Kamis, 31 Maret 2011

Dialog Imajinatif Bersama Taufik Ismail

"Apa kabar Pak Taufik?"
"Baik, cuma agak cenat-cenut nih."
"Kenapa, Pak?"
"Biasa, terbawa umur."
"Umur atau uzur, Pak?"
"Hehehe...."
"Terbawa umur atau terbawa peristiwa, Pak?"
"Maksudnya?"
"Akhir-akhir ini kan nama Pak Taufik begitu santer terdengar di media sosial."
"Wah, itu biasa. Namanya juga seleb."
"Biasa plagiat?"
"Apa hubungannya dengan plagiarisme?"
"Pak Taufik kenal Douglas Malloch?"
"Oh, kenal banget. Dia fans fanatikku, makanya aku abadikan puisinya."
"Jadi bukan plagiat ya, Pak?"
"Ya bukanlah. Kamu ini picik sekali. Buka wawasan dong."
"Tapi banyak orang meyakini itu plagiat, Pak!"
"Hehehe. Mereka itu cuma pengen tenar lewat namaku."
"Cemburu?"
"Bukan juga, cuma memanfaatkan nama besarku agar mereka lebih cepat popular."
"Kok Bapak bilang 'aku pelajari dulu puisiku'? Masak puisi sendiri dipelajari, Pak?"
"Loh, aku ini sudah menganggit banyak puisi, layak toh kalau ada yang lupa."
"Banyak menganggit atau banyak menjiplak, Pak?"
"Jangan menuduh, dong. Itu pencemaran nama baik."
"Faktanya, Bapak kok tutup mulut?"
"Buang waktu mengurusi 'kecemburuan' gila seperti itu."
"Kenapa Bapak begitu anti-Lekra? Sampai kirim pesan pendek segala, Pak?"
"Itu sikap. Pilihan. Kewajiban moral bagi setiap orang."
"Apakah plagiat tak bersentuhan dengan moral, Pak?"
"Wah, itu sangat tidak bermoral. Sama dengan maling. Kejahatan intelektual."
"Bagaimana dengan 'Kerendahan Hati', Pak?"
"Itu murni karyaku!"
"Tapi mirip sekali, Pak."
"Ya, itu sih biasa. Saling menginspirasi."
"Dengar-dengar, para penyair akan membentuk MPI, Pak."
"Apa tuh?"
"Majelis Puisi Indonesia."
"Tugasnya?"
"Komisi Fatwa akan mengkaji kehalalan dan keharaman sebuah puisi."
"Kata siapa 'Kerendahan Hati' itu puisi haram?"
"Loh, kok Bapak menyimpulkan sendiri?"

Dunia Imajiner, Maret 2011

Warna-warni #Koinsastra

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.”


Istana Koleksi Langka

Kutipan di atas dinukil dari Roebrik Doenia Majalah Sapto, edisi Saptoe, 31 Augustus 1929. Ada 517 lagi koleksi majalah langka yang akan susah ditemukan di tempat selain Pusat Dokumentasi (PDS) HB Jassin. Tentulah ini aset berharga bagi sejarah kesusastraan Indonesia. Koleksi yang sangat berharga untuk diabaikan atau dilupakan. Selain majalah, terdapat sekitar 18.000 buku fiksi, 12.000 buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, dan 740 foto pengarang.

Kesejarahan dan kelangkaan menjadikan upaya perawatan yang maksimal menjadi sesuatu yang niscaya. Jika tidak, generasi kita 100 tahun ke depan bakal kehilangan naskah berharga, semisal buku Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina diterbitkan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co, atau Sjair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu tahun 1897.

Pada mulanya, koleksi-koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin adalah milik pribadi kritikus yang digelari Paus Sastra Indonesia itu. Koleksi itu tersimpan sebagian di rumahnya, Gang Siwalan No. 3. Sebagian lainnya dititipkan di rumah saudaranya di Gang Kecapi No. 8 tersebabkan terbatasnya ruang di rumahnya. Ada juga yang ia titipkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jln. Diponegoro No. 82. Melihat kegigihan dan ketekunan HB Jassin, serta permintaan berbagai pihak yang memandang perlunya “perawatan serius” koleksi-koleksi HB Jassin itu, Gubernur DKI Jakarta—saat itu, Ali Sadikin—pun menawarkan sebuah gedung di kitaran Taman Ismail Marzuki untuk ditempati. Gedung itulah yang kini dikenali sebagai Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.

