Rabu, 29 Juli 2009

ESAI "Syair Zikir di Tubuh Peluh"

CATATAN: Esai ini dimuat di Riau Pos (Minggu, 19/07/2009) dan Batam Pos (16/08/2009)


SYAIR ZIKIR DI TUBUH PELUH
Oleh Khrisna Pabichara


TETAPI sajak adalah sebuah tetapi. Demikian maklumat ringan Hasan Aspahani dalam Pengantar Penyair pada buku sajaknya, ”Telimpuh”. Ya, katanya lagi, sajak adalah sebuah pendedahan yang didahului oleh kata sambung tetapi. Lebih lanjut, penyair yang belajar secara otodidak ini menegaskan bahwa melalui ketetapian sajaknya, penyair mengingatkan. Jika seorang ilmuwan bekerja dengan metode, maka penyair bekerja lewat kata. Jika ilmu dibangun dari sekumpulan fakta sebagaimana rumah dibangun dari tumpukan batu-batu, maka sajak dibangun dari sekumpulan kata. Penyambungnya, di antaranya adalah tetapi. Namun, sekumpulan batu-batu belum tentu bisa disebut rumah. Sama seperti tidak semua kumpulan kata bisa dinamakan sajak.

Tidak ada jalan pintas menjadi penyair. Jika kita berniat menjadi penyair, kita harus membangun inteligensia, kepekaan, dan pengendalian-diri. Harus rajin membuka diri dan ”pintu tafakur” selebar-lebarnya, biar kecerdasan estetika masuk sebanyak yang kita inginkan. Harus telaten dan disiplin, tidak mudah berpuas diri, dan berani mengambil risiko berlatih secara bertahap dari awal, setapak demi setapak. Harus serius mencoba mematut gaya dan lelaku kepenyairan lewat beragam eksperimen. Harus ada kata ”tetapi” ketika serangkai kata sudah kita anggap sebagai sajak. Biar lebih padat, lebih rekat.

Hal ini kembali ditunjukkan Hasan pada Telimpuh. Baginya, eksperimen adalah satu-satunya ”jalan kepenyairan”. Ia seperti hendak ”menentang” pendapat Stéphane Mallamé: sajak terbangun dari bahasa, bukan gagasan. Baginya, sajak memikul tanggung jawab besar, tidak semata kedalaman makna dan akrobat bentuk. Ada sesuatu yang lebih dahsyat. Sebagaimana Tagore menyalakan bara patriotisme, Iqbal meneguhkan semangat kebangsaan, atau Rendra membangun hasrat perlawanan lewat sajak-sajaknya. Melalui berangkai eksperimentasi kemasan, semenjak Orgasmaya hingga Telimpuh, penyair kelahiran Kutai Kertanegara ini membangun sajaknya dari bahasa, sekaligus gagasan.

BAGAIMANA menyusun kau, aku dan langit/ dengan pendar selembut satin,/ dan balon percakapan yang penuh jerit? (Komik Strip, 2; 8). Jika Harris Firdaus menyebut pembacaan Telimpuh laksana menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah, maka saya menyebutnya sebagai sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban. Jika Agus Noor menamakannya sebagai ”seorang petualang estetis”, maka saya menamakannya sebagai penjelajah yang tak kenal henti mengembara dari satu langgam ke langgam lain.

Seorang kawan saya yang bukan penyair, Sofyan Hadi, bahkan pernah berkata, ”Jika ingin membuka kamus, baca saja Telimpuh.” Artinya, penyair berhasil menawarkan alternatif pemaknaan terhadap kata. Coba kita simak bagaimana Hasan memaknai kata.

ABAR: ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu/ laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan/ agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal A; 21).

CENGANG: nah, inilah. Aku yang menatap ke diri sendiri/ tak habis heran. Tak berjawab, semua pertanyaan./ Inilah. Aku yang meraba ke jejak sendiri. Tak jelas/ arahan, tak tentu tujuan. Pun tak pulang jadi niatan,/ sebab Rumah sendiri beralamat di entah. Kemungkinan,/ cuma di pembungan. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal C; 22).

GERSIK: hanya ombak masih setia. Datang. Ke pantai itu./ Pantai kita itu? Aku mencari kita. Mencari apa yang/ sisa. Mungkin suara. Gemerisik pasir. Karang kering./ Memungut sisa diam kita. Mengatakannya. Dengan/ sisa kata yang terbaca pada lengking lantun camar,/ lengkung pelangi samar. Tapi, kau tak ada. Hanya aku./ menyesali kita. Menyesaki kata. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G, 2; 24).

TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai/ sembah ini kau sentuh. ”Telah aku lewatkan beribu subuh,/ telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair,/ jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh,/ hingga menguap semua peluh, di tubuh. (Kamus Empat Kata Berhuruf Aal T, 2; 38).

Bagi saya, kepiawaian Hasan menerjemahkan kata-kata, seperti kata abar-cengang-gersik-telimpuh, lebih dari sekadar kecerdasan puitik: mengawin-silangkan metafora, repetisi, rima, dan irama. Ia memiliki kekuatan melebihi kemampuan kamus mengungkap daya kata. Kedalaman diksinya sarat daya laten yang menyingkap tabir eksistensi kita dan menorehkan sejarah kepenyairan baru sebagai hasil dari petualangan liar semiotika yang dilakukannya. Bagaimana dengan bangunan konvensi? Tidak masalah. Hasan tidak mendobrak, apalagi merubuhkan konvensi bahasa formal. Ia, dengan cergas, malah memanfaatkan konvensi bahasa yang ”biasa” itu menjadi ”tidak biasa” dan ”lebih khas”.

Kebebasan adalah pengandaian tepat keseluruhan sajak Hasan. Pernak-pernik sepakbola, kiasan yang digunakannya, hanya sebentuk tamsil dari ketakbebasan manusia.

”Tolong dicuci bekas luka dan bisa atau bawa saja lari,/ sampai hilang pedih nama dan perih angka di punggungnya,”/ katanya seperti penyair membacakan bait puisi. (Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan; 46).

Kaos itu ”seolah-olah” tak betah lagi pada keriuhan pertandingan, hendak menjauh dari ingar-bingar pemujaan, berhasrat kuat melarikan diri dari berhala kepalsuan, kemudian memilih hidup otentik dan berusaha memilih wilayah eksistensi. Menentukan pilihan: kebebasan. Kebebasan, seperti yang pernah diperjuangkan Sartre, menjadi diri sendiri.

Bandingkan dengan sebuah pertanyaan:

Kalau bola harus memakai kostum, berapa/ nomor punggung yang cocok untuknya? (Solilokui Sang Bola Kaki, 1; 52).

Bagi pemain bola, nomor punggung termasuk ”dikeramatkan”. Angka 7 bisa identik dengan Christiano Ronaldo, 10 untuk Diego Maradona, 5 bagi Paolo Maldini, dan sebagainya. Tapi, tidak semata itu yang hendak dicapai Hasan. Bola, baginya, menjadi alegori. Kita terlalu lama membiarkan diri abai terhadap alur hidup. ”Biar mengalir seperti air,” begitu jawaban diplomatis yang sering kita dengar, lebih bermakna sebagai ”kesahajaan”. Atau, ”ketakberdayaan”? Hidup tidak sesederhana itu. Manusia adalah pengada, ungkap Climacus, yang memiliki kesadaran (consciousness). Bukan hanya kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi juga kesadaran terhadap diri sendiri (self-consciousness). Dengan kata lain, kesadaran untuk menentukan hidupnya: ”bagaimana seharusnya hidup” dan ”bagaimana semestinya mati”.

Penyair menolak ketidakberdayaan, keputusasaan, atau kepasrahan total. Hal ini ditunjukkannya pada:

bisakah bola membedakan, ia sedang/ digocek oleh Ronaldinho atau Zidane? (Solilokui Sang Bola Kaki, 2; 54).

Ia juga menolak militerisme, termasuk perang sebagai perangkatnya.

KENAPA semua tentara tidak dilatih menjadi/ pemain sepakbola saja?// Bukankah pemain bola tidak perlu sepatu/ lars, topi baja, apalagi peluru dan senjata?// Bukakah kostum pemain bola lebih meriah/ dan enak dilihat daripada seragam tentara? (Solilokui Sang Bola Kaki, 3; 56).

Memang, menjaga negara dari ancaman musuh, tidak semudah mengamankan pertandingan sepakbola dari gangguan perusuh. Tetapi, perang memang tidak mungkin diselesaikan lewat permainan sepakbola. Bukankah sepakbola juga sering menciptakan perang?

Terlepas dari keragaman garapan gagasan penyair, melalui Telimpuh, banyak hal yang bisa kita rekam dalam jejak ingatan. Ajakan untuk berpikir menjadi diri sendiri, keberanian menyuarakan ”zikir-pikir” demi kemajuan bangsa dan negara, serta tidak larut dalam luluh peluh yang mengalir di sekujur tubuh. Semisal lelakon Socrates, meneguhkan diri pada sesuatu yang diyakininya. Bahkan, meski harus mati.

Pada akhirnya, setiap penyair akan menemukan ”jalan kepenyairan” yang hendak ditempuhnya. Sebagai penyair, lewat banyak kembaranya, Hasan Aspahani menempuh segala yang diyakininya. Syair yang digubahnya dalam bingkai sajak, seolah-olah adalah lelantun zikir. Atau, seruan untuk sejenak berpikir. Itulah gunanya ia menyair, katanya.

KHRISNA PABICHARA adalah penyair, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta.

Minggu, 26 Juli 2009

ESAI "Alienasi Kenangan: Lelaku Estetis yang Etis"

CATATAN: Esai ini dimuat di Jurnal Bogor (Minggu, 26/07/2009) di Rubrik Jendela Halimun. Ditulis untuk menelisik kumpulan sajak Cinta yang Marah karya M. Aan Mansyur


ALIENASI KENANGAN: LELAKU ESTETIS YANG ETIS
Oleh Khrisna Pabichara


KEMATIAN adalah perihal keniscayaan. Pasti terjadi. Tidak satu pun makhluk bernyawa bisa menghindar darinya. Dan, tidak pula sanggup mencegahnya. Kebanyakan manusia takut mati muda, atau takut mati dalam keadaan susah. Apalagi, susah setelah kematian. Ya, kesepian sebagai salah satu akibat yang dilahirkan kematian, jauh lebih mengerikan dibanding kematian itu sendiri. Tidak semua manusia bisa ikhlas. Kita kerapkali tidak siap memaksa diri sendiri agar sudi mengalienasi nostalgia untuk sementara, dan mulai membiasakan diri dengan fakta-fakta: kehilangan karena ”kematian”.

Pemahaman kita, sebagai manusia, cenderung mengarah pada abstraksi. Kita terbiasa berlekas mendedahkan substansi dan realitas pada hal-hal yang berlalu atau yang sedang kita hadapi. Lebih condong reaktif daripada reflektif. Kecenderungan inilah yang sering mengakibatkan kita lalai meneruka ”jalan kesadaran” sebagai ”makhluk terpilih”. Kehidupan manusia, yang dicirikan oleh kemewaktua, adalah bukti kefanaan dan ketidakberdayaan kita ”melawan” kuasa-di-luar-diri kita. Maka, alangkah sia-sia jika kehidupan sementara itu digunakan untuk sesuatu yang percuma.

Setali tiga uang dengan kematian, ”kenangan” pun dominan dalam menguasai ”bangunan ingatan” manusia. Saya teringat petuah Étienne Bonnot de Condillac (1715-1780). Kita dilahirkan di tengah-tengah labirin, katanya, dengan seribu kelokan yang dibuat hanya untuk satu tujuan: menyesatkan kita. Seperti itulah kenangan. Kalaupun terlihat ada ”jalan keluar” menuju kemerdekaan pikiran dari ”penjajahan kenangan”, jalan itu tidak lapang dan tidak bisa langsung terlihat. Kadang samar, kadang terang. Kadang tidak terlihat sama sekali. Dan, tampak tidak menjanjikan. Karenanya, kita harus berhati-hati. Kita perlu melangkah perlahan dengan cermat, mengaji semua tempat yang sudah terlewati dengan teliti, sehingga kita bisa leluasa bergerak menuju jalan keluar itu. Yang paling penting adalah mengetahui di mana diri kita pertama kali berada, kata Condillac, daripada cepat-cepat meyakini bahwa kita telah berhasil keluar dari labirin itu, kenangan itu.

BEGITULAH. M. Aan Mansyur sebagai seorang penyair mengajak kita agar memahami secara rasional segala yang terjadi di sekitarnya. Ia sendiri, kelihatannya, terlibat secara pribadi dalam peristiwa-peristiwa yang didedah ke dalam serangkaian sajaknya, ”Cinta yang Marah”. Sesekali ia, seolah-olah, berdiri di luar panggung drama kehidupan manusia dan hanya mengamati apa yang terjadi. Ia berlaku sebagai pemberi kabar kepada kita, pembaca. Juru kabar yang menguarkan keperihan, pengkhianatan, dan luka-nanah orang-orang kalah. Terkalahkan. Atau, malah sengaja dikalahkan.
Namun, lebih banyak, ia naik ke atas panggung dan menjadi ”pelakon utama”. Memainkan peran manusia dan kemanusiaannya. Mengalami suka-duka sebagai pelaku, menjalani tahdir sebagai manusia. Lewat Aku, penyair membincangkan kecemasan, tegangan antara hidup dalam waktu dan kerinduan akan keabadian, serta bersunyi-sepi setiap hari setelah Aku, oleh kematian, dipisahkan dari Kau.

aku terus menggesek senar biola atau mengawinkan
benang dan kain atau mengata-ngatai kematian dan sebab
itu seluruh kau masih jelas bahkan huruf terakhir yang kau
sebut kali pertama menjanjikan kesetiaan
(Sajak #1)

Dalam alegori Sajak #1, yang Aku lakukan adalah terus ”menggesek senar biola” atau ”mengawinkan benang dan kain” sebagai wujud keyakinan, bahkan jika harus berhadapan dengan kematian, pada keteguhan ”janji kesetiaan”. Kau, yang dimaksud Aku, boleh jadi perempuan idamannya. Tapi, boleh juga, Kau disini adalah ”caleg” yang banyak mengumbar ”janji perubahan” dan Aku adalah konstituen yang memilihnya dan bersetia menunggu pembuktian janji itu.

Sebanyak 21 (duapuluh satu) sajak dalam ”Cinta yang Marah”, pada satu sisi, merupakan penanda kebiasaan manusia yang hidup dari hasrat spontannya saja sebagai ”lelaku estetika”. Pada wilayah lain, Aan mengajak kita berhitung tentang kategori baik dan jahat dalam ”lelaku etika”. Baik dalam wilayah estetis maupun pada wilayah etis, Aan bertutur begitu liris. Bahkan, miris. Lihat misalnya pada Sajak #3, penyair kelahiran Bone ini ”bersiul” tentang perilaku cinta anak-anak modern ”mengandangkan” orang tua mereka di panti jompo.

aku akan mengajak kau menginap semalam di salah satu
panti jompo, tempat orang-orang yang punya anak-anak
terlalu sibuk, tempat orang-orang merasa dekat sekali
dengan makam, tempat orang susah payah
mengingat bagaimana caranya tersenyum. di sana aku dan
kau akan membacakan sajak-sajak cinta kepada mereka.
dengan begitu kita bisa membayangkan bagaimana kelak
kalau kita sudah tua, bagaimana rasanya berjalan-jalan di
tepi jurang maut
(Sajak #3)

Keinginan untuk hidup langgeng dan bahagia bersama orang yang dicintai, bukan hanya dambaan penyair ─yang tahun kelahirannya selalu disembunyikan itu. Namun, hal itu menjadi harap-cemas setiap orang. Ia menegaskan keinginan agar orang yang dicintainya menjadi pasangan hidupnya, melalui kehidupan bersama dan menemukan kebahagiaan, dan tidak terpisahkan hingga tua-renta. Akan tetapi, perpisahan bukankah selalu membayangi? Kematian mengintai setiap hari, mengancam untuk memisahkan Aku dari Kau, atau sebaliknya.

begitu setiap pagi, aku dan kau tetap berlatih berhitung
sebab aku dan kau harus menjawab pertanyaan cucu:
kenapa cinta kakek dan nenek tidak pernah kurang dan
lebih dari satu?
(Sajak #4)

Layaknya kebanyakan orang, Aku memilih ”keyakinan” dan ”kepastian”. Bukan ”kebimbangan” dan ”ketidakpastian”.

Sekarang, coba kita lihat bagaimana Aan ”merekam” peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

anak itu semakin deras menangis, sedihnya tidak hendak
sudah melihat sungai ikut tersedu. dan wajah anak itu
pelan-pelan bersih, dibersihkan airmatanya sendiri
(Sajak #6)

Mengapa anak itu menangis? Keperihan hidupkah? Buku dan biaya sekolah yang tak terbayarkah? Atau, ”ongkos hidup” yang tak tertanggungkah sebagai penyebabnya? Kita, sebagai penikmat, bisa menafsirkan semau yang kita suka. Hal ini dimungkinkan karena Aan menyuguhkan sajak-sajak yang memiliki kedalaman gagasan dan keluasan penafsiran.

Aan juga berbicara mengenai kerinduannya pada suasana agraris. Di sini, isu mengenai epistemologi, kenangan masa kecil sebagai ”aku yang lahir dari rahim petani”, menjadi sangat kentara. Ia sadar, bahwa pergeseran dari budaya bertani atau budaya melaut menjadi anak-cucu teknologi adalah realitas obyektif yang telah mereduksi kemampuan banyak orang untuk sekadar bertahan hidup. Pada sajak #10, ia menegaskan kecemasan dan kegelisahannya itu. Begitupun pada Sajak #11, pesan untuk tidak semata menanam jati dan beringin merupakan fatwa ringan tentang bagaimana mengelola hutan produksi, hutan bagi rakyat belaka. Bukan hutan yang hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang. Jangan lupa membaca Sajak #13. Lalu, bayangkan! Betapa untuk menjadi dokter yang dipercayai pasien sudah bisa dilakukan oleh seorang anak kecil dengan ”kesaktian batu celup”. Sungguh, Aan memindahkan peristiwa ke dalam sajaknya secara elegan: fenomena Ponari. Dan musibah langganan: banjir. Atau, tengoklah Sajak #17, niscaya akan kita temukan keperihan hidup kaum buruh yang bahkan tidak sanggup bernafas lega karena dililit hutan kredit. Mengenaskan. Tapi, begitulah kenyataan hidup.

Tidak berhenti sampai di sana, Aan juga bermain dalam wilayah religius. Ia menohok ”gereja” yang mulai sunyi dari ”nyanyi doa” pada Sajak #9. Juga gumam kritis terhadap resistensi MUI karena terlalu kerap memasuki wilayah pribadi umat lewat fatwa haramnya:

menurut kau, apakah akan lahir sebuah fatwa haram
mencintai seseorang jika aku dan kau dikuburkan saling
berpelukan dalam sebalut kafan?
(Sajak #17)

MEMBUAT pilihan dan mengambil keputusan bukanlah hal mudah. Apalagi memilih jalan hidup di luar kelaziman: menjadi penyair. Bagi Aan, itulah pilihan hidupnya. Dan, konsekwensinya, ia menjalaninya dengan tekun, dan bersungguh-sungguh. Ia, seperti tutur Nurhady Sirimorok pada Catatan Pembacaan Seorang Kawan, tidak serta merta tumbuh-lahir sebagai penyair. Melainkan bersusah-susah menggauli Neruda, Rimbaud, Rilke, Yeats, Frost, dan sejumlah nama lainnya. Juga Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Aslan Abidin, hingga Hasan Aspahani. Artinya, dari lelaku asketik menggumuli sajak demi sajak, ia berjuang melalui ”jalan kepenyairan” untuk bisa menemukan tidak sekadar kemampuan linguistik, tapi juga kecerdasan estetik.

Pendek kata, bagi Aan, segala kegetiran atau kebahagiaan hidup dapat dibingkai dalam ”kerangka esensial”, tanpa menafikan ”keunggulan estetik” dan ”kenyamanan puitik”, sehingga kematian dan kenangan tidak lagi menjadi ”momok” yang menakutkan atau mengerikan untuk diperbincangkan. Maka, Aan pun bersajak dengan cara yang berbeda ─meski sesekali masih mirip─ dengan Sapardi, idolanya. Atau dengan Hasan Aspahani, sahabat sekaligus mitra-latihnya.

KHRISNA PABICHARA

Kamis, 23 Juli 2009

[SAJAK] menjadi Indonesia

menjadi indonesia
untuk para kepala negara


SOEKARNO. aku, kau tahu, tak pernah membunuh kebangkitan dan harapan. penjara dan pengasingan bukan terapi mematikan. bagiku, indonesia adalah negeri masa depan, tempat sejarah berbiak sebagai kemenangan. tak ada lagi penjajahan. tak ada lagi penindasan. indonesia bebas, indonesia merdeka. nusantara telah jaya seperti amanah sumpah palapa dan sumpah pemuda. tak ada lagi kemiskinan. tak ada lagi ketakberdayaan. telah sampai negeri ini ke gerbang kemerdekaan. kau tinggal masuk ke dalam, membangun dan membesarkannya sebagai kemakmuran. revolusi belum selesai. revolusi belum tunai. ayo, kuwariskan negeri ini sebagai sejarah: menjadi indonesia

SOEHARTO. aku, kau tahu, adalah buah dari karma peminggiran keluarga soekarno. prestasi dan kebanggaan telah menjadi catatan terlupakan. tak ada lagi kebodohan. tak ada lagi ketertinggalan. indonesia kuat, indonesia jaya. swasembada pangan tinggal kenangan. negeri ini telah menjadi negeri pendendam. negeri hamparan masjid, gereja, dan vihara: negeri religi. negeri yang dalam kamus bahasanya tak ditemukan kata maaf. boleh jadi aku memang banyak meninggalkan cela: haurkoneng, malari, penculikan aktivis, kekerasan di aceh dan timtim. tapi, dari sana kau bisa belajar mengeja bagaimana caranya jadi pemimpin: jangan sampai kau mengalami nasib naas sama seperti aku. giat berbakti, giat membangun: akhirnya disasar cerca. pembangunan belum selesai. pembangunan belum tunai. ayo, kutinggalkan negeri ini sebagai pelajaran: menjadi indonesia

HABIBIE. aku, kau tahu, hanyalah sebuah labuhan persinggahan. reformasi mengajarkan tatacara mewariskan tahta kenegaraan. perbedaan dan persaingan adalah jembatan demokrasi. tak ada lagi kekerasan. tak ada lagi pemaksaan. indonesia hebat, indonesia dahsyat. memilih adalah hak paling asasi. memilih adalah hak warga negara, hak warga timor leste, hak semuanya. kita tidak perlu memaksa xanana untuk bertahan di peluk pertiwi dengan senjata kekerasan, biar dia memilih sendiri. negeri kita negeri santun. negeri kita negeri cendekia. aku tahu belum sempat berbuat banyak untuk pertiwi, tak apalah. lupakan kekerasan dan kerusuhan. reformasi belum selesai. reformasi belum tunai. ayo, kusembahkan negeri ini sebagai warisan: menjadi indonesia

GUS DUR. aku, kau tahu, melangkah dan melompat terlampau jauh. demokrasi kita masih jalan di tempat. terawang dan perkiraan masa depan dianggap serupa kelakar: guyon segar yang bisa membuat perut melar. tak ada lagi keanehan. tak ada lagi kebingungan. indonesia cerah, indonesia gerah. anggota dewan bukan lagi pelajar yang gemar tawuran, melainkan serupa anak teka yang belum bisa tulis-baca, belum bisa mengeja mana debat mana fitnah, mana etika mana tontonan. tak perlu repot dandan hanya untuk masuk ke istana negara. bisa pakai sarung, boleh tanpa sepatu. istana negara istana rakyat: bukan hotel para pejabat. siapa saja boleh mengaso di istana: kyai, pendeta, priyayi, bahkan pedagang asongan. siapa saja boleh bercengkerama di istana: ngobrol ngalor-ngidul, ngerumpi tak karuan, atau berbincang apa saja. demokrasi belum selesai. demokrasi belum tunai. ayo, kutitipkan negeri ini sebagai kajian: menjadi indonesia

MEGAWATI. aku, kau tahu, pernah menjadi korban rekayasa politik. tak henti digoyang dari kursi ketua partai yang tidak basah. rasanya kemarin aku masih berkuasa: membela wong cilik dan orang-orang susah. sekarang, aku rajin berkelana. menjual program dan janji seratus hari. tak ada lagi sembako mahal. tak ada lagi harga melangit. indonesia makmur, indonesia sentosa. telah aku titahkan seluruh kmamasr banteng untuk berdiri paling depan: menjaga rakyat dari serudukan para spekulan. sungguh indah menjadi sebuah negara merdeka, menentukan nasibnya sendiri. tak ada lagi hutang. tak ada lagi pinjaman. meski beberapa aset negara harus dijajakan, itulah pengorbanan. perubahan belum selesai. perubahan belum tunai. ayo, kuberikan negeri ini sebagai amanah: menjadi indonesia

SBY. aku, kau tahu, lelaki tanpa basa-basi. rakyat bosan mendengar janji, rakyat butuh bukti. jangan heran jika aku marah ketika seorang bupati tertidur pulas di ruang pertemuan. negeri kita sedang melaju ke gerbang krisis. banyak masalah merajang dari segala arah. bencana alam, bencana buatan, serangan penyakit, dan kecelakaan transportasi: menyerang bertubi-tubi, bersilih-berganti. tak ada lagi gelinjang santai. tak ada lagi ongkang-ongkang kaki. indonesia sejahtera, indonesia bahagia. kita harus membangun harga diri bangsa. korupsi harus kita perangi, tanpa pandang bulu, tanpa tebang-pilih. jika kau punya data dugaan korupsi, segera sampaikan. bisa lewat unjuk rasa di depan istana, asal jangan pakai pengeras suara. katakan saja: jangan takut diciduk. cita-cita bangsa belum selesai. cita-cita bangsa belum tunai. ayo, kuserahkan negeri ini sebagai petuah: menjadi indonesia

2009. bukan hanya lanjutkan. tapi, buktikan!

bogor, oktober 2008

Sabtu, 18 Juli 2009

[ESAI] Kampung Sebagai Rumah Estetik

CATATAN: Esai ini dimuat di Jawa Pos (Minggu, 19/07/2009)


KAMPUNG SEBAGAI RUMAH ESTETIK
Oleh Khrisna Pabichara


KAMPUNG. Dari sanalah Juru Masak (2009) antologi cerpen karya Damhuri Muhammad berpangkal. Dari kampung, Damhuri, mulai merakit-merangkai sehimpun cerita yang dikemasnya dengan telaten. Kampung, realitas itu pula yang menyingkap gerbang ingatan masa kecil saya dan membuat saya bersinggah pada kisah demi kisah yang dikabarkan Damhuri dalam buku itu. Kenapa? Karena saya orang kampung, itu jelas. Namun, ada pernik lain yang menyeret segala ingatan saya pada “kampung”.

Ketika saya menelisik cerpen-cerpen Damhuri, saya tiba-tiba teringat sentilan cerpenis Raudal Tanjung Banua. Pengarang sebagai narator, dalam teropong Raudal, belakangan tampak begitu dominan dengan balutan bahasa yang rimbun dan miskin dialog.

Beruntunglah, ketika saya memasuki realitas kampung Damhuri yang dirancang lelaku tutur sederhana dan bersahaja, narasi dan dialog yang tertata begitu imbang. Boleh jadi, sebagaimana kata Damhuri, ia menulis cerpen layaknya meraut sepasang bilah layang-layang dengan tekun dan sabar, hingga permukaan kedua bilah itu benar-benar halus, imbang bila ditimbang. Perfeksionis, perlu pengendapan, tidak instan. Dibaca lagi, diraut lagi. Dibaca lagi, ditimbang lagi. Begitu selalu.

Lewat Juru Masak, Damhuri menampilkan suasana kampung dari segala sudut pandang. Pada cerpen Gasing Tengkorak, ia berkisah perihal kehebatan Dinir menaklukkan semua perempuan yang diinginkannya ─tak peduli gadis perawan, janda kembang, atau bini orang─ dengan jimat keramat warisan turun-temurun. Namun, ketika jimat itu digelandang ke kota sebagai aset untuk diniagakan, atas hasutan isteri-isterinya, ternyata tidak mempan lagi. Kampung di sini, terasa jauh lebih lapang, lebih menjanjikan ketimbang kota. Setidaknya, selama masih bisa bertahan di kampung, gasing tengkorak ─jimat keramat Dinar itu─ tiada bakal terkalahkan.

Sementara pada Ratap Gadis Suayan, pengarang menyeret saya ke masa lalu. Di pelosok Jeneponto, sekitar 80 kilometer dari Makassar ke arah selatan, memang ada tradisi appitoto, menangis-meratap-meraung setiap ada orang yang meninggal. Hanya saja, dalam cerpen ini, Damhuri meletakkannya dengan suguhan warna yang lain, meratap itu menjadi profesi yang dibenci, sekaligus dicari-cari. Dibenci karena mengais upah dari upacara kematian, dan dicari-cari karena upacara kematian dianggap kurang khidmat tanpa ritus ratapan. Ini mengingatkan saya pada rasya’ (ratapan), sebuah genre sajak yang khusus dibacakan guna meratapi tetua-tetua kabilah dalam tradisi kesusatraan Arab klasik. Barangkali itu sebabnya, Damhuri menamai tokoh utama cerpen ini dengan Raisya. Lalu, apa yang akan terjadi jika jenazah yang mesti diratapi Raisya adalah mayat mantan suaminya sendiri? Lelaki yang telah membuatnya meratap seumur-umur. Berbeda dengan realitas kampung pada Gasing Tengkorak, kampung dalam cerpen ini justru membuat tokoh cerita semakin terpuruk di kerak kemelaratan.

Suasana kampung juga sangat kental dalam Tikam Kuku. Di sejumlah daerah memang ada ritual “bekal khusus” bagi mereka yang hendak merantau. Sebelum meninggalkan kampung, calon perantau itu biasanya dibekali dulu dengan rupa-rupa jurus silat. Berkisah tentang kesaktian Harimau Campo dan kedigdayaan Dahlan Beruk. Tapi, bukan semata-mata dunia persilatan yang hendak digambarkan pengarang dengan narasi yang sedemikian heroik itu. Bila direntang lebih lapang, kisah ini menjadi semacam alegori bagi “tengkulak-tengkulak modern” yang menguasai negara, lebih dari kuasa “tengkulak tembakau” yang tak segan-segan menyingkirkan “patriot” seperti Dahlan Beruk. Inilah realitas kampung yang semakin modern, sebuah kurun di mana menjadi kaya jauh lebih bermartabat daripada menjadi jujur.

Sebagai cerita andalan, Juru Masak juga menawarkan aroma khas “kampung”. Kali ini, pengarang menyuguhkan realitas kampung dari hingar-bingar keriuhan sebuah kenduri pernikahan. Agaknya, di kampung manapun, pesta pernikahan menjadi semacam prestise yang menunjukkan kelas dan martabat sebuah keluarga.

Bukan sekadar bercerita tentang betapa “wah” sebuah helat pernikahan, Damhuri mengerucutkan kisahnya pada aneka “masakan” yang tersuguh dalam suasana pesta ala kampung itu. Alkisah, tidak lengkap sebuah kenduri, jika bukan Makaji yang menjadi Juru Masak-nya. Persoalan mencuat ketika “sohibul hajat” adalah Mangkudun, tuan tanah yang pernah menakar harga diri Makaji. Sementara, yang hendak bersanding di pelaminan adalah Renggogeni, perempuan yang sangat dicintai Azrizal, putra juru masak handal itu. Inilah kampung feodal, kampung anti-egalitarianisme, yang dalam istilah Minangkabau, masih membedakan antara orang asli (orang berpenghulu dan berninik-mamak) dan “orang di pinggang” (kaum pendatang). Cinta sejati, tidak akan berdaya di kampung Mangkudun dan Makaji ini.

Ibarat sebuah jamuan makan malam ala kampung, antologi Juru Masak khas racikan bumbu Makaji ini, menyuguhkan sebuah menu penutup, yang lagi-lagi perihal kampung. Ini kampung yang tak biasa. Bukan lagi kampung yang kasat-mata, melainkan kampung yang hilang, seperti tergambar secara tragedik pada Sumanda.

Begitulah, saya membaca Juru Masak seperti orang kampung membaca kitab di surau. Khidmat, dan nikmat. Dan, bagi saya, tidak ada kegirangan yang lebih hebat bagi seorang perantau selain kegirangan ketika pulang kampung, atau menemukan kembali “suasana kampung” yang lama hilang.

Kampung yang dibangun Damhuri, kampung Juru Masak. Kampung kita.

☼☼☼


Parung, 19 April 2009

Kamis, 16 Juli 2009

BUKU "Merambah Wilayah Seks, Pesantren, dan Islam"

Sumber: Padang Ekspres (Minggu, 19/07/2009)


MERAMBAH WILAYAH SEKS, PESANTREN, DAN ISLAM
Oleh Khrisna Pabichara


Judul : Qurratul ‘Uyun Kitab Seks Islam
Penulis : Syekh Imam Abu Muhammad
Penerbit : Bismika, Jakarta
Alihbahasa : Fuad Syaifudin Nur
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 192 halaman


BISAKAH seks, pesantren, dan Islam bersekutu? Bila pertanyaan ini diajukan pada kaum santri dan kyai, jawabannya pastilah mustahil. Bagi kaum “sarung-kopiah”, antara seks dengan pesantren dan Islam bagai dua sisi nilai yang bertolak belakang. Berat untuk ditaut-sambungkan. Persinggungan ketiganya—seks, pesantren, dan Islam—selalu menyulut permasalahan pelik. Ihwal seks adalah kebutuhan biologis setiap manusia, sementara pesantren dan Islam adalah sistem nilai. Menyoal seks berarti menempuh kembara yang dituntun oleh hajat-duniawi, sedangkan pesantren dan Islam adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, seks dan Islam bukan saja tak seiring sejalan, tapi juga sulit untuk ditemu-padukan. Islam bahkan memaklumatkan, seksualitas adalah jalan yang harus ditempuh secara hati-hati. Jika tidak, seks bisa menjerumuskan manusia pada lubang kesesatan.

Inilah muasal sehingga Michel Foucault (1926-1984) menempatkan perkara seks dalam wilayah sejarah kepurbaan manusia. “Seks,” kata Foucault, “sama berharganya dengan ajal”. Oleh karena itu pula, manusia selalu menempatkan perkara seks dan ajal sebagai sesuatu “barang mewah”, sesuatu yang hanya bisa disentuh dan dibicarakan oleh para tetua-agama, orang dewasa, atau kaum yang sudah beranak-pinak. Seks, seperti juga ajal, menjadi ritus mistis yang terkesan sakral, peristiwa yang dibiarkan tetap sebagai misteri dan hak prerogatif Tuhan. Sedang manusia, dilarang keras mengutak-atik, apalagi merambah, misteri itu. Seks menjadi topik menarik yang hanya bisa ditutur-sapakan secara sembunyi-sembunyi di sekat ruang sempit, seperti di kamar tidur, sembari bisik-bisik. Tidak untuk menjadi bahan obrol apalagi guyonan di kedai kopi atau tempat kerja.

Demikianlah, seks diperlakukan secara berlebihan dan tidak wajar. Seks diberi tindak protektif secara tidak proporsional. Anehnya, proses deprofanisasi ini tidak hanya terjadi di jaman primitif, tetapi juga di abad modern. Jika ajal masih diberi ruang bagi para pemuka agama untuk menanganinya, tidak bagi seks. Seks dibiarkan tetap menjadi lelaku tabu-menabu, mistis, dan misterius. Inilah pemicu Syekh Imam Abu Muhammad mensyarah Qurratul ‘Uyun, kitab yang ditulisnya sebagai bahan kaji-uji bagi kalangan Muslim sekaligus jawaban atas segala kegelisahan terhadap seks dan pernak-perniknya.

Tak ragu Abu Muhammad mengungkapkan faedah pernikahan sebagai perisai dari rupa-rupa godaan setan. Tidak berhenti di ranah itu saja, Abu Muhammad juga merambah wilayah yang selama ini dianggap tabu, semisal mengungkap adab bersetubuh, cara dan posisi bersetubuh yang paling nikmat, termasuk segala ihwal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan selama berlangsungnya ritus hajat-badani itu. Penulis mengajak kita mengusung topik seks ke ruang terbuka, bahkan ke wilayah pesantren, membuka lapang penutupnya, dan tidak semata dikaitkan sebagai urusan reproduksi, upacara penyelamatan trah keturunan. Ia bahkan menantang kita untuk mengungkap kegairahan seks sebagai “benda ajaib” yang menyenangkan dan menggairahkan. Setiap syahwat, menurut Abul Abbas Al-Wansyarini dalam Mukhtashar Nawazil Al-Barzali, akan membuat hati menjadi keras. “Kecuali syahwat berahi untuk bersanggama,” imbuh Abul Abbas, “karena syahwat yang dilakukan secara halal justru dapat membersihkan jiwa”.

Lantas, bilakah waktu terbaik untuk bersetubuh? Abu Muhammad menganggit ihwal waktu sanggama itu, sebaiknya, dilakukan pada malam hari (h. 55). Selain itu, melakukan hubungan badan di awal bulan lebih utama dibandingkan di akhir bulan (h. 62). Karena dengan melakukannya di awal bulan, diharapkan akan lahir anak yang cerdas disebabkan karena pertumbuhannya yang seiring bertambahnya bulan. Dikabarkan pula, upacara purba antara suami-istri juga dianjurkan pada hari Ahad. Konon, hari Ahad adalah waktu penciptaan alam semesta (h. 63). Meskipun, banyak pula ulama yang berpendapat bahwa hari penciptaan alam semesta adalah hari Sabtu. Selain hari Ahad, pasutri juga dianggap baik melakukan ritus reproduksi pada malam Jumat. Jika ada waktu dianjurkan, tentu ada pula waktu yang dipantangkan. Yakni pada setiap hari Rabu yang jatuh pada minggu terakhir, hari ketiga dalam setiap bulan, hari kelima dalam setiap bulan, dan beberapa waktu lainnya (h. 56). Berkenaan dengan buruknya hari Rabu, Rasulullah pernah ditanya tentang hari itu, dan beliau menjawab bahwa hari Rabu adalah hari sial, karena pada hari itu Fira’aun dan pengikutnya ditenggelamkan, serta hari dihancurkannya kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Nabi Shalih (h. 59).

Adapun cara bersetubuh yang nikmat, digambarkan oleh penulis, hindarilah bersetubuh sambil mengenakan pakaian, itu adalah kebodohan yang tak diragukan. Malah dianjurkan untuk melepaskan semua pakaian, lalu masuk ke dalam satu selimut (h. 89). Adab lain yang harus diperhatikan adalah memeluk, meraba, dan mengecup pada bagian selain mata. Hal ini dimaksudkan agar istri pun mengalami kepuasan seksual sama seperti yang dialami sang suami. Sedangkan posisi sanggama yang paling nikmat adalah suami naik ke atas istrinya dengan lembut (h. 112). Dan, tentu saja, tidak lalai berdoa agar selama berhubungan badan tidak terganggu oleh kejahilan setan (h. 113).

Persoalannya sekarang, apakah buku —terlaris dan paling terkenal di dunia pesantren— yang menjadi rujukan umat Islam saat menjalani pernikahan ini dapat dituding melanggar UU Anti Pornografi dan Pornoaksi? Tentu saja, tidak. Buku ini semata panduan yang berhulu pada khazanah kitab kuning termasyhur di pesantren tradisional untuk menakhodai bahtera rumah tangga, menelusuri kelok-lekuk seksual, adab bercinta, posisi sanggama, dan bagaimana semestinya “upacara purba” itu dilakukan secara Islami. Hal ini merupakan wujud dari hasrat untuk meletakkan tubuh dan seks, yang nisbi dan terbatas, tidak dipandang secara artifisial semata. Tidak pula menjadi sesuatu yang tabu hingga banyak suami-istri yang memilih tontonan vulgar sebagai bahan-ajar.

Selain itu, kitab ini disebut-sebut sebagai karya paling masyhur —yang kerap disebut karya fenomenal khas Timur, seperti Kamasutra atau Serat Centhini. Abu Muhammad telah meniupkan ruh kebebasan membincangkan seks, memperlihatkan upaya pencerahan “yang baharu” tentang seks, dengan mengacu pada sumber hadits yang kuat. Sampai di sini, Qurratul ‘Uyun bukan lagi hadiah tabu di lingkungan pesantren. Di tangan Abu Muhammad, ia menjadi gairah ritmis yang tiada bersudah dalam meraih “kenyamanan persekutuan” antara suami dan istri. Maka tidak berlebihan jika buku ini dianjurkan untuk menjadi rujukan bagi setiap pasutri.

KHRISNA PABICHARA
Motivator, Penulis,
Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta dan Komunitas Planet Senen, Jakarta

Selasa, 14 Juli 2009

[ARTIKEL]: Mendongkrak Kinerja Otak Bag. 2

MENAKAR VISI BELAJAR
Oleh: Khrisna Pabichara


BELAJAR itu berpikir. Mengapa? Karena setiap orang yang belajar pasti berpikir. Padahal, menyitir pendapat Henry Ford, berpikir itu pekerjaan yang paling berat, mungkin itulah sebabnya hanya sedikit orang yang menyenanginya. Akan tetapi, tidak mengapa, selama di antara orang yang sedikit itu terdapat kita: Anda dan Saya. Artinya, kita termasuk yang senang berpikir. Dan, senang belajar.

Ada dua kekayaan besar dalam diri Anda. Apabila keduanya digunakan dengan tepat secara maksimal, akan “mengejutkan” Anda. Bahkan, boleh jadi, Anda tidak menduga bisa melakukannya. Kedua kekayaan itu adalah otak dan hati. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan: Bagaimana mendayagunakan (empowerment) kedua kekayaan kita itu? Jawabannya sederhana, paksa dan cinta. Paksa otak Anda untuk terus berpikir dengan cara yang menyenangkan. Dan, tanamkan cinta pengetahuan di hati Anda. Itulah rahasianya: paksa dan cinta.

Jangan harap Anda bisa disiplin tanpa keberanian memaksa diri Anda untuk mematuhi jadwal atau rencana belajar yang sudah Anda tetapkan. Jangan bermimpi Anda dapat menguasai pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran, jika Anda tidak mencintai pelajaran itu.


Tanamkan Rasa Percaya Diri

APAKAH Anda pernah membayangkan diri Anda berdiri di atas panggung, mengikuti acara pengalungan medali, karena Anda saat itu menjadi salah satu pemenang Olimpiade Matematika? Pernahkah Anda berharap nilai-nilai Ujian Nasional Anda sangat baik dan “mencengangkan”, sehingga Anda diterima di Perguruan Tinggi idaman? Apakah Anda berharap mendapat “kejutan” berupa hadiah dambaan dari orangtua Anda, karena prestasi Anda yang “luar biasa” di sekolah?

Dengan dua rahasia besar di atas, paksa dan cinta, Anda bisa menggali potensi kekayaan Anda —otak dan hati— untuk mewujudkan impian-impian di atas. Jangan mengerdilkan “diri” Anda dengan kalimat-kalimat negatif, seperti “Ah, saya ini anak petani, tidak mungkin jago biologi.” Itu salah besar. Justru karena Anda anak petani, yang setiap hari bergelut di dunia hayati, Anda memiliki peluang lebih besar menjadi ahli biologi. Mengapa? Anda bisa melakukan banyak hal, seperti praktek pencangkokan tanaman, pembuatan kompos, uji-coba pakan ternak, dan praktek-praktek lain yang dapat melapangkan jalan Anda.

Ingat, selalu terbuka beragam peluang yang dapat memudahkan Anda meraih apapun yang Anda inginkan.

Mulai sekarang, singkirkan semua pikiran-pikiran negatif yang menghambat laju prestasi Anda. Jangan terpengaruh pada cibiran atau cemoohan orang-orang di sekitar Anda. Thomas Alva Edison dicap “idiot” oleh teman-teman sekolah dan guru-gurunya, bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Apakah Edison putus asa? Tidak! Ia tetap percaya diri. Lalu, ia giat belajar dan melakukan banyak percobaan. Berat memang, tapi akibat yang diterimanya pun “luar biasa”. Edison berhasil memegang 1.093 hak paten sebagai “buah” dari keyakinan hatinya itu.

Anda memiliki “segala syarat” yang dibutuhkan untuk menjadi pembelajar cemerlang. Anda memiliki “semua kapasitas” untuk menjadi Sang Juara. Sekarang, semuanya bergantung pada “bagaimana” Anda melihat diri sendiri, “bagaimana” Anda memperlakukan diri sendiri, dan “bagaimana” memanfatkan talenta “bawaan lahir” yang Anda miliki. Inti dari semuanya adalah “percaya diri”. Ya. Anda harus percaya pada diri dan kemampuan Anda. Jika Anda sendiri tidak percaya, bagaimana orang lain mau memercayai kemampuan Anda?

Jadi, setelah paksa dan cinta, Anda harus percaya diri.


Tentukan Visi Belajar


SETIAP nakhoda pasti punya pelabuhan sebagai tujuan singgahnya. Setiap pilot pasti memiliki bandar udara sebagai target yang ditujunya. Anda pun sama. Jika ingin sukses Anda harus punya rencana, target, dan tujuan belajar. Itulah yang dinamakan “visi belajar”. Tanpa visi, Anda akan kehilangan motivasi. Bahkan, gairah.

Untuk apa Anda harus memiliki visi belajar? Ketika Anda berniat membangun rumah, Anda tentu harus lebih dahulu merencanakan “bagaimana” rancangan rumah itu, “apa saja” dan “berapa jumlah” bahan bangunan yang dibutuhkan, “siapa tukang” yang akan mengerjakannya, serta “berapa” dan “dari mana” biaya pengerjaannya. Itu baru rencana. Anda tidak mungkin tiba-tiba (ujug-ujug) punya rumah, laksana dalam dongeng Sangkuriang atau Hikayat Nabi Sulaiman. Anda harus punya rencana. Anda harus melakukan perencanaan.

Begitu pula halnya dalam proses belajar. Anda harus menyusun rencana tentang (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) strategi belajar yang akan Anda gunakan untuk mencapai tujuan itu, dan (3) sarana apa yang Anda butuhkan untuk mewujudkan rencana dan mencapai tujuan itu.

Baiklah. Mari kita lakukan dengan lebih mudah, lebih sederhana. Sebut saja, tujuan yang hendak kita capai satu tahun ke depan adalah “naik kelas dengan angka tinggi dan meraih rangking kelas tertinggi”. Rencana itu akan jadi “tantangan” bagi Anda. Lalu, tanya diri Anda dengan kata, “Mengapa saya mau naik kelas dengan angka tinggi dan meraih rangking kelas tertinggi?”

Langkah Pertama: Mengapa saya mau naik kelas dengan angka tinggi dan meraih rangking kelas tertinggi? “Karena saya tidak mau prestasi belajar saja saya sama seperti tahun-tahun sebelumnya.”

Langkah Kedua
: Mengapa saya tidak mau prestasi belajar saya sama seperti tahun-tahun sebelumnya? “Karena prestasi belajar saya tidak maksimal, biasa-biasa saja, bahkan sering mengecewakan, baik bagi saya maupun orangtua saya.”

Langkah Ketiga
: Mengapa saya ingin meraih prestasi belajar yang maksimal? “Karena prestasi belajar maksimal dapat membuka peluang bagi saya untuk meraih kebanggaan diri, bahkan beasiswa.”
Sekarang kita ganti kata “mengapa” menjadi seperti di bawah ini:

“Dengan cara apa saya bisa naik kelas dengan angka tertinggi?”
“Dengan cara apa saya bisa meningkatkan prestasi belajar saya?”
“Dengan cara apa saya bisa meraih prestasi belajar maksimal?”

Untuk menciutkan tantangan dan memastikan kekuatan, tanyakan juga “siapa”, “apa”, “di mana”, “kapan”, “mengapa”, dan “bagaimana”.

Siapa yang dapat membantu Anda agar bisa belajar lebih maksimal? Dengan kata siapa, Anda bisa mencari teman belajar yang potensial, menemukan hal asyik dan menyenangkan dari semua mata pelajaran karena tahu karakter guru, dan tentu saja meyakinkan orangtua bahwa Anda adalah seorang anak yang “layak” dibanggakan.

Apa yang dapat menghambat Anda dalam proses belajar? Melalui pertanyaan apa, Anda dapat mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang akan atau bisa menghadang Anda.

Di mana Anda bisa belajar dengan tenang, penuh konsentrasi, dan fokus? Lewat kata di mana, Anda bisa menentukan tempat belajar, suasana belajar, bahkan cara belajar yang cocok dengan karakter dan kepribadian Anda.

Kapan prestasi itu bisa terwujud? Melalui pertanyaan kapan, Anda menentukan jadwal, tanggal, bahkan kronologis masalah.

Bagaimana saya melakukannya? Dengan kata bagaimana, Anda bisa mengamati perkembangan yang dialami, memetakan masalah dan menentukan langkah atau solusi yang akan dilakukan.

Begitulah. Jika Anda melakukan hal di atas dengan tepat, Anda sudah memulai sebuah langkah besar, menjadi “Sang Juara”. Memang, tidak semua pelajar, pada akhirnya, bisa menjadi juara. Namun, Anda bisa bersaing untuk menuju singgasana itu. Yakinlah.

Dengan demikian, sudah tiga rahasia yang Anda dapatkan, (1) paksa dan cinta, (2) percaya diri, dan (3) visi belajar.

Semoga ketiga rahasia ini, dapat memicu adrenalin dan gairah Anda untuk berbuat yang “lebih” dari yang Anda “duga”.

Parung, Juli 2009

Catatan: Tulisan ini disampaikan pada pelatihan “Learning Revolution” di SMA Negeri 1 Rumpin Kabupaten Bogor, dalam rangka “Masa Orientasi Siswa”, Selasa, 14 Juli 2009.

Sabtu, 04 Juli 2009

[ESAI] Membaca Logika, Membangun Alusi

MEMBACA LOGIKA, MEMBANGUN “ALUSI”
Kata Penutup Kumpulan Puisi "ALUSI"
Karya Pringadi AS



I

“TIDAK mudah menjadi penyair!” Demikian, suatu ketika, tutur seorang penyuka sajak, Damhuri Muhammad, pada sebuah diskusi ringan seputar fenomena bermunculannya “penyair-penyair” di dunia maya. Bagi Damhuri, jika untuk mendapatkan lisensi “penasehat hukum” seorang lawyer harus menguasai banyak hal perihal dakwa-mendakwa atau tuntut-menuntut, seorang penyair pun wajib menapak jalan atau tangga kepenyairan. Setiap penyair dituntut menguasai, setidaknya mengetahui, langgam kepenyairan. Baginya, tidak semata karena piawai memainkan rima, mendedahkan metafora, atau memainkan alegori, lantas seseorang berhak menyandang gelar “penyair”. Tidak semudah itu.

“Pada batas tertentu, jalan kepenyairan sejajar dengan jalan kenabian!” Boleh percaya boleh juga tidak. Meskipun agak sulit kita mengamini pendapat Damhuri, tidak serta-merta kita bisa menampik kebenarannya. Untuk menjadi penyair handal, kita harus bisa menapak anak-tangga paling puncak guna menangkap pesan-pesan profetik, sebagaimana kemampuan para Nabi menyambut risalah kenabian (Damhuri Muhammad, 2009).
Dengan demikian, betapa berat seorang penyair memikul beban kepenyairannya, seperti juga Nabi menanggung amanat kenabiannya. Tidaklah mudah. Tidaklah bisa semaunya.

Lantas, adakah jalan pintas menjadi penyair? Ini memang pertanyaan klasik. Namun, jawaban yang bakal ditemukan tetap sama: tidak ada. Ya, tidak ada. Untuk menjadi penyair, kita harus belajar keras dan belajar cerdas, setidaknya, untuk memiliki kecerdasan estetik. Dan, guna mendapatkannya, kita harus banyak melakukan penggalian, pencarian, bahkan pemberontakan terhadap tradisi estetik yang sudah ada. Artinya, penyair ─sama halnya profesi lain─ butuh keseriusan, ketekunan, dan kesungguhan.

II

MENELISIK, atau menelaah, lebih dari sekadar membaca karya sastra. Sebagai sebuah hasil rekaan yang bersifat imajinatif, kita harus piawai mengembalikan karya sastra dari dunia alegori ke dunia kenyataan. Hal-hal yang aneh, unik, dan berbeda, kita sambung-hubungkan dengan dunia keseharian. Dengan kata lain, membaca dan memahami karya sastra membutuhkan proses, “lelaku kepengamatan”. Mengapa? Karena karya sastra adalah buah dari pohon imajinasi. Maka, untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang sistem kode, seperti kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra (A. Teeuw, 1991: 12-14).

Demikianlah, ketika saya diminta menulis “kata penutup” oleh Pringadi, saya terhenyak. Jika mengiya, otomatis saya harus memiliki bahasa sama dengan yang digunakan penyair. Saya pun harus paham latar “lelaku kepenyairan” dan “jalan kepenyairan” yang telah ditempuh Pringadi, sehingga memudahkan saya dalam mendedahkan “hasil-baca”. Tentu saja, tafsir yang saya miliki bisa saja menyempitkan penafsiran pembaca lainnya, yang sudah terbangun setelah mengeja sajak demi sajak.

Bukankah Sutardji sudah pernah mengajak kita untuk memerdekakan kata dari beban makna, gagasan, juga pesan? Maka, biarlah kata berdiri sendiri.

III

ADALAH lumrah bila akuntan bicara tentang angka-angka, karena memang di sanalah “maqam”-nya. Tapi, akan berbeda “rasanya” jika seorang akuntan memilih “jalan kepenyairan” dengan lelaku eksperimen “meniupkan ruh” kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian “yang baharu” dalam ungkapan, sususan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Hanya saja, jika kita sempatkan diri berlama-lama menyelami kedalaman setiap demi setiap sajak Pringadi, tampak beberapa puisi yang terkesan lekas-lekas diselesaikan. Akibatnya, kedalaman yang dijanjikan ─sebagaimana terbaca dari judul antologinya─ sukar untuk diselami.

Penyair, yang sehari-hari dibelit tetek-bengek akuntansi, memperlihatkan gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila ditakar dengan langgam estetika puisi “liris” yang sedang marak dan dan digandrungi banyak penyair mutakhir. Pringadi berusaha melebur kejanggalan “rasa-baca” melalui perkawinan-silang antara angka dan kata. Angka dan kata disambung-tautkan menjadi kombinasi ajaib. Simak sajak berikut:


dari eSDe, hingga eSeMA, dia selalu
menjadi yang tercepat, pernah sampai
empat koma dua dalam empatpuluh yard
(dunia kecepatan cahaya yang sulit
dan langka ditempuh manusia


(Sprinter)

Anehnya, pada eksperimen lain, Pringadi meneropong kondisi bangsa dengan menawarkan protes sosial, sebagai penafsiran rasional, terhadap monopoli “segelintir” komponen bangsa terhadap kekayaan alam. Ia berkeras merambah sebuah medan, yang lagi-lagi berhubungan dengan (kekayaan) angka, kesenjangan antara keberkuasaan kaum minoritas terhadap kaum mayoritas. Ia memotret, terlalu banyak kejanggalan dan keanehan tumbuh-subur di negeri gemah ripah loh jinawi ini, namun sedikit sekali perhatian dan perlakuan serius pengelola negara untuk menyelesaikan kejanggalan dan keanehan itu. Kemiskinan dan kemelaratan, komoditas yang sering jadi bahan baku ide, tumbuh bagai tunas-tunas muda yang kemudian bermekaran di seantero nusantara. Dengan lugas, penyair mengumandangkan protesnya:


ayat keempat:
tak berlaku ketiga ayat
sebelumnya; bumi, air, dan
kekayaan alam lainnya bebas kita
eksploitasi, bebas kita kuasai dan
kita jual ke luar negeri

biar tak sibuk kita nanti
(Menyoal Ayu)


Fanatisme membela “wong cilik” kerap kita jumpai pada diri anak-anak muda, termasuk Pringadi. Namun, bagi saya, ketertarikan Pringadi terhadap tema kemiskinan dan kerakyatan, bukanlah hal baru. Bukan pula kecenderungan baru. Rendra, Wiji Thukul, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, telah lebih dahulu melakoninya. Sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan pihak penguasa ─sebagai pelayan pilihan rakyat─, tidak menyejahterakan rakyat. Kekayaan alam yang sejatinya diperuntukkan guna memenuhi hajat hidup orang banyak, digelincirkan lalu dinikmati segelintir orang di sekitar penguasa. Tapi, Pringadi berusaha pula merambah ranah lain. Ia tidak semata “menyentil” penguasa, ia pun menyindir orang-orang sekitarnya, termasuk kalangan tokoh, bahkan “menertawakan” dirinya sendiri.

Anehnya, kekuatan Pringadi justru lebih nampak pada sajak-sajak pendeknya. Misalnya:

Pada secangkir kopi
Teringgal jejak

Bulan malam tadi

(Sajak Le Mois)

Apa yang salah dari
Dua bola mata yang
Tak bisa saling
Membaca?

(Sajak Bola Mata)

Di bibir bulan kutemukan
Sepotong wajahmu yang sempat

Kaulupakan

(Sajak Potongan Wajah)

Secara hermeneutik, bulan pada Le Mois adalah tanda yang khusus, tanda yang tidak biasa. Artinya, bukan sekadar bulan seperti yang nampak secara lahiriah, melainkan simbol yang menerangkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa tercerap secara inderawi. Demikian pula dua bola mata yang tak bisa saling membaca (dengan penulisan yang bersambung) pada sajak Bola Mata, yang bisa dimaknai sebagai mulai usangnya dua orang yang pernah intim, lalu tiba-tiba merasa saling-asing, semisal dua bola mata yang berderet-berjajar tapi tak saling bisa memahami. Perhatikan pula pola penggalan suku kata (enjambemen) pada sajak Potongan Wajah. Pringadi berusaha membangun efek bunyi dari pilihan tipografinya.

Membaca sajak-sajak Pringadi yang dipenuh-sesaki oleh gairah menyala-nyala, kita seperti terhisap gairah kanak, diasak rasa ingin tahu, lalu berlekas menyasar pola-lariknya sampai akhirnya menemukan makna yang “meringkuk” dan bersembunyi dalam kerimbunan pilihan temanya. Demikianlah, betapapun rumit takwil yang didedahkan Pringadi ke dalam sajaknya, kita masih bisa menemukan keindahan makna sebagaimana kita menikmati sajak penyair-penyair lainnya. Dan, antologi ini adalah pernyataan kegundahan penyair dalam “membaca” kenyataan di sekitarnya.

Sekaligus mewartakan kepada pembaca tentang hakikat puisi yang multi-tafsir.

IV

BEGITULAH Pringadi. Ia berusaha mengajak kita menari bersama kata. Kadang lewat tarian yang terasa asing, terasa aneh. Dan, janggal. Kadang dengan tarian yang biasa saja. Yang sahaja, yang sederhana. Namun menawarkan keindahan yang “tidak biasa”. Tentu saja, Pringadi akan terus berproses, terus bertumbuh. Dan, kita berharap, kelak Pringadi menyajikan tarian yang lebih “menghibur”, lebih “mencerahkan”. Bahkan, lebih dari menghibur atau mencerahkan.

Betapapun, memang, tidak mudah menjadi penyair.

KHRISNA PABICHARA
Penyuka sastra, Bogor

[ESAI]: Keindahan Cinta

AWAL JUNI 2008, ayah mendapat kiriman e-mail dari beberapa sahabat. Bukan kiriman e-mail-nya yang luar biasa, karena ayah setiap hari akrab dengan beragam e-mail dari berbagai mailing-list yang ayah ikuti. Yang luar biasa sekaligus biasa-biasa saja adalah isi e-mail itu. Barangkali kelak jika engkau beranjak dewasa, cahaya mataku, e-mail sejenis tidak bisa kamu temukan lagi.

Itulah mengapa sehingga ayah mencoba mengabadikan e-mail itu lewat catatan cinta ayah ini.

☼☼☼

KABARNYA, suatu hari seorang Ibu meminta tolong kepada anaknya untuk membantu merapikan kamar tidurnya sendiri, karena sang Ibu, saat itu, sedang sibuk menyiapkan lauk di dapur. Tanpa mengucapkan sepatah kata, sang anak pergi meninggalkan Ibunya. Beberapa saat kemudian, anak itu kembali dan mendapati Ibunya masih sibuk menyediakan makan malam di dapur.

Kemudian dia mengulurkan selembar kertas bertuliskan sesuatu. Sang Ibu segera membersihkan tangan lalu menerima kertas yang diberikan oleh sang anak dan membacanya.

Ongkos membantu Ibu:
1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp 20.000
2) Menjaga adik: Rp 20.000
3) Membuang sampah: Rp 5.000
4) Membereskan Tempat Tidur: Rp 10.000
5) Menyiram bunga: Rp 15.000
6) Menyapu Halaman: Rp 15.000
Jumlah Hutang Ibu: Rp 85.000



Selesai membaca, sang Ibu tersenyum memandang anaknya yang raut mukanya berbinar-binar. Sang Ibu mengambil pena dan menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.

1) Ongkos mengandung dirimu selama 9 bulan: GRATIS.
2) Ongkos berjaga sepanjang malam ketika kamu sakit: GRATIS.
3) Ongkos mengasuh dan merawatmu selamanya: GRATIS.
4) Ongkos mendidikmu: GRATIS.
5) Ongkos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu: GRATIS.
Jumlah Keseluruhan Cinta Kasih Ibu padamu: GRATIS.



Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah Ibu, memeluknya dan berkata, "Saya mencintai Ibu". Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya, "LUNAS, telah dibayar". Lantas menyerahkan pada Ibunya.

Demikianlah cahaya mataku, kasih ibu selalu sepanjang jalan. Sementara, kasih sayang seorang anak boleh jadi hanya semata sepanjang galah. Meski, tentu saja, kasih sayang sang anak yang hanya sepanjang galah itu pasti bisa dijadikan sepanjang jalan. Selamanya. Abadi. Kasih hakiki. Kasih tanpa awal tanpa akhir.

☼☼☼

MATAHARI mulai berdandan, merias senja dengan rona memerah. Cahaya mataku, gerimis baru saja pergi membawa cemas. Anak-anak di jalanan bermain air genangan, pada seorang perempuan aku dikepung kenangan. Bundamu, cahaya mataku, yang tiga tahun kemarin meregang nyawa berjuang melahirkan kamu ke muka bumi, hari ini menjadi layaknya Ibu Kartini, mencecar benak Ayah dengan rerupa kampanye emansipasi. Bundamu, cahaya mataku, yang pernah menawarkan diri menjadi kuli tukang nyuci pakaian tetangga manakala dapur kita terancam kelangsungannya, menjadi geram melihat rerupa perilaku lelaki yang menjadikan perempuan semata subyek kehidupan, bahkan pelengkap penderita.

