Rabu, 01 Desember 2010

Membaca Karya Khrisna Pabichara

Catatan: Tulisan ini bersumber dari ruang foto Mas Dwi Klik Santosa. Terima kasih dan takzim selalu kepada Mas Dwi atas perhatian dan perkenannya membaca "Mengawini Ibu". Semoga sahabat yang lain pun berkenan membaca tulisan ini. Salam takzim.


MEMBACA KARYA KHRISNA PABICHARA
Dwi Klik Santosa

Dua belas cerita dalam senarai Mengawini Ibu saya baca dalam jeda-jeda waktu saya: sehabis bangun tidur, sehabis mencuci pakaian, sehabis nyapu dan ngepel lantai. Maklum, adik saya perempuan sedang pulang kampung untuk menjenguk dan merawat Bapak saya yang sedang sakit. Jadi dalam tiga hari ini, yang semestinya pekerjaan ini tidak harus saya lakukan sendiri, terpaksa harus jalani. Sedangkan ipar saya, yaitu suami dari adik saya, sibuk luar biasa dengan kegiatannya.

Bagian per bagian. Lembar per lembar. Nuansa tragedi saya rasakan seperti membaca lakon-lakon Yunani. Pada bagian pertama, Gadis Pakarena, yang berdialog tentang perasaan dua manusia, berakhir tragis. “Kamu telah menempuh jalan Juliet. Akankah juga kutempuh jalan Romeo?” Begitupun Silariang yang ditempatkan di tengah, malah diawali dengan pertanyaan yang rumit dibayangkan jawabannya, “Pernahkah kamu berhasrat melakukan sesuatu tetapi kamu merasa tak berdaya sama sekali?”

Dan pamungkasnya, di bagian akhir Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu, saya mendapati kalimat yang satire sekali, “Sunyi adalah sahabat paling asing untuk diintimi.”

Ya, Tuhan. Saya merinding membaca tema per tema dari apa yang diceritakan Khrisna Pabichara. Saya tidak hendak mencoba mengaitkan tema-tema itu dengan nasib atau liku-liku hidup saya pribadi dengan apa yang dituliskan Mas Khrisna dalam cerita-ceritanya ini. Tapi, sejujurnya, banyak yang dituliskan dalam kumpulan cerita ini sangat nyerempet-nyerempet bahkan seperti mempertegas nasib hidup saya yang besar sedewasa ini.

Terlahir sebagai laki-laki Jawa, saya akui, saya ini sosok dan pribadi yang ambigu. Liar dan urakan. Bahkan, kadang meledak-ledak, menolak, bahkan ingin memberontak “unggah-ungguh” atau primordial jawaisme yang kuat ditanamkan sejak bocah oleh Bapak saya yang ortodoks jawaensis. Terkadang, jika terlampau larut dalam sunyi dan hening, nalar saya seperti membenarkan, “Seharusnya begitu menjalani keseharian itu. Tidak ada alur hidup yang terlepas dari kait-mengait proses berkehidupan. Jika hasrat dan keinginan terlalu kuat meliberalisasi, nasib manusia cenderung banal dan barbar.” Dan tak jarang pula karena friksi itu seringkali berbenturan, akhirnya menebalkan dan mempertegas tanya yang kuat, “Jadi apanya yang salah? Atau jangan-jangan siapa sebenarnya yang salah?”

Terlahir sebagai putra Makassar. Betapa cerita-cerita ini seperti memanifestasi sosok mas Khrisna, sebagai apa yang selama ini cukup rumit dan pelik saya rasakan. Betapa galaunya hidup di tengah ambiguitas: antara pentingnya menimbang adat, nikmatnya menjadi pribadi yang liberal, serta bagaimana sebenarnya menjalani hidup yang harmoni nan agung itu. 

Akankah selalu begini, cerita-cerita akan kita tuliskan? Sejujurnya saya ingin memberontak, dan sangat berharap semoga kelak bisa menemukan diri saya sendiri. Apa yang terkumpul dalam buku “Mengawini Ibu” ini, bagi saya pribadi, adalah cara untuk mengingatkan pribadi saya, yang saya akui sepanjang dewasa kini masih gamang dan sempoyongan, seperti pejalan yang tak keruan rindukan ‘teken’ atau tongkat sebagai kompas penunjuk jalan.

Dan, kalimat penutup pada akhir buku, “Cinta itu, Sayang, harmoni antara memberi dan menerima.” Cukup renyah dalam penangkapan dan pencernaan saya...

Pondokaren28 November 2010: 15.06

Selasa, 23 November 2010

[ESAI] Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang

Catatan: Tulisan ini adalah Sambutan Koordinator Dewan Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa 2009-2010, Damhuri Muhammad. Dinukil dari bookletThe 10th Khatulistiwa Literary Award.


Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang
oleh Damhuri Muhammad

Ada sebuah peristiwa sederhana di akhir kerja penjurian KLA 2010. Meski sederhana, pengaruhnya terasa sampai saat saya menulis ulasan ini. Waktu itu saya menghubungi salah seorang nominator via telepon untuk memintasoftcopy sampul buku, biodata, dan foto terkini guna dicantumkan pada bookletyang ada di tangan Anda pada malam ini. Dengan nada sinis, nominator itu mempertanyakan keseriusan kerja penjurian. Ia bilang, bukunya tipis tapi bisa masuk 5 besar. Lalu, saya membuat beberapa asumsi. Pertama, ia beranggapan bahwa hanya buku-buku dengan ketebalan maksimal yang bakal terjaring dalam seleksi shortlist, padahal kerja penjurian sama sekali tidak mempertimbangkan tebal-tipis dan berat-ringan buku yang sedang dinilai. Kedua, ia tidak memperkirakan sebelumnya bahwa bukunya bakal menembus tahap 5 besar, mungkin karena ia merasa di tahun ke-10 ini persaingannya semakin ketat, atau ia sudah tidak percaya pada objektivitas dalam kerja penjurian. Ketiga, ia tidak mengetahui betapa panjang dan tidak gampangnya proses kerja penjurian sebelum sampai pada tahap longlist dan shortlist.

Sebagai pekerja sastra, saya menimbang anugerah Khatulistiwa Literary Award tegak di atas sebuah itikad untuk menghargai, bukan saja kedalaman eksplorasi estetik dalam sebuah karya sastra, tapi jauh lebih penting adalah menghargai pilihan hidup sebagai pengarang, jalan kepengarangan yang terjal, penuh onak-duri, berliku-liku, sebelum membuahkan karya besar. Proses kreatif dalam melahirkan sebuah novel misalnya, tersendat-sendat lantaran minimnya biaya riset dan pengumpulan data. Kalaupun akhirnya novel itu terselesaikan, pengarang sendiri yang mengupayakannya. Persoalan selanjutnya adalah berhadapan dengan penerbit yang semakin alergi dengan naskah-naskah dari negeri sendiri. Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini sangat jomplang; 10 : 1. Artinya, penerbit-penerbit yang concern pada buku sastra, mencetak 10 novel asing dan hanya 1 novel lokal. Konon, itu sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski bila ditimbang dengan analisis pasar, dipastikan tak bakal balik-modal.

