Jumat, 08 Juli 2011

[Puisi] Semesta Cinta

Semesta Cinta
Khrisna Pabichara


Sebut saja hatimu telah ditumbuhi cinta
dari yang lain, merinduimu sering kali
lebih membahagiakan daripada memilikimu

lalu apa yang kamu namai rindu, sebenarnya,
hanyalah hampa di semesta cinta. Sementara
mimpi dan rindu terus bersekutu memampang
sosokmu di tidurku.


Bogor, Juli 2011

Jumat, 24 Juni 2011

Dari Barrang Lompo ke Museum Kota

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Ketiga (Rabu, 15 Juni 2011)


Dermaga Barrang Lompo dan Puisi

Rabu, 15 Juni 2011, pukul 10.25, pertama kalinya saya menyambangi pulau ini. Dulu, dulu sekali, semasa masih bermukim di tanah anging mammiri’, saya belum sempat bertandang ke pulau ini, meski Barrang Lompo tak asing di kuping saya. Pulau itu tidak terlalu luas. Hanya 0,49 km2. Tidak terlalu jauh dari Makassar. Cukup 45 menit dengan menggunakan perahu cepat. Dermaga sederhana menyambut rombongan peserta MIWF 2011

Tepat di seberang ujung jalan dermaga, seorang perempuan muda tersenyum ramah. Aminah. Matanya bercahaya, tubuhnya ramping, raut wajahnya ramah. Beberapa tombak di belakangnya, tampak sebuah plang kecil bertuliskan “Taman Baca Samudra Ilmu”. Sekar Chamdi, pegiat Forum Indonesia Membaca, ternyata ikut membacanya. Dan, seolah dikomando, kami memasuki ruang baca yang berada di kolong rumah panggung salah seorang penduduk. Ukurannya tidak terlalu lapang, mungkin 2 x 4 meter. Di sebelah kiri, 3 meja berderet rapat ke dinding, 6 kursi dan 3 rak buku tersusun dengan bentuk huruf L. Erni Alajai juga sudah ikut nimbrung, melihat-lihat koleksi bersama saya dan Sekar. Sungguh, saya sangat terharu.

“Dari mana koleksi buku-buku ini?” tanya Sekar.

“Bantuan Pemkot Makassar dan beberapa lembaga, Bu,” jawab Aminah.

Lalu, Erni pun bertutur tentang komunitas di Makassar yang bersusah payah mengumpulkan donasi buku, kemudian dikirim ke beberapa perpustakaan di pulau-pulau sekitar Makassar. Sempat pula saya ajukan kemungkinan untuk mengirimkan bantuan buku dari Jakarta.

“Ongkos kirimnya terlalu mahal, Khris. Lebih baik digalang gerakan donasi buku di Makassar. Kalau perlu, satu buku satu rumah,” tutur Sekar.

Begitulah. Anak-anak berdiri di pinggir jalan. Orang-orang dewasa berkerumun di kolong-kolong rumah. Iring-iringan semakin panjang, anak-anak pulau menyatu dengan rombongan penulis. Kamaruddin Azis—yang lebih intim dengan sapaan Makassarnya, Daeng Nuntung—menemani Mazaa dan Abeer berbincang dengan warga pulau. Mereka terkesima melihat semangat gotong royong yang masih terjaga.

Kuburan tua. Unik dan penuh pikat. Terapit di antara dua pohon besar—saya lupa catat nama pohonnya—yang akar-akarnya menyatu dengan bangunan cungkup makam. Bagi saya, ini langka. Atau, setidaknya, ajaib. Akar pohon menyesuaikan diri dengan bangunan yang ada, lambat laun menyusun di sela-sela bata. Rodhaan dan Abeer sangat mengagumi keganjilan itu, Mazaa sibuk foto-foto bersama anak-anak pulau.

Matahari makin tinggi. Ubun-ubun mulai panas. Rombongan kembali bergerak. Arak-arakan semakin panjang. Peserta-peserta MIWF dari mancanegara pastilah menjadi daya pikat bagi penduduk pulau. Di tepi pantai, di bawah terik matahari, seorang remaja sedang berjemur. Agus namanya. Konon, kakinya lumpuh setelah menyelam ke dasar laut mencari teripang. Risiko jadi penyelam, begitu tutur Daeng Sese, salah seorang warga pulau. Tak seberapa lama, rombongan kembali menyusuri pulau. Menyisir Lorong Janda, berbaur dengan perempuan-perempuan yang suami mereka meninggal karena disergap badai sewaktu melaut.

Akhirnya, makan bersama pun tiba.

Pukul 12.40. Kami harus segera kembali ke Makassar, ombak bisa menyulitkan perjalanan kami. Akan tetapi, perahu belum siap. Lily Yulianti Farid, Direktur MIWF 2011, mengusulkan agar Rodhaan baca puisi sambil menunggu perahu. Vlucht naar de zee segera mengalun di bibir Rodhaan, mengalahkan deru ombak. Setelah rampung, Rodhaan meminta Wildan—juru potret pribadinya—membacakan terjemahan puisi itu. Lebih unik lagi, setelah terjemahan Indonesianya usai dibacakan, Rodhaan meminta agar Wildan menerjemahkannya ke dalam bahasa Makassar. Tampaknya, Wildan kesulitan. Saya coba membantunya, kata per kata. Akibatnya, saya didaulat Rodhaan untuk menerjemahkannya. Aih, pengalaman pertama!

Orang-orang mulai berkerumun. Dermaga mulai padat. Kuli-kuli yang menurunkan muatan perahu, berhenti. Mereka menikmati simfoni kami. Alhasil, Kak Lily mengusulkan satu puisi lagi.

Alangkah!

Para Pengarang di Negeri Rantau

Pukul 16.15. Sudah banyak penghadir di lantai dua Museum Kota Makassar. Untung saya sudah mandi setiba di hotel, tadi. Kalau tidak, bisa merusak suasana. Ternyata, usut punya usut, banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas yang menghadiri sesi siang ini. Yakin, ini pasti karena dua pembicara adalah alumni Ilmu Komunikasi, Ryana Mustamin dan Fauzan Mukrim. Jadi, semacam reuni kecil-kecilan. Hehehe....

M. Aan Mansyur membuka acara Bincang Komunitas. Tema perbincangannya ialah Menulis Membuka Jalan. Pembicaranya adalah pengarang-pengarang kelahiran Makassar yang berkarya di perantauan: Ryana Mustamin, Fauzan Mukrin, dan Khrisna Pabichara. Mula-mula Kak Ana bertutur tentang proses kreatif kepengarangannya. Praktisi perbankan yang menganggit cerpen sejak SMP ini bertutur banyak: sejarah, manfaat, dan apa saja yang dialaminya semenjak menulis.

Peserta begitu antusias.

Tiba giliran saya membakar semangat untuk menulis. Tak ada yang sulit, bila kita tekun dan bersungguh-sungguh. Saya juga berkicau tentang pilihan saya menceburkan diri seutuhnya ke dunia kepenulisan. Terakhir, Fauzan Mukrim berbagi pengalaman. Ia berkisah tentang perjalanannya yang kemudian diabadikannya lewat tulisan, jadi buku, dan laris. Sekarang, ia masih tekun menulis, sembari menekuri dunia yang dicintainya, fotografi.

Namanya juga bincang komunitas, tentulah ada sesi tanya-jawab.

Dari enam orang penanya, ada satu yang tak terlupakan. Namanya, Maya.

“Mohon izin bertanya!” Begitu kalimat pembukanya dengan gaya sikap sempurna. Ia mengulangnya lagi, dan lagi, karena belum ada yang merespons permintaannya.

“Saya izinkan!” jawab saya.

Kontan saja, Maya segera menyampaikan apa yang hendak diutarakannya. Saya yakin, banyak penghadir yang merekam kejadian ini dalam ingatan mereka. Terutama Anzhu Amarah dan Mubarak. Lihat saja linikala mereka di twitter. Sesekali mereka berkicau dengan kalimat pembuka, “Mohon izin bertanya....”

Saking asyiknya, perbincangan sore itu seolah lebih laju dari waktu.

Antara Makassar, Irak, dan Belanda

Panggung bertingkat dengan warna merah menyala, gelar karpet merah, orang-orang berseliweran di Jalan Balaikota, dan satu demi satu “pengagum rahasia” yang minta ditandatangani buku programnya—mulai narsis—mengawali malam pembacaan karya.

Ketika Luna Vidya berkicau, seorang perempuan muda mendatangi saya, mengajak foto bareng. Sebenarnya saya malu menjadi pusat perhatian. Namun, demi membahagiakan hatinya, saya penuhi harapannya. Namanya, Anata Aulia Kautsar. Keren banget! Di buku kecilnya saya tulis, “Cinta tak mengenal kata tetapi!” Konon, ia menyukai suara saya. Halah!

Di panggung, Mazaa begitu ekspresif bertutur, sangat memikat. Gunduz juga tampil memukau, esainya yang sangat kritis membabar gonjang-ganjing politik. Lalu, Abeer mencekam penonton lewat kedalaman cerita pendeknya. Tiba giliran Rodhaan, gaya khas dan postur tubuhnya yang—sesekali saya bayangkan tubuh saya seperti tubuhnya—kukuh menyihir penonton.

“Saya minta Khrisna menemani saya di panggung,” kata Rodhaan.

Aih, sepertinya peristiwa di dermaga Barrang Lompo bakal terulang. Dalam hati, saya berharap, semoga hanya satu puisi. Sungguh, menerjemahkan sajak ke dalam bahasa Makassar secara spontan bukanlah sesuatu yang mudah, menguras tenaga. Apalagi, di sela penonton, ada beberapa orang yang saya kenal dan saya tahu sangat paham bahasa ibu saya. Tapi, pede aja! Rodhaan mulai beraksi. Suara beratnya yang sarat daya magis sangat membantu saya menemukan “rasa baca”.

Puisi pertamanya, Ik Heb je Nodig. Terjemah Indonesia-nya, Aku Membutuhkanmu. Saya alihkan ke bahasa Makassar, Sukku’ Kukellanu, Andi’. Begitu raampung kami bacakan satu puisi, tepuk tangan membahana. Bahkan, kata Kak Lily, beberapa pengendara motor menghentikan kendaraannya, menyimak takzim sajian kami. Lalu, Rodhaan membaca sajak kedua, Vlucht Naar de Zee (Tu Na Anyukanga Kalenna ri Tamparanga—Makassar). Langgam ratap ala Makassar jadi pilihan saya, appitoto. Sesudahnya, penonton bersuka cita.

Lalu, puisi ketiga. Lalu, puisi keempat. Saya yakin inilah puisi terakhir, maka saya tetap memberikan yang terbaik. Seperti Rodhaan yang tampaknya makin larut, makin yahud. Ternyata dugaan saya keliru, dan penonton pun tertawa. O ya, gaya saya seolah-olah sudah usai pertunjukannya. Padahal, masih ada satu puisi.

“Ini puncaknya,” kata Rodhaan, melirik saya dengan lengkung samar di bibirnya.

Ketika sepintas membaca terjemahan Indonesia di layar. Saya bayangkan gaya royong, gaya seorang ibu menidurkan buah hatinya atau gaya seseorang merindukan belahan hatinya. Saya reka-reka alun suara dan ekspresi yang akan saya gunakan. Saya pindahkan “ruh” Rodhaan ke dalam “rasa” saya, dan saya alihkan ke bahasa Makassar sebelum Rodhaan menyerahkan kertas yang masih di genggamannya. Ekstase!

Aku ingin berbaring di sisimu, seperti ombak di sisi ombak.
Aku ingin menyatu denganmu, seperti ombak dengan ombak.
Aku ingin lenyap dalam dirimu, seperti ombak dalam ombak.

Cinna sikaliya’, Andi’, attinro ri sa’ringnu
Sanrapang tinrona se’rea bombang ri bombang maraengannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lessa’ ri kalennu
Sanrapang lessa’na se’rea bombang ri bombang rioloangannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lannya’ ri atingnu
Sanrapang lannya’na se’rea bombang ri bombang najammengiya


Sungguh, Rodhaan sempat menangkap kristal yang menggantung di ujung kelopak mata saya, dan saya juga selintas melihat matanya berkaca-kaca. Bahasa boleh berbeda, tapi rasa kami saling luluh, saling leleh. Kami berpelukan, erat sekali. Terpampang di benak saya bayang-bayang seolah sayalah yang dikejar-kejar tentara Irak, bersembunyi dari satu semak ke semak lainnya, menahan napas setiap truk tentara melintas, dan tiba di negeri pelarian demi mempertahankan prinsip: menolak perintah wajib militer. Selintas saja pelukan itu, tapi rasanya berbulan-bulan, bertahun-tahun.

Begitulah. Konon, Riri Reza dan Arman Dewarti pun menyukai duet kami. Bahkan Fauzan menggelari kami “duet maut”. Bahkan Anata pun berkaca-kaca matanya. Bahkan Abeer Soliman pun berat melepaskan genggaman tangannya.

Bahkan, letih seusai berjalan kaki dari Museum Kota ke Hotel Valentino tak berasa.

(Bersambung)

Kamis, 23 Juni 2011

Kubiarkan Rinduku Berguguran di Setiap Mengingatmu

Kubiarkan Rinduku Berguguran di Setiap Mengingatmu
Anata Aulia Kautsar


Rinduku, Kekasih, membuta di benakku dan membatu di hatiku. Ketahuilah, rinduku adalah anak panah waktu yang melaju ke hatimu, melampaui segala yang mungkin kamu pahami.

Bahkan, sesungguhnya, rinduku tak merawat dua kata: jarak dan waktu. Dan hatimu, sejatinya, ruang paling teduh untuk merumahkan rinduku. Sayang, ada rindu lain yang berdiang di sana.

Rinduku, Kekasih, tak menyertakan apa-apa, kecuali kamu. Ketahuilah, di dalam tubuhku selalu ada yang bertambah, yang bertumbuh, yang menjadi. Yang darinya, kemudian, segala bermula.