Alkisah, berdasarkan Akta Notaris tertanggal 28 Juni 1976, Yayasan PDS HB Jassin secara resmi berdiri. Dari sana pula bermula pasang-surut upaya pemeliharaan aset bangsa itu. Untuk membiayai pemeliharaan dan pemutakhiran dokumen, Yayasan PDS HB Jassin menerima banyak bentuk kepedulian, termasuk bantuan dari Pemerintah DKI Jakarta—pihak yang sebermula menawarkan perawatan secara intensif itu—yang nilainya terus berubah setiap tahun. Setelah sempat mendapat bantuan sebesar Rp 500.000.000 setiap tahun, kemudian susut menjadi Rp 300.000.000, lalu makin menyusut menjadi Rp 164.000.000, puncaknya tahun ini, 2011, hanya dihibahi dana sebesar Rp 50.000.000.

Surat Keputusan bernomor IV 215 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta, Fawzi Bowo, tak pelak memicu reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Bentuk keprihatianan pun mencuat di media sosial Twitter dan Facebook sejak 18 Maret 2011. Dan, mulai 19 Maret 2011, Gerakan #Koinsastra Peduli PDS HB Jassin pun dilansir. Pegiat dan penyuka sastra bergerak secara bersamaan di 3 kota; Jakarta, Denpasar, dan Malang. Lantas merebak di Depok, Ciputat, Semarang, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Kendari, Makassar, Bandung, Padang, dan Bogor. Lambat laun, Gerakan #Koinsastra menjalar ke dunia kampus. Begitulah, Gerakan #Koinsastra yang bermula dari kecemasan akan masa depan peradaban bangsa itu, sekarang telah menggalang simpati masyarakat dari pelbagai kalangan.

Tercatat, hingga usia 10 hari sejak digulirkan, Gerakan #Koinsastra mengumpulkan dana sebesar Rp 107.684.000. Dan bentuk peralatan untuk program digitalisasi literatur sebanyak 6 komputer, 4 alat pemindai, dan 2 printer, yang jika dirupiahkan bernilai Rp 43.000.000. Hal ini menjadi bukti konkret betapa masyarakat sangat peduli terhadap keberadaan, keberlangsungan, dan keselamatan PDS HB Jassin, pun perpustakaan-perpustakaan lain di seluruh Nusantara yang semakin “terlupakan”—bisa juga disebut sebaga sengaja "dilupakan".

Jejak Kelahiran #Koinsastra

Sesungguhnya, usaha pengumpulan koin hanyalah simbol belaka. Ada hajat lain yang hendak disalurkan, di antaranya bagaimana merancang kegiatan yang semua anak bangsa atau komponen bangsa bisa ikut memberikan andil. Sebagai simbol, bila ada pihak yang berkenan menyumbangkan Rp 100.000,- misalnya, tetap bisa disalurkan. Begitupun dengan rakyat jelata yang hanya punya Rp 500,- atau Rp 1.000,- tetap bisa ikut berpartisipasi. Jadi, konsepnya bukanlah uangnya, melainkan bagaimana gerakan ini bisa menjadi perwujudan kecintaan anak bangsa terhadap kelestarian dan keberlangsungan peradaban bangsa.

Gerakan #koinsastra tidak dirancang sebagai kegiatan temporal berdurasi 1 atau 2 tahun saja. Visi Gerakan #Koinsastra dirancang dengan asumsi generasi 100 tahun ke depan. Bayangkan jika dokumen penting—semisal surat-surat para sastrawan—musnah saat ini, apa yang bisa diteliti, dibanggakan, dan disikapi oleh generasi nanti? Melalui gerakan ini, kita menawarkan program pemeliharaan dan pemutakhiran data. Dengan demikian, harapan kita, PDS HB Jassin selalu bernyawa dan bertumbuh. Sekali lagi, bukan seberapa banyak uang dikumpulkan, melainkan seberapa besar cinta dinyatakan.

Logikanya, pemeliharaan dokumen bukanlah pekerjaan ringan yang semudah mematangkan makanan cepat saji. Pemeliharaan dokumen butuh banyak biaya dan tenaga yang ahli. Begitupun dengan fasilitas sarana yang lebih kondusif dan memadai, yang nyaman bagi pengunjung dan aman bagi laku pendokumentasian. Jadi, waktu dan jumlah hanyalah perantara, tujuan utamanya adalah memberikan wahana bagi seluruh komponen bangsa untuk membuktikan dan menyatakan cintanya. Karenanya, misi yang diusung Gerakan #Koinsastra adalah usaha keras menyediakan “dana abadi” bagi pengelolaan PDS HB Jassin dengan perkiraan sementara Rp 15 miliar.

Oleh karenanya, Gerakan #Koinsastra diniatkan semata sebagai bentuk kepedulian dan penyadaran untuk menghindari tradisi “pembiaran”, terutama pembiaran terhadap aset bangsa yang bersejarah, yang tak ternilai. Mimpi besar lainnya adalah mengupayakan ketersediaan “dana abadi”, maka tentulah partisipasi seluruh komponen bangsa sangat dibutuhkan.

