Kamis, 29 Maret 2012

Berumah di Negeri Angan

Berumah di Negeri Angan
terjerat kenangan pada lagu “Negeri di Awan”


Rindu tumbuh di matamu, sebelum angin senja menegaskan kenangan
dan bunting sepi menetaskan harapan. Kita terpuruk, di sini, di negeri
yang kita bayangkan sebagai awan—kecemasan mengambang ringan.

Rencana rimbun di benakku dalam kegelisahan syair lagu, barangkali,
membusuk, di sini, di negeri yang kamu angankan sebagai awan—kita
makin sibuk menyuling senyap. Aih, matamu kunang-kunang, senantiasa.

Tidak ada, tidak ada yang melebihi matamu. Rembulan dan matahari
kawin di sana, melahirkan lebih dari sekadar gelembung kesia-siaan
yang lengas dan tandas. Lalu aku melulu mengecup kemustahilan ini.

Sebab kita sama-sama punya cinta, dan harapan, yang dikirimkan Tuhan
melalui sesak senja dan benak malam. Maka, apalagi yang menghalangi
kita bergegas menguburkan masa silam, biar lindap segala yang lebih?

Di negeri angan—yang kamu kira awan—telah kubangun sebuah rumah,
tak berpintu tak berjendela, agar kita bisa berteras tiba-tiba. Kapan saja.

Parung, Maret 2012

Jumat, 08 Juli 2011

[Puisi] Semesta Cinta

Semesta Cinta
Khrisna Pabichara


Sebut saja hatimu telah ditumbuhi cinta
dari yang lain, merinduimu sering kali
lebih membahagiakan daripada memilikimu

lalu apa yang kamu namai rindu, sebenarnya,
hanyalah hampa di semesta cinta. Sementara
mimpi dan rindu terus bersekutu memampang
sosokmu di tidurku.


Bogor, Juli 2011

Jumat, 24 Juni 2011

Dari Barrang Lompo ke Museum Kota

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Ketiga (Rabu, 15 Juni 2011)


Dermaga Barrang Lompo dan Puisi

Rabu, 15 Juni 2011, pukul 10.25, pertama kalinya saya menyambangi pulau ini. Dulu, dulu sekali, semasa masih bermukim di tanah anging mammiri’, saya belum sempat bertandang ke pulau ini, meski Barrang Lompo tak asing di kuping saya. Pulau itu tidak terlalu luas. Hanya 0,49 km2. Tidak terlalu jauh dari Makassar. Cukup 45 menit dengan menggunakan perahu cepat. Dermaga sederhana menyambut rombongan peserta MIWF 2011

Tepat di seberang ujung jalan dermaga, seorang perempuan muda tersenyum ramah. Aminah. Matanya bercahaya, tubuhnya ramping, raut wajahnya ramah. Beberapa tombak di belakangnya, tampak sebuah plang kecil bertuliskan “Taman Baca Samudra Ilmu”. Sekar Chamdi, pegiat Forum Indonesia Membaca, ternyata ikut membacanya. Dan, seolah dikomando, kami memasuki ruang baca yang berada di kolong rumah panggung salah seorang penduduk. Ukurannya tidak terlalu lapang, mungkin 2 x 4 meter. Di sebelah kiri, 3 meja berderet rapat ke dinding, 6 kursi dan 3 rak buku tersusun dengan bentuk huruf L. Erni Alajai juga sudah ikut nimbrung, melihat-lihat koleksi bersama saya dan Sekar. Sungguh, saya sangat terharu.

“Dari mana koleksi buku-buku ini?” tanya Sekar.

“Bantuan Pemkot Makassar dan beberapa lembaga, Bu,” jawab Aminah.

Lalu, Erni pun bertutur tentang komunitas di Makassar yang bersusah payah mengumpulkan donasi buku, kemudian dikirim ke beberapa perpustakaan di pulau-pulau sekitar Makassar. Sempat pula saya ajukan kemungkinan untuk mengirimkan bantuan buku dari Jakarta.

“Ongkos kirimnya terlalu mahal, Khris. Lebih baik digalang gerakan donasi buku di Makassar. Kalau perlu, satu buku satu rumah,” tutur Sekar.

Begitulah. Anak-anak berdiri di pinggir jalan. Orang-orang dewasa berkerumun di kolong-kolong rumah. Iring-iringan semakin panjang, anak-anak pulau menyatu dengan rombongan penulis. Kamaruddin Azis—yang lebih intim dengan sapaan Makassarnya, Daeng Nuntung—menemani Mazaa dan Abeer berbincang dengan warga pulau. Mereka terkesima melihat semangat gotong royong yang masih terjaga.

Kuburan tua. Unik dan penuh pikat. Terapit di antara dua pohon besar—saya lupa catat nama pohonnya—yang akar-akarnya menyatu dengan bangunan cungkup makam. Bagi saya, ini langka. Atau, setidaknya, ajaib. Akar pohon menyesuaikan diri dengan bangunan yang ada, lambat laun menyusun di sela-sela bata. Rodhaan dan Abeer sangat mengagumi keganjilan itu, Mazaa sibuk foto-foto bersama anak-anak pulau.

Matahari makin tinggi. Ubun-ubun mulai panas. Rombongan kembali bergerak. Arak-arakan semakin panjang. Peserta-peserta MIWF dari mancanegara pastilah menjadi daya pikat bagi penduduk pulau. Di tepi pantai, di bawah terik matahari, seorang remaja sedang berjemur. Agus namanya. Konon, kakinya lumpuh setelah menyelam ke dasar laut mencari teripang. Risiko jadi penyelam, begitu tutur Daeng Sese, salah seorang warga pulau. Tak seberapa lama, rombongan kembali menyusuri pulau. Menyisir Lorong Janda, berbaur dengan perempuan-perempuan yang suami mereka meninggal karena disergap badai sewaktu melaut.

Akhirnya, makan bersama pun tiba.

Pukul 12.40. Kami harus segera kembali ke Makassar, ombak bisa menyulitkan perjalanan kami. Akan tetapi, perahu belum siap. Lily Yulianti Farid, Direktur MIWF 2011, mengusulkan agar Rodhaan baca puisi sambil menunggu perahu. Vlucht naar de zee segera mengalun di bibir Rodhaan, mengalahkan deru ombak. Setelah rampung, Rodhaan meminta Wildan—juru potret pribadinya—membacakan terjemahan puisi itu. Lebih unik lagi, setelah terjemahan Indonesianya usai dibacakan, Rodhaan meminta agar Wildan menerjemahkannya ke dalam bahasa Makassar. Tampaknya, Wildan kesulitan. Saya coba membantunya, kata per kata. Akibatnya, saya didaulat Rodhaan untuk menerjemahkannya. Aih, pengalaman pertama!

Orang-orang mulai berkerumun. Dermaga mulai padat. Kuli-kuli yang menurunkan muatan perahu, berhenti. Mereka menikmati simfoni kami. Alhasil, Kak Lily mengusulkan satu puisi lagi.

Alangkah!

Para Pengarang di Negeri Rantau

Pukul 16.15. Sudah banyak penghadir di lantai dua Museum Kota Makassar. Untung saya sudah mandi setiba di hotel, tadi. Kalau tidak, bisa merusak suasana. Ternyata, usut punya usut, banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas yang menghadiri sesi siang ini. Yakin, ini pasti karena dua pembicara adalah alumni Ilmu Komunikasi, Ryana Mustamin dan Fauzan Mukrim. Jadi, semacam reuni kecil-kecilan. Hehehe....

M. Aan Mansyur membuka acara Bincang Komunitas. Tema perbincangannya ialah Menulis Membuka Jalan. Pembicaranya adalah pengarang-pengarang kelahiran Makassar yang berkarya di perantauan: Ryana Mustamin, Fauzan Mukrin, dan Khrisna Pabichara. Mula-mula Kak Ana bertutur tentang proses kreatif kepengarangannya. Praktisi perbankan yang menganggit cerpen sejak SMP ini bertutur banyak: sejarah, manfaat, dan apa saja yang dialaminya semenjak menulis.

Peserta begitu antusias.

Tiba giliran saya membakar semangat untuk menulis. Tak ada yang sulit, bila kita tekun dan bersungguh-sungguh. Saya juga berkicau tentang pilihan saya menceburkan diri seutuhnya ke dunia kepenulisan. Terakhir, Fauzan Mukrim berbagi pengalaman. Ia berkisah tentang perjalanannya yang kemudian diabadikannya lewat tulisan, jadi buku, dan laris. Sekarang, ia masih tekun menulis, sembari menekuri dunia yang dicintainya, fotografi.

Namanya juga bincang komunitas, tentulah ada sesi tanya-jawab.

Dari enam orang penanya, ada satu yang tak terlupakan. Namanya, Maya.

“Mohon izin bertanya!” Begitu kalimat pembukanya dengan gaya sikap sempurna. Ia mengulangnya lagi, dan lagi, karena belum ada yang merespons permintaannya.

“Saya izinkan!” jawab saya.

Kontan saja, Maya segera menyampaikan apa yang hendak diutarakannya. Saya yakin, banyak penghadir yang merekam kejadian ini dalam ingatan mereka. Terutama Anzhu Amarah dan Mubarak. Lihat saja linikala mereka di twitter. Sesekali mereka berkicau dengan kalimat pembuka, “Mohon izin bertanya....”

Saking asyiknya, perbincangan sore itu seolah lebih laju dari waktu.

Antara Makassar, Irak, dan Belanda

Panggung bertingkat dengan warna merah menyala, gelar karpet merah, orang-orang berseliweran di Jalan Balaikota, dan satu demi satu “pengagum rahasia” yang minta ditandatangani buku programnya—mulai narsis—mengawali malam pembacaan karya.

Ketika Luna Vidya berkicau, seorang perempuan muda mendatangi saya, mengajak foto bareng. Sebenarnya saya malu menjadi pusat perhatian. Namun, demi membahagiakan hatinya, saya penuhi harapannya. Namanya, Anata Aulia Kautsar. Keren banget! Di buku kecilnya saya tulis, “Cinta tak mengenal kata tetapi!” Konon, ia menyukai suara saya. Halah!

Di panggung, Mazaa begitu ekspresif bertutur, sangat memikat. Gunduz juga tampil memukau, esainya yang sangat kritis membabar gonjang-ganjing politik. Lalu, Abeer mencekam penonton lewat kedalaman cerita pendeknya. Tiba giliran Rodhaan, gaya khas dan postur tubuhnya yang—sesekali saya bayangkan tubuh saya seperti tubuhnya—kukuh menyihir penonton.

“Saya minta Khrisna menemani saya di panggung,” kata Rodhaan.

Aih, sepertinya peristiwa di dermaga Barrang Lompo bakal terulang. Dalam hati, saya berharap, semoga hanya satu puisi. Sungguh, menerjemahkan sajak ke dalam bahasa Makassar secara spontan bukanlah sesuatu yang mudah, menguras tenaga. Apalagi, di sela penonton, ada beberapa orang yang saya kenal dan saya tahu sangat paham bahasa ibu saya. Tapi, pede aja! Rodhaan mulai beraksi. Suara beratnya yang sarat daya magis sangat membantu saya menemukan “rasa baca”.

Puisi pertamanya, Ik Heb je Nodig. Terjemah Indonesia-nya, Aku Membutuhkanmu. Saya alihkan ke bahasa Makassar, Sukku’ Kukellanu, Andi’. Begitu raampung kami bacakan satu puisi, tepuk tangan membahana. Bahkan, kata Kak Lily, beberapa pengendara motor menghentikan kendaraannya, menyimak takzim sajian kami. Lalu, Rodhaan membaca sajak kedua, Vlucht Naar de Zee (Tu Na Anyukanga Kalenna ri Tamparanga—Makassar). Langgam ratap ala Makassar jadi pilihan saya, appitoto. Sesudahnya, penonton bersuka cita.

Lalu, puisi ketiga. Lalu, puisi keempat. Saya yakin inilah puisi terakhir, maka saya tetap memberikan yang terbaik. Seperti Rodhaan yang tampaknya makin larut, makin yahud. Ternyata dugaan saya keliru, dan penonton pun tertawa. O ya, gaya saya seolah-olah sudah usai pertunjukannya. Padahal, masih ada satu puisi.

“Ini puncaknya,” kata Rodhaan, melirik saya dengan lengkung samar di bibirnya.

Ketika sepintas membaca terjemahan Indonesia di layar. Saya bayangkan gaya royong, gaya seorang ibu menidurkan buah hatinya atau gaya seseorang merindukan belahan hatinya. Saya reka-reka alun suara dan ekspresi yang akan saya gunakan. Saya pindahkan “ruh” Rodhaan ke dalam “rasa” saya, dan saya alihkan ke bahasa Makassar sebelum Rodhaan menyerahkan kertas yang masih di genggamannya. Ekstase!

Aku ingin berbaring di sisimu, seperti ombak di sisi ombak.
Aku ingin menyatu denganmu, seperti ombak dengan ombak.
Aku ingin lenyap dalam dirimu, seperti ombak dalam ombak.

Cinna sikaliya’, Andi’, attinro ri sa’ringnu
Sanrapang tinrona se’rea bombang ri bombang maraengannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lessa’ ri kalennu
Sanrapang lessa’na se’rea bombang ri bombang rioloangannayya
Cinna sikaliya’, Andi’, lannya’ ri atingnu
Sanrapang lannya’na se’rea bombang ri bombang najammengiya


Sungguh, Rodhaan sempat menangkap kristal yang menggantung di ujung kelopak mata saya, dan saya juga selintas melihat matanya berkaca-kaca. Bahasa boleh berbeda, tapi rasa kami saling luluh, saling leleh. Kami berpelukan, erat sekali. Terpampang di benak saya bayang-bayang seolah sayalah yang dikejar-kejar tentara Irak, bersembunyi dari satu semak ke semak lainnya, menahan napas setiap truk tentara melintas, dan tiba di negeri pelarian demi mempertahankan prinsip: menolak perintah wajib militer. Selintas saja pelukan itu, tapi rasanya berbulan-bulan, bertahun-tahun.

Begitulah. Konon, Riri Reza dan Arman Dewarti pun menyukai duet kami. Bahkan Fauzan menggelari kami “duet maut”. Bahkan Anata pun berkaca-kaca matanya. Bahkan Abeer Soliman pun berat melepaskan genggaman tangannya.

Bahkan, letih seusai berjalan kaki dari Museum Kota ke Hotel Valentino tak berasa.

(Bersambung)