Bahkan, sesungguhnya, jari-jari hujan yang mengantarkan rinduku takkan pernah tiba di dinginmu, karena kamu sibuk mengejar awan lain. Selebihnya, kita biarkan jarak berkuasa. Hingga rindu tak mampu lagi memampatkannya.


Parung, Juni 2011

Makassar Tidak Kasar

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Kedua (Selasa, 14 Juni 2011)


Berperang Melawan Rasa Enggan

Alarm yang sengaja saya setel pukul 07:00 ternyata tidak sanggup menyeret saya dari peluk mimpi. Sudah pukul 08:25 ketika saya terjaga, padahal hari ini rencana ikut program perjalanan penulis ke Galesong. Ya, hari kedua MIWF 2011. Mestinya pagi ini saya sudah berada di Galesong bersama Mazaa Mengiste (Ethiopia), Rodhaan Al Galidi (Irak), Gűndűz Vassaf (Turki), Abeer Soliman (Mesir), Ton Van De Langkruis dan Judith Uyterlinde dari Belanda, serta Wendy Miller dari Australia. Mestinya saya sudah bercengkerama dengan komunitas dan pelajar di pesisir Galesong bersama penulis Makassar yang saya kagumi, Hendragunawan S. Thayf, dan peteater yang namanya sudah lama intim di hati saya, Shinta Febriany. Mestinya saya sudah menyisir bibir pantai, bertukar sapa dengan penduduk pesisir bareng Hamran Sunu—novelis muda Makassar yang semalam suntuk dituturkan kepiawaiannya oleh M. Aan Mansyur—dan penulis muda Makassar lainnya, Erni Aladjai.

Faktanya, saya masih bertangkup selimut, belum sikat gigi, belum cuci muka, apalagi mandi. Ketika mata saya menoleh ke dipan Aan, tilamnya sudah kosong. Saya langsung teringat linikala Esha Tegar Putra di twitter yang menyebut Aan sebagai kurator plus LO.

AC yang disetel di angka 16 mulai terasa dinginnya. Matahari sudah menyelinap lewat gordin yang sedikit tersingkap. Yang pertama memikat hati saya, seperti biasa, adalah telepon genggam. Dan, di layarnya. Bujug! Ada 12 panggilan tak terjawab, 8 pesan pendek, dan akun twitter yang seolah melambai untuk segera disambangi. Handphone itu saya taruh kembali, lalu bergegas bangkit, bermalas-malasan meraih sebotol air mineral yang telah disediakan pihak manajemen hotel di sisi lemari pakaian. Terasa kesegarannya ketika air itu meniti tenggorokanku. Aih, lebay deh!
Baru saja berniat ke kamar mandi, handphone-ku menjerit. Ternyata Si Cantik dari Parung, Shahrena.

“Ayah lagi ngapain?”
“Mau mandi!”
“Idih, jorok. Penulis internasional kok malas mandi.”
“Eh, dilarang ceramahi orangtua, kualat.”
“Hehehe, Ayah diktator.”
Dan, tawa renyah bidadari kecilku berayun-ayun di telinga.

Begitu Rena menutup perbincangan, saya segera bergegas ke kamar mandi.

Makassar Tidak Kasar

Matahari sudah terasa teriknya begitu saya tiba di pelataran hotel Valentino. Tak ada taksi, tak ada pete-pete yang lewat. Tapi, di sudut kanan jalan, seorang tukang becak sedang mangkal. Segeralah tanganku melambai, begitu melihat ia menoleh kepadaku. Langkahku terayun begitu ringan. Dan setelah bertanya ongkos ke Museum Kota Makassar, saya segera duduk di joknya. Naik becak di Kota Makassar, lama nian tak merasakaannya. Dan, setelah perbincangan ringan dengan daeng becak, ternyata ia sekampung dengan teman SMP saya di Jeneponto. Nah, makin rindu kampung deh!

Begitulah. Makassar sudah terik sepagi ini.

Akhirnya tibalah saya di Museum Kota Makassar. Bisa ditebak, wajah yang langsung saya kenali adalah penyair kelahiran Bone yang selalu dirahasiakan tahun kelahirannya, Aan. Tanda pengenal dan buku program segera berpindah ke tanganku. Aan juga yang mengabarkan bahwa penyair kelahiran Surakarta, Sapardi Djoko Damono, sudah tiba lebih dahulu. Bersama istrinya, Prof Sapardi—begitu biasa saya menyapanya—sedang asyik mengamati koleksi museum. Sembari mengulurkan tangan, dengan lembut saya sapa penyair yang sajaknya kerap diterakan di kartu undangan pernikahan itu.
Ya, hari ini, saya akan duduk semeja dengan Prof Sapardi untuk berbincang soal kreativitas bersama komunitas di Makassar. Acara Bincang Komunitas ini terselenggara berkat kerja sama antara MIWF 2011 dengan Gerakan Makassar Tidak Kasar, gerakan yang selama ini hanya kerap saya baca di media maya. Yang menggembirakan adalah karena pagi ini saya juga bertemu dengan pemilik akun @SupirPete2 di twitter. Ternyata!

Pukul 10.00. Aan segera menyapa seluruh peserta dan mengajak mereka menempati kursi yang telah disediakan. O ya, salah satu keunikan pengemasan acara ini adalah becak yang berderet rapi, sengaja disediakan sebagai tempat duduk bagi para penghadir. Unik, selera unik yang menggelitik. Dan, Keyka pun mulai mengenalkan apa dan hendak mengapa Gerakan Makassar Tidak Kasar itu.

“Tidak bisa dimungkiri, media turut menanam saham, sehingga wajah Makassar yang kesohor di luar adalah wajah yang ‘sangar’ dan ‘kasar’. Berita yang dikabarkan pun selalu berkisar pada kekerasan. Mengingat berita memang membutuhkan hal-hal aneh, kita terpaksa memakluminya. Tapi, seandainya boleh berharap, setidaknya disampaikan secara berimbang, atau menuturkan pula muasal tindak kekerasan itu,” begitu kata Keyka saat dipersilakan Aan untuk memulai perbincangan.

Bagi saya, kritik semacam itu perlu. Tugas media bukanlah semata mencari sensasi, mereka juga wajib mengambil bagian dalam upaya “membangun kecerdasan bangsa”. Berita seputar Makassar, hingga saat ini, memang didominasi rekaman sedih dari hal-hal mengerikan yang mewarnai pertumbuhannya: perkelahian antar-gang, demonstrasi rusuh, dan tindak kekerasan lain, semua ini adalah potret buram Makassar yang menghiasi ruang media, terutama media televisi. Seolah asin dan garam, Makassar dan kekerasan seolah kembar identik yang tak terpisahkan. Akan tetapi, media kan memang gemar memburu sensasi.

Keyka juga berkisah tentang kegiatan yang selama ini telah dilakukan, termasuk kampanye menumbuhkan kreativitas kalangan muda Makassar. Mawar, seorang penyiar radio yang turut aktif dalam gerakan ini, juga memaparkan program Piknik Asyik, pelesir ke ruang-ruang publik—yang jumlahnya makin terbatas—dengan santai dan menyenangkan. Unjuk saran pula, Ancu Amarah, pegiat Kampung Buku, bertutur tentang program layar tancap. Semacam ajakan bagi kalangan muda untuk menonton film-film berkualitas. Konon, lewat @dewi_boelan, komunitas ini secara rutin menyajikan kutipan-kutipan inspiratif dari petikan dialog film.

Lalu, tiba giliran saya bertutur soal pengalaman menggiatkan Gerakan #koinsastra, gerakan yang bersama-sama teman-teman juga bermula dari kicauan di twitter. Bincang asyik itu pun diakhiri dengan gaya khas Prof Sapardi yang membabar pentingnya kreativitas dalam hidup ini.

Tradisi Massure’ dan Film Persembahan

Akhirnya, tibalah kita di malam pembukaan. Inilah salah satu di antara sekian banyak keunikan MIWF 2011. Sebenarnya, Sekar Chamdi dan Ana P. Diwayana sudah memulakan rangkaian program MIWF pada hari pertama (Senin, 13 Juni 2011) lewat program Creating Bookcraft bersama Forum Indonesia Membaca. Begitu pun Aan dan penulis Makassar yang telah mengangkasa lewat program Sastra di Udara, tepatnya di Selebes FM. Namun, secara resmi, pembukaan MIWF 2011 baru akan dilakukan malam ini.

Malam ini saya ditemani guru teater semasa di SMKI Negeri Ujung Pandang, Asia Ramli Prapanca. Menyasar Pantai Losari, lalu masuk ke Hotel Pantai Gapura. Dan, gila! Saya takjub—boleh juga disebut terkagum-kagum—melihat arsitektur restoran Balla’ Irate yang terapung di pinggir Laut Makassar. Betapa tidak, tiang-tiang penyangga terpacak kukuh ke tubuh laut. Alangkah!

Dan, sayat kesok-kesok, alat musik tradisional yang kerap mengiringi sinrilik—sastra tutur khas Makassar—menyambut tetamu. Sungguh, tak banyak orang yang kukenal. Hingga tampaklah Moch. Hasymi, esais yang dulu kerap saya baca karyanya di koran-koran. Lantas Arman Dewarti, peracik film. Yang lebih mengejutkan adalah perjumpaan saya dengan teman seangkatan di SMKI Negeri Ujung Pandang, Ancu Batara. Bayangkan, saya terpisah dengannya nyaris 16 tahun.

Setelah acara makan-makan (hiks, ada ikar bakar favorit saya!), malam pembukaan pun dimulai. Luna Vidya, jago monolog yang sudah melanglang buana, membuka ritual dengan celetukan-celetukan yang segar. Lagi-lagi, satu kejutan yang menggetarkan, Indo’ Masse tampil Massure’, sastra lisan Bugis yang kini jarang tertemukan. Mozaik tradisi yang memukau. Setiap lengkingnya adalah simfoni merdu membelai kalbu. Tak lama berselang, seperti lumrahnya ritual pembukaan acara, sambutan demi sambutan digelar. Bermula dari Direktur MIWF 2011, Lily Yulianti Farid, lalu Direktur Rumata’ yang juga sineas kelahiran Makassar, Riri Reza. Terakhir, sambutan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Ritual pembukaan ditandai dengan pemukulan 4 gong secara serentak oleh Lily, Riri, Walikota, dan Direktur Writers Unlimited de Hague Literatue Network, Ton Van De Langkruis.

Pada saat menuturkan sambutannya, Lily juga memperkenalkan 4 pendekar sastra Makassar yang dipilih kurator menjadi peserta MIWF 2011, yakni Hendragunawan S. Thayf, Shinta Febriany, Hamran Sunu, dan Erni Aladjai. Kemudian, Lily memperkenalkan pembicara tamu kelahiran Makassar, yakni Ryana Mustamin, Fauzan Mukrim, dan saya.

Tibalah giliran Ton menampilkan satu demi satu peserta dari mancanegara. Bermula dari Mazaa Mengiste. Novelis kelahiran Ethiopia ini kini bermukim di New York, Amerika Serikat. Lalu, Abeer Soliman. Penulis asal Mesir ini memulai debutnya lewat Diary of an Old Spinster. Konon, ia termasuk pegiat revolusi Mesir. Berikutnya, esais dari Turki, Gűndűz Vassaf. Terakhir, Rodhaan Al Galidi, penyair kelahiran Irak yang kini menetap di Belanda. Kelak, di catatan berikutnya, akan saya tuturkan kehebatan karya mereka, termasuk duet maut saya dengan Rodhaan dan kolaborasi cantik saya dengan Abeer.

Kejutan lain akhirnya tiba. Film persembahan untuk Muhammad Salim tayang di layar. Tampillah sosok sejarawan dan pejuang literasi yang dengan tekun menerjemahkan I La Galigo, karya sastra Bugis yang diamini banyak kalangan sebagai epik terpanjang di dunia. Tidak banyak sosok yang bisa setekun Salim dalam menceburkan dirinya secara menyeluruh ke dunia literasi. Maka, layaklah film ini dipersembahkan secara khusus kepadanya. Film dokumenter ini diracik oleh sutradara eksentrik, Arman Dewarti. Di ujung tayang film, tersaji lagi adegan yang memiuh-miuh hati: penyerahan film kepada istri almarhum Muhammad Salim. Apresiasi yang menggetarkan dari kalangan muda kepada pendahulunya. Salut!

Ritual pembukaan pun ditutup dengan parade pembacaan sajak Sapardi Djoko Damono yang dianggitnya dari terjemahan I La Galigo. Hamran, Erni, Shinta, Hendra, dan Aan tampil satu per satu, kemudian dipungkasi oleh Prof Sapardi.

Dan, berakhirlah acara pembukaan yang menggetarkan hati.

Sejam di Gedung Kesenian Makassar

Selepas acara pembukaan, saya tak bersegera ke hotel Valentino. Alih-alih merebahkan penat di kamar, saya malah bertandang ke Gedung Kesenian Makassar—yang hingga kini renovasinya tak kunjung rampung. Adalah kegembiraan bersejarah bisa kembali mencecap angin mammirik di pelataran gedung. Rupa-rupa tingkah ada di sana. Satu meja digelimuni anak-anak muda yang asyik main domino, satu meja sedang sibuk bercengkerama, satu meja lagi menyaksikan adu strategi catur. Sesekali terdengar gurauan khas Makassar.

Begitulah. Hari kedua MIWF. Tak terlupakan!

(Bersambung)

Rabu, 22 Juni 2011

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Pertama (Senin, 13 Juni 2011)


Buku Menunggu, Menunggui Buku

Sebenarnya ini adalah perjalanan kembali ke tanah kelahiran. Semacam tapak-tilas yang—sambil menyelam minum air—memungkinkan saya dapat mengikuti program Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011 sekaligus menyambangi keluarga di Makassar. Begitulah awalnya. Saya terima ajakan Lily Yulianti Farid untuk berpartisipasi di MIWF sebagai penulis tamu, semacam sumbangsih saya, penulis kelahiran Makassar, bagi dunia literasi di tanah kelahiran.