Kalaupun ada satu-dua naskah yang dinyatakan layak-buku, pengarang harus bersenang hati menerima royalti senilai 10% dari harga jual, dibayar secara berkala per tiga bulan sekali. Tak ada bergaining potition bagi pengarang guna menaikkan nilai royalti menjadi 15%-20%, misalnya. Setelah dihitung-hitung, ternyata pihak yang paling banyak diuntungkan dari bisnis perbukuan adalah toko buku, yang tidak segan-segan menuntut rabat 45%-50% kepada distributor. Urutan kedua dipegang distributor, lalu penerbit, dan bagian paling kecil adalah pengarang, kreator yang menyebabkan semua transaksi terjadi. Masih beruntung bila naskah itu jatuh ke penerbit major label yang manajemen keuangannya sudah tertata. Tapi, bila jatuh ke penerbit kecil, ceritanya lain. Laporan penjualan yang seharusnya per tiga bulan sekali bisa dirapel menjdi enam bulan sekali, dan lebih parah lagi, data penjualan kerap dimanipulasi guna mengurangi nilai pembayaran pada pengarang. Buku yang terjual 100 eksemplar, katakanlah dalam dua bulan, bisa terlapor 50 eksemplar. Masalah ini memang bukan dalam wilayah artistik, tapi begitu mendesak, sebab menyangkut hak dan kesejahteraan para sastrawan yang seumur-umur telah mendedikasikan hidup mereka pada sastra Indonesia.

Novelis, cerpenis, apalagi penyair, mengalami ketidakmujuran yang sama. Kerja mereka dalam segi-segi non-artistik hampir sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna mendedahkan karya bermutu. Tengoklah cerpenis yang belakangan ini begitu gencar melakukan self-marketing lewat situs jejring sosial Facebook. Sebutlah misalnya Benny Arnas yang baru saja melepas antologi cerpen bertajuk Bulan Celurit Api (2010). Awal Oktober 2010 bukunya turun cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direc-selling di dunia maya. Hasilnya spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 eksemplar BCA telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimantan, Yogyakarta, Padang, Medan. Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit Api, bakal cetak ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Kerja semacam ini juga dilakukan olehBamby Cahyadi untuk bukunya Tangan untuk Utik (2009), dan Khrisna Pabichara untuk kumpulan cerpen Mengawini Ibu (2010). Barangkali fenomena ini dapat disambut sebagai kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Namun, sebagai pekerja seni, energi dan stamina mereka tentu bakal terkuran untuk hal-ihwal yang non-artistik. Mereka pengarang yang sekaligus juga pedagang.

Maka, dalam konteks inilah peran Khatulistiwa Literary Award dapat ditandai. Dengan nilai penghargaan yang terbilang memadai, sedapat-dapatnya ia memperkuat posisi tawar para pengarang, untuk terus bertahan dan bersetia menempuh jalan kepengarangannya, dan tidak tergoda untuk berganti haluan lantaran keterbatasan demi keterbatasan dan apresiasi setengah hati. Jayalah terus para pengarang Indonesia...

Damhuri Muhammad
Koordinator Dewan Juri

Senin, 15 November 2010

Memamah Hikmah dari 'Kolecer'

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Lampung Post, 7 November 2010



Memamah Hikmah dari ‘Kolecer’


Judul Buku : Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal
Editor : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selaras Pena Kencana
Cetakan I : Juni 2010
Tebal : 224 halaman

KOLECER atau baling-baling, sering juga disebut kitiran, mainan anak-anak yang terbuat dari daun kelapa muda atau bisa juga dari bambu yang akan berputar jika ditiup angin. Semasa kecil, saya dan teman-teman sering berlari bersama mencari angin supaya kolecer dapat berputar dengan kencang. Semakin kencang putaran kolecer, semakin rianglah hati kami.

Begitu juga yang dirasakan Neng Tin dalam cerpen Kolecer yang ditulis Nenden Lilis A. Neng Tin, tokoh penutur, menceritakan kehidupan Bi Nanah yang berputar seperti kolecer.

Bi Nanah adalah murid dari ayah Neng Tin. Karena kesibukan orang tua Neng Tin, di masa kecilnya, Bi Nanahlah yang mengasuhnya. Setiap pagi Neng Tin dibawa ke rumah Aki dan Nini (kakek dan nenek Bi Nanah), di mana Bi Nanah tinggal. Sore harinya ia dipulangkan ke rumah orang tuanya. Di tempat itulah Neng Tin kecil tahu bagaimana Bi Nanah dengan tekun merawat keperluan Aki dan Nininya yang sudah payah.

Bi Nanah juga yang mengurus kebun dan harta benda Aki dan Nini karena semua anaknya telah menjadi orang sukses di kota. Mereka tak sempat lagi merawat Aki dan Nini. Meskipun Aki sangat menginginkan Bi Nanah sekolah tinggi dan sukses seperti paman dan bibinya di kota, Bi Nanah memilih merawat Aki dan Nini. Dia kasihan dengan kondisi kakek dan neneknya itu jika harus mengurus kebun dan sawahnya, mengurus diri sendiri pun sudah susah.

Sejak kelas I SD, ibu Bi Nanah meninggal dunia, sedang ayahnya kabur dengan perempuan lain. Ibunya yang malang itu sebelumnya sakit-sakitan karena tak tahan setelah suaminya membawa istri baru di kampungnya. Sepeninggal sang ibu, Bi Nanah tinggal dengan Aki dan Nini. Keduanya sangat menyayangi Bi Nanah. Sejak kecil hingga Bi Nanah beranjak remaja, Aki selalu membuatkan kolecer yang sangat disukai Bi Nanah.

Neng Tin sangat menikmati suara kolecer itu. Sampai dia dewasa pun masih terngiang-ngiang suaranya, juga seluruh kenangan bersama Bi Nanah dan Aki-Nininya. Neng Tin tak menyangka, kolecer itu bukan sekadar mainan anak-anak, melainkan juga tamsil hidup. Setelah lama berpisah dengan Bi Nanah, dalam pertemuan yang mengharukan, di mana Bi Nanah telah tua, Neng Tin tersadar kalau hidup Bi Nanah seperti kolecer, mainan kesukaannya.

Bi Nanah akhirnya mengalami nasib serupa dengan ibunya, sakit karena perlakuan laki-laki yang menikahinya karena menginginkan harta, hingga ajal menjemput Bi Nanah. Laki-laki itu menyangka Bi Nanah akan mendapatkan warisan dari Aki dan Nini karena Bi Nanahlah yang tekun merawatnya.

