Kamis, 01 Oktober 2009

CERPEN "Taruhan Perawan"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Batam Pos pada Minggu (27/09/2009)


TARUHAN PERAWAN
Oleh Khrisna Pabichara


”AKU menantang kamu taruhan. Kalau aku kalah, aku akan belikan minuman favoritmu, es dawet,” tantang Rangga.

Ah, Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia, terlalu menyepelekan aku. Bahkan melecehkan kemampuanku. Ia lupa betapa sebulan belakangan ini aku rajin main master dengan peringkat lima bintang. Dan, demi tirakat mengalahkannya, aku mendobrak pemeo bahwa jarang ada perempuan gila bola. Malam ini, ketika sepi merangkak menuju separuh perjalanan, Rangga menantang akan mencarikan es dawet, jika aku mampu mengalahkannya. Mana ada penjual es dawet pukul dua belas malam? Harapanku untuk memberinya pelajaran semakin menggelora. Jangan pernah meremehkan perempuan. Mereka bisa apa saja. Termasuk mengandung dan melahirkan, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan oleh lelaki paling sakti sekali pun. Ya, aku akan memberinya pelajaran. Tepatnya, mempermalukan!

”Kalau aku kalah?” tanyaku.

”Aku bisa mencium keningmu selama yang aku mau!”

BUG! Bantal kursi tamu yang sejak tadi berada di pangkuku, segera berpindah tempat ke muka Rangga.

”Kamu keenakan...” protesku.

”Kata siapa, kalau aku kalah, bukan hal mudah mencari penjual es dawet jam dua belas malam kan?”

Tapi memberikan kening untuk dikecup seorang lelaki juga bukan hal mudah, rutukku dalam hati. Seorang perempuan timur, tidak akan pernah membiarkan dirinya disentuh lelaki yang bukan keluarganya, sekali pun hanya keningnya. Termasuk yang tidak boleh itu teman bermain sejak kecil. Atau pacar. Atau, bahkan calon suami. Sekali saja kening seorang perempuan jatuh ke bibir lelaki, maka ia akan menguasai perempuan itu kapan saja lelaki itu mau. Ya, pada mulanya kening, lalu pipi, lalu hidung, lalu bibir. Lalu ini, lalu itu!

Aku tidak mau!

Hanya saja, gairah menaklukkan Rangga begitu menggebu. Sebagai seorang gamer sejati, mengalahkan Rangga berarti mengalahkan jawara se-Jabodetabek. Selain itu, ini pertaruhan gengsi. Prestise. Nama baik. Bahkan, ini perang gender. Ya, gender. Bukankah lelaki kebanyakan menganggap perempuan satu atau dua tingkat di bawah mereka? Dan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ya! Rangga harus ketemu batunya. Harus dikalahkan. Harus dipermalukan!

Stik kontrol pun berpindah ke tanganku. Aku memilih Internazionale Milan. Selain karena aku suka Italia, aku juga Interisti sejati. Bangsat! Rangga memang meremehkanku. Lihat saja, ia memilih PSM Makassar. Kurang ajar. Siapa yang ia banggakan di kesebelasan Juku Eja itu? Syamsul Khaeruddin? Aldo Bareto? Atau Syamsidar? Tanpa bermaksud mengecilkan sepak bola Indonesia, tetapi adalah mustahil kesebelasan Indonesia melawan kesebelasan Italia. Seperti David melawan Goliath. Ya, Rangga memandang kemampuanku dengan sebelah mata. Ia harus menanggung risikonya. Harus!

Jangan remehkan perempuan, apalagi merendahkannya. Jangan! Rutukku, lagi-lagi dalam hati.

☼☼☼

PAGI hari, tersiar kabar ke seluruh penjuru kampung, bahwa Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia yang jadi rebutan hampir semua gadis se-Jabodetabek, baru saja mengalami kecelakaan. Seluruh isi Kampung Jawa gempar. Orang-orang pun datang berduyun, berkerumun di depan rumah sang idola. Kebanyakan para gadis menjelang puber pertama. Aku ingin tidak percaya. Tapi Rangga memang selalu bisa menarik perhatian. Seperti pagi ini, ia berhasil menguras perhatian para perawan. Ia sukses mengalahkan popularitas kampanye capres-cawapres yang beberapa minggu belakangan ini menguasai pemberitaan semua media. Ia bahkan sanggup menyingkirkan kasus pemukulan dan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Manohara sebagai fokus gosip di warung-warung, di rumah-rumah, di pasar-pasar, bahkan di media massa.