Tentulah perlu saya tuturkan alasan yang melatari ketakziman saya pada kegiatan dahsyat ini. Sebagai seorang praktisi perbukuan, dunia literasi adalah panggilan jiwa. Tak elok rasanya jika menampik tawaran untuk berpartisipasi dalam kegiatan ‘mewah’ ini. Betapa tidak, MIWF 2011 dirancang serius untuk memperkenalkan sastra dunia dan menumbuhkan minat baca dan tulis di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan muda agar lahir generasi yang mengapresiasi sastra dan memiliki minat baca yang tinggi. Selain itu, kegiatan ini dalam upaya membangun citra Makassar sebagai kota yang ramah, aman dan representatif bagi kegiatan seni dan budaya, yang diharapkan sekaligus bersinergi dengan sektor pembangunan lainnya, termasuk pendidikan sastra dunia, dan promosi wisata sejarah dan budaya.

Jelas sekali, kegiatan ini ibarat oase bagi petualang, menyegarkan!

Masih siang, Parung sedang mendung. Taksi yang saya tumpangi mulai bergerak ke bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 12.00 BBWI. Sebenarnya pesawat yang saya tumpangi tinggal-landas pukul 17.30 BBWI, tetapi karena takut macet merintangi perjalanan, akhirnya saya berangkat lebih cepat. Apalagi saya berencana singgah di kantor teman, Bamby Cahyadi, untuk mengambil beberapa buku yang dulu saya titip simpan di kantornya. Benar saja, jarak yang hanya sekitar 50-an km dari Parung ke Cipete harus ditempuh selama 2 jam. Macet memang luar biasa! Alhasil, tibalah saya di kantor Bamby Cahyadi setelah melalui perjuangan penatnya ditelan macet. Sebatang rokok putih tamat riwayatnya, mumpung turun dari taksi. Lalu, perjalanan ke bandara pun dilanjutkan.

Alhasil, pukul 16.17., tibalah saya di bandara. Saya pun bergegas masuk, boarding pass dan segera ke ruang tunggu. Tentu saja, sebagai perintang jenuh menunggu jadwal terbang, Maria, novel anggitan Vladimir Nabokov menemani liuk tarian mata saya. Masih lama, 17.35. baru naik ke pesawat. Novel sejumlah 205 halaman yang bertutur tentang kisah cinta pertama Maria dan seorang pemuda yang terperangkap di masa silam itu tamat, tepat ketika pengumuman penundaan pesawat disampaikan oleh petugas bandara. Aih, lagu lama! Segera saya buka tas lagi, kali ini tangan saya bertukar sapa dengan Umar Kayam, Jalan Menelikung. Menunggu memang menjemukan, tapi membaca selalu menenangkan!

Waktu di telepon genggam saya sudah menunjukkan pukul 18.45. ketika amar ke pesawat singgah di telinga. Dua buku untuk maskapai yang, konon, merugi karena terbiasa delay. Katanya rugi, kok delay melulu. Heran, kan?

Gairah Itu Terbaca di Mata Mereka

Sudah pukul 22.25 BTWI ketika telepon genggam saya berdering. Di layarnya terpampang nama penyair yang kerap menyihir hati saya lewat sajak-sajaknya, M. Aan Mansyur. Darinya saya dapat kabar ihwal nomor kamar dan—yang paling menggembirakan—saya sekamar dengannya. Sebut saja ini reuni, semacam tualang di semenanjung kenang sembari menyigi kembali sejarah kepenulisan saya. Betapapun, dari Aan-lah bermula gairah menulis di hati saya, ia yang menyemangati dengan cara yang samar dan menantang dengan cara tak lumrah. Jadi, tak pelak lagi, rianglah hati ini, dan segala letih di perjalanan lesap sudah.

Semakin ruap bahagia di hati ketika mendapati kakak saya, Bakaring, begitu setia menunggu kedatangan saya. Alamat tak perlu pusing mencari kendaraan menuju hotel tempat menginap. Gratis, bro! Lagi-lagi, seperti biasa, sayalah yang selalu memulakan perbincangan. Hahaha, namanya juga tukang kompor. Meski saudara sekandung, tabiat saya dan kakak saya bak pinang tak pernah dibelah, satu pendiam satunya lagi rajin bicara. Hingga tibalah saya di Hotel Valentino. Risno, menantu Kak Baka, langsung kembali ke Sudiang. Sedangkan saya langsung disambut penjemput tamu dengan senyum khas—senyum yang disetel seperti mesin—dan mengabarkan bahwa kamar 303 sudah siap ditempati. Hmmm, bakal tidur lelap nih!

Begitu keluar dari lift di lantai 3, Aan sudah menanti saya dengan pelukan hangat, mata sarat cahaya, dan senyum tulusnya. Aih, rindu terbayarkan. Saya pun masuk kamar, bertukar kabar dengan Aan, dan bersegera membuka akun twitter. Ternyata, kamar 303 bakal diserbu sahabat-sabahat yang lama tak bersua. Anchu Amarah, Bondan, Mubarak, Reysha, dan Jimpe siap bertandang dan menyasar makanan malam khas Makassar. Letih? Tidak juga. Bertemu sahabat adalah ritual penting yang selalu ‘membahagiakan’.

Malam pertama MIWF 2011 saya habiskan bersama semangkuk coto bagadang dan segelas kopi Daeng Rustam. Tentu saja, digelimuni sahabat-sahabat yang di mata mereka gairah selalu bercahaya.

Alangkah!


Di Atas Tanah Kelahiran

Demikianlah. Setiap kecintaan dan kepedulian terhadap ranah leluhur selalu bisa melahirkan rupa-rupa warna emosional. Ketika hasrat itu terpenuhi, rasa bahagia berkelindan di hati, mengalami kesenangan dan ketenangan tak tepermanai, dan merasakan kegembiraam tak berhingga. Betapa tidak, sepanjang hidup di perantauan, kabar yang marak didendangkan media dari Makassar acapkali tak beranjak jauh dari perselisihan, tawuran, demonstrasi rusuh, atau pertumpahan darah. Seolah Makassar itu tak ada apa-apa selain kekasaran dan kekerasan.

Malam ini, saya turut ambil bagian dalam kerja budaya yang luhur, bergabung dengan penulis Makassar dan mancanegara untuk berbagi pengalaman dan pemikiran. Dari sudut ini, patutlah kiranya panitia mendapat acungan jempol. Salut atas kerja cerdas teman-teman Rumata' dan seluruh pihak yang berkontribusi sehingga acara ini dapat terlaksana.

Di atas tanah kelahiran. Ini nyata. Bukan mimpi!

(Bersambung)

Kamis, 16 Juni 2011

Kamulah Lautku!

Kamulah Lautku!
Khrisna Pabichara


Kamu, bagiku, adalah laut yang birunya selalu
tak pernah tamat kuselami teduhnya. Dan, ombakmu
adalah geletar rindu yang tak selesai membentuk
garis lengkung di hatiku. Selalu lagu, selalu
warna, selalu puisi.

Seolah telah ditakdirkan aku menjadi perahu,
kamulah pantai yang melambai-lambaikan karang
kerinduan yang lebih purna dari kemurnian, dan
singgah seringkali peristiwa paling sejarah.
Selalu indah, selalu penuh, selalu bunyi.

Ketika tujuan menjadi musabab sebuah tualang,
kamulah sesungguhnya tujuan itu. Lihatlah awan
berselisih dengan burung pengabar, benarlah
semua rindu bisa terbaca dan tersembuhkan. Aih,
akulah rindu yang selalu hujan di hatimu.

Kamu, bagiku, adalah laut keabadian. Yang tak
merisaukan, yang tak menakutkan. Beri aku satu
ombakmu, satu saja, agar kamu tahu sesungguhnya
akulah yang kekal merindumu.

Makassar, Juni 2011

Minggu, 12 Juni 2011

Hikayat Para Perindu

Hikayat Para Perindu
Khrisna Pabichara


1.
Bahkan malam sembunyikan rembulan
karena sepakat denganku, alangkah
matamu lebih cahaya.

Ketahuilah, karena rindu, aku bahkan
lebih gila dari Qais, yang bermusim-
musim menunggui Laila di sesat rimba.

2.
Lalu, tiba-tiba senyap membunyikan
rindu di ceruk malam. Adalah kamu
yang berkeredip di langkan angan.

Padahal kamu berjanji, demi rindumu,
tak perlu pura-pura mati seperti Romeo
sewaktu memburu rindu Juliet?

3.
Rindu memerkah setiap malam. Seolah
tertemu rumah teduh, walaupun kamu
tak berdiang di senyapnya.

Selebihnya, aku adalah Datu Museng
yang berjanji menemui Maipa, ketika
petang memanjakan bayang-bayang.

Parung, Juni 2011

Sabtu, 11 Juni 2011

Tuhan Mengirimkan Kamu untuk Kurindui

Tuhan Mengirimkan Kamu untuk Kurindui
Khrisna Pabichara


Pernah aku sesali perkenalanku dengan malam. Tetapi,
begitu mengenalmu, aku tahu malam selalu indah,
karena rindu. Kepadamu. Bagiku, matamu adalah kelu
rindu paling rahasia yang betapa sulit menakarnya.

Malam ini, rindu ialah cermin hening yang memantul-
mantulkan bayangmu dan memental-mentalkan sepiku.
Tak perlu bertanya kenapa atau demi apa, muasal
rinduku tak dilahirkan oleh bilamana atau dari mana.

Seperti telah terkatakan, perempuanku, rinduku lahir
dari kepurbaan mencinta dan selalu terbarukan. Bunga
dan kupu sudah lelap. Taman dan jalan mulai mati.
Tinggal aku, tetap berjaga di tidurmu menunggui rindu.

Ketahuilah, rindu bagiku adalah ketika hujan tumpah
dan laut bersiap mengarak awan baru. Begitulah Tuhan
mengajariku merindu dan mengirimkan kamu untuk selalu
kurindui. Begitu. Selalu.

Parung, Juni 2011


Parung, Juni 2011

Kado Cinta untuk Rena

Kado Cinta untuk Rena
Sebuah catatan ringkas di usia ke-6 Shahrena Adenia Pabichara


Setiap menjejak 11 Juni, Anakku, yang terpampang adalah detik-detik menjelang kelahiranmu. Ayah ingat, Nak, waktu itu, Jumat malam, ketika dompet Ayah sedang kering-keringnya, perut bundamu melilit menunjukkan isyarat kamu--yang waktu itu masih dalam rahim--hendak segera diayun di lengan ringkih Ayah. Tengah malam, Sayang, tak ada kendaraan atau apa pun yang bisa digunakan untuk berangkat ke rumah bidan.

Kamu tahu, Nak, seperti kerap Ayah ceritakan kepadamu, Ayah membangunkan Daeng Uddin untuk mengantar ke rumah Kak Susan, tantemu yang bidan itu. Tetapi kelahiranmu--yang sengaja dipilihkan di kampung leluhur Ayah--memang sudah digelimuni cinta. Tiba-tiba saja banyak yang datang menawarkan motor atau mobil untuk mengantar Bunda dan tante-tantemu ke rumah Kak Susan. Begitulah, Nak, semesta kerap menyediakan rahasia keburuntungan yang kita tak tahu bilamana dan dari mana.

Seperti telah pula Ayah kisahkan kepadamu, Nak, tersebabkan terlahir dengan tanda-tanda khusus yang diyakini masyarakat Turatea, dulu Ayah dicap akan sulit mendapatkan keturunan. Tetapi takdir memang telah digariskan, bahwa engkau--cahaya mataku--sungguh adalah kegembiraan dan kebahagiaan tak tepermanai. Maka, tentulah kelahiranmu ditunggu-tunggu keluarga besar Yadli Malik Daeng Ngadele.

Proses menunggu kelahiranmu pun istimewa. Setelah pembukaan pertama pada Sabtu dinihari, segala terhenti. Tak ada tanda bakal segera tuntas, kecemasan menggantung di benak Ayah, peluh menggantung di kening Bundamu, dan Kak Susan yang takjub dan tetap tersenyum, hingga selepas azan Ashar barulah isyarat itu menjadi nyata. Om Armin, pamanmu yang dulu menemani masa remaja Ayah, mendorong perut Bundamu, bersama Tante Upi dan Ayah yang terperenyak melihat Bundamu tak mampu lagi mengejan. Nyaris diputuskan untuk menempuh cara lain, tapi Ayah berkukuh memilih kelahiran alamiah. Tuhan dan semesta memberikan kemudahan, kamu terlahir sempurna tanpa isak tanpa tangis seperti lumrahnya bayi yang baru lahir. Bahkan hingga pundakmu ditepuk lembut Kak Susan dan Ayah membacakan sajak cinta di kupingmu, kamu belum juga menangis. Keanehan yang mencemaskan.

Terlahirlah kamu, 11 Juni 2005, dengan nama yang sudah dipilihkan oleh Ayah: Shahrena Adenia Pabichara, putri Pabichara yang riang yang seharum bunga Adenium. Begitulah, Nak, kamu lahir di tengah suasana prihatin, tetapi Ayah dan Bunda selalu punya cinta. Ketika usiamu 42 hari, dengan menumpang kapal laut Bukit Siguntang, kamu berangkat ke Parung bersama Bunda dan nenekmu, Milah Jamilah, yang menyusul ke Makassar 3 hari setelah kelahiranmu. Sementara Ayah masih harus tinggal di Jeneponto karena menjadi Kepala Asrama di sebuah kegiatan, Akademi Pelajar Cerdas Turatea 2005. Ayah baru bisa memelukmu lagi, mencium keningmu lagi, membacakan dongeng-dongeng lagi, ketika usiamu sudah tiga bulan. Sejak lahir kamu memang jarang bersama Ayah, tapi bukan karena tak cinta, Sayang.

***

Kini, kamu sudah berusia enam tahun. Sudah bisa membaca, sudah mulai mengaji, dan terus menagih janji Ayah untuk mengajarkan cara mengeja aksara lontarak. Pertemuaan kita yang kerap tak lebih dari dua atau tiga kali dalam seminggu, tentulah bukan penghalang bagi kita untuk tetap saling mencinta. Ibundamu, Mamas Aurora Masyitoh, selalu ada di sampingmu, Nak. Menemanimu bertumbuh, menemanimu bertambah.

Kini, di rahim bundamu, sedang tumbuh janin adikmu. Telah kita sepakati namanya, Rayya atau Rendra, yang bagimu adalah kado ultah terindah. Tetaplah penuh cinta, Nak, tetaplah penuh cinta. Seperti bundamu, seperti ayahmu. Seperti kedua almarhum kakekmu: Yadli Malik Daeng Ngadele dan Didin Syamsudin. Seperti cinta pamanmu, Bakaring Yadli, dan seluruh kerabat di Makassar. Seperti cinta eyangmu, Mak Iyoh Rosmiah, yang baru berpulang ke sisi-Nya seminggu silam.

Dan, tahukah kamu, Nak? Diam-diam Ayah menangis ketika kamu meminta kado. "Kehadiran Ayah di sisi Rena adalah kado terindah yang paling membahagiakan bagi Rena." Terima kasih, Nak. Kamulah cahaya yang selalu memerkah di hati Ayah dan Bunda.

Selamat Ulang Tahun, Sayang. Ayah mencintaimu. Selalu. Bahkan lebih dari sekadar selalu!

Parung, 11 Juni 2011

Jumat, 10 Juni 2011

Jantung Rinduku

Jantung Rinduku
Khrisna Pabichara


Bahkan di rahim malam aku temukan matamu
terpejam, seluruh yang hidup di tubuhku
seolah lesap ke dalamnya.

Bahkan aku lupa caranya menyebut namamu,
karena jantungku setia membisikkan namamu
di setiap denyutnya.

Bahkan rinduku melebihi bening embun, dan
selalu lekat di hening subuhmu.

Bogor, Juni 2011

Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu

Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu
Khrisna Pabichara

Barangkali yang bisu hanyalah puisi. Yang
kutulis menjelang rindu, dan angin malam
membisikkannya di hatimu.

Aku tak mampu menerjemahkan setitik embun
yang menggantung di sudut matamu. Begitu
rahasia, begitu membakar.

Sungguh, aku tersesat di setapak perasaan
ketika peta menghapus namamu, dan sunyi
makin menjauhkanmu dariku.

Parung, Juni 2011

Rabu, 08 Juni 2011

Balada Sang Pejudi

Balada Sang Pejudi
Khrisna Pabichara


Aku bak pejudi dan rinduku adalah peruntungan,
beribu kemungkinan yang bisa menyata, Cinta.

Dan, namamu adalah mata dadu, setiap sisinya
adalah harapan—kemalangan dan kemenangan.

Hingga warna kematian mengalir dan mengalur
di kepung kabung. Gilang dan malang bertindihan.

Kita, sejatinya, adalah rindu yang mendentam
bertalu-talu di kujur tubuh dan ruh. Ah!

Bogor, Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

Puisi Pencatat Rindu

Puisi Pencatat Rindu
Khrisna Pabichara


1.
Dari urat-urat pagi menetes kesunyian, mungkin
terus terjadi selama waktu tak berhingga, dan
kesunyian menelusup melesapkan rinduku.

2.
Ketahuilah, aku takkan mengabarkan rinduku,
karena aku khawatir angin akan mengaburkannya
dan kamu tak pernah sempat merasa kurindui.

3.
Akulah yang senantiasa menyediakan segalanya
untukmu, meskipun kamu belum juga menjanjikan
apa pun untukku. Karena rindu, Kekasih, rindu.

4.
Karena kamu adalah hulu, maka akulah hilir
yang selalu bermula darimu. Betapa pun jauh
rinduku mengalir, hujan akan pertemukan kita.

5.
Aku berjalan menyigi setiap demi setiap waktu,
rayakan kesejatian dan keabadian merindu:
kelak kamu namai segala.

6.
Rinduku taklah menyiksa hati, Kekasih,
ia semacam pejalan jauh yang selalu temukan
perhentian: memeluk sejuk, menanak sajak.

7.
Kamu adalah ketika rindu meniscaya, dan aku
dijebak keterasingan. Apakah ini duka atau suka?
Biarlah, semesta kelak jadi Sang Penyaksi.

8.
Tahukah kamu, Kekasih, mengapa setiap pagi
aku mematung di pematang lengang? Matamu,
Kekasih, seolah matahari penghangat rinduku.

9.
Bila kamu berniat pergi, pergilah. Hatimu sudah
berurat-akar di tubuhku, sementara di tubuhmu
sebenarnya adalah hatiku: yang melulu rindu.

10.
Rindu adalah kamu. Benar-benar kamu!

Parung, Juni 2011

Pejalan Kesepian

Pejalan Kesepian
Khrisna Pabichara


Aku bak pejalan yang keletihan, tak kunjung temukan
rindumu. Padahal, telah kukunyah berpotong-potong petang,
mungkinkah kamu sembunyikan dia di kedalaman betapa?

Selebihnya, rinduku melampaui jumlah butiran
hujan, dan tercurah lebih tiba-tiba dari yang
kamu inginkan. Mestinya selamanya, ya, selamanya.

Bagiku, kamu adalah kesepian dan kekinian, dua
candu yang kudatangi seringkali. Maka, kutamukan
rinduku yang tersipu dan alangkah malu.

Bogor, Juni 2011

Senin, 06 Juni 2011

Nyanyian Hutan

Nyanyian Hutan
Khrisna Pabichara


Semenjak malam bersiasat menipuku
sembunyikan denyut di sekejut kabut

Tiba-tiba aku kangen suaramu, seolah
belukar merindukan nyanyian hewan

Karena cinta adalah kita yang tercekat
dan tersesat di rimbun embun

Di hutan ini, semua pohon bernama rindu
dan segala arah berulu kepadamu


Gunung Halimun, Juni 2011

Sepatu Sebelah Kiri dan Caraku Mengingatmu

Sepatu Sebelah Kiri dan Caraku Mengingatmu
Khrisna Pabichara


1.
Bukankah kita sepakat menjadi sepasang sepatu
yang saling menguatkan dan mengindahkan
sepanjang tualang?

Tetapi rindu mengaburkan wajahmu di anganku
hingga sepi berkali-kali menegaskannya, dan aku
sepatu sebelah kiri yang berhari-hari sendiri

Kecemasan tak pernah benar-benar mampu
menakutiku, kehilangan dirimulah yang sungguh-
sungguh mencemaskanku

2.
Aku takkan lelah mengingat dan merindumu,
karena kamu tak pernah lelah mengingatkanku
untuk merindumu

Ada banyak cara mengingatmu, perempuanku,
tetapi yang paling kusuka adalah caramu
mengingatkanku lewat mimpi

Di matamulah, perempuanku, cahaya berumah
di sana, malamku memastikan yang lebih kilau
dari rembulan

3.
Seolah matahari pagi, kutunggu cahayamu
untuk menghangatkan rinduku
di sepanjang tualang

Gunung Halimun, Juni 2011

Sabtu, 04 Juni 2011

Manakala Sajak-sajak Berloncatan

Manakala Sajak-sajak Berloncatan
Khrisna Pabichara


1.
Yang kutahu dari seketika adalah jarak antara pengakuan cintamu dengan kepergianmu. Aku linglung di simpang jalan, berharap angin sudi bergerak tunak ke tanjung cinta. Berharap dari sana dapat bermula cerita. Tapi, kita biarkan ketulusan pergi sebelum ia selesai mengajari kita rahasia kehilangan. Sesudahnya, kita sibuk saling menyalahkan.


2.
Rindu adalah pakaian yang kukenakan agar kamu mengenaliku dari kejauhan. Kita bertemu manakala kota-kota dirambati fitnah. Lumpur bergerak, mencekik leher. Kita menjadi arca, tugu airmata. Dari matamulah, sesungguhnya, kukenali indahnya kesendirian. Ialah kemerdekaan sejati, yang kerap kamu intimi ketika sunyi menegaskan diri. Sungguh, apa yang kita sebut sebagai cinta tak lebih dari eratnya pelukan perpisahan. Sesudahnya, kita berlomba menanak rindu.


3.
Kita adalah perantau yang sama-sama sibuk menumpuk harapan. Di persimpangan, perpisahan kita pilih sebagai cara. Terakhir kamu kecup harapanku sembari membaca mantra Marquez dan Coelho. Mantra yang merambat, menjulur, dan mengeram di dada. Sesungguhnya, bagiku, kamu adalah hulu, tempat segala yang bergerak kehilangan hilir.


4.
Kamu adalah harapan yang memaksa untuk terus kujangkau. Selamanya. Bahkan, lebih lama dari selamanya.


Parung, Mei 2011

Kamis, 02 Juni 2011

Sajak Hari Libur

Sajak Hari Libur
Khrisna Pabichara


1.
Kekasih, ini hari pertama aku tanggalkan benakku dari ingatan yang tunggal: Kamu. Aku tahu, kamu pasti sangsi bagaimana rindu ini bisa lesap. Tetapi, ketahuilah, telah kutemukan muasal sendu. Seperti katamu, kesempurnaan itu tak pernah ada, termasuk kesempurnaan merindumu.

2.
Kekasih, betapa kecemasan kerap diam-diam menelusup ke sumsum jiwaku. Bagiku, kamu adalah layang-layang yang tidak menjadikan angin sebagai penentu. Dan aku, ya, aku cemas tak pernah bisa benar-benar mampu mengejarmu, menjangkaumu, mendekapmu. Tetapi, ketahuilah, aku masih punya sedikit kecemasan agar sungguh-sungguh tidak terlalu cemas kehilangan kamu.

3.
Kekasih, rindu memang telah mengutuk aku dalam keabadian. Selalu begitu. Tetapi aku masih tetap suka merayakan kepedihan ketika rindu kepadamu memastikan rahasia kesunyian. Maka, kubiarkan saja rindu-rindu itu bepergian mencarimu, seberapa pun mustahilnya, karena aku yakin telah dipilih takdir sebagai perih yang paling merindumu.

4.
Kekasih, sesungguhnya, hari libur yang paling kutunggu adalah ketika kamu rehat menyesaki ingatanku.

Parung, Juni 2011

Senin, 11 April 2011

[ESAI] Rumah Kata, Rumah Budaya

Catatan: Disampaikan di peluncuran Rumah Kata Bogor, Sabtu (9/4/2011).


Rumah Kata, Rumah Budaya
Oleh Khrisna Pabichara


Rumah adalah tempat terindah untuk meneduhkan jiwa, menenangkan hati, dan melepaskan penat yang mengimpit sepanjang hari. Tentu jika iklim yang mengelimuni rumah adalah cinta, bukan amarah yang hawanya bisa pans tiba-tiba. Rumah adalah oase yang paling dirindui para pejalan, bukan sekadar tempat meluruskan kaki atau mengeringkan peluh, melainkan sebagai perlambang eksistensi, penanda bahwa diri masih tetap ada. Rumah adalah sekolah paling sangkil untuk menanamkan pekerti dan membangun karakter diri, dengan keluarga sebagai pendidik dan cinta sebagai alas kurikulumnya.

Kata adalah sekumpul huruf yang bergerak dinamis menjadi setapung kalimat, kelak bisa kita maknai dengan segenap tafsir yang kita punyai. Kata adalah senjata santun untuk membentuk eksistensi: pencandra kemewaktuan, penanda kemengadaan dan tapal batas keberadaan. Kata tak semata rentet huruf yang bisa dieja dan diberi arti, tapi ialah alat bagi prajurit kebudayaan dan kehidupan. Dari katalah bermula kalimat, menjadi buku yang ruasnya tak pernah habis kita singkap.

Bermula dari sana hajat penamaan lembaga yang malam ini hendak bersama-sama kita absahkan. Rumah Kata, lembaga nirlaba yang darinya dikehendaki beragam aktivitas berkehidupan: dialog, pelatihan, pengembangan kecakapan, dan lainnya. Rumah Kata, upaya serius untuk bersumbangsih dalam pembangunan bangsa, terutama pengembangan kecakapan emosional dan spiritual: padepokan tala dengan harmoni selaras antara usaha “mengisi hati dan kepala”.

Dari latar pikir itu, jelas kiranya betapa kita butuh kehadiran lembaga-lembaga sejenis, ketika perhelatan negeri ini begitu marak dengan kabar-kabar miring: rumah “wakil rakyat” ngotot dipermegah manakala “rumah rakyat yang diwakilinya” banyak yang tak layak huni, pemimpin negara yang masih berkesah tentang upah rendah yang diterimanya pada saat banyak rakyat sibuk mempertahankan nyawa karena ketidak-jelasan pendapatan, kepercayaan nasabah dikemplang begitu saja oleh oknum yang sibuk memplastikkan tubuhnya, tahanan yang bisa pelesir ke mana-mana ketika yang lain malah “mati rasa” di penjara, dan peristiwa lain yang tak berhenti mencorengkan aib di kening bangsa.

“Negara salah urus,” begitu sindir rakyat kecil di atas tumpukan sampah, dekat kediaman saya di Parung. “Rakyat salah pilih,” begitu esensi keluhan Gemi Mohawk dalam antologi sajak megaknya, Indonesianus. “Kita kerap salah menafsirkan makna perbedaan,” begitu sari pikiran Hanna Fransisca lewat kumpulan puisinya, Konde Penyair Han. Dan apaada akhirnya, Muhidin M. Dahlan menyebut negeri ini lewat kalimat miris, “Negeri Tuna Sejarah”.

Cobalah sejenak saja kita renungkan konsep pembangunan yang dulu ditata pemerintah Yunani. Athena dibangun dari alas filsafat, darinya lahirlah para pemikir yang namanya abadi hingga kini. Sparta dibangun dari konsep “kebadanan”, maka perang demi perang berhasil mereka menangkan. Hari ini, buah pikir Plato, Socrates, atau pemikir Athena lainnya masih bisa kita manfaatkan, sementara Sparta hanya mewariskan “semangat” untuk melecut diri, semisal ajakan, “Ayo, lebih spartan!”.