Ternyata anak-anak Aki dan Nini tak memberikan apa pun pada Bi Nanah sepeninggal Aki dan Nini, karena Bi Nanah hanya cucu. Maka laki-laki itu kecewa dan berselingkuh dengan banyak perempuan lain. Bi Nanah sakit-sakitan hingga ajal menjemputnya.

Kolecer adalah salah satu dari kumpulan cerpen yang berjudul Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Kumpulan cerpen ini berangkat dari beragam cerita dan tragedi anak manusia berdasar kearifan lokal di daerah masing-masing, membuat kita seperti bertamasya ke khazanah budaya Nusantara.

Buku ini memuat 20 cerpen dari 11 penulis yang sudah cukup mempunyai nama, seperti Benny Arnas yang menulis dua cerpen dalam buku ini. Cerpen Anak Ibu yang Kembali sebagai cerpen pembuka cukup membuat pembaca terkesima. Cerpen ini mengisahkan kesunyian perempuan tua yang mempunyai lima anak perempuan dan telah dibawa suami masing-masing. Mereka jauh dari orang tuanya yang sebatang kara, tak bisa merawat, atau sekadar menengok sang ibu.

Sang ibu terkenang dengan almarhum suaminya yang begitu menginginkan anak laki-laki. Di hari tuanya, dia baru menyadari kenapa suaminya sangat menginginkan anak laki-laki. Karena anak perempuan akan dibawa pergi, sedangkan anak laki-laki akan membawa istrinya dan diharapkan dapat menemani hari tua mereka.

Apa pun kisah yang disajikan penulis, kearifan lokal, baik itu tradisi, pandangan hidup, adat istiadat, maupun dongeng rakyat, yang diceritakan ulang menjadi latar belakang hampir pada seluruh cerpen. Membaca kumcer ini, kita akan mencecap bening nilai lokal lengkap dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, seperti cerpen Pastu yang ditulis Oka Rusmini, yang kental dengan nilai-nilai Hindu-Bali yang meyakini karma.

Sementara itu, Khrisna Pabichara dalam tiga cerpennya, Laduka, Membunuh Parakang dan Selaras, menjadikan budaya Sulawesi Selatan sebagai latar budaya sekaligus landasan menatah cerita. Baminantu yang diracik Sastri Yunizarti Bakri mengisahkan pertentangan adat istiadat Minangkabau-Jawa antara ibu dan anak yang mamahami adat secara berbeda. Kisah lain yang membicarakan adat yakni Antara Bali dan Balige, yang ditulis Cesillia Ces. Cerpen ini mengisahkan sepasang kekasih yang berbeda suku dan adat istiadat, memilih melepaskan diri dari "warisan" norma leluhurnya atas nama cinta.

Kisah yang tak kalah seru ditulis Gunawan Maryanto tentang Sarpakenaka. Dalam cerpen ini, penulis mampu menghadirkan masa lalu ke masa kini, tradisi dan teknologi, dengan menghadirkan sejarah kelam G30S PKI, yang membuat pembaca terbetot untuk menandaskan cerita. Selain cerpenis di atas, ada cerpen Hanna Fransisca yang menulis Hari Raya Hantu.

Lalu, ada Noena dengan Sri Sumini, dengan cerita berlatar belakang Hong Kong, yang mengisahkan TKI. Selain itu, ada cerpen Sutan Iwan Sukri Munaf, dan Saut Poltak Tambunan. Menelusuri karya mereka, memperkaya pengetahuan kita tentang kearifan yang ada di bumi Indonesia.

S.W. Teofani
, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 November 2010

Dongeng Berperan dalam Pendidikan

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari Antaranews.com.


Dongeng Berperan Dalam Pendidikan



Waykanan, Lampung (ANTARA News) - Motivator pengembangan kecakapan belajar, Khrisna Pabichara mengatakan dongeng memiliki posisi strategis dalam mengembangkan kecerdasan berbahasa bagi anak didik sehingga tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.

"Melalui dongeng, seorang pendidik juga dapat merangsang kecerdasan intelegensia, kemampuan berpikir secara logis sistematis, kemampuan beriteraksi dengan sesama anak, maupun selera berbahasa dan nilai seni," ujarnya di Blambanganumpu, Minggu.

Oleh sebab itu, lanjut dia, dongeng jangan dikesampingkan begitu saja dari pendidikan, karena kecerdasan hati yang meliputi kecerdasan emosional dan spiritual ada pada dongeng.

"Jika selama ini asupan pendidikan lebih ditekankan pada pengembangan kecerdasan intelegensia anak didik, lewat dongeng anak juga bisa mengasah kecerdasan hati, karena banyak dongeng baik yang berasal dari nusantara maupun dari mancanegara mengusung nilai moral dasar," jelasnya.

Selain itu juga, lanjut dia, dongeng juga mampu merangsang imajinasi dan kreativitas anak.

"Dongeng jenis petualangan akan membantu perkembangan kecerdasan estetika dan kemampuan menganalisa masalah pada anak yang kelak akan berguna bagi diri peserta didik itu sendiri dan bagi lingkungannya," tegasnya.

Ia juga menambahkan, kesadaran berdisiplin dapat ditanamkan melalui dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kedisiplinan.

"Dongeng juga perlu memiliki unsur jawaban terhadap beberapa hal yang ingin diketahui anak didik, namun, untuk dongeng seperti ini, dibutuhkan kreativitas pendongeng dalam mengemas dan mengembangkan cerita," paparnya.

Anak usia dini, sambung dia, terutama di bawah usia lima tahun memiliki aktivitas yang spontan, alami, dan sangat bersemangat untuk mengetahui hal-hal yang baru ditemui atau dialaminya.

"Oleh sebab itu, setiap pendongeng perlu memahami kondisi anak didik, terutama proses tumbuh-kembang kreativitasnya. Karena itu, dongeng yang diceritakan harus dipilah secara bijak dan tepat dan jangan asal," katanya.

Ia pun mengharapkan, para guru pendidikan usia dini (PAUD) di daerah itu memiliki minat tinggi dalam hal membaca dan mengasah ketrampilan berkomunikasi sebagai bekal mendongeng.

"Seorang pendongeng dituntut mempunyai kemampuan bercerita. Ia mesti piawai memainkan intonasi suara, ekspresi, dan bahasa tubuh," pungkasnya.
(T.ANT-247/P003)

Mengawini Ibu, Kumcer "Perempuan Banget", Karya Khrisna Pabichara

Catatan: Tulisan ini saya kutip dari notes Mbak Faradina Izdhihary. Terima kasih saya haturkan ke hadapan Mbak Fara. Sukses selalu.


Mengawini Ibu, Kumcer "Perempuan Banget", Karya Khrisna Pabichara
Oleh Faradina Izdhihary

Sebenarnya paket buku kiriman Kayla Pustaka sudah sampai di kantor hari Sabtu, 13 November 2010. Namun, karena hari itu saya harus bezuk saudara ipar di rumah sakit dan melepas keberangkatan suami yang akan tugas  ke ibukota, jadilah hari itu saya tak masuk kerja (sebenarnya memang hari Sabtu kebetulan tak ada jam ngajar saya).

Pagi ini, usai upacara saya terima paket itu. Kebetulan saya ngajar jam ke 4. Jadi langsung saya lalap buku cerpen yang judulnya sangat menggoda, “Mengawini Ibu”. Tapi, setelahnya saya membaca cerpen pertama Gadis Pakarena.

Mau tahu komentar saya? Wuah… kumcer yang hampir semua menggunakan sudut pandang orang pertama (aku) ini ternyata lebih perempuan dari cerpen yang ditulis oleh cerpenis perempuan. Artinya, hampir sebagian cerpen (meski beberapa baru saya baca sekilas) menggunakan gaya bahasa seperti bahasa perempuan, dan sangat mengilik-ngilik perasaan saya yang sangat menyukai cerpen atau novel yang “perempuan style”. Sedikit saya bocorkan cerpen Gadis Pakarena, cerpen pertama yang langsung membuat saya menyimpulkan bahwa kumcer ini benar-benar “selera saya”.

Gadis Pakarena menceritakan kisah “aku” yang berkunjung ke kota Wuhan untuk menemui kekasihnya, seorang gadis keturunan yang pandai karawitan dan menarikan tarian tradisional “pakarena”. Itulah sebabnya si aku menyebutnya Gadis Pakarena. Seperti umumnya jalinan cinta dua orang yang berbeda suku, agama, dan budaya baik pihak keluarga laki-laki (berdarah Makasar) dan perempuan berdarah Tionghoa, percintaan mereka pun tak mendapat restu. Namun, si aku, pada suatu waktu seperti yang telah dijanjikan mencari gadis impiannya ke kota kelahiran kekasihnya itu,  Wuhan. Jalinan ceritanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luar biasa, namun sangat lancar dan mengalir. Namun endingnya sungguh membuat saya tercekat, merinding, dan meneteskan air mata (hhhh... kebiasaan buruk saya kalau membaca sesuatu yang sangat menyentuh perasaan).

Saya tuliskan saja dua paragraf terakhir cerpen ini tanpa banyak komentar. Silakan dirasakan betapa sakit yang mengiris akan menganga di dada kita.

… Aku merasa tidak berada di dunia, terbangun dan menyadari diri terbaring di tempat yang lengang dan asing. Tanpa kamu, tanpa sesiapa. Aku tak mengerti bagaimana bisa aku tiba di sebuah pusara, dan menemukan namamu tertatah di nisannnya yang masih Nampak baru. Kesedihan yang begitu asing, yang baru kualami sepanjang hidupku, membuatku limbung dan nyaris pingsan. Kabut yang datang dan pergi tiba-tiba seakan menjadi latar yang sempurna bagiku, satu-satunya pelakon di panggung sunyi ini. Dan kupingku dikejutkan oleh bisikan lirih yang memaksa bulu-bulu di tubuhku sekonyong-konyong berdiri. Entah dari mana asal bisikan itu, aku tak tahu. Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku: Kim Mei telah tiada. Dia mati bersama luka perkosa kerusuhan Mei, yang dia bawa hingga tanah kelahirannya.

Kamu telah menempuh jalan Juliet. Akankah juga kutempuh jalan Romeo?


Sungguh, bukan kematian Kim Mei (Gadis Pakarena) yang membuat saya menangis tersedu membacanya. Tapi luka sejarah bangsa ini begitu mengiris. Persis seperti kalimat dalam cerpen itu, “Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku”.

Mengawini Ibu menceritakan tentang seorang anak yang menyimpan dendam dan amarah pada bapaknya yang doyan kawin dan main perempuan, Meski demikian si ibu tetap setia dan tidak mendendam pada apa yang dilakukan suaminya. Simak beberapa penggalan jawaban sang ibu tiap kali si aku memrotes sikap sabar dan pemaaf ibunya.

a. Cinta, Nak, adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka.
b. Mencintai itu pekerjaan abadi, Nak, tak pernah selesai.
c. Hidup, Nak, acap kali tak seperti yang kita bayangkan.
d. Perempuan bukan boneka Nak, mereka punya hati.

Ternyata saya juga menemukan lagi suara hati seorang ibu, seorang istri, yang sangat kuat, sekuat Mengawini Ibu, yaitu dalam Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu. Saya daftar saja beberapa pernyataan indah tentang cinta yang dalam bayangan saya sulit lahir dari hati seorang laki-laki. Hm, barangkali hanya lelaki paling romantis dan berhati lembut (ssst, Daeng, biasa aja, jangan jadi besar kepala) yang bisa menuliskan kata-kata indah berikut ini.

a. Cinta itu, Sayang, anak kandung pengertian dan pengorbanan.
b. Cinta itu, Sayang, dimasak dari ramuan paling purba bernama ketulusan.
c. Cinta itu, Sayang, menyembuhkan dan mematikan.
d. Cinta itu, Sayang, tersembunyi di balik kepedihan.
e. Cinta itu, Sayang, penuh kejutan yang menyakitkan.
f.  Cinta itu, Sayang, bersenyawanya tawa dan air mata.

Andaikata saya tidak mengenal Daeng Khrisna (meski secara nyata baru ketemu satu kali), dan tidak tahu bahwa kumcer ini adalah tulisannya, barangkali saya akan mengira bahwa kumcer ini ditulis oleh seorang cerpenis perempuan berhati ibu (baca: lembut dan perasa).

Dalam pengalaman hidup saya banyak saya temui lelaki berkarakter seperti sang bapak, begitu pun banyak istri yang berkarakter seperti ibu. Lelaki berkhianat, membagi cinta di mana-mana, kawin-cerai, si istri menerima dan selalu memaafkan. Apakah ini sebuah bukti adanya penindasan laki-laki atas perempuan? Dalam cerpen ini, Daeng Khrisna berhasil mebaca perasaan paling hakiki dari seorang perempuan, seorang istri. Bahkan sangat seuai dengan prinsip ibu saya, yang di kemudian hari juga saya pegang, “Cinta adalah kesetiaan dan pengabdian.” Inilah yang sangat kuat ditampilkan melalui tokoh ibu.

Pun saya tertawa miris, saat membaca protes si anak berikut ini.


… Saking sabarnya (ibu), ayah bebas melakukan apa saja yang dia hasrati. Aku bingung jika kamu bertanya apa kekurangan ibu hingga ayah berselingkuh. Ibu adalah sosok perempuan yang sempurna. Dia tak suka mengeluh, apalagi membantah. Dia tak bernoda, tak bercela. Satu-satunya kekurangan ibu, menurutku, adalah dia terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama. Pernah terlintas di benakku, Tuhan salah menitiskan karakter pada ibu. Tetapi bukankah tak baik menyeret-nyeret Tuhan ke dalam sebuah masalah seperti ini? Lagi pula mana mungkin Tuhan salah? Memang dasar Ayah yang gila, Ibu juga.


Sumpah, saya tertawa. Dulu saya pun pernah protes pada ibu saya mengapa mau menjadi istri bapak saya (astaghfirullahal adhiem) bila melihat bapak (yang temperamental) memarahi ibu. Kok Ibu diam saja, gak melawan, gak protes? Padahal kan tidak selalu ibu yang salah. Tapi catat ya: Bapak saya setia, sangat setia. Tak pernah ada perempuan lain. Hal yang sama ternyata juga pernah dilakukan banyak teman saya, bahkan saudara ipar perempuan saya. Kelak saat memasuki gerbang pernikahan, kami menyadari bahwa demikianlah perempuan (istri) dijadikan danau peneduh dan pendingin bagi lelaki. Heheh... (sory ya Daeng, aku mengikuti bagian ini “terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama”). Bagi istri, memaafkan menjadi sebuah kebahagiaan batin yang tak terukur.

Ah, baru saya dapatkan jawaban mengapa cerpen-cerpen Daeng Khrisna demikian "perempuan" (lembut dan menyentuh perasaan) setelah saya lahap habis epilog kumcer ini: Segala Terima Kasih. Secara gamblang, Daeng menuliskan ucapan terima kasih di urutan 3, 4, dan 5 adalah ibunya, istrinya, dan anak perempuannya. Simaklah larik-larik menyentuh ucapan terima kasih berikut ini.


Kepada Shafiya Djumpa—perempuan paling ibu yang menemaniku belajar tentang hakikat cinta dan kehidupan. Terima kasih Bunda, atas cinta yang selalu meruah dari segala arah tanpa takar untukku. Yang entah dengan apa dan bagaimanasemestinya aku nyatakan. Rinduku selalu, Bunda. Selalu! (hiks… air mata saya menitik membacanya. Daeng, titip salam takzim buat bundamu ya… I believe, tak ada perempuan yang paling indah selain ibu.)

Kepada Mamas Aurora Masyitoh—perempuan paling perempuan yang mengajariku bagaimana semestinya jadi lelaki dan suami. Terima kasih, Cinta, atas setia dan senyummu yang selalu teduh dan meneduhkan. Sungguh, entah bagaimana aku jika kamu tak setia menemaniku. Semasa suka, semasa duka. Dan aku yakin masihlah lebih banyak duka dari sukanya. Sayangku selalu, Cinta. Selalu! (saya bergetar membacanya, sebuah pengakuan cinta dan kejujuran yang luar biasa).


Ternyata, Daeng Khrisna Pabichara adalah seorang pencinta perempuan.

Hehehe..., kiranya pembacaanku baru dua cerpen. Tapi saya yakin bakal membuat para istri "ngiler" untuk segera membaca buku ini. Dua puluh menit lagi aku ada kelas. Tapi, simpulan awal saya, insya Allah gak salah dech: Cerpen ini paling yahud buat dibaca para perempuan, terutama para istri. Hayo para ibu, (eh para istri, kasihan yang belum ada momongan)  serius nih, nyesel kalau gak dapetin kumcer yang perempuan banget ini.

Untuk Daeng Khrisna, peace ya, kalau kukatakan cerpen-cerpenmu perempuan banget. Hehehehe, style yang sangat “aku banget”.  Makasih yaaaaa. (Maaf saya tak membuat ulasan ilmiah dan lengkap. Suka-suka saya yaaaaa)

Kamis, 11 November 2010

[PUISI] Segala Bara di Matamu

Catatan: Puisi ini termuat di "Antologi Puisi: Roket Pun Bersyair" (Tekro Publishing, Juni 2010) Terima kasih kiriman bukunya, Man Atek.

Segala Bara di Matamu
Khrisna Pabichara

Tidur sini, Nak. Di pangku ayahmu. Banyak hikayat yang tak layak kau cerna. Perihal hantu sudah tak jaman. Seperti lapuknya riwayat buaya yang tak usai menyesali diri selepas dikadali si kancil—yang kau selalu bilang itu bukan kancil, tapi kelinci. Begini saja, Nak. Kau bacalah harapan yang rimbun di getir kenyataan. Seperti pertama kali tangismu memanjang dan orang-orang sibuk tertawa. Seperti ketika kau tanya jenis kelamin Tuhan dan ibumu repot mencari jawaban. Seperti waktu kau bersikeras membuat roket dari kertas agar kau bisa menjemput cita-cita—karena gurumu meminta cita-cita itu harus kau gantung di pucuk langit.

Segala menyala di matamu, Nak. Riuh rindu mengamuk bersama kecewa yang kerap menyalip tiba-tiba. Tak perlu berkilah apalagi mengeluh hanya karena nilai bahasa dan matematikamu tak lebih dari lima. Hidup, Nak, tak bisa ditakar semata dengan angka. Begini saja, Nak, kita bincangkan nasib kanak-kanak yang tak bisa sekolah dan mengubur mimpinya di jalanan. Kau ejalah peruntungan yang intim di pedih kehidupan. Seperti pertama kali hasratmu mengalir untuk merakit kendali nuklir. Seperti ketika kau tanya gaji penyair dan ibumu ramai membilang utang. Seperti waktu kau bersikeras jadi astronot agar kau bisa memulung bintang—karena kakakmu selalu menepuk dada setelah menjadi bintang kelas.

Tidur sini, Nak, di pangku ayahmu. Bolehkah kita berhenti bicara? Kadang-kadang, Nak, matamu lebih berkuasa daripada kata-katamu.

Bogor, November 2008

Sabtu, 30 Oktober 2010

[ESAI] Bermula dari Entrok

Bermula dari Entrok
Oleh Khrisna Pabichara

PERNAHKAH Anda sekejap saja membayangkan bagaimana “nikmatnya” ditindas, diperas, dan “digagahi” oleh rezim diktator? Sudikah Anda menjadi bulan-bulanan gosip, ditikam dari belakang, atau dituduh melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan? Tahukah Anda betapa mengerikan hidup di tengah masyarakat yang hukumnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa?
Entrok, novel ajib anggitan Okky Mandasari, akan menemani Anda dalam perjalanan psikologis yang mengaduk-aduk perasaan—lebih tepatnya memilin-milin ulu hati—dan membabar buramnya perjalanan negara dalam “memesrai” warganya. Pembantaian yang terlupakan, penculikan yang terabaikan, bahkan perkosaan missal atas nama “perubahan” menjadi mozaik yang membuat Entrok lebih bernas. Belum lagi pergulatan batin lewat “perang saudara” antara Sumarni dan putrinya yang ialah pemindahan kenyataan menyehari ke dalam keindahan prosa—lebih tepatnya pertarungan antara yang bodoh melawan yang pintar, antara yang tertinggal dengan yang modern—melalui alur waktu yang jumpalitan tanpa harus kehilangan daya pikat estetisnya.
Begitulah. Alih-alih berkeras mendaras sejarah, pengarang muda kelahiran Magetan ini malah menyajikan dampak peristiwa sejarah bagi warga negara yang tak bisa apa-apa, tak pernah berniat macam-macam, tapi terus-menerus menjadi korban atau akibat dari sebab yang tidak dia lakukan.

Potret Sejarah atau Potret Muram?
Damhuri Muhammad menyatakan, sejarah adalah “dunia sesungguhnya” sementara sastra adalah “dunia seandainya”.[1] Pada konteks ini, tegas Damhuri, sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistimologis (benar-salah, terjadi atau tak terjadi) sedangkan teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi.
Di sinilah Entrok bisa didudukkan dengan benderang bahwa, ia tetaplah karya sastra dengan berbagai capaian estetika dan bukan kepastian sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Entrok adalah dunia seandainya, bukan dunia nyata—meskipun ada kemungkinan dibangun dari “kenyataan”. Di sini pula saya bersepakat dengan Radhar Panca Dahana bahwa, sejarah sudah memberi kita banyak tragedi.[2] Karena itu, kita harus banyak belajar darinya.
  Bertolak dari sana, kita akan mendapati kecerdasan Okky dalam mendaraskan pikiran dan perasaannya. Dia tidak bermain di wilayah “buram” peristiwa berdarah, G 30 S/PKI. Dia meliuk-liuk di areal akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa berdarah itu. Bayangkan, alangkah perihnya kehidupan ketika antek-antek negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung, malah berdiri sebagai lawan yang begitu leluasa mengintimidasi, menekan, bahkan “memperkosa” hak asasi rakyatnya.
Melalui tokoh Sumarni, Okky bertutur ihwal perempuan yang berhasrat keluar dari perangkap kemiskinan. Bermula dari gairah sederhana memiliki entrok (kutang) seperti Tinah, sepupunya, agar dadanya nyaman saat berlari atau melompat. Dari sana hidupnya berubah. Sumarni menjadi perempuan pertama yang mendobrak kemapanan—dewasa itu, kuli identik sebagai profesi kaum laki-laki—menjadi kuli angkut di Pasar Ngranget. Perlahan Sumarni mampu melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Pada mulanya dia membeli televisi yang tak semua orang di kampungnya memilikinya, hingga yang paling membanggakan: membeli tanah berhektar-hektar dan perkebunan tebu. Semua bermula dari entrok.
Terceritakan pula ihwal bagaimana Sumarni jadi bulan-bulanan tentara, polisi, dan pejabat “negara” di kampungnya;. harus menyiapkan upeti setiap empat belas hari bagi tentara; menyetor “sumbangan wajib” bagi kampanye partai yang harus didukungnya; dan menyerahkan “bayaran” bagi polisi agar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Bejo, supirnya, bisa diselesaikan tanpa harus meringkuk di penjara atas tuduhan “melawan hukum”. Belum lagi teror warga sekampung: tudingan tidak beragama, pesugihan, pemelihara tuyul, dan gunjingan lain yang memerahkan kuping.
Lewat tokoh Rahayu, Okky menghadirkan wajah perempuan masa kini yang lebih berpendidikan. Pertarungan batinnya bermula dari kebiasaan ibunya, Sumarni, menyediakan sesaji bagi sesembahannya—yang bukan Allah—Rahayu mengobarkan perlawanan dengan cara yang ekstrem. Sampai akhirnya dia tinggalkan “kejahiliyahan” orangtuanya dan memilih kuliah di Jogjakarta. Perlawanan belum bersudah. Dia langgar kelaziman di kampungnya dengan bersuamikan lelaki yang sudah beranak-beristri. Akan tetapi, akhirnya Rahayu pun bergelimang derita: dipenjara karena keterlibatannya membela tanah para korban penggusuran.
Sungguh. Seolah tak hendak bersudah, Okky juga menciptakan tokoh Ndari—bocah kelas enam SD yang jadi korban perkosaan pamannya dan ditugaskan ayahnya untuk menjajakan tubuhnya bagi tentara-tentara “penjaga keamanan” demi kemungkinan tanahnya terbebaskan. Perempuan-perempuan tak bahagia. Betapa!

Demokrasi Minus Nurani
Apa yang dilakukan alumni Jurusan Hubungan Internasional UGM ini, sejatinya, adalah upaya untuk menggugah kesadaran kolektif rakyat Indonesia agar lebih berani berharap kembali bahwa, akhirnya, negeri ini harus diselenggarakan sebagaimana layaknya negara yang beradab. Suatu negara di mana pejabat betul-betul pelayan bagi rakyat; militer tidak berada di atas hukum; wakil rakyat benar-benar perpanjangan lidah rakyat; lapangan pekerjaan menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bekerja; pendidikan dan layanan kesehatan terjangkau bagi semua; pun harapan-harapan lain yang tak terhingga.
Dalam konteks ini, keberadaan Entrok bukan sekadar teks sastra, tapi sekaligus “kitab” berisi “ayat-ayat inspiratif” agar kita bangkit dari kematirasaan psikis (psychic numbing), penyakit yang kita derita akibat teror bertubi-tubi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama—seperti nasib Sumarni, Rahayu atau Ndari. Kematirasaan psikis pemicu kebangkrutan jiwa yang membuat manusia siap untuk menerima dan membiarkan segala macam kebejatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci, seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap atau mati suri. Ini dampak lain dari atmosfer refresif rezim Orde Baru. Filsuf Kierkegaard menyebut kondisi seperti ini sebagai the corruption of the will yang bisa meluluhlantakkan semangat, bahkan kemanusiaan itu sendiri.[3] Artinya, di tangan kitalah terletak ihwal menciptakan iklim berdemokrasi yang berulu pada nurani.
Pada akhirnya, upaya serius Okky untuk memindahkan peristiwa ke dalam cerita adalah lelaku estetik yang layak mendapat acungan jempol. Dia seorang “juru kabar” yang dengan cergas mengabarkan rentetan kemalangan dan ketakbahagiaan yang dialami banyak rakyat di negeri tercinta ini. Dia mengusung pelbagai kritik dengan cara yang samar, santun, dan menyentuh. Dia menyuguhkan langgam penceritaan yang khas, walaupun bukan sesuatu yang baru di ranah kesusastraan kita.
Dan, semoga Entrok bukan awal yang merangkap sebagai akhir. Semoga! []

Bogor, September 2010
Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra. Tiga cerpennya dimuat di Kolecer & Hari Raya Hantu (SPT, 2010). Buku terbarunya, Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010).


[1] Damhuri Muhammad (2010). Romantika Pasca-Enam Lima dalam Darah-Daging Sastra Indonesia. Jalasutra.
[2] Radhar Panca Dahana (2007). Keserakahan Intelektual dalam Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia. Resist Book.
[3]  A. Malik Giswar (2010). Kewarganegaraan dan Kebangsaan Pasca-Mei 1998 dalam Revolusi Setengah Matang. Hikmah (Mizan Grup).

[TULISAN RINGAN] Jurus Ampuh “Menjual” Karya

Catatan: Tulisan ini disampaikan dalam Seminar/Workshop Tips dan Trik Mempublikasikan Karya di Ruang Kuliah Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Sabtu, 30/10/2010). Semoga bermanfaat!


Jurus Ampuh “Menjual” Karya
Oleh Khrisna Pabichara

Menulis itu menyembuhkan. Ketika seseorang mengalami kejadian pahit yang membuat hatinya terluka, menulis—semisal di diari atau diolah menjadi cerita fiksi—dapat mengurangi “rasa sakit” yang dideritanya. Ketika seseorang mengalawi peristiwa menggembirakan yang membuat hatinya bahagia, menulis—dikemas menjadi tulisan inspiratif yang menggugah—dapat menularkan kisah sukses dan bahagianya itu kepada orang lain. Dalam hal ini, menulis dapat menjadi obat yang mujarab bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Menulis itu mengayakan. Ketika seseorang—sekadar menyebut nama, Andrea Hirata—membabar pikiran-pikiran dan imaji-imaji yang selama ini mengendap di benaknya ke dalam sebentuk tulisan, entah buku fiksi ataupun nonfiksi, tulisannya itu akan menjadi seperti “sawah subur” bagi petani atau “mesin duit” bagi pengusaha yang tak henti menghasilkan uang. Pekerjaan sebagai penulis pun tak lagi bisa dipandang sebelah mata, sebab sudah ada penulis yang berpenghasilan hingga Rp 30.000.000 setiap bulannya hanya karena royalti sebesar 10% dari buku yang dianggitnya. Tetapi, “mengayakan” yang saya maksudkan bukanlah semata mengayakan secara finansial, tetapi juga mengayakan secara emosional dan spiritual. Kebahagiaan tak terperikan ketika buku yang kita tulis dibaca dan diapresiasi orang lain adalah mata air kepuasan batin yang tak pernah kering membahagiakan hati.

Bermula dari kedua alasan itulah saya bismillah memilih jalan hidup sebagai penulis—yang menjanjikan bagi saya, dan seharusnya bagi yang lain juga—dengan segala risiko dan konsekuensi yang menyertainya. Pastilah seorang penulis skenario, misalnya, tidak akan lebih terkenal dari artis yang membintangi karyanya, namun jika karyanya itu laris bak popcorn di pelataran bioskop, ia akan merasakan ekstase yang tak terbandingkan dengan harta. Semacam katarsis yang menyucikan jiwa dan menyehatkan raga.

Maka, jadilah “Penulis” sebagai merek pekerjaan langka yang menghiasi segala jenis tanda pengenal saya.

Hanya saja, untuk menghasilkan tulisan yang “menyembuhkan” dan “mengayakan”, taklah semudah membalik telapak tangan. Butuh ketekunan, kesungguhan, danketeguhan. Ketika hendak mulai menceburkan diri ke samudra kepengarangan,ketekunan menjadi jurus pertama yang mutlak kita miliki. Guna menghasilkan karya bermutu yang bisa diterima khalayak pembaca, belajar dari pengalaman penulis ternama adalah sesuatu yang niscaya. Apa yang mesti kita pelajari? Jawabannya, banyak. Tapi cukuplah saya sebutkan dua di antaranya, yakni kemampuan mencari dan meracik ide dan kemampuan menjual karya. Ibarat seorang koki, kita harus piawai mengolah dan mengemas makanan agar sedap dicecap lidah pelanggan. Tapi, itu saja belum cukup. Apabila kita tidak memiliki kemampuan promosi atau publikasi, restoran kita bakal sepi pengunjung. Artinya, jago menulis mestinya disertai pula dengan kepiawaian “menjual”.

Selanjutnya, kita pun mutlak membekali diri dengan jurus keduakesungguhan. Ya, hasrat menulis saja belumlah cukup. Bakat menulis—jika kita merasa memilikinya—masih belum cukup. Bersungguh-sungguh melatih diri menulis setiap hari adalah satu-satunya cara merintis jalan menuju kegemilangan. Apalagi bila mengingat kesibukan sehari-hari, tanpa kesungguhan, mustahil kita bisa menyempatkan diri melawan “kuman” mengerikan: penat dan letih. Jangan menyangka para penulis ternama memiliki jam biologis lebih banyak daripada kita. Itu salah besar! Mereka punya waktu sehari semalam seperti kita, sama-sama 24 jam. Hanya saja, mereka mampu mengelola waktunya dengan baik sehingga mereka bisa menghasilkan mahakarya, dan itu tersebabkan mereka selalu bersungguh-sungguh.

Kemudian, setelah menguasai kedua jurus awal, kita pun perlu membekali diri denganjurus ketigaketeguhan. Manakala orang-orang di sekitar Anda mencibir karena ketaklaziman yang Anda pilih dengan menjadi penulis, keteguhanlah yang bisa menguatkan hati. Manakala apa saja yang kita tulis ditolak di mana-mana—baik media cetak maupun penerbitan—keteguhan pula yang menjadi vitamin pembangkit semangat. Manakala satu buku, misalnya, yang kita tulis belumlah laris di pasar buku, keteguhan juga yang mampu menguatkan diri agar kita tetap istiqomah di jalan kepengarangan.

Begitulah, ketika kita memiliki ketiga jurus dasar tadi, maka jalan menuju keberhasilan akan terbuka semakin lapang.

Barulah kemudian kita mempelajari jurus-jurus berikutnya, yakni memikat, menggugah,dan mengubah. Ketika gairah menulis kita semakin menggelegak, perlu kita bekali diri dengan kemampuan “memikat”. Kebernasan ide, kedalaman makna, dan kekhasan kemasan menjadi prasyarat agar tulisan yang kita hasilkan bisa “memikat”. Jangan sampai kita menyuguhkan “pepesan kosong” ke hadapan pembaca. Begitu kita melakukan hal seperti itu, tak ubahnya mencoreng arang ke kening sendiri. Kita bakal kehilangan minat beli, kehilangan penggemar fanatik, bahkan kehilangan “masa depan” sebagai penulis. Apa ini terlalu mengerikan? Tidak. Faktanya, banyak orang yang berhasil menulis satu-dua buku, tapi gemanya tak lebih lama dari dentang lonceng jam di tengah malam senyap. Untuk menguasai jurus “memikat” ini, kita harus mulai mendisiplinkan diri agar rajin berjalan, rajin membaca, dan rajin mendengar. Penulis yang memiliki masa depan gemilang bukan mereka yang asyik-masyuk menenggelamkan diri di dalam kamar, berkutat sepanjang hari di depan laptop, atau sibuk berpindah-pindah dari lamunan yang satu ke lamunan yang lain.

Tulisan yang kita hasilkan pun haruslah bisa menjadi semacam dongkrak yang memiliki daya gugah. Ini yang kerap diabaikan banyak calon penulis. Paradigma—yang meski tak sepenuhnya salah—biarkan saja mengalir apa adanya, sudah bukan masanya kita rawat di tengah ketatnya persaingan. Cerita pendek, misalnya, bisa berkisar 100-300 yang masuk ke laci redaktur budaya satu media cetak. Jika cerita pendek karangan kita tak punya “nilai jual” lebih dari yang lainnya, karya yang setengah mati kita hasilkan itu akan “basi” dan tamat riwayatnya sebelum sampai ke pangkuan pembaca. Pun begitu dengan menulis buku. Setiap hari, sebagai penyunting di sebuah penerbitan, naskah yang sampai ke meja saya bisa berkisar dari dua hingga delapan setiap hari. Bayangkan jika Anda mengirim manuskrip buku yang “tak punya daya gugah”, nasibnya akan selesai pada kalimat, “Maaf, naskah Anda perlu dikemas ulang agar diterima dengan riang oleh ‘umat’ pembaca.” Nah, di sinilah pentingnya kita menguasai jurus “menggugah”.

Akhirnya, tiba masanya kita membincangkan jurus “mengubah”. Aturan dasarnya adalah tulisan yang kita anggit haruslah memberikan manfaat bagi pembaca. Camkanlah, seseorang membeli buku atau koran atau bacaan apa pun, pastilah mengeluarkan uang. Kemudian, mereka sengaja meluangkan waktu untuk membacanya. Maka, alangkah sadis dan bengisnya kita apabila ide yang kita babarkan tidak bermakna apa-apa bagi mereka (maksudnya: pembaca). Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi kita untuk berusaha dengan optimal agar melahirkan karya yang “mencerahkan”, bahkan jika bisa: “mencerdaskan”. Di titik ini, penting bagi kita untuk terus melatih jurus “mengubah”.

Inilah bekal yang perlu kita miliki sebelum terjun ke gelanggang perang.

Jika segala jurus di atas telah kita kuasai, maka tiba waktunya kita “mencari berkah” dari apa yang kita daras. Banyak orang yang ujug-ujug terkenal karena buku anggitannya bestseller. Jangan mengira mereka mendapatkannya karena jurus “kebetulan”. Buku pertama saya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, misalnya, bukanlah makanan instan yang cukup dengan air panas sudah siap saya santap. Bertahun-tahun saya mengasah dan membekali diri—sebagai seorang motivator—untuk selalu menyiapkan tulisan sependek apa pun sebagai menu yang memperkaya materi yang saya sajikan. Kumpulan tulisan itulah yang kemudian saya kemas ulang agar “layak” dinamai buku. Setelah naskahnya siap, saya pelajari dengan tekun jurusmengatasi rasa malu. Saya kirimkan pesan pendek ke pengarang yang “menyeret” saya ke kegairahan mengarang—Bambang Trim—sambil melatih jurus “keyakinan” menunggu jawaban setiap hari. Bak gayung bersambut, keajaiban mengatasi rasa malu itu membuahkan hasil, buku pertama saya pun akhirnya beredar di pasar. Keyakinanbahwa apa yang saya babarkan dalam buku itu memenuhi segala aturan dari jurus-jurus di atas, akhirnya berbuah royalti yang hingga kini masih saya terima.

Tak berbeda jauh ketika saya berniat menekuni dunia sastra. Alkisah, ketika saya menemukan fenomena bagaimana karya-karya prosa—baik novel maupun cerpen—bisa sedemikian banyak umatnya, saya berselancar dari satu portal ke portal lain hanya demi memuaskan rasa ingin tahu. Terutama membongkar laci arsip www.sriti.com, situs yang mengarsipkan cerpen-cerpen yang dimuat di media cetak. Bahkan, saya mempelajari secara khusus media mana yang paling tepat bagi saya untuk “menjual diri”. Sejak itu, saya mengungsikan diri ke dunia maya guna menilik, menyelisik, dan memahami karakter cerpen yang dimuat di media “sasaran” itu. Sesudahnya, cerpen pertama saya, Rumah Panggung di Kaki Bukit, dimuat di Republika. Semudah itu? Tidak. Untuk mengasah kemampuan menulis cerpen, meskipun tulisan non-fiksi saya sudah tiga buku, saya tetap memposisikan diri sebagai “gelas separuh isi separuh kosong” agar bisa belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Saya bahkan—dengan menggunakan jurus mengatasi rasa malu—mengikuti kuliah “Menulis Karangan Popular” sebagai “mahasiswa tamu” di kelas kritikus sastra, Maman S. Mahayana, dan berguru secara “liar” dari pengarang satu ke pengarang lain.

Kedua jurus itulah yang saya gunakan sepanjang karier saya sebagai penulis. Tidak muluk-muluk, tapi sekaligus bukan sesuatu yang enteng. Manakala ada karya kita yang ditampik—baik oleh penerbit maupun media cetak—bukan berarti dunia telah kiamat. Ada banyak alasan yang membuat karya kita tertolak, dan alasan yang paling saya sukai adalah bahwa karya saya mungkin saja tidak sesuai dengan selera atau aliran “Sang Penolak” itu. Meskipun demikian, saya tetap mengasah diri. Terus belajar. Lagi, dan lagi.

Jurus terakhir yang paling kerap saya gunakan untuk “menjual diri”—dalam makna yang positif—adalah jurus narsis. Saya pernah dituding lebay karena kerap memajang status di Facebook ihwal karangan saya (puisi, esai, cerpen, atau artikel) yang dimuat di media cetak. Tapi tudingan itu saya anggap angin lalu belaka, karena ketika ada “alat iklan” yang gratis, mudah, dan akurat itu adalah keuntungan bagi saya. Lagi-lagi, iklan gratis itu pula yang membuat banyak penerbit melirik tulisan saya. Bahkan tulisan ringan tentang kisah-kisah masa kecil yang saya olah ulang dan menambahkannya dengan terapi asyik untuk mencerdaskan hati, tidak lama lagi akan terbit dengan judul,Terapi Ikhlas: Langkah Ringan Mengayakan Hati. Inilah hadiah dari jurus “narsis” yang saya gunakan. Anggap saja, iseng-iseng berhadiah.

Bagaimana dengan Anda?

Oleh karena kita memiliki tabiat dan karakter berbeda, boleh jadi jurus-jurus di atas tidak tepat bagi Anda. Tapi, setidaknya, Anda akan memiliki bahan pembanding. Semacam timbangan yang dapat menemani Anda untuk menakar sendiri apa danbagaimana cara Anda menjual karya. Bagaimanapun, seperti nasihat pendahulu kita, banyak jalan menuju Roma. Dan, yang perlu Anda lakukan—termasuk saya—adalah memberanikan diri untuk mulai melangkah.

Pada akhirnya, tahukah Anda bahwa segala yang saya tuturkan ini sebagian besar karena saya meyakini keampuhan jurus “narsis”? (*)

Bogor, Oktober 2010