku mengalir, hujan akan pertemukan kita.

5.
Aku berjalan menyigi setiap demi setiap waktu,
rayakan kesejatian dan keabadian merindu:
kelak kamu namai segala.

6.
Rinduku taklah menyiksa hati, Kekasih,
ia semacam pejalan jauh yang selalu temukan
perhentian: memeluk sejuk, menanak sajak.

7.
Kamu adalah ketika rindu meniscaya, dan aku
dijebak keterasingan. Apakah ini duka atau suka?
Biarlah, semesta kelak jadi Sang Penyaksi.

8.
Tahukah kamu, Kekasih, mengapa setiap pagi
aku mematung di pematang lengang? Matamu,
Kekasih, seolah matahari penghangat rinduku.

9.
Bila kamu berniat pergi, pergilah. Hatimu sudah
berurat-akar di tubuhku, sementara di tubuhmu
sebenarnya adalah hatiku: yang melulu rindu.

10.
Rindu adalah kamu. Benar-benar kamu!

Parung, Juni 2011

Pejalan Kesepian

Pejalan Kesepian
Khrisna Pabichara


Aku bak pejalan yang keletihan, tak kunjung temukan
rindumu. Padahal, telah kukunyah berpotong-potong petang,
mungkinkah kamu sembunyikan dia di kedalaman betapa?

Selebihnya, rinduku melampaui jumlah butiran
hujan, dan tercurah lebih tiba-tiba dari yang
kamu inginkan. Mestinya selamanya, ya, selamanya.

Bagiku, kamu adalah kesepian dan kekinian, dua
candu yang kudatangi seringkali. Maka, kutamukan
rinduku yang tersipu dan alangkah malu.

Bogor, Juni 2011

Senin, 06 Juni 2011

Nyanyian Hutan

Nyanyian Hutan
Khrisna Pabichara


Semenjak malam bersiasat menipuku
sembunyikan denyut di sekejut kabut

Tiba-tiba aku kangen suaramu, seolah
belukar merindukan nyanyian hewan

Karena cinta adalah kita yang tercekat
dan tersesat di rimbun embun

Di hutan ini, semua pohon bernama rindu
dan segala arah berulu kepadamu


Gunung Halimun, Juni 2011

Sepatu Sebelah Kiri dan Caraku Mengingatmu

Sepatu Sebelah Kiri dan Caraku Mengingatmu
Khrisna Pabichara


1.
Bukankah kita sepakat menjadi sepasang sepatu
yang saling menguatkan dan mengindahkan
sepanjang tualang?

Tetapi rindu mengaburkan wajahmu di anganku
hingga sepi berkali-kali menegaskannya, dan aku
sepatu sebelah kiri yang berhari-hari sendiri

Kecemasan tak pernah benar-benar mampu
menakutiku, kehilangan dirimulah yang sungguh-
sungguh mencemaskanku

2.
Aku takkan lelah mengingat dan merindumu,
karena kamu tak pernah lelah mengingatkanku
untuk merindumu

Ada banyak cara mengingatmu, perempuanku,
tetapi yang paling kusuka adalah caramu
mengingatkanku lewat mimpi

Di matamulah, perempuanku, cahaya berumah
di sana, malamku memastikan yang lebih kilau
dari rembulan

3.
Seolah matahari pagi, kutunggu cahayamu
untuk menghangatkan rinduku
di sepanjang tualang

Gunung Halimun, Juni 2011

Sabtu, 04 Juni 2011

Manakala Sajak-sajak Berloncatan

Manakala Sajak-sajak Berloncatan
Khrisna Pabichara


1.
Yang kutahu dari seketika adalah jarak antara pengakuan cintamu dengan kepergianmu. Aku linglung di simpang jalan, berharap angin sudi bergerak tunak ke tanjung cinta. Berharap dari sana dapat bermula cerita. Tapi, kita biarkan ketulusan pergi sebelum ia selesai mengajari kita rahasia kehilangan. Sesudahnya, kita sibuk saling menyalahkan.


2.
Rindu adalah pakaian yang kukenakan agar kamu mengenaliku dari kejauhan. Kita bertemu manakala kota-kota dirambati fitnah. Lumpur bergerak, mencekik leher. Kita menjadi arca, tugu airmata. Dari matamulah, sesungguhnya, kukenali indahnya kesendirian. Ialah kemerdekaan sejati, yang kerap kamu intimi ketika sunyi menegaskan diri. Sungguh, apa yang kita sebut sebagai cinta tak lebih dari eratnya pelukan perpisahan. Sesudahnya, kita berlomba menanak rindu.


3.
Kita adalah perantau yang sama-sama sibuk menumpuk harapan. Di persimpangan, perpisahan kita pilih sebagai cara. Terakhir kamu kecup harapanku sembari membaca mantra Marquez dan Coelho. Mantra yang merambat, menjulur, dan mengeram di dada. Sesungguhnya, bagiku, kamu adalah hulu, tempat segala yang bergerak kehilangan hilir.


4.
Kamu adalah harapan yang memaksa untuk terus kujangkau. Selamanya. Bahkan, lebih lama dari selamanya.


Parung, Mei 2011

Kamis, 02 Juni 2011

Sajak Hari Libur

Sajak Hari Libur
Khrisna Pabichara


1.
Kekasih, ini hari pertama aku tanggalkan benakku dari ingatan yang tunggal: Kamu. Aku tahu, kamu pasti sangsi bagaimana rindu ini bisa lesap. Tetapi, ketahuilah, telah kutemukan muasal sendu. Seperti katamu, kesempurnaan itu tak pernah ada, termasuk kesempurnaan merindumu.

2.
Kekasih, betapa kecemasan kerap diam-diam menelusup ke sumsum jiwaku. Bagiku, kamu adalah layang-layang yang tidak menjadikan angin sebagai penentu. Dan aku, ya, aku cemas tak pernah bisa benar-benar mampu mengejarmu, menjangkaumu, mendekapmu. Tetapi, ketahuilah, aku masih punya sedikit kecemasan agar sungguh-sungguh tidak terlalu cemas kehilangan kamu.

3.
Kekasih, rindu memang telah mengutuk aku dalam keabadian. Selalu begitu. Tetapi aku masih tetap suka merayakan kepedihan ketika rindu kepadamu memastikan rahasia kesunyian. Maka, kubiarkan saja rindu-rindu itu bepergian mencarimu, seberapa pun mustahilnya, karena aku yakin telah dipilih takdir sebagai perih yang paling merindumu.

4.
Kekasih, sesungguhnya, hari libur yang paling kutunggu adalah ketika kamu rehat menyesaki ingatanku.

Parung, Juni 2011