Lalu, mari kita alihkan ke rencana pembangunan gedung mewah “wakil rakyat” yang kini menuai banyak kecaman. Mungkin karena para wakil yang kita pilih itu jarang baca filsafat, mereka pun mayoritas tidak paham “mana yang semestinya didahulukan, mana yang semestinya diperjuangkan”. Keuletan mereka membela sarana spa, fitnes, dan kamar pribadi tak sebanding lurus dengan ketangkasan mereka dalam membela usulan pembangunan sarana vital bagi masa depan bangsa. Sebut contoh konkret dana yang dianggarkan negara—lewat Pemprov. DKI Jakarta—untuk merawat koleksi langka di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Tentulah jomplang jika angka Rp 1,16 triliun kita bandingkan dengan angka Rp 50 juta.

Bertambah miris hati kita jika membincangkan sengkarut “orang-orang besar”: pertikaian PSSI, kasus korupsi yang patah tumbuh hilang berganti, tarik-menarik partai di koalisi, dan berangkai kasus lain yang menghiasi media massa ataupun media sosial.

Tentulah mengeluh saja tidak menyelsaikan masalah. Kita harus berbuat, harus melalukan sesuatu, seberapa pun kecilnya dampak dari perbuatan itu. Inilah pula yang melatari hajat Erha Limanov, Jafar Fakhrurrozi, Ifan Ahab Zoer, Rudy Ginting, dkk untuk membentuk sebuah institusi bernama Rumah Kata. Lembaga yang dirancang sebagai tempat untuk berbincang, bersantai, belajar dan mengembangkan diri ini, boleh juga dinamai Rumah Budaya, tempat sekumpulan orang membincangkan kebudayaan.

Hajat mulai yang sangat layak kita dukung, kita apresiasi, dan kita bantu.

Semoga pula semakin banyak orang atau lembaga yang terpikat hatinya untuk melakukan hal sama, melakukan banyak hal untuk menghindari keterpurukan bangsa.

Bogor, April 2011

Minggu, 10 April 2011

[ESAI] #Koinsastra, Melawan Pembiaran

Catatan: Esai ini dimuat di Kompas Minggu, edisi 10 April 2011, halaman 20. Semoga Sahabat fesbuk berkenan membacanya. Salam #koinsastra.


#Koinsastra, Melawan Pembiaran
Oleh: Khrisna Pabichara


Bermula dari kecemasan Pengurus Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, lewat Ajip Rosidi, jika hibah Pemprov. DKI Jakarta tidak segera dikucurkan dalam tenggat dua bulan, lembaga itu akan gulung tikar. Kekhawatiran terhadap penutupan lembaga yang didirikan oleh Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, itulah yang mendorong lahirnya gerakan #Koinsastra.

Fenomena “koin” sebagai wujud kepedulian melahirkan pertanyaan menggelitik: seberapa banyak yang bisa dilakukan lewat pengumpulan receh demi receh? Lalu, apakah gerakan itu akan bertahan lama dan bisa memastikan PDS H.B. Jassin tetap bertahan dan bernyawa?

Semenjak dilansir pada 18 Maret 2011, #Koinsastra menuai banyak silang pendapat. Ada yang aktif mendukung, ada yang secara diam-diam berpartisipasi, ada yang mencibir dan menuding sebagai sesuatu yang sia-sia, ada yang bahkan memboikotnya. Apa pun bentuknya, silang pendapat itu membuktikan bahwa keberadaan #Koinsastra mulai dilirik, dilihat, bahkan ditatap dengan saksama oleh banyak lapisan masyarakat. Dan, pada gilirannya, semakin banyak pihak yang mengetahui atau bersimpati pada nasib PDS H.B. Jassin. Dari pedagang asongan di Stasiun Senen hingga pengusaha sekaliber Ir. Ciputra secara spontan menyatakan kepeduliannya. Dari warga negara yang berdiam di wilayah Nusantara hingga yang tengah bermukim di luar negeri juga peduli.

Fenomena ini menguatkan pernyataan penyair Warih Wisatsana bahwa #Koinsastra adalah gerakan moral untuk melawan tradisi "pembiaran" yang dapat menyebabkan luluh lantaknya sejarah peradaban bangsa.

Literasi

Lantas, seberapa banyak yang bisa dilakukan lewat pengumpulan koin itu? Lima program yang ditawarkan #Koinsastra, sejatinya, adalah jawaban konkret betapa gerakan ini butuh ruang lapang dan waktu lama, bukan sekadar kegiatan temporal yang bisa tunai hanya dalam tempo satu-dua bulan. Pertama, program “wisata sastra” bagi siswa sekolah menengah sebagai upaya lebih mengintimkan sastra dengan generasi muda dirancang selama dua tahun. Kedua, menjadikan PDS H.B. Jassin sebagai “rumah teduh” bagi komunitas seniman dan budayawan. Ketiga, menggalang relawan untuk membantu kegiatan pendokumentasian juga bakal menyita banyak waktu. Keempat, program digitalisasi literatur diyakini tidak bakal selesai dalam tempo yang singkat. Dan, kelima, penerjemahan naskah ke dalam beberapa bahasa pasti akan berlangsung lama.

Idealnya, upaya penyelamatan PDS H.B. Jassin memang tak bisa dibebankan kepada satu pihak saja, melainkan kerja kolektif yang niscaya melibatkan banyak komponen bangsa. Itulah mengapa salah satu alas pijak gerakan #Koinsastra adalah seruan bagi seluruh komponen bangsa untuk lebih peduli pada kekayaan literasi, sejarah, dan peradaban bangsa.

Sejarah telah menunjukkan betapa banyak kekayaan intelektual kita yang kini terpisah jauh dari tanah muasalnya—tersimpan di Leiden, misalnya—dan tentulah kita tidak berniat mengulang kesalahan itu. Kecenderungan pembiaran sebenarnya bukan hanya menimpa khazanah sastra, tetapi juga pada jejak-jejak sejarah dan peradaban kita. Sekadar menyebut contoh, kita tak lagi bisa menyaksikan kemegahan atau keruntuhan Sriwijaya karena tak banyak artefak yang tersimpan atau terawat sebagaimana mestinya.

Kunjungan

Usai kunjungan mendadak Gubernur DKI Jakarta, Fawzi Bowo, ke PDS H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, gerakan ini malah makin marak. Padahal, gubernur kedua—setelah Ali Sadikin—yang menyambangi pusat penyimpanan dokumen sastra langka dan bersejarah itu telah meminta maaf dan mengakui kelalaian penandatanganan surat keputusan yang berisikan hibah bagi PDS H.B. Jassin, yang “cuma” Rp 50 juta untuk tahun 2011.

Uniknya, publik menengarai kelalaian itu bukan kesalahan tak disengaja, melainkan akumulasi dari rentetan kebiasaan (baca: tradisi) “pembiaran”. Inilah yang memicu semakin suburnya gerakan #Koinsastra dan menyebabkan banyak pihak yang bersedia menampung koleksi PDS H.B. Jassin kalau Pemprov. DKI Jakarta masih “setengah hati” memperlakukan istana sastra itu.

#Koinsastra memang bukan jaminan kelanggengan PDS H.B. Jassin. Setidaknya, masyarakat makin peduli dan mulai bergerak melawan “tradisi” pembiaran itu. Masyarakat makin melek terhadap “mana yang seharusnya dibela” atau “apa yang semestinya didahulukan”. Masyarakat makin mengamini keyakinan H.B. Jassin bahwa penyelamatan dokumentasi sastra adalah “pekerjaan serius” untuk memperpanjang, memperdalam, dan memperluas ingatan kolektif bangsa.

Masyarakat juga telah menunjukkan bahwa cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” tak bisa dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Bukan karena meragukan kemauan atau kemampuan pemerintah, melainkan karena pemerintah kerap lebih peduli pada sektor “yang menghasilkan dalam jangka singkat” dan cenderung abai pada “yang hasilnya belum atau tak tertakar jumlah atau besarannya”.

Coba kita tengok museum-museum yang nasibnya semakin suram dan tak menentu. Lihat pula tempat-tempat bersejarah yang nuansa heroiknya kalah oleh bau pesing. Tak terurus, tak terawat. Seolah—atau memang—sengaja dilupakan! Bandingkan dengan fasilitas mewah yang disediakan bagi para petinggi negara, yang masih layak pakai empat-lima tahun malah dipoles semegah-megahnya, sampai-sampai beberapa penghuninya sibuk mendengkur di saat mereka semestinya tekun membincangkan hajat hidup rakyat banyak.

Gerakan #Koinsastra memang—sejatinya—simbol belaka. Hajat terbesarnya adalah keinginan untuk memiliki pusat dokumentasi yang refresentatif dan menyenangkan, yang aman bagi penyimpanan dokumen dan nyaman bagi siapa saja yang datang bertandang. Angka Rp 110.263.300 dan donasi peralatan senilai Rp 47.500.000 belumlah memadai untuk hajat besar itu.

Konser #Koinsastra di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (13/4) pukul 19.30, dengan melibatkan banyak artis, seniman, dan budayawan adalah seruan santun agar lebih banyak lagi pihak yang berkenan menyalurkan bantuannya.

Pada akhirnya, drama pembiaran terhadap aset bangsa harus segera diakhiri. Budaya menghargai “laku dokumentasi” harus lebih dimarakkan. Ayo, kita lawan tradisi pembiaran! (*)

Khrisna Pabichara, novelis dan salah seorang penggagas #Koinsastra

Kamis, 31 Maret 2011

Dialog Imajinatif Bersama Taufik Ismail

"Apa kabar Pak Taufik?"
"Baik, cuma agak cenat-cenut nih."
"Kenapa, Pak?"
"Biasa, terbawa umur."
"Umur atau uzur, Pak?"
"Hehehe...."
"Terbawa umur atau terbawa peristiwa, Pak?"
"Maksudnya?"
"Akhir-akhir ini kan nama Pak Taufik begitu santer terdengar di media sosial."
"Wah, itu biasa. Namanya juga seleb."
"Biasa plagiat?"
"Apa hubungannya dengan plagiarisme?"
"Pak Taufik kenal Douglas Malloch?"
"Oh, kenal banget. Dia fans fanatikku, makanya aku abadikan puisinya."
"Jadi bukan plagiat ya, Pak?"
"Ya bukanlah. Kamu ini picik sekali. Buka wawasan dong."
"Tapi banyak orang meyakini itu plagiat, Pak!"
"Hehehe. Mereka itu cuma pengen tenar lewat namaku."
"Cemburu?"
"Bukan juga, cuma memanfaatkan nama besarku agar mereka lebih cepat popular."
"Kok Bapak bilang 'aku pelajari dulu puisiku'? Masak puisi sendiri dipelajari, Pak?"
"Loh, aku ini sudah menganggit banyak puisi, layak toh kalau ada yang lupa."
"Banyak menganggit atau banyak menjiplak, Pak?"
"Jangan menuduh, dong. Itu pencemaran nama baik."
"Faktanya, Bapak kok tutup mulut?"
"Buang waktu mengurusi 'kecemburuan' gila seperti itu."
"Kenapa Bapak begitu anti-Lekra? Sampai kirim pesan pendek segala, Pak?"
"Itu sikap. Pilihan. Kewajiban moral bagi setiap orang."
"Apakah plagiat tak bersentuhan dengan moral, Pak?"
"Wah, itu sangat tidak bermoral. Sama dengan maling. Kejahatan intelektual."
"Bagaimana dengan 'Kerendahan Hati', Pak?"
"Itu murni karyaku!"
"Tapi mirip sekali, Pak."
"Ya, itu sih biasa. Saling menginspirasi."
"Dengar-dengar, para penyair akan membentuk MPI, Pak."
"Apa tuh?"
"Majelis Puisi Indonesia."
"Tugasnya?"
"Komisi Fatwa akan mengkaji kehalalan dan keharaman sebuah puisi."
"Kata siapa 'Kerendahan Hati' itu puisi haram?"
"Loh, kok Bapak menyimpulkan sendiri?"

Dunia Imajiner, Maret 2011

Warna-warni #Koinsastra

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.”


Istana Koleksi Langka

Kutipan di atas dinukil dari Roebrik Doenia Majalah Sapto, edisi Saptoe, 31 Augustus 1929. Ada 517 lagi koleksi majalah langka yang akan susah ditemukan di tempat selain Pusat Dokumentasi (PDS) HB Jassin. Tentulah ini aset berharga bagi sejarah kesusastraan Indonesia. Koleksi yang sangat berharga untuk diabaikan atau dilupakan. Selain majalah, terdapat sekitar 18.000 buku fiksi, 12.000 buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, dan 740 foto pengarang.

Kesejarahan dan kelangkaan menjadikan upaya perawatan yang maksimal menjadi sesuatu yang niscaya. Jika tidak, generasi kita 100 tahun ke depan bakal kehilangan naskah berharga, semisal buku Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina diterbitkan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co, atau Sjair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu tahun 1897.

Pada mulanya, koleksi-koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin adalah milik pribadi kritikus yang digelari Paus Sastra Indonesia itu. Koleksi itu tersimpan sebagian di rumahnya, Gang Siwalan No. 3. Sebagian lainnya dititipkan di rumah saudaranya di Gang Kecapi No. 8 tersebabkan terbatasnya ruang di rumahnya. Ada juga yang ia titipkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jln. Diponegoro No. 82. Melihat kegigihan dan ketekunan HB Jassin, serta permintaan berbagai pihak yang memandang perlunya “perawatan serius” koleksi-koleksi HB Jassin itu, Gubernur DKI Jakarta—saat itu, Ali Sadikin—pun menawarkan sebuah gedung di kitaran Taman Ismail Marzuki untuk ditempati. Gedung itulah yang kini dikenali sebagai Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.

Alkisah, berdasarkan Akta Notaris tertanggal 28 Juni 1976, Yayasan PDS HB Jassin secara resmi berdiri. Dari sana pula bermula pasang-surut upaya pemeliharaan aset bangsa itu. Untuk membiayai pemeliharaan dan pemutakhiran dokumen, Yayasan PDS HB Jassin menerima banyak bentuk kepedulian, termasuk bantuan dari Pemerintah DKI Jakarta—pihak yang sebermula menawarkan perawatan secara intensif itu—yang nilainya terus berubah setiap tahun. Setelah sempat mendapat bantuan sebesar Rp 500.000.000 setiap tahun, kemudian susut menjadi Rp 300.000.000, lalu makin menyusut menjadi Rp 164.000.000, puncaknya tahun ini, 2011, hanya dihibahi dana sebesar Rp 50.000.000.