Begitulah, Rangga memang selalu penuh kejutan. Seperti pagi ini, sebelum matahari sempat bergegas naik sepenggalah. Ia, dengan tangan menggantung di depan dada terbebat kain kasa putih, tetap dengan wajahnya yang tenang, teduh, dan jantan. Belum lagi sepatah pun kata ia lontarkan, gadis-gadis itu merangsak, merapat hingga pagar tembok itu berderak seolah-olah bakal rubuh. Pada wajah-wajah mereka meremang sungkawa atas musibah yang menimpa Rangga. Mereka semua begitu mengkhawatirkan Rangga. Sangat peduli pada keselamatannya. Menyulut iri yang menggeming di hati.

Mengapa tidak hanya aku yang mencemaskan nasib Rangga?

Lihat, mata mereka dipenuhi ruap-ruap tanya. Membayang berderet prasangka tentang apa dan mengapa ada luka di siku Rangga. Mereka-reka cerita yang semua bermuara pada iba dan bela sungkawa. Menyunting deskripsi sendiri-sendiri tentang proses kecelakaan yang menimpa Rangga. Menyusun alur, mengatur kalimat, dan menata kata tentang kabar besar yang terus mencecar. Rangga terluka, kecelakaan, itulah judul beritanya.

Padahal, Rangga tidak terluka parah. Hanya luka kecil, menggores sikunya. Ya, hanya luka kecil. Tentu saja tidak membahayakan nyawanya, tapi gadis-gadis itu begitu cemas. Sangat waswas. Termasuk aku. Mengapa? Karena yang terluka adalah sang idola. Meskipun Rangga hanya luka biasa.

”Rangga.... kamu baik-baik saja kan?” seru seorang gadis berambut ikal dari sela kerumunan.

”Mengapa kecelakaan itu bisa terjadi, Rangga?”

”Di mana ....”

”Kapan ....”

”Apa....”

”Bagaimana ....”

Tuh kan, mereka menjadi laiknya wartawan pemburu berita, bertanya dengan pola 4W, yakni what, when, why, dan where. Bahkan, masih ditambah dengan 1H, how. Anehnya, Rangga seperti menikmati kecemasan gadis-gadis itu. Mukanya, yang memang ganteng, disetel mengenaskan dengan warna pucat memias. Matanya yang biasanya selalu memendar cahaya gairah yang memancar, sekarang meredup. Bibirnya bergerak lembut membentuk selengkung senyum. Senyum dikulum itu mampu meredam gelisah fans setianya.

”Saya tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil,” tutur Rangga dengan pelan. Khas.

Lihat, gadis-gadis itu begitu terpukau.

”Sebenarnya kecelakaan ini tidak perlu terjadi, andai saja ....”

DUG! Tiba-tiba jantungku memukul-mukul dadaku begitu keras. Detaknya serasa melaju cepat. Rasa cemas menyergapku dari segala arah. Dan waswas mengerubungiku dari semua penjuru. Rangga celingak-celinguk, seperti mencari seseorang. Dan, mata itu, berhenti di wajahku. Mengulitiku. Ah!

”Andai saja Tya ....”

Betul, kan? Akhirnya Rangga menyeret-nyeret namaku. Memaksa namaku memasuki arena skenarionya. Dan, lihat! Semua mata menoleh ke belakang, tertuju padaku. Dadaku mendadak terasa sesak. Lidahku kelu.

”Semalam,” tutur Rangga setelah semua mata kembali menoleh padanya, ”aku taruhan bola di playstation melawan Tya. Aku yakin pasti menang. Tya jarang main bola. Jadi aku berani menantang Tya taruhan. Kecuali Tuhan membantunya, Tya tak mungkin menang. Sedangkan, setahuku, Tuhan tidak hobi main playstation, apalagi taruhan. Bukankah Tuhan melarang segala bentuk dan jenis perjudian? Jadi, Tuhan takkan membantu Tya dan kemenangan pasti di tanganku. Artinya jelas, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Aku pasti bisa mencium kening Tya selama yang aku mau.”

Rangga menarik napas. Panjang. Dan lama. “Sedemikian yakinnya aku pasti menang, sehingga aku main sambil merem-melek. Lebih banyak menutup mata. Sementara waktu sepuluh menit melaju begitu cepat. Aku barulah berusaha mencetak gol di menit-menit terakhir. Aku mati-matian di masa injury time. Hasilnya, nihil. Bahkan di babak perpanjangan waktu pun aku tak berkutik. Tya bertahan total. Alhasil, aku kalah adu penalti 5-6. Karena kalah taruhan, aku harus mencari penjual es dawet jam dua malam. Aku lupa, mana ada penjual es berkeliaran menjajakan dagangan di tengah malam buta? Aku sudah mengitari Jakarta Selatan pada separuh malam tersisa. Dari Kebayoran Lama hingga Manggarai. Dari Tebet hingga Jagakarsa. Tak kutemui satu pun penjual es dawet. Di Lenteng Agung, seorang pengemudi ugal-ugalan menabrakku dari samping tepat pada saat menikung. Aku jatuh.”

Rasakan! Rutukku dalam hati. Pelan-pelan aku menarik diri. Pantas Rangga tidak nongol lagi di rumahku, padahal aku menunggunya semalaman, setelah berhasil memberinya satu fatwa berharga: jangan remehkan perempuan. Apalagi merendahkannya. Jangan!

☼☼☼

”AKU tidak butuh luka di sikumu. Aku minta es dawet seperti perjanjian kita sebelum bertanding semalam,” sengitku.

Rangga, Lelaki Paling Menjengkelkan Sedunia, terhenyak. Sejenak. Lalu, ia tersenyum. Mungkin itu senyum termanis Rangga yang pernah aku lihat. Lalu, tangan kanannya yang tidak terluka, dan sedari tadi disembunyikan di punggungnya, bergerak perlahan mengulurkan setangkai mawar merah. Rangga memberiku setangkai mawar merah? Ini baru gosip. Berita ini pasti sanggup mematahkan hati para penggemarnya.

”Jangan kira aku bisa tunduk dengan mawar di tanganmu. Tidak! Aku tidak butuh setangkai bunga, Rangga. Baik itu bunga mawar maupun bunga deposito. Apa kamu pikir semua perempuan bisa kamu rayu semau hatimu?”

”Tya ...”

”Aku butuh komitmen. Kesetiaanmu pada janji. Itu saja!” Tandasku sambil membanting pintu, meninggalkan Rangga yang terkesima.

Jangan remehkan perempuan. Apalagi merendahkannya. Jangan!

☼☼☼


KHRISNA PABICHARA, lahir di Makasar, 10 November 1975, tinggal di pinggiran Jakarta. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) dan Komunitas Planet Senen, Jakarta. Kumpulan sajaknya, Silsilah Birahi, dan novelnya, Natisha: Perempuan Simpanan, sedang dalam proses terbit. Tulisan-tulisannya dimuat di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Riau Pos, Padang Ekspres, Harian Fajar, Harian Global, Jurnal Bogor, Pedoman Rakyat, dll.

1 komentar:

  1. Numpang Promo Ya kakak ^^

    JOIN US MY BIG BOS ^^
    www.MantapQQ.com

    Rasakan kenyamanan bermain fair play
    member vs member di MantapQQ

    *Bonus Cash Back 0.3% untuk semua player
    *Bonus Refferal 15% seumur hidup

    Minimal Depo WD 20 ribu
    Proses Depo WD tercepat......
    untuk tarik dana bank offline, tetap di proses

    1 User ID untuk 6 Game Populer
    Bandar Q
    Domino99
    Poker Online
    Adu Q
    Capsa Susun
    Bandar Poker

    Info Langsung
    *Pin BBM : 2EA0D276
    *Skype : mantapqq
    *phone : +855 9649-732-59
    *Ym : mantap.qq@yahoo.com

    DAFTAR = www.mantapqq.com

    BalasHapus