Memang, mengumpulkan koin hingga mencapai kisaran Rp 15 miliar, bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bukan juga sesuatu yang mustahil. Apabila seluruh lapisan masyarakat berkenan bahu-membahu, segalanya bisa saja terjadi.

Parung, Maret 2011

Disusun dari berbagai sumber.

Program yang Ditawarkan Gerakan #Koinsastra

Apa yang bisa dilakukan jika gerakan hanya mengumpulkan recehan belaka?

Seperti telah saya tuturkan di hashtag #koinsastra, gerakan pengumpulan koin hanyalah simbol belaka. Ada hajat lain yang hendak disalurkan, di antaranya bagaimana merancang kegiatan yang semua anak bangsa atau komponen bangsa bisa ikut memberikan andil. Sebagai simbol, tentu saja jika ada pihak yang berkenan menyumbangkan Rp 100.000,- misalnya, tetap bisa disalurkan. Begitupun dengan rakyat jelata yang hanya punya Rp 500,- atau Rp 1.000,- tetap bisa ikut berpartisipasi. Jadi, konsepnya bukanlah uangnya, melainkan bagaimana gerakan ini bisa menjadi perwujudan kecintaan anak bangsa terhadap kelestarian dan keberlangsungan peradaban bangsa.

Bagaimana jika Pemerintah atau unsur terkait merasa tersindir atau dipermalukan?

Loh, kok menyerempet Pemerintah? Hahaha. Alangkah naif jika Pemerintah tersinggung karena gerakan ini. Kenapa? #koinsastra adalah penyaluran cinta rakyat. Apa bisa cinta yang hendak disalurkan itu dipampatkan? Nah, Pemerintah malah patut merayakan keberadaan Gerakan #koinsastra ini karena rakyat bergerak aktif dalam kampanye "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "menyelamatkan aset bangsa". Artinya, wilayah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab bersama telah berjalan dengan baik. Jadi, aneh saja jika Pemerintah kebakaran jenggot (membayangkan Pemerintah punya jenggot!).

Gerakan #koinsastra semata gerakan sporadis dalam waktu terbatas. Percuma, kan?


Tak ada cinta yang percuma. Gerakan #koinsastra tidak dirancang untuk tempo 1 atau 2 tahun saja. Kita membayangkan generasi 100 tahun ke depan. Bayangkan jika dokumen penting--semisal surat-surat para sastrawan--musnah saat ini, apa yang bisa diteliti, dibanggakan, dan disikapi oleh generasi nanti? Melalui gerakan ini, kita menawarkan program pemeliharaan dan pemutakhiran data. Dengan demikian, harapan kita, PDS HB Jassin selalu bernyawa dan bertumbuh.

Berapa lama jangka gerakan ini digalakkan dan berapa target yang hendak dicapai?

Ini salah satu keterbatasan ruang pikir kita. Sekali lagi, bukan seberapa banyak uang dikumpulkan, melainkan seberapa besar cinta dinyatakan. Logikanya, pemeliharaan dokumen bukanlah pekerjaan ringan yang semudah mematangkan makanan cepat saji. Pemeliharaan dokumen butuh banyak biaya dan tenaga yang ahli. Begitupun dengan fasilitas sarana yang lebih kondusif dan memadai, yang nyaman bagi pengunjung dan aman bagi laku pendokumentasian. Jadi, waktu dan jumlah hanyalah perantara, tujuan utamanya adalah memberikan wahana bagi seluruh komponen bangsa untuk membuktikan dan menyatakan cintanya.

Bagaimana dengan keberadaan lembaga atau organisasi tertentu?

Kami bersyukur jika geliat #koinsastra ini menginspirasi banyak pihak, baik perseorangan maupun kelembagaan. Tapi kami menolak keras upaya politisasi gerakan ini, atau memanfaatkan peristiwa ini semata untuk mendongkrak kepopuleran atau politik pencitraan. Jadikanlah PDS HB Jassin tetap sebagai milik seluruh komponen bangsa, jangan disekat dengan warna atau kepentingan yang sarat aroma politik.

Apa saja program yang ditawarkan oleh Gerakan #koinsastra?
Nah, ini pertanyaan yang paling saya tunggu. Kami menggelar #koinsastra--seperti tutur saya semula--bukan semata untuk mengumpulkan koin. Ada tawaran lain sebagai bukti cinta kami.

Pertama, Gerakan #koinsastra merancang kegiatan menggugah minat siswa SMP/SMA menjadikan PDS HB Jassin sebagai pusat #wisatasastra, konsepnya adalah 1 sekolah setiap bulan. Konkretnya, kita akan mengajukan penawaran kerja sama dengan Kementerian Pendidikan untuk merekomendasikan wisata sastra dalam kerangka pembelajaran Bahasa Indonesia. Relawan #koinsastra akan menggelar pertunjukan baca puisi, cerpen, lagu, atau tampilan lain yang membuat kunjungan itu lebih berkesan dan menyenangkan. Tawaran ini melintas guna mengantisipasi "sepinya" PDS HB Jassin. Apalah arti dana berlimpah yang dikucurkan atau dokumen yang sedemikian banyak, jika tak banyak anak bangsa yang mengetahui keberadaannya?

