Minggu, 04 Oktober 2009

ARTIKEL BAHASA "Baku atau Tak Baku"

CATATAN: Tulisan ini karya seorang penelisik bahasa, Suhatri Ilyas, disebarluaskan pertama kali oleh Suara Karya (Sabtu, 12/09/2009) di Rubrik Bahasa dan Kita. Saya unggah di catatan ini dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.


"BAKU ATAU TAK BAKU, TERPULANG KEPADA ANDA"
Oleh Suhatri Ilyas


Apa sesungguhnya perbedaan arti dan penggunaan kata rubuh dan roboh, kukuh dan kokoh, mulur dan molor, atau bahkan telur dan telor. Kata-kata yang dibedakan hanya dengan satu bunyi (fonem) /u/ dan /o/ ini dalam penggunaannya cukup membingungkan. Selain sering tertukarkan begitu saja (suatu saat mulur berarti molor, tapi pada situasi lain molor juga berarti mulur), ada juga pengertian lain berkaitan dengan penggunaannya dalam ragam tertentu.

Bila dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebenarnya cukup jelas arti dan penggunaan kata-kata tersebut. Namun, mari kita lihat satu per satu kata-kata itu sebagaimana tercantum dalam KBBI tersebut.

Rubuh dan roboh berbeda ternyata hanya sebagai variasi pengucapan saja. Soalnya, kata rubuh dalam lema KBBI itu ditandai dengan anak panah yang merujuk lema roboh. Artinya, kata rubuh hanya varian dari kata roboh, dan karena itu kata rubuh disarankan tidak dipakai sebagai bentuk baku, termasuk dalam ragam tulis seperti di media massa. Sedangkan lema roboh sendiri, sesuai KBBI, berarti (kata kerja/verba/v) "runtuh" (tentang bangunan yang besar, seperti rumah dan tembok); "rebah, tumbang" (tentang pohon, tanaman); atau (kata kerja intransitif/ki) "jatuh" (dalam berbagai arti seperti bangkrut, kalah, tidak dapat bertahan lagi, luntur imannya).

Bagaimana dengan kukuh dan kokoh? Kasusnya sami mawon dengan roboh dan rubuh, hanya saja yang tidak bakunya di sini adalah kata kokoh. Anehnya, dalam penggunaan sehari-hari, kadang-kadang juga dalam media massa, yang lebih banyak dipakai dan dianggap baku adalah kata kokoh.

Padahal, secara etimologis justru kokoh adalah variasi kata kukuh (terjadi pelemahan pengucapan). Penggunaan dalam bentuk lain, kata kukuh itu lebih terterima, misalnya dalam mengukuhkan gelar itu dia tampak terharu. Jika digunakan kata kokoh, yaitu dalam mengokohkan itu dia tampak terharu, terasa jadi aneh. Sementara lema kukuh sendiri sesuai KBBI berarti (adjektif/ad) "kuat terpancang pada tempatnya, tidak mudah roboh atau rusak"; atau "teguh" (tentang pendiriannya dan sebagainya).

Lain dengan mulur dan molor. Kedua kata ini ada dalam KBBI dan keduanya ada dengan penjelasan artinya yang lengkap. Hanya saja molor terdapat dalam dua lema. Yang pertama lema molor yang ditandai sebagai cakapan (cak), yang berarti "tidur" (bahasa Jakarta). Sedangkan yang kedua, juga ditandai dengan cakapan (cak) dengan arti lengkap sama seperti mulur.

Artinya, perbedaan keduanya sama seperti kukuh dan kokoh atau rubuh dan roboh, yaitu hanya bervariasi, yang ujung-ujungnya sampai pada bentuk baku dan tidak baku. Hanya saja, kata molor di satu sisi sudah diberi arti lengkap sama seperti mulur (bersinonim), di sisi lain ada arti lain, yaitu "tidur", seperti dalam kalimat kerjaan kamu molor saja tidak sama dengan kalimat kerjaan kamu mulur saja.

Adapun arti mulur yang lazim dalam bentuk baku adalah "menjadi panjang, dapat menjadi panjang"; (kata kerja intransitif/ki) "dapat ditunda, diperpanjang" (tentang waktu); atau "mempunyai toleransi, tidak keras kepala". Untuk memperjelas uraian di atas, sebagai ilustrasi sengaja kami tampilkan contoh lain atas perbedaan kedua kata contoh itu lantaran ada perbedaan bunyi /u/ dan /o/ dalam kata bahasa Indonesia, yaitu telur dan telor.

Bunyi /u/ dan /o/ dalam kata telur dan telor itu ternyata dan terbukti tidak membedakan arti walaupun dalam khazanah fonologi bahasa Indonesia satuan bunyi /u/ dan /o/ adalah dua fonem yang berbeda, artinya dua bunyi yang berfungsi sebagai pembeda arti, seperti terlihat dalam contoh ulah dan olah atau utak dan otak. Tetapi memang antara /u/ dan /o/ kadang-kadang tertukarkan, terutama untuk awam, dan cenderung tidak membedakan arti. Selain kata-kata contoh di atas, ada banyak bunyi /u/ dan /o/ lain yang tidak membedakan arti, seperti ubah dan obah, urang dan orang, dan lain-lain. Jadi, dalam hal ini kita memang perlu berhati-hati dan mewaspadai perbedaan kata oleh perbedaan fonem antara /u/ dan /o/. Cukup banyak kita temukan perbedaan itu yang sesungguhnya tidak membendakan arti. Mungkin ini salah satu kecenderungan yang ada dalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh bahasa daerah, terutama bahasa Jakarta. Namun, yang perlu dicatat di sini adalah sikap kita dalam berbahasa, terutama kekonsistenan dalam memelihara bahasa baku sebagai bahasa standar, bahasa yang digunakan dalam konteks resmi, termasuk dalam media massa.

Dengan demikian, persoalan tinggal pada kita apakah akan konsisten dengan bahasa baku atau terbawa oleh arus perkembangan bahasa di masyarakat. Kata kokoh adalah variasi dari kata kukuh, molor adalah variasi dari kata mulur (kecuali molor yang berarti tidur), rubuh adalah variasi dari roboh, dan digunakan sebagai ragam cakapan (nonstandar dan tidak baku), semua terpulang kepada pengguna bahasa. Bukankah bahasa itu yang menentukan penggunanya sendiri.

Penulis adalah penelisik bahasa media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar