Rabu, 01 Desember 2010

Membaca Karya Khrisna Pabichara

Catatan: Tulisan ini bersumber dari ruang foto Mas Dwi Klik Santosa. Terima kasih dan takzim selalu kepada Mas Dwi atas perhatian dan perkenannya membaca "Mengawini Ibu". Semoga sahabat yang lain pun berkenan membaca tulisan ini. Salam takzim.


MEMBACA KARYA KHRISNA PABICHARA
Dwi Klik Santosa

Dua belas cerita dalam senarai Mengawini Ibu saya baca dalam jeda-jeda waktu saya: sehabis bangun tidur, sehabis mencuci pakaian, sehabis nyapu dan ngepel lantai. Maklum, adik saya perempuan sedang pulang kampung untuk menjenguk dan merawat Bapak saya yang sedang sakit. Jadi dalam tiga hari ini, yang semestinya pekerjaan ini tidak harus saya lakukan sendiri, terpaksa harus jalani. Sedangkan ipar saya, yaitu suami dari adik saya, sibuk luar biasa dengan kegiatannya.

Bagian per bagian. Lembar per lembar. Nuansa tragedi saya rasakan seperti membaca lakon-lakon Yunani. Pada bagian pertama, Gadis Pakarena, yang berdialog tentang perasaan dua manusia, berakhir tragis. “Kamu telah menempuh jalan Juliet. Akankah juga kutempuh jalan Romeo?” Begitupun Silariang yang ditempatkan di tengah, malah diawali dengan pertanyaan yang rumit dibayangkan jawabannya, “Pernahkah kamu berhasrat melakukan sesuatu tetapi kamu merasa tak berdaya sama sekali?”

Dan pamungkasnya, di bagian akhir Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu, saya mendapati kalimat yang satire sekali, “Sunyi adalah sahabat paling asing untuk diintimi.”

Ya, Tuhan. Saya merinding membaca tema per tema dari apa yang diceritakan Khrisna Pabichara. Saya tidak hendak mencoba mengaitkan tema-tema itu dengan nasib atau liku-liku hidup saya pribadi dengan apa yang dituliskan Mas Khrisna dalam cerita-ceritanya ini. Tapi, sejujurnya, banyak yang dituliskan dalam kumpulan cerita ini sangat nyerempet-nyerempet bahkan seperti mempertegas nasib hidup saya yang besar sedewasa ini.

Terlahir sebagai laki-laki Jawa, saya akui, saya ini sosok dan pribadi yang ambigu. Liar dan urakan. Bahkan, kadang meledak-ledak, menolak, bahkan ingin memberontak “unggah-ungguh” atau primordial jawaisme yang kuat ditanamkan sejak bocah oleh Bapak saya yang ortodoks jawaensis. Terkadang, jika terlampau larut dalam sunyi dan hening, nalar saya seperti membenarkan, “Seharusnya begitu menjalani keseharian itu. Tidak ada alur hidup yang terlepas dari kait-mengait proses berkehidupan. Jika hasrat dan keinginan terlalu kuat meliberalisasi, nasib manusia cenderung banal dan barbar.” Dan tak jarang pula karena friksi itu seringkali berbenturan, akhirnya menebalkan dan mempertegas tanya yang kuat, “Jadi apanya yang salah? Atau jangan-jangan siapa sebenarnya yang salah?”

Terlahir sebagai putra Makassar. Betapa cerita-cerita ini seperti memanifestasi sosok mas Khrisna, sebagai apa yang selama ini cukup rumit dan pelik saya rasakan. Betapa galaunya hidup di tengah ambiguitas: antara pentingnya menimbang adat, nikmatnya menjadi pribadi yang liberal, serta bagaimana sebenarnya menjalani hidup yang harmoni nan agung itu. 

Akankah selalu begini, cerita-cerita akan kita tuliskan? Sejujurnya saya ingin memberontak, dan sangat berharap semoga kelak bisa menemukan diri saya sendiri. Apa yang terkumpul dalam buku “Mengawini Ibu” ini, bagi saya pribadi, adalah cara untuk mengingatkan pribadi saya, yang saya akui sepanjang dewasa kini masih gamang dan sempoyongan, seperti pejalan yang tak keruan rindukan ‘teken’ atau tongkat sebagai kompas penunjuk jalan.

Dan, kalimat penutup pada akhir buku, “Cinta itu, Sayang, harmoni antara memberi dan menerima.” Cukup renyah dalam penangkapan dan pencernaan saya...

Pondokaren28 November 2010: 15.06