Surat Keputusan bernomor IV 215 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta, Fawzi Bowo, tak pelak memicu reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Bentuk keprihatianan pun mencuat di media sosial Twitter dan Facebook sejak 18 Maret 2011. Dan, mulai 19 Maret 2011, Gerakan #Koinsastra Peduli PDS HB Jassin pun dilansir. Pegiat dan penyuka sastra bergerak secara bersamaan di 3 kota; Jakarta, Denpasar, dan Malang. Lantas merebak di Depok, Ciputat, Semarang, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Kendari, Makassar, Bandung, Padang, dan Bogor. Lambat laun, Gerakan #Koinsastra menjalar ke dunia kampus. Begitulah, Gerakan #Koinsastra yang bermula dari kecemasan akan masa depan peradaban bangsa itu, sekarang telah menggalang simpati masyarakat dari pelbagai kalangan.

Tercatat, hingga usia 10 hari sejak digulirkan, Gerakan #Koinsastra mengumpulkan dana sebesar Rp 107.684.000. Dan bentuk peralatan untuk program digitalisasi literatur sebanyak 6 komputer, 4 alat pemindai, dan 2 printer, yang jika dirupiahkan bernilai Rp 43.000.000. Hal ini menjadi bukti konkret betapa masyarakat sangat peduli terhadap keberadaan, keberlangsungan, dan keselamatan PDS HB Jassin, pun perpustakaan-perpustakaan lain di seluruh Nusantara yang semakin “terlupakan”—bisa juga disebut sebaga sengaja "dilupakan".

Jejak Kelahiran #Koinsastra

Sesungguhnya, usaha pengumpulan koin hanyalah simbol belaka. Ada hajat lain yang hendak disalurkan, di antaranya bagaimana merancang kegiatan yang semua anak bangsa atau komponen bangsa bisa ikut memberikan andil. Sebagai simbol, bila ada pihak yang berkenan menyumbangkan Rp 100.000,- misalnya, tetap bisa disalurkan. Begitupun dengan rakyat jelata yang hanya punya Rp 500,- atau Rp 1.000,- tetap bisa ikut berpartisipasi. Jadi, konsepnya bukanlah uangnya, melainkan bagaimana gerakan ini bisa menjadi perwujudan kecintaan anak bangsa terhadap kelestarian dan keberlangsungan peradaban bangsa.

Gerakan #koinsastra tidak dirancang sebagai kegiatan temporal berdurasi 1 atau 2 tahun saja. Visi Gerakan #Koinsastra dirancang dengan asumsi generasi 100 tahun ke depan. Bayangkan jika dokumen penting—semisal surat-surat para sastrawan—musnah saat ini, apa yang bisa diteliti, dibanggakan, dan disikapi oleh generasi nanti? Melalui gerakan ini, kita menawarkan program pemeliharaan dan pemutakhiran data. Dengan demikian, harapan kita, PDS HB Jassin selalu bernyawa dan bertumbuh. Sekali lagi, bukan seberapa banyak uang dikumpulkan, melainkan seberapa besar cinta dinyatakan.

Logikanya, pemeliharaan dokumen bukanlah pekerjaan ringan yang semudah mematangkan makanan cepat saji. Pemeliharaan dokumen butuh banyak biaya dan tenaga yang ahli. Begitupun dengan fasilitas sarana yang lebih kondusif dan memadai, yang nyaman bagi pengunjung dan aman bagi laku pendokumentasian. Jadi, waktu dan jumlah hanyalah perantara, tujuan utamanya adalah memberikan wahana bagi seluruh komponen bangsa untuk membuktikan dan menyatakan cintanya. Karenanya, misi yang diusung Gerakan #Koinsastra adalah usaha keras menyediakan “dana abadi” bagi pengelolaan PDS HB Jassin dengan perkiraan sementara Rp 15 miliar.

Oleh karenanya, Gerakan #Koinsastra diniatkan semata sebagai bentuk kepedulian dan penyadaran untuk menghindari tradisi “pembiaran”, terutama pembiaran terhadap aset bangsa yang bersejarah, yang tak ternilai. Mimpi besar lainnya adalah mengupayakan ketersediaan “dana abadi”, maka tentulah partisipasi seluruh komponen bangsa sangat dibutuhkan.

Memang, mengumpulkan koin hingga mencapai kisaran Rp 15 miliar, bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bukan juga sesuatu yang mustahil. Apabila seluruh lapisan masyarakat berkenan bahu-membahu, segalanya bisa saja terjadi.

Parung, Maret 2011

Disusun dari berbagai sumber.

Program yang Ditawarkan Gerakan #Koinsastra

Apa yang bisa dilakukan jika gerakan hanya mengumpulkan recehan belaka?

Seperti telah saya tuturkan di hashtag #koinsastra, gerakan pengumpulan koin hanyalah simbol belaka. Ada hajat lain yang hendak disalurkan, di antaranya bagaimana merancang kegiatan yang semua anak bangsa atau komponen bangsa bisa ikut memberikan andil. Sebagai simbol, tentu saja jika ada pihak yang berkenan menyumbangkan Rp 100.000,- misalnya, tetap bisa disalurkan. Begitupun dengan rakyat jelata yang hanya punya Rp 500,- atau Rp 1.000,- tetap bisa ikut berpartisipasi. Jadi, konsepnya bukanlah uangnya, melainkan bagaimana gerakan ini bisa menjadi perwujudan kecintaan anak bangsa terhadap kelestarian dan keberlangsungan peradaban bangsa.

Bagaimana jika Pemerintah atau unsur terkait merasa tersindir atau dipermalukan?

Loh, kok menyerempet Pemerintah? Hahaha. Alangkah naif jika Pemerintah tersinggung karena gerakan ini. Kenapa? #koinsastra adalah penyaluran cinta rakyat. Apa bisa cinta yang hendak disalurkan itu dipampatkan? Nah, Pemerintah malah patut merayakan keberadaan Gerakan #koinsastra ini karena rakyat bergerak aktif dalam kampanye "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "menyelamatkan aset bangsa". Artinya, wilayah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab bersama telah berjalan dengan baik. Jadi, aneh saja jika Pemerintah kebakaran jenggot (membayangkan Pemerintah punya jenggot!).

Gerakan #koinsastra semata gerakan sporadis dalam waktu terbatas. Percuma, kan?


Tak ada cinta yang percuma. Gerakan #koinsastra tidak dirancang untuk tempo 1 atau 2 tahun saja. Kita membayangkan generasi 100 tahun ke depan. Bayangkan jika dokumen penting--semisal surat-surat para sastrawan--musnah saat ini, apa yang bisa diteliti, dibanggakan, dan disikapi oleh generasi nanti? Melalui gerakan ini, kita menawarkan program pemeliharaan dan pemutakhiran data. Dengan demikian, harapan kita, PDS HB Jassin selalu bernyawa dan bertumbuh.

Berapa lama jangka gerakan ini digalakkan dan berapa target yang hendak dicapai?

Ini salah satu keterbatasan ruang pikir kita. Sekali lagi, bukan seberapa banyak uang dikumpulkan, melainkan seberapa besar cinta dinyatakan. Logikanya, pemeliharaan dokumen bukanlah pekerjaan ringan yang semudah mematangkan makanan cepat saji. Pemeliharaan dokumen butuh banyak biaya dan tenaga yang ahli. Begitupun dengan fasilitas sarana yang lebih kondusif dan memadai, yang nyaman bagi pengunjung dan aman bagi laku pendokumentasian. Jadi, waktu dan jumlah hanyalah perantara, tujuan utamanya adalah memberikan wahana bagi seluruh komponen bangsa untuk membuktikan dan menyatakan cintanya.

Bagaimana dengan keberadaan lembaga atau organisasi tertentu?

Kami bersyukur jika geliat #koinsastra ini menginspirasi banyak pihak, baik perseorangan maupun kelembagaan. Tapi kami menolak keras upaya politisasi gerakan ini, atau memanfaatkan peristiwa ini semata untuk mendongkrak kepopuleran atau politik pencitraan. Jadikanlah PDS HB Jassin tetap sebagai milik seluruh komponen bangsa, jangan disekat dengan warna atau kepentingan yang sarat aroma politik.

Apa saja program yang ditawarkan oleh Gerakan #koinsastra?
Nah, ini pertanyaan yang paling saya tunggu. Kami menggelar #koinsastra--seperti tutur saya semula--bukan semata untuk mengumpulkan koin. Ada tawaran lain sebagai bukti cinta kami.

Pertama, Gerakan #koinsastra merancang kegiatan menggugah minat siswa SMP/SMA menjadikan PDS HB Jassin sebagai pusat #wisatasastra, konsepnya adalah 1 sekolah setiap bulan. Konkretnya, kita akan mengajukan penawaran kerja sama dengan Kementerian Pendidikan untuk merekomendasikan wisata sastra dalam kerangka pembelajaran Bahasa Indonesia. Relawan #koinsastra akan menggelar pertunjukan baca puisi, cerpen, lagu, atau tampilan lain yang membuat kunjungan itu lebih berkesan dan menyenangkan. Tawaran ini melintas guna mengantisipasi "sepinya" PDS HB Jassin. Apalah arti dana berlimpah yang dikucurkan atau dokumen yang sedemikian banyak, jika tak banyak anak bangsa yang mengetahui keberadaannya?

Kedua, Gerakan #koinsastra menawarkan pada pihak Pengelola PDS HB Jassin untuk memberikan bantuan pendokumentasian, pendataan buku baru, ataupun pemindahan data ke komputer. Relawan kami terjunkan secara bergantian--dengan membawa perbekalan sendiri, seperti gunting, kertas, dan lem--untuk memindahkan tumpukan koran menjadi kliping baru sesuai pola atau cara yang kerap dilakukan di PDS HB Jassin. Bahkan jika dibutuhkan, relawan siap memindahkan data sastra secara menual--semisal mengetik ulang--jika data awal sudah sulit dipindai secara digital. Kami juga akan menghimbau para penulis dan praktisi perbukuan--fiksi dan nonfiksi--untuk aktif mengirimkan karyanya ke PDS HB Jassin, sehingga data di PDS HB Jassin selalu bertambah dan selaras dengan pergerakan zaman.

Ketiga, Gerakan #koinsastra akan meminta kesediaan komunitas pencinta sastra atau perbukuan atau kebudayaan untuk menjadikan PDS HB Jassin sebagai basis kegiatan. Tersedia ruangan yang terpisah dari ruang dokumen yang memungkinkan komunitas untuk beraktivitas. Dengan demikian, kecintaan tidaklah terhenti sebatas di sumbangan satu atau dua koin, tapi terus berkesinambungan.

Keempat, Gerakan #koinsastra menawarkan program digitalisasi data sehingga selain data fisik, dokumen yang ada tersimpan secara "aman" dan rapi dalam bentuk digital. Bukannya meramalkan atau mengharapkan, ini penting dalam rangka mengantisipasi kejadian alam tak terduga yang membahayakan kselamatan dokumen. Sebut contoh sederhana, dokumen yang kerap digandakan lewat mesin pemindai atau foto copy menimbulkan efek panas pada kertas, semakin sering semakin berbahaya. Lewat digitalisasi, pun bisa mempermudah akses masyarakat yang membutuhkan keberadaan dokumen di PDS HB Jassin tapi berada jauh dari Jakarta.

Kelima, Gerakan #koinsastra akan mengajak relawan untuk menerjemahkan beberapa karya penting ke berbagai bahasa asing, sehingga aset bangsa semakin mudah diapresiasi oleh penikmat atau peneliti dari luar. Bahkan jika bisa semua dokumen dialihbahasakan, sehingga "hajat luhur" Bapak HB Jassin menjadikan PDS HB Jassin "mendunia" bisa terwujud.

Bagaimana jika pihak Yayasan atau Pengelola PDS HB Jassin menolak tawaran Gerakan #koinsastra?
Meskipun kami tidak membayangkan atau mengharapkan penolakan, tapi segalanya kami serahkan kepada pihak Yayasan dan Pengelola PDS HB Jassin. Ibarat pencinta, kami hanya manawarkan segala yang kami miliki. Jika ternyata tawaran kami bertepuk sebelah tangan, lazimnya pernyataan cinta, itu hal yang lumrah. Namun, jikalau boleh dan diperkenankan berharap, kami sangat ingin pihak Yayasan dan Pengelola PDS HB Jassin berkenan menerima tawaran kami, baik sebahagian apalagi secara keseluruhan.

Salam takzim, Gerakan #koinsastra

Tim Penggagas (Putu Fajar Arcana, Khrisna Pabichara, Ahmad Makki, Indah Ariani, Intan AP, Zeventina Octaviani)
Tim Kecil Jakarta (Imam Ma'arif, Shinta Miranda, Bamby Cahyadi, Gemi Mohawk, Pringadi AS, Agustinus Abraham)
Semua pihak yang turut mendukung: #fiksimini, #kotakkatak, dan pihak lain yang tak tersebutkan.
Pihak daerah yang turut dan akan bergerak: Malang, Denpasar, Semarang, Palembang, Surabaya, Bandung, Balikpapan, Kendari, Bogor
Pihak Kampus yang turut aktif: Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Udayana Denpasar

Rabu, 30 Maret 2011

Koin Sastra untuk PDS HB Jassin!

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun membuat "berang" banyak kalangan.

Dengan anggaran sebesar itu, sangat jauh dari yang disebut cukup. Bayangkanlah, untuk biaya pengasapan buku saja sudah habis Rp 40 juta sendiri dan pemeliharaan dengan pengasapan idealnya dilakukan dua kali setahun agar buku tidak mudah hancur dan dimakan ngengat? Belum lagi penggajian 14 pegawai yang sudah sebegitu setia berada di tempat itu dengan gaji yang sangat minim.