Kedua, Gerakan #koinsastra menawarkan pada pihak Pengelola PDS HB Jassin untuk memberikan bantuan pendokumentasian, pendataan buku baru, ataupun pemindahan data ke komputer. Relawan kami terjunkan secara bergantian--dengan membawa perbekalan sendiri, seperti gunting, kertas, dan lem--untuk memindahkan tumpukan koran menjadi kliping baru sesuai pola atau cara yang kerap dilakukan di PDS HB Jassin. Bahkan jika dibutuhkan, relawan siap memindahkan data sastra secara menual--semisal mengetik ulang--jika data awal sudah sulit dipindai secara digital. Kami juga akan menghimbau para penulis dan praktisi perbukuan--fiksi dan nonfiksi--untuk aktif mengirimkan karyanya ke PDS HB Jassin, sehingga data di PDS HB Jassin selalu bertambah dan selaras dengan pergerakan zaman.

Ketiga, Gerakan #koinsastra akan meminta kesediaan komunitas pencinta sastra atau perbukuan atau kebudayaan untuk menjadikan PDS HB Jassin sebagai basis kegiatan. Tersedia ruangan yang terpisah dari ruang dokumen yang memungkinkan komunitas untuk beraktivitas. Dengan demikian, kecintaan tidaklah terhenti sebatas di sumbangan satu atau dua koin, tapi terus berkesinambungan.

Keempat, Gerakan #koinsastra menawarkan program digitalisasi data sehingga selain data fisik, dokumen yang ada tersimpan secara "aman" dan rapi dalam bentuk digital. Bukannya meramalkan atau mengharapkan, ini penting dalam rangka mengantisipasi kejadian alam tak terduga yang membahayakan kselamatan dokumen. Sebut contoh sederhana, dokumen yang kerap digandakan lewat mesin pemindai atau foto copy menimbulkan efek panas pada kertas, semakin sering semakin berbahaya. Lewat digitalisasi, pun bisa mempermudah akses masyarakat yang membutuhkan keberadaan dokumen di PDS HB Jassin tapi berada jauh dari Jakarta.

Kelima, Gerakan #koinsastra akan mengajak relawan untuk menerjemahkan beberapa karya penting ke berbagai bahasa asing, sehingga aset bangsa semakin mudah diapresiasi oleh penikmat atau peneliti dari luar. Bahkan jika bisa semua dokumen dialihbahasakan, sehingga "hajat luhur" Bapak HB Jassin menjadikan PDS HB Jassin "mendunia" bisa terwujud.

Bagaimana jika pihak Yayasan atau Pengelola PDS HB Jassin menolak tawaran Gerakan #koinsastra?
Meskipun kami tidak membayangkan atau mengharapkan penolakan, tapi segalanya kami serahkan kepada pihak Yayasan dan Pengelola PDS HB Jassin. Ibarat pencinta, kami hanya manawarkan segala yang kami miliki. Jika ternyata tawaran kami bertepuk sebelah tangan, lazimnya pernyataan cinta, itu hal yang lumrah. Namun, jikalau boleh dan diperkenankan berharap, kami sangat ingin pihak Yayasan dan Pengelola PDS HB Jassin berkenan menerima tawaran kami, baik sebahagian apalagi secara keseluruhan.

Salam takzim, Gerakan #koinsastra

Tim Penggagas (Putu Fajar Arcana, Khrisna Pabichara, Ahmad Makki, Indah Ariani, Intan AP, Zeventina Octaviani)
Tim Kecil Jakarta (Imam Ma'arif, Shinta Miranda, Bamby Cahyadi, Gemi Mohawk, Pringadi AS, Agustinus Abraham)
Semua pihak yang turut mendukung: #fiksimini, #kotakkatak, dan pihak lain yang tak tersebutkan.
Pihak daerah yang turut dan akan bergerak: Malang, Denpasar, Semarang, Palembang, Surabaya, Bandung, Balikpapan, Kendari, Bogor
Pihak Kampus yang turut aktif: Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Udayana Denpasar

Rabu, 30 Maret 2011

Koin Sastra untuk PDS HB Jassin!

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun membuat "berang" banyak kalangan.

Dengan anggaran sebesar itu, sangat jauh dari yang disebut cukup. Bayangkanlah, untuk biaya pengasapan buku saja sudah habis Rp 40 juta sendiri dan pemeliharaan dengan pengasapan idealnya dilakukan dua kali setahun agar buku tidak mudah hancur dan dimakan ngengat? Belum lagi penggajian 14 pegawai yang sudah sebegitu setia berada di tempat itu dengan gaji yang sangat minim.