“Perempuan itu empunya cinta,” kata Bundamu. “Tidak semestinya perempuan diletakkan semata sebagai pendukung cerita, pemeran figuran yang kehadirannya hanya memberi secuil makna.“

Ayah berusaha bijak, mengirim senyum lewat angin yang berembus begitu semilir. Aku mengenal Bundamu sebaik seperti ayah mengenal diri sendiri.

“Bukan jamannya lagi perempuan dilecehkan!” tegas Bundamu.

Ya, ayah setuju. Oleh karena perempuan dicipta dari tulang iga, maka selayaknya perempuan berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan lelaki. Perempuan tidak boleh merasa lebih tinggi, apalagi merasa lebih berkuasa, karena bukan dicipta dari tulang kepala. Tak semestinya pula lelaki menginjak-nginjak keturunan Hawa, apalagi sampai berlaku semena-mena, karena dulu Hawa dicipta bukan dari tulang kaki.

Sekali lagi, perempuan itu sejajar dengan lelaki. Artinya, jika lelaki bisa jadi gubernur, menteri, atau presiden, kenapa perempuan tidak? Namun, kita tidaklah patut menjadi salah kaprah dengan begitu saja bersetuju ketika perempuan berkeras ingin menjadi petinju, pegulat, atau apa pun yang mengutamakan kekuataan otot. Bukan karena anti emansipasi, melainkan karena menyadari betapa perempuan dicipta dari tulang iga yang lemah dan rapuh, bukan dari tulang kering kaki ramping dan kokoh.

“Sejatinya, perempuan tidak semata untuk dinikahi, lantas dikawini dan dibuahi,” lanjut Bundamu.

“Perempuan itu rumah yang ramah, tempat semua bisa istirah meredam amarah dan gelisah. Perempuan itu benteng yang mentereng, tempat lelaki bisa bertahan dan menyusun strategi baru, guna melawan tekanan hidup yang tak terperi. Perempuan adalah istana tercinta, tempat kita semua bisa petantang-petenteng ke sana-ke mari menenteng bahagia.”

Ya, begitulah Bundamu memahami makna eksistensi gender: perempuan dan keperempuanan. Jadi, jangan pernah menyesali diri karena dilahirkan sebagai perempuan. Apalagi sampai memaksa diri berubah menjadi lelaki. Begitu sebaliknya, adalah naïf jika seorang lelaki mengingkari diri dengan melebur karakter menjadi perempuan.

Marilah menelisik kanan-kiri.

Bagaimana caranya orang-orang sekitar kita memandang dan menghargai perempuan? Benarkah mereka telah memperlakukan perempuan dengan cara yang semestinya? Apakah mereka masih mengikat diri bahwa perempuan hanya semata pemuas syahwat? Apakah mereka meletak makna betapa perempuan dicetak hanya semata untuk menjadi budak?

Perempuan itu surga.

Di dunia menjadi sandaran tempat kita bisa rehat melepas penat. Di akhirat menjadi bidadari dengan kecantikan dan kelimpahan cinta yang teramat memikat. Akan tetapi, tidak semua manusia sama. Manusia dicipta dalam kondisi berbeda. Baik secara fisik, maupun secara kejiwaan. Bahkan, kembar siam saja tidak akan pernah persis sama. Itu adalah kuasa Ilahi. Sunnatullah.

Bagaimana sikap kita menikmati perbedaan, itulah seni pilihan dalam hidup ini. Pilihan kita: dari mana kita menilai sikap kritis ini. Dari kecurigaan, ketersinggungan, kemarahan, atau dari kasih sayang, mahabah, dan kepedulian? Memulai sikap kritis dari kemarahan, kecurigaan, atau ketersinggungan akan berbeda sama sekali dengan memberangkatkan sikap kritis dari kasih sayang, mahabah, dan kepedulian.

“Kita bisa berbeda, Bunda, tanpa harus saling memaki,” kata Ayah, sembari menutup percakapan dengan selembar senyum, yang kabarnya senyum terindah bagi Bundamu.

☼☼☼

SUATU KETIKA, seorang sahabat bernama Jahimah pernah menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku berniat pergi berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihat.”

Ketika itu Rasulullah tidak langsung menjawab, malah balik bertanya. “Apakah ibumu masih hidup?”

“Ya,” jawab Jahimah.

Rasulullah berkata, “Teguhlah berbakti kepada-nya, karena surga berada di telapak kakinya!”

Cahaya mataku, apakah yang bisa kita simak dari pengalaman Jahimah? Banyak. Intinya, keutamaan berbakti kepada ibunda. Jika jihad kita utamakan karena buahnya adalah surga, maka surga itu ada di dekat kita, di telapak kaki ibu. Berarti, jika ingin menjadi penikmat surga, syaratnya ringan dan mudah: hanya berbakti.

Tidak perlu garansi sertifikat tanah atau BPKB kendaraan bermotor. Juga tidak harus dengan menjaminkan SK Pegawai atau mengajukan slip gaji. Surga itu, masya Allah, sangat dekat dengan kita. Sangat dekat. Begitu dekatnya, sehingga kita kerapkali melalaikannya.

Cahaya mataku, dari sejarah yang jejaknya direkam oleh An-Nasa’i berdasarkan rekomendasi rawi Mu’wiyah Ibn Jahimah itu, kita bisa bercermin diri. Sejauh mana kita memahami pentingnya bakti itu? Apakah kita calon penghuni surga karena sukses membuat ibunda tersenyum dan bahagia? Sebaliknya, jangan-jangan kita malah telah mengisi formulir menuju neraka, karena seringnya kita membantah dan bersuara keras kepada ibunda. Na’udzubillah.

Akan tetapi, cahaya mataku, janganlah picik menilai makna petuah Rasulullah itu. Sungguh, Maha Suci Allah. Rasulullah tidak sekadar bertitah tentang surga dan cara memasukinya. Apalagi jika kita menganggap penting kehadiran seorang ibu hanya karena kita ingin masuk surga. Sejatinya, kita memaknai pe-tuah itu dengan menempatkan sosok ibunda sebagai pribadi yang selalu menjadi anutan di tengah ingar-bingar modernisasi.

Sosok ibunda harus menjelma sebagai fokus utama cinta kita, dibanding kemaruk pada “rindu” berlebihan kepada “kekasih lawan jenis kita”. Sehingga, tidaklah layak kita berteriak “sebentar” jika ibunda meminta kita melakukan sesuatu, sementara dengan ringan kita menawarkan jasa “apa yang bisa aku bantu” kepada sang kekasih hati.

Dan, sangatlah mengenaskan jika kita sampai berkata, “Ibu di dalam saja, jangan keluar. Aku malu jika teman-temanku melihat ibu.” Masya Allah.

Dari segala penjuru kita sering diingatkan betapa pentingnya menghormati dan berbakti kepada ibunda. Hanya saja, seberapa jauh segala rerupa saran itu kita lakukan secara nyata? Bahkan, banyak remaja begitu piawai memilih alasan setiap kali mendapat “tugas” dari ibundanya.

Sebut saja F, tetangga sebelah rumah. Setiap kali disuruh ikut antri minyak tanah, jawabannya hanya dua. Pertama: “Sebentar Bu, lagi tanggung nih.” Kedua: “Nanti saja, Bu.” Lain lagi dengan R, teman sekelas bibimu di SD Negeri favorit di kecamatan kita. Setiap kali ibundanya minta tolong, jawaban yang dilontarkannya pastilah: “Aku melulu sih disuruh-suruh, yang lain dong bro.” Astaghfirullah.

Sekali lagi, hidup ini pilihan. Engkau, cahaya mataku, bisa memilih dengan leluasa: menjadi anak penuh bakti atau berlumur dosa.

Setiap manusia leluasa memilih antara pahala atau pun dosa. Hanya saja, alangkah ruginya kita, jika menjatuhkan pilihan pada rerupa dosa. Konon, sepotong dosa dan kesalahan adalah penjajah. Sebab sebuah dosa adalah segel di atas catatan malaikat. Mengikat abadi. Membuat kita tidak leluasa. Dosa demi dosa adalah deposito yang kita simpan di Bank Perbuatan. Kelak, deposito itu akan menentukan keputusan Pengadilan TUHAN.

Selain itu, orang yang bersalah tidak akan pernah tenang hidupnya. Hatinya serasa terus-terusan dikejar-kejar dosa. Hidupnya senantiasa merasa diburu-buru kesalahan. Yang ada dalam pikirannya adalah rasa bersalah. Ke kamar mandi, bebayang dosa menunggu di sana. Ke kamar tidur, bebayang dosa menunggu di sana. Ke mana saja, bebayang dosa menunggu di sana.

Itulah mengapa sehingga Rasulullah mengingatkan kepada kita,

Barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya senang dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah Muslim.

☼☼☼

MATAHARI masih juga mematut-matut diri. Senja semakin membayang di sebelah barat Parung. Para buruh pabrik garmen mulai berlomba meninggalkan gapura tempat mereka bekerja. Mari, cahaya mataku, mari kita mengurangi peluang dosa dengan lebih banyak berbakti. Tentu saja, terutama kepada ibunda.

Rasanya, baru kemarin ayah menikahi Bundamu.

☼☼☼