Melihat kondisi tersebut, salah seorang pelaku sastra, Khrisna Pabichara, penyair dan prosais, tergerak hatinya menggalang dana untuk menyelamatkan keberadaan PDS HB Jassin melalui kegiatan "Koinsastra". Bersama para pencinta sastra, "Koinsastra" pun menggelinding hingga ke daerah-daerah di luar Jakarta.

Berikut adalah catatan Khrisna untuk mengetuk hati para pencinta sastra khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya untuk bersama-sama menggalang dana demi menyelamatkan PDS HB Jassin.

18 Maret 2011, 13:15

Jumat sore (18/03, 13.15) saya membuka akun twitter. Belum beberapa menit berselang, berita mengenaskan seperti menampar-nampar muka saya: PDS HB Jassin terancam ditutup karena keterbatasan dana pengelolaan. Segera saja saya bersinggungan dengan teman-teman di twitter untuk "melansir" lebih gencar kabar tersebut, sekaligus mencari jalan alternatif untuk menghindari "kebangkrutan" PDS HB Jassin.

Saat itu, saya paling sering bertukar kabar dengan Putu Fajar Arcana, Indah Ariani, dan Ahmad Makki. Seluruh teman twitter saya pun segera saya kirimi ajakan untuk "memikirkan" keberadaan PDS HB Jassin. Tak melintas sejenak pun hajat untuk menjadi "malaikat penyelamat". Semuanya dilatari oleh cinta dan kecemasan. Kecintaan pada peradaban yang menggunung di PDS HB Jassin, dan kecemasan membayangkan nasib generasi mendatang jika mereka kehilangan PDS HB Jassin.

Tak puas bermain kabar di twitter, saya mainkan status saya di facebook. Bahkan saya mengirim pesan pendek ke beberapa Sahabat yang saya yakin memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap nasib PDS HB Jassin. Alhasil, menjelang pukul 19.00, muncullah ide penggalangan dukungan untuk "istana sastra" yang dibangun dengan sepenuh cinta oleh HB Jassin itu. Persoalannya, bagaimana cara menggalang ide yang bisa "gaung"-nya berdentum hingga ke hati seluruh komponen rakyat? Lalu, mencuatlah ide Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin. Bahkan, ide itu semakin merebak dan merambah luas ke daerah-daerah. Bung Warih W. menginisiasi penggalangan dana #koinsastra di Museum Sidik Jari Denpasar, Bung Nanang Suryadi menggelar baca puisi di UMM Malang, dan rencana inisiasi gerakan di daerah lainnya.

Maka, saya pun terserang penyakit susah tidur (padahal malam-malam sebelumnya bahkan lebih susah tidur).

19 Maret 2011, 08:00

Saya berkemas. Hajat hari ini adalah bertandang ke PDS HB Jassin, mengajak teman-teman sejawat untuk berbincang tentang Gerakan #koinsastra di TIM. Saya pun mengirim pesan pendek ke beberapa teman. Gayung bersambut, semuanya menjawab pesan pendek yang saya kirim.

Ketika jarum jam sudah bertengger di angka 08:30, saya pun bergegas ke Jln. Taman Margasatwa. Rencananya mau naik taksi (karena ingin tiba di TIM sebelum pukul 10:00), tapi ketika sebuah bus KOPAJA melintas dengan aksi pengamen di sela penumpang yang berdesakan, saya pun membatalkan niat mencegat taksi. Dan, sebuah ide "aneh" menyesaki benak saya. Ketika bus KOPAJA berikutnya tiba di hadapan saya, buru-buru saya melompat naik. Dan....

"Mohon maaf penumpang yang budiman, supir dan kenek yang baik hati, karena saya pastilah akan menyita waktu dan kenyamanan Anda dalam perjalanan ini. Oh ya, belakangan ini kita akrab dengan dunia perbukuan. Setiap hari media mengabarkan buku, yakni bom buku."

Saya berhenti sejenak, menelan ludah. Mencoba membaca apa yang kira-kira berkelindan di benak para penumpang.

"Akan tetapi, ada kabar lain yang jauh lebih mematikan ketimbang bom buku. Kabar itu adalah ancaman ditutupnya PDS HB Jassin karena kekurangan dana operasional. Saya yakin, kita semua peduli pada peradaban bangsa. Saya juga yakin, kita semua peduli pada generasi setelah kita. Dan, jika PDS HB Jassin ditutup hanya karena alasan tak masuk akal, kekurangan dana, maka generasi mendatanglah yang akan menderita akibatnya."

Perlahan berpasang-pasang mata terpusat ke wajah saya. Ternyata begini rasanya dulu ketika Imam Ma'arif bertualang di Jakarta, mengamen baca puisi di bus kota. Dan, dengan irama khas "appitoto Turatea", saya pun membaca puisi "Suatu Malam Ketika Aku Merindumu". Sesudahnya, mengalir air mata saya ketika banyak penumpang bertepuk tangan. Maka, saya hadiahkan puisi kedua, "Tuhan Punya Musuh". Kemudiaan, seusai dua puisi saya bacakan, saya pun mengedarkan topi yang saya kenakan ke setiap penumpang. Ada yang menyumbang Rp 20.000, ada yang Rp 10.000, ada yang Rp 1.000, ada yang Rp 500. Ada yang pura-pura tidur, ada juga yang melambaikan tangan dengan senyum di bibirnya. Bus pertama saya meraup Rp 87.500. Lalu, saya turun. Pindah ke bus kedua mengulang proses yang sama, lantas berpindah lagi ke bus ketiga untuk mengamen baca puisi lagi.

Keringatan, bahagia, gemetaran: setelah menghitung hasil ngamen sebesar Rp 215.500.

19 Maret 2011, 10.35

Saya takut terlambat, tapi setiba di PDS, suasana masih sepi. Saya pun beranjak ke Rumah Makan Nikmat di TIM. Memesan es teh manis sambil memuaskan mulut dan hidung saya dengan asap rokok. Tak lama berselang, datanglah Mas Gemi Mohawk. Lalu disusul Shinta Miranda dan Agustinus Abraham De Fretes. Disusul lagi oleh kedatangan Mas Imam Ma'arif. Selanjutnya adalah Pringadi Abdi Surya. Dan akhirnya ditutup oleh kehadiran Bamby Cahyadi.

Kami bersepakat untuk membentuk Tim Kecil Jakarta untuk Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin, menyusun langkah yang hendak dilakukan, merancang berbagai strategi pengumpulan dana dan penyebaran informasi, dan menentukan koordinator Jakarta yang dipercayakan ke pundak saya.

19 Maret 2011, 18.02

Tim Kecil Jakarta tiba di Kalimalang. Selain berniat mengikuti acara peluncuran buku Kurnia Effendi yang berjudul Anak Arloji, saya juga mendapat kesempatan untuk membacakan cerpen yang akan diikuti dengan pengedaran kenclengan sumbangan #koinsastra. Bak kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Penonton yang ramai, sesak, meskipun ditingkahi gerimis, taklah menghalangi kemeriahan acara. Setelah penampilan Budiman Sudjatmiko, Ine Febriyanti, dan Tiara Wijanarko, saya pun tampil membacakan petikan cerpen "Laut Lepas Kita Pergi".

Antusiasme penonton sungguh luar biasa. Saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan oleh Serambi Ilmu untuk menggalang dana, pun kepada Kurnia Effendi selaku pemilik hajat. Alhasil, dana yang terkumpul setelah saya membaca cerpen adalah Rp 1.239.500. Sesuatu yang sangat berharga.

20 Maret 2011, 08:35

Mulailah berdatangan pesan pendek tentang Gerakan #koinsastra. Ada sahabat dari kalangan politisi, ataupun pengusaha. Ada juga dari teman sepermainan kata. Dan terhenyak juga ketika mendapat kabar Nasional Demokrat akan menanggulangi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengelola PDS HB Jassin. Saya bersyukur sekaligus "curiga". Kenapa? Saya bersyukur kada sudah ada yang mulai peduli. Saya curiga--lebih tepat dinamai sedih--karena khawatir jangan-jangan ini hanya bagian dari politik pencitraan Nasional Demokrat. Apa pun itu, Gerakan #koinsastra harus tetap jalan, karena ada banyak hal yang hendak kami perjuangkan.

Untuk menjawab kegelisahan teman-teman tentang apa, bagaimana, dan kenapa mencuat Gerakan #koinsastra tersebut, saya pun menulis di twitter semacam "jawaban" dasar. Sila dibaca:

1. Gerakan #koinsastra Peduli #PDSHBJassin tidak dimaksudkan untuk mempermalukan atau menjatuhkan pihak mana pun. Semata karena cinta.

2. #koinsastra bukan pula ditujukan menyindir atau menohok Pemerintah, Yayasan, Pengelola #PDSHBJassin. Tapi karena peduli peradaban bangsa.

3. #koinsastra adalah wujud cinta dan kepedulian rakyat Indonesia terhadap masa depan peradaban bangsanya.

4. #koinsastra murni gerakan kepedulian yang dilatari oleh rasa cinta pada #PDSHBJassin. Tak ada muatan atau niatan lain, apalagi aroma politik.

5. Jika pihak Pemerintah tersindir atau tersinggung karena geliat gerakan #koinsastra, semoga lahir kebijakan baru yang lebih peduli.

6. Gerakan #koinsastra digagas untuk menampung lebih banyak lagi partisipasi rakyat. Koin hanyalah simbol, cinta adalah segalanya.

7. Gerakan #koinsastra dirancang untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan keberlangsungan #PDSHBJassin.

8. Oleh karena dasarnya adalah cinta, maka Gerakan #koinsastra semata tanda bakti bagi dokumentasi sastra Indonesia. Tak lebih, tak kurang.

9. Layaknya gerakan lain, Gerakan #koinsastra pun menuai pro-kontra. Lumrah saja, tapi peduli tak semata lewat kata-kata, kadang butuh aksi.

10. Gerakan #koinsastra adalah wujud mimpi anak bangsa untuk memiliki pusat dokumentasi sastra yang terus bernyawa dan bertumbuh.

11. Gerakan #koinsastra adalah kristal hajat rakyat untuk meneruskan cita-cita luhur Bapak HB Jassin. Jika bukan kita, siapa lagi?

12. Jika seluruh komponen bangsa peduli #PDSHBJassin, banyak hal yang bisa kita lakukan. #koinsastra hanya sumbu, nyalakanlah!

13. Seperti bara, Gerakan #koinsastra dihajatkan menjaga agar api tetap mengada. Bukan sekadar kerdip tapi menyalakan api abadi di hati.

14. Pada akhirnya, salurkan cinta Anda lewat Gerakan #koinsastra di Rek. Dana a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.

15. Penggagas #koinsastra mengucapkan terima kasih atas wujud cinta Anda di rek. a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.

Demikian sekadar coretan saya. Semoga berkenan!

Parung, Maret 2011

Sumber: Kompas.com Senin, 21 Maret 2011 | 14:06 WIB Editor: Jodhi Yudono

Sepenggal Catatan dari PDS HB Jassin

PEKAN kemarin, HB Jassin menjadi pusat pergunjingan di media massa, baik cetak maupun elektronik tak terkecuali media online di antara isu politik nasional. Di sejumlah milis pun ramai dibicarakan. Puncaknya secara terbuka Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengutarakan permintaan maafnya, sedangkan di sejumlah kampus para aktivis mahasiswa menggalang gerakan koin sastra untuk HB Yasin.

Apa toh yang terjadi dengan HB Yasin? Ya, semua itu berawal dari kisruh dana hibah Pemprov DKI ke Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Di saat genap 11 tahun wafatnya Paus Sastra Indonesia ini, berhembus kabar jika PDS HB Jassinakan ditutup. Ihwalnya, duit hibah dari Pemrov DKI tahun 2011 hanya Rp50 juta per tahun, padahal dana operasional per bulan bisa mencapai Rp200 juta lebih.

Miris juga mendengar kabar ini. Pasalnya, HB Jassin yang wafat dalam usia 83 tahun adalah salah satu tokoh paling berjasa dalam dunia sastra nasional. Bermimpikan sastra Indonesia memiliki tempat dan kedududukan terhorMat di bumi pertiwi, dia mendirikan PDS HB Jassin pada 28 Juni 1976. Sejak saat itu, HB Jassin dengan telaten mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Dengan teliti dan tertata rapi, HB Jassin mengumpulkan karya-karya sastra mulai novel, puisi remaja yang tak terkenal yang dipublikasikan di koran atau majalah.

Kemelut PDS HB Jassin ini mengundang penasaran okezone untuk mengetahui lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.Siang itu di sekitar bangunan lantai dua yang bersebelahan dengan Gedung Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta, masih terlihat rindang dengan pepohonan. Untuk sampai ke ruangan PDS HB Jassin, harus melewati anak tangga berwarna biru yang terbuat dari plat besi.

Sampai juga akhirnya di sebuah gedung tempat karya-karya satra yang mulai dikumpulkan HB Jassin sejak tahun 1930-an. Udara dingin dan suasana tenang seketika itu terasa menyambut. Yah, lumayanlah untuk sejenak meredakan rasa lelah setelah berjibaku dalam kemacetan Ibu Kota yang kian menjadi-jadi.

Meja panjang warna putih yang dijaga seorang petugas tepat berada di hadapan sebelum mengisi sebuah buku tamu. Namanya Sulastro, saat pertama kali menanyakan maksud kedatangan okezone ke tempat itu. Pria berusia 50 tahun ini mengaku bekerja di PDS HB Jassin sudah 20 tahun.

Dengan ramah dan senyum, Sulastro menyapa, “Bisa dibantu Mas?”
“Ya Pak. Di sini koleksi yang unik dan menarik apa ya?”
Sulastro pun menyahut, “Hhmm... Banyak sih Mas. Tapi menurut saya ada majalah terbitan tahun 1920-an cukup menarik untuk dibaca. Gimana Mas?”

Kebetulan salah satu alasan yang mendorong datang ke pusat dokumentasi sastra ini adalah rasa penasaran terhadap koleksi majalah-majalah lawas yang bersejarah. “Menarik tuh pak. Nama majalahnya apa pak?”
“Namanya Majalah 'Sinpo'. Di sini ada berbagai koleksinya terbitan tahun 1920-an,” ungkap Sulastro.

“Boleh juga tuh pak. Boleh saya pinjam pak buat dibaca di sini? Tapi kalau saya ikut masuk melihat-lihat ruang koleksinya boleh enggak pak?”
“Oh, silahkan mas. Saya antarkan ya,” ucap Sulastro lagi.

Beruntung juga sih diizinkan masuk ke ruangan koleksi tersebut. Udara di ruangan itu dingin sangat terasa di kulit. “Pak, kok ruangannya dingin banget beda sama yang di luar ya?”

“Oh iya mas karena di sini kan hampir semua dokumen berbahan kertas. Agar lebih awet dibantu dengan sistem pendingin udara. Jadi sedikit agak lebih dingin dari suhu ruangan biasa supaya kertas-kertasnya bisa lebih tahan lama,” papar Sulastro menjelaskan.

Di ruangan koleksi tersebut terdapat rak-rak yang tertata rapi dengan ribuan buku berdasarkan nama pengarangnya. Saking banyaknya buku dan dokumen yang terkumpul, sampai-sampai harus diletakkan di bagian paling atas rak. Bahkan meluber ke bawah lantai di pojok ruangan ini. Ruangan itu seakan terus menyempit dengan bertambahnya koleksi setiap saat.

Sayangnya, banyak juga buku-buku yang terlihat mulai usang dengan judul-judul masih memakai ejaan bahasa Indonesia lama. Seperti “Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina” terbitan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co.Kemudian ada juga buku ”Sair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda” tahun 1897 yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu.

Okezone tersenyum membacanya. Agak sedikit kurang lancar untuk mengeja tulisan tersebut karena takterbiasa.Setelah berkeliling cukup lama, sampai juga di penyimpanan koleksi majalah yang dicari, yakni Majalah “Sinpo”. Di rak tersebut terdapat beberapa buku berwarna coklat tua, yang di bagian luarnya ditulis angka tahun. Angka tersebut menandakan terbitan majalah yang terkumpul dalam tahun itu.

“Silahkan dipilih Mas. Saya balik dulu ke depan ya,” ujar Sulastro mempersilakan.
“Oke. Terima kasih Pak.”

Pandangan tertuju pada buku tahun 1929. Buku tersebut kelihatan agak lebih rapi dan tersusun baik, walaupun masih ada tahun terbitan sebelumnya. Buku tersebut bersampul tebal coklat tua dengan panjang sekira 20 cm dan tebal 5 cm. Saat membuka sampulnya tertera tulisan “Sinpo” Wekelijksche–Editie Tahon KA VII, No.327 Saptoe 6 Juli 1929.

Setelah dibuka, banyak sekali iklan promosi yang lengkap dengan gambar atau pada majalah tersebut. Mayoritas iklan-iklan produk kecantikan dan kesehatan. Seperti iklan produk kesehatan “KRACHT PILLEN HERCULES” Hercules Pendekar Paling Koeat.
Siapa pernah tjoba ini pil, nanti bilang dirinja djadi loear biasa, ia bergoemeter seperti kena hawa electrisch, bernapsoe dan bergoembira sebagi satoe anak moeda jang paling koeat. Dimana-mana temapat ada terdapet agent.

Begitulah lebih kurang tulisan yang terdapat pada iklan tersebut. Pada iklan ini ada gambar karikatur seorang pria gagah tanpa baju hanya mengenakan kain untuk penutup bagian bawahnya sambil mengangkat tangannya untuk menunjukkan keperkasannya. Dan terlihat juga gambar seorang wanita cantik dengan rambut panjang terurai yang tampak malu sambil membelakangi sang pria. Latar belakang gambar tersebut di sebuah taman.

Begitulah gambaran iklan di surat kabar pada saat itu. Melihat gambar dan tulisannya membuat tersenyum, merasa seperti berada pada masa Indonesia tahun 1920-an. Selain iklan, tentu saja terdapat artikel-artikel tentang pemberitaan pada massa itu. Salah-satunya seperti pemberitaan “Sinpo” edisi Saptoe 20 Juli 1929 tentang pendirian Kung Sih School. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa akan dibangun sebuah sekolah oleh seorang warga keturunan Tionghoa untuk mengenang suaminya yang tewas dibunuh serdadu Jepang di Pulau Jawa.

“Seperti orang taoe, njonja Tsai Kung Sih telah koendjoengin Java boeat poengoet oeroenan aken diriken satoe sekola boeat peringetken ia poenja soeami Tsai Kung Sih jang diboenoe mati oleh soldadoe Japan di Tsinan setjara kedjam.” Begitulah isi yang diberitakan Sinpo, kala itu.

Dalam majalah ini tidak terdapat lembar yang memuat susunan redaksi. Tapi setelah diperhatikan ada beberapa bidang pemberitaan yakni Indonesia, Tiongkok dan dunia. Banyak sekali pemberitaan yang terkumpul dalam satu tahun pada saat itu (1929). Membaca majalah ini menambah sedikit pengetahuan dan wawasan saya tentang sejarah pada masa itu. Salah satu contohnya pemberitaan tentang pemenang kontes
kecantikan di dunia. Dalam beritanya, Sinpo menyebutkan yang menjadi pemenangnya adalah Miss Austria.

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.” Tulisan ini ada dalam Sinpo edisi Saptoe 31 Augustus 1929 pada rubrik dunia.

Begitulah sedikit gambaran tentang beberapa koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin yang salah satunya mengoleksi majalah masa lalu hingga saat ini. Belum lagi tersimpang banyak karya dari berbagai sastrawan tersohor sampai yang tidak dikenal. Tapi Ironis, kondisi PDS HB Jassin ini tengah dilanda masalah anggaran. Pasalnya, terjadi pemangkasan anggaran yang sangat signifikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Seperti diungkapkan Ariany Isnamurti, kepala pelaksana PDS HB Jassin.

Ariany menyayangkan kondisi yang terjadi pada PDS HB Jassin saat ini. Menurutnya, pengelolaan PDS tersebut sangat terbentur permasalahan dana. Dana yang dihibahkan untuk PDS mengalami penurunan yang sangat signifikan. "Dana yang cair itu untuk tahun ini hanya Rp50 juta per tahun, jauh dari sebelum-sebelumnya. Dulu bahkan sempat mendapat bantuan dana lebih kurang Rp300 juta, tapi sekarang jauh sekali berkurangnya," ungkap Ariany.

Kendala pendanaan tersebut berimbas kepada masalah administrasi dan pelayanan di PDS HB Jassin tersebut. Proses digitalisasi pun jadi terkendala. Hingga saat ini tempat penyimpananan sastra-sastra Indonesia modern mulai dari tahun 1920-an tersebut belum dilengkapi dengan fasilitas komputer. "Bahkan di kantor saja masih menggunakan komputer jenis lama," terang Ariany.

Mengenai sosok HB Jassin, Ariany menyimpan kenangan tersendiri. HB Jassin, kata dia, sangat cinta dengan sastra. HB Jasin juga ingin masyarakat mencintai sastra. Sebab itu, saat mendirikan PDS, HB Jassin tidak berpikir untung dan rugi sehingga dia rela menyediakan waktu, tenaga dan dana sendiri untuk membangan taman sastra tersebut. "Pesan Pak Jassin, ini pelayanan masyarakat, jangan kenakan banyak uang ke masyarakat. Jangan persulit orang untuk mengetahui data tentang sastra. Jangan menjual sastra," ungkap Ariany menirukan pesan HB Jassin.

(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 11:29 wib

PDS HB Jassin, Terlupakan Atau Dilupakan?

JIKA Anda dilupakan oleh seorang sahabat, tentunya pasti akan merasa kesal. Seolah keberadaan Anda tidak lagi dianggap ada dan memiliki arti. Lalu bagaimana dengan kasus Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam punah karena tak ada biaya operasional? Kita harus marah pada siapa? Apa mungkin Pemerintah telah melupakan PDS HB Yasin yang merupakan salah satu pusat kekuatan karya sastra dunia?

Nyatanya, PDS HB Jassin terancam ditutup karena tak lagi mampu membayar gaji karyawan serta merawat buku. Anggaran yang diperoleh pihak yayasan bahkan cenderung mengejutkan, yakni hanya Rp50 juta untuk satu tahun. Tentu hal itu timpang jika dibanding dengan organisasi lain seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun RSPAD Gatot Subroto yang mendapatkan gelontoran dana operasional ratusan juta bahkan mencapai miliaran rupiah.

Mengapa pemerintah provinsi DKI Jakarta kok rasanya sayang mengeluarkan uang untuk merawat gudang ilmu sekelas PDS HB Jassin? Sampai–sampai gerakan menggalang koin sastra seperti kasus Prita Mulyasari kembali terulang dari masyarakat yang merasa prihatin. Rektor Universitas Indonesia (UI) yang juga Sosiolog, Gumilar R Somantri menilai keterpurukan PDS HB Yasin bukan sepenuhnya ada pada kesalahan pemerintah saja. Namun, Gumilar justru menilai PDS HB Yasin bisa jadi kurang mampu menampakkan eksistensinya dan pro aktif dalam hal mencari dana.

“Memang Pemprov DKI sudah mengakui bahwa mereka lalai, namun saya rasa ini bukan kesengajaan, bukan hanya salah pemerintah, lembaga PDS HB Yasin itu harus dipimpin oleh seseorang yang mampu menampakkan eksistensi lembaga itu sendiri dalam hal menyokong masalah pendanaan,” katanya kepada okezone, baru-baru ini.

Selain itu, menurutnya aksi penggalangan dana yang terjadi menunjukkan bahwa keberadaan PDS HB Jassin bukanlah dilupakan tetapi hanya terlupakan. Buktinya, kata dia, masih banyak masyarakat yang mencintai karya sastra. “Aksi galang dana itu baik, menunjukkan bahwa negeri ini masih memiliki orang–orang yang punya value atau nilai yang menghormati dokumen sastra, salah satu indikasi peradaban terus berkembang, dan dengan aksi itu menunjukkan PDS HB Jassin bukan dilupakan tapi terlupakan,” jelas Gumilar.

Berbeda pendapat dengan Budayawan JJ Rizal yang menuding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah peduli terhadap urusan ibukota, apalagi dengan masalah di internal PDS HB Yasin. Penulis Asrul Sani, kata dia, bahkan pernah menulis bahwa pemerintah memang tidak memiliki hasrat budaya. “Tidak ada atau belum ada lagi gubernur yang seperti Ali Sadikin yang mau peduli dan melatarbelakangi berdirinya PDS HB Yasin. Saat itu HB Yasin memang tengah terpuruk masalah keuangan dan Ali Sadikin berinisiatif untuk membuatkan PDS agar HB Yasin tidak diusir dari rumahnya,” kata JJ Rizal.

Kebetulan, JJ Rizal adalah budayawan yang langsung terjun sebagai pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris. Sehingga, dia bercerita banyak hal terkait kondisi pelik di dalam internal PDS serta rasa geram yang dipendam kepada pemerintah. “Persoalannya kita sudah lama merasa bermasalah dengan manajemen internal, persoalan dana yang membelenggu pusat sastra dunia dengan koleksi 50 ribu lebih karya sastra. Tak ada komputerisasi, tak ada digitalisasi, karena sedikitnya dana yang digelontorkan untuk perawatan karya sastra,” tegas JJ Rizal.

Selama ini, kata Rizal, banyak pihak sudah menyumbangkan dana seperti Coca Cola Foundation hingga partai politik. Namun tak ada satupun yang tulus memberikan bantuan memang didasari kecintaan terhadap karya sastra. “Pernah ada Coca Cola Foundation sumbang komputer tapi yang kualitasnya tidak begitu bagus, tiga bulan rusak lagi. Ada juga partai politik yang tujuannya sangat politis. Itulah sebabnya kami menolak tawaran Nasional Demokrat (Nasdem) salah satunya,” jelasnya.

Bahkan Rizal menolak tawaran baik Universitas Indonesia (UI) yang ingin merangkul PDS HB Jassin. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.

Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas. Sebab kini PDS HB Jassin nyaris tak bernyawa alias mati suri. Krisis keungan PSD HB Jassin membuat pengusaha properti Ciputra prihatin. Dia pun langsung mendatangi temoat dan memberikan bantuan dana senilai Rp100 juta. "Saya lihat di media. Saya sangat prihatin," ujarnya yang datang langsung dan disambut Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi dan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin, Ariany Isnamurti.

Minta Maaf
”Bukan saya mengatakan saya tidak tahu bahwa saya yang tanda tangani ini. Hanya, barangkali saya harus minta maaf kalau ini luput dari pengamatan saya.” Lontaran ini terucap dari Gubernut Fauzi Bowo saat mengunjungi PDS HB Jassin, i Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Foke, sapaan Fauzi Bowo juga menyesalkan atas kinerja Pemprov DKI yang mengurangi dana bantuan ke PDS. "Jika PDS HB Jassin tidak kita bantu sama saja orang DKI tidak berbudaya. Dokumen di sini tetap bermanfaat untuk masyarakat," katanya.

Dalam kaitan ini, Mendiknas M Nuh pun menyatakan PDS HB Jassin merupakan aset penting sehingga semua pihak berkewajiban menjaga eksistensinya. "Jadi persoalannya bukan mengambilalih atau tidak. PDS HB Jassin itu aset yang mahal dan penting," ujarnya. Mendiknas mengungkapkan pihaknya juga berkepentingan terhadap PDS HB Jassin. Sehingga akan turut serta melestarikannya. "Karena aset maka semua punya kewajiban untuk ikut mempertahankan dan melestarikan. Diknas juga punya kepentingan sebagai sumber pembelajaran," ujarnya.

Ya, mudah-mudahan sikap serius dari pemerintah ini tidak hanya sebatas janji, tapi direalisasikan dengan kebijakan yang memberikan ruang terhadap pengembangan karya sastra. Salah satunya dengan mempedulikan nasib PDS HB Jassin yang menjadi "taman sastra", tempat generasi sekarang dan seterusnya melihat perkembangan karya sastra nusantara dan umumnya dunia.

PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.

Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.

Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.

Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.

PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 12:49 wib