Melihat kondisi tersebut, salah seorang pelaku sastra, Khrisna Pabichara, penyair dan prosais, tergerak hatinya menggalang dana untuk menyelamatkan keberadaan PDS HB Jassin melalui kegiatan "Koinsastra". Bersama para pencinta sastra, "Koinsastra" pun menggelinding hingga ke daerah-daerah di luar Jakarta.

Berikut adalah catatan Khrisna untuk mengetuk hati para pencinta sastra khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya untuk bersama-sama menggalang dana demi menyelamatkan PDS HB Jassin.

18 Maret 2011, 13:15

Jumat sore (18/03, 13.15) saya membuka akun twitter. Belum beberapa menit berselang, berita mengenaskan seperti menampar-nampar muka saya: PDS HB Jassin terancam ditutup karena keterbatasan dana pengelolaan. Segera saja saya bersinggungan dengan teman-teman di twitter untuk "melansir" lebih gencar kabar tersebut, sekaligus mencari jalan alternatif untuk menghindari "kebangkrutan" PDS HB Jassin.

Saat itu, saya paling sering bertukar kabar dengan Putu Fajar Arcana, Indah Ariani, dan Ahmad Makki. Seluruh teman twitter saya pun segera saya kirimi ajakan untuk "memikirkan" keberadaan PDS HB Jassin. Tak melintas sejenak pun hajat untuk menjadi "malaikat penyelamat". Semuanya dilatari oleh cinta dan kecemasan. Kecintaan pada peradaban yang menggunung di PDS HB Jassin, dan kecemasan membayangkan nasib generasi mendatang jika mereka kehilangan PDS HB Jassin.

Tak puas bermain kabar di twitter, saya mainkan status saya di facebook. Bahkan saya mengirim pesan pendek ke beberapa Sahabat yang saya yakin memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap nasib PDS HB Jassin. Alhasil, menjelang pukul 19.00, muncullah ide penggalangan dukungan untuk "istana sastra" yang dibangun dengan sepenuh cinta oleh HB Jassin itu. Persoalannya, bagaimana cara menggalang ide yang bisa "gaung"-nya berdentum hingga ke hati seluruh komponen rakyat? Lalu, mencuatlah ide Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin. Bahkan, ide itu semakin merebak dan merambah luas ke daerah-daerah. Bung Warih W. menginisiasi penggalangan dana #koinsastra di Museum Sidik Jari Denpasar, Bung Nanang Suryadi menggelar baca puisi di UMM Malang, dan rencana inisiasi gerakan di daerah lainnya.

Maka, saya pun terserang penyakit susah tidur (padahal malam-malam sebelumnya bahkan lebih susah tidur).

19 Maret 2011, 08:00

Saya berkemas. Hajat hari ini adalah bertandang ke PDS HB Jassin, mengajak teman-teman sejawat untuk berbincang tentang Gerakan #koinsastra di TIM. Saya pun mengirim pesan pendek ke beberapa teman. Gayung bersambut, semuanya menjawab pesan pendek yang saya kirim.

Ketika jarum jam sudah bertengger di angka 08:30, saya pun bergegas ke Jln. Taman Margasatwa. Rencananya mau naik taksi (karena ingin tiba di TIM sebelum pukul 10:00), tapi ketika sebuah bus KOPAJA melintas dengan aksi pengamen di sela penumpang yang berdesakan, saya pun membatalkan niat mencegat taksi. Dan, sebuah ide "aneh" menyesaki benak saya. Ketika bus KOPAJA berikutnya tiba di hadapan saya, buru-buru saya melompat naik. Dan....

"Mohon maaf penumpang yang budiman, supir dan kenek yang baik hati, karena saya pastilah akan menyita waktu dan kenyamanan Anda dalam perjalanan ini. Oh ya, belakangan ini kita akrab dengan dunia perbukuan. Setiap hari media mengabarkan buku, yakni bom buku."

Saya berhenti sejenak, menelan ludah. Mencoba membaca apa yang kira-kira berkelindan di benak para penumpang.

"Akan tetapi, ada kabar lain yang jauh lebih mematikan ketimbang bom buku. Kabar itu adalah ancaman ditutupnya PDS HB Jassin karena kekurangan dana operasional. Saya yakin, kita semua peduli pada peradaban bangsa. Saya juga yakin, kita semua peduli pada generasi setelah kita. Dan, jika PDS HB Jassin ditutup hanya karena alasan tak masuk akal, kekurangan dana, maka generasi mendatanglah yang akan menderita akibatnya."

Perlahan berpasang-pasang mata terpusat ke wajah saya. Ternyata begini rasanya dulu ketika Imam Ma'arif bertualang di Jakarta, mengamen baca puisi di bus kota. Dan, dengan irama khas "appitoto Turatea", saya pun membaca puisi "Suatu Malam Ketika Aku Merindumu". Sesudahnya, mengalir air mata saya ketika banyak penumpang bertepuk tangan. Maka, saya hadiahkan puisi kedua, "Tuhan Punya Musuh". Kemudiaan, seusai dua puisi saya bacakan, saya pun mengedarkan topi yang saya kenakan ke setiap penumpang. Ada yang menyumbang Rp 20.000, ada yang Rp 10.000, ada yang Rp 1.000, ada yang Rp 500. Ada yang pura-pura tidur, ada juga yang melambaikan tangan dengan senyum di bibirnya. Bus pertama saya meraup Rp 87.500. Lalu, saya turun. Pindah ke bus kedua mengulang proses yang sama, lantas berpindah lagi ke bus ketiga untuk mengamen baca puisi lagi.

Keringatan, bahagia, gemetaran: setelah menghitung hasil ngamen sebesar Rp 215.500.

19 Maret 2011, 10.35

Saya takut terlambat, tapi setiba di PDS, suasana masih sepi. Saya pun beranjak ke Rumah Makan Nikmat di TIM. Memesan es teh manis sambil memuaskan mulut dan hidung saya dengan asap rokok. Tak lama berselang, datanglah Mas Gemi Mohawk. Lalu disusul Shinta Miranda dan Agustinus Abraham De Fretes. Disusul lagi oleh kedatangan Mas Imam Ma'arif. Selanjutnya adalah Pringadi Abdi Surya. Dan akhirnya ditutup oleh kehadiran Bamby Cahyadi.

Kami bersepakat untuk membentuk Tim Kecil Jakarta untuk Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin, menyusun langkah yang hendak dilakukan, merancang berbagai strategi pengumpulan dana dan penyebaran informasi, dan menentukan koordinator Jakarta yang dipercayakan ke pundak saya.

19 Maret 2011, 18.02

Tim Kecil Jakarta tiba di Kalimalang. Selain berniat mengikuti acara peluncuran buku Kurnia Effendi yang berjudul Anak Arloji, saya juga mendapat kesempatan untuk membacakan cerpen yang akan diikuti dengan pengedaran kenclengan sumbangan #koinsastra. Bak kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Penonton yang ramai, sesak, meskipun ditingkahi gerimis, taklah menghalangi kemeriahan acara. Setelah penampilan Budiman Sudjatmiko, Ine Febriyanti, dan Tiara Wijanarko, saya pun tampil membacakan petikan cerpen "Laut Lepas Kita Pergi".

Antusiasme penonton sungguh luar biasa. Saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan oleh Serambi Ilmu untuk menggalang dana, pun kepada Kurnia Effendi selaku pemilik hajat. Alhasil, dana yang terkumpul setelah saya membaca cerpen adalah Rp 1.239.500. Sesuatu yang sangat berharga.

20 Maret 2011, 08:35

Mulailah berdatangan pesan pendek tentang Gerakan #koinsastra. Ada sahabat dari kalangan politisi, ataupun pengusaha. Ada juga dari teman sepermainan kata. Dan terhenyak juga ketika mendapat kabar Nasional Demokrat akan menanggulangi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengelola PDS HB Jassin. Saya bersyukur sekaligus "curiga". Kenapa? Saya bersyukur kada sudah ada yang mulai peduli. Saya curiga--lebih tepat dinamai sedih--karena khawatir jangan-jangan ini hanya bagian dari politik pencitraan Nasional Demokrat. Apa pun itu, Gerakan #koinsastra harus tetap jalan, karena ada banyak hal yang hendak kami perjuangkan.

Untuk menjawab kegelisahan teman-teman tentang apa, bagaimana, dan kenapa mencuat Gerakan #koinsastra tersebut, saya pun menulis di twitter semacam "jawaban" dasar. Sila dibaca:

1. Gerakan #koinsastra Peduli #PDSHBJassin tidak dimaksudkan untuk mempermalukan atau menjatuhkan pihak mana pun. Semata karena cinta.

2. #koinsastra bukan pula ditujukan menyindir atau menohok Pemerintah, Yayasan, Pengelola #PDSHBJassin. Tapi karena peduli peradaban bangsa.

3. #koinsastra adalah wujud cinta dan kepedulian rakyat Indonesia terhadap masa depan peradaban bangsanya.

4. #koinsastra murni gerakan kepedulian yang dilatari oleh rasa cinta pada #PDSHBJassin. Tak ada muatan atau niatan lain, apalagi aroma politik.

5. Jika pihak Pemerintah tersindir atau tersinggung karena geliat gerakan #koinsastra, semoga lahir kebijakan baru yang lebih peduli.

6. Gerakan #koinsastra digagas untuk menampung lebih banyak lagi partisipasi rakyat. Koin hanyalah simbol, cinta adalah segalanya.

7. Gerakan #koinsastra dirancang untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan keberlangsungan #PDSHBJassin.

8. Oleh karena dasarnya adalah cinta, maka Gerakan #koinsastra semata tanda bakti bagi dokumentasi sastra Indonesia. Tak lebih, tak kurang.

9. Layaknya gerakan lain, Gerakan #koinsastra pun menuai pro-kontra. Lumrah saja, tapi peduli tak semata lewat kata-kata, kadang butuh aksi.

10. Gerakan #koinsastra adalah wujud mimpi anak bangsa untuk memiliki pusat dokumentasi sastra yang terus bernyawa dan bertumbuh.

11. Gerakan #koinsastra adalah kristal hajat rakyat untuk meneruskan cita-cita luhur Bapak HB Jassin. Jika bukan kita, siapa lagi?

12. Jika seluruh komponen bangsa peduli #PDSHBJassin, banyak hal yang bisa kita lakukan. #koinsastra hanya sumbu, nyalakanlah!

13. Seperti bara, Gerakan #koinsastra dihajatkan menjaga agar api tetap mengada. Bukan sekadar kerdip tapi menyalakan api abadi di hati.

14. Pada akhirnya, salurkan cinta Anda lewat Gerakan #koinsastra di Rek. Dana a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.

15. Penggagas #koinsastra mengucapkan terima kasih atas wujud cinta Anda di rek. a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.

Demikian sekadar coretan saya. Semoga berkenan!

Parung, Maret 2011

Sumber: Kompas.com Senin, 21 Maret 2011 | 14:06 WIB Editor: Jodhi Yudono

Sepenggal Catatan dari PDS HB Jassin

PEKAN kemarin, HB Jassin menjadi pusat pergunjingan di media massa, baik cetak maupun elektronik tak terkecuali media online di antara isu politik nasional. Di sejumlah milis pun ramai dibicarakan. Puncaknya secara terbuka Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengutarakan permintaan maafnya, sedangkan di sejumlah kampus para aktivis mahasiswa menggalang gerakan koin sastra untuk HB Yasin.

Apa toh yang terjadi dengan HB Yasin? Ya, semua itu berawal dari kisruh dana hibah Pemprov DKI ke Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Di saat genap 11 tahun wafatnya Paus Sastra Indonesia ini, berhembus kabar jika PDS HB Jassinakan ditutup. Ihwalnya, duit hibah dari Pemrov DKI tahun 2011 hanya Rp50 juta per tahun, padahal dana operasional per bulan bisa mencapai Rp200 juta lebih.

Miris juga mendengar kabar ini. Pasalnya, HB Jassin yang wafat dalam usia 83 tahun adalah salah satu tokoh paling berjasa dalam dunia sastra nasional. Bermimpikan sastra Indonesia memiliki tempat dan kedududukan terhorMat di bumi pertiwi, dia mendirikan PDS HB Jassin pada 28 Juni 1976. Sejak saat itu, HB Jassin dengan telaten mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Dengan teliti dan tertata rapi, HB Jassin mengumpulkan karya-karya sastra mulai novel, puisi remaja yang tak terkenal yang dipublikasikan di koran atau majalah.

Kemelut PDS HB Jassin ini mengundang penasaran okezone untuk mengetahui lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.Siang itu di sekitar bangunan lantai dua yang bersebelahan dengan Gedung Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta, masih terlihat rindang dengan pepohonan. Untuk sampai ke ruangan PDS HB Jassin, harus melewati anak tangga berwarna biru yang terbuat dari plat besi.

Sampai juga akhirnya di sebuah gedung tempat karya-karya satra yang mulai dikumpulkan HB Jassin sejak tahun 1930-an. Udara dingin dan suasana tenang seketika itu terasa menyambut. Yah, lumayanlah untuk sejenak meredakan rasa lelah setelah berjibaku dalam kemacetan Ibu Kota yang kian menjadi-jadi.

Meja panjang warna putih yang dijaga seorang petugas tepat berada di hadapan sebelum mengisi sebuah buku tamu. Namanya Sulastro, saat pertama kali menanyakan maksud kedatangan okezone ke tempat itu. Pria berusia 50 tahun ini mengaku bekerja di PDS HB Jassin sudah 20 tahun.

Dengan ramah dan senyum, Sulastro menyapa, “Bisa dibantu Mas?”
“Ya Pak. Di sini koleksi yang unik dan menarik apa ya?”
Sulastro pun menyahut, “Hhmm... Banyak sih Mas. Tapi menurut saya ada majalah terbitan tahun 1920-an cukup menarik untuk dibaca. Gimana Mas?”

Kebetulan salah satu alasan yang mendorong datang ke pusat dokumentasi sastra ini adalah rasa penasaran terhadap koleksi majalah-majalah lawas yang bersejarah. “Menarik tuh pak. Nama majalahnya apa pak?”
“Namanya Majalah 'Sinpo'. Di sini ada berbagai koleksinya terbitan tahun 1920-an,” ungkap Sulastro.

“Boleh juga tuh pak. Boleh saya pinjam pak buat dibaca di sini? Tapi kalau saya ikut masuk melihat-lihat ruang koleksinya boleh enggak pak?”
“Oh, silahkan mas. Saya antarkan ya,” ucap Sulastro lagi.

Beruntung juga sih diizinkan masuk ke ruangan koleksi tersebut. Udara di ruangan itu dingin sangat terasa di kulit. “Pak, kok ruangannya dingin banget beda sama yang di luar ya?”

“Oh iya mas karena di sini kan hampir semua dokumen berbahan kertas. Agar lebih awet dibantu dengan sistem pendingin udara. Jadi sedikit agak lebih dingin dari suhu ruangan biasa supaya kertas-kertasnya bisa lebih tahan lama,” papar Sulastro menjelaskan.

Di ruangan koleksi tersebut terdapat rak-rak yang tertata rapi dengan ribuan buku berdasarkan nama pengarangnya. Saking banyaknya buku dan dokumen yang terkumpul, sampai-sampai harus diletakkan di bagian paling atas rak. Bahkan meluber ke bawah lantai di pojok ruangan ini. Ruangan itu seakan terus menyempit dengan bertambahnya koleksi setiap saat.

Sayangnya, banyak juga buku-buku yang terlihat mulai usang dengan judul-judul masih memakai ejaan bahasa Indonesia lama. Seperti “Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina” terbitan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co.Kemudian ada juga buku ”Sair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda” tahun 1897 yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu.

Okezone tersenyum membacanya. Agak sedikit kurang lancar untuk mengeja tulisan tersebut karena takterbiasa.Setelah berkeliling cukup lama, sampai juga di penyimpanan koleksi majalah yang dicari, yakni Majalah “Sinpo”. Di rak tersebut terdapat beberapa buku berwarna coklat tua, yang di bagian luarnya ditulis angka tahun. Angka tersebut menandakan terbitan majalah yang terkumpul dalam tahun itu.

“Silahkan dipilih Mas. Saya balik dulu ke depan ya,” ujar Sulastro mempersilakan.
“Oke. Terima kasih Pak.”

Pandangan tertuju pada buku tahun 1929. Buku tersebut kelihatan agak lebih rapi dan tersusun baik, walaupun masih ada tahun terbitan sebelumnya. Buku tersebut bersampul tebal coklat tua dengan panjang sekira 20 cm dan tebal 5 cm. Saat membuka sampulnya tertera tulisan “Sinpo” Wekelijksche–Editie Tahon KA VII, No.327 Saptoe 6 Juli 1929.

Setelah dibuka, banyak sekali iklan promosi yang lengkap dengan gambar atau pada majalah tersebut. Mayoritas iklan-iklan produk kecantikan dan kesehatan. Seperti iklan produk kesehatan “KRACHT PILLEN HERCULES” Hercules Pendekar Paling Koeat.
Siapa pernah tjoba ini pil, nanti bilang dirinja djadi loear biasa, ia bergoemeter seperti kena hawa electrisch, bernapsoe dan bergoembira sebagi satoe anak moeda jang paling koeat. Dimana-mana temapat ada terdapet agent.

Begitulah lebih kurang tulisan yang terdapat pada iklan tersebut. Pada iklan ini ada gambar karikatur seorang pria gagah tanpa baju hanya mengenakan kain untuk penutup bagian bawahnya sambil mengangkat tangannya untuk menunjukkan keperkasannya. Dan terlihat juga gambar seorang wanita cantik dengan rambut panjang terurai yang tampak malu sambil membelakangi sang pria. Latar belakang gambar tersebut di sebuah taman.

Begitulah gambaran iklan di surat kabar pada saat itu. Melihat gambar dan tulisannya membuat tersenyum, merasa seperti berada pada masa Indonesia tahun 1920-an. Selain iklan, tentu saja terdapat artikel-artikel tentang pemberitaan pada massa itu. Salah-satunya seperti pemberitaan “Sinpo” edisi Saptoe 20 Juli 1929 tentang pendirian Kung Sih School. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa akan dibangun sebuah sekolah oleh seorang warga keturunan Tionghoa untuk mengenang suaminya yang tewas dibunuh serdadu Jepang di Pulau Jawa.

“Seperti orang taoe, njonja Tsai Kung Sih telah koendjoengin Java boeat poengoet oeroenan aken diriken satoe sekola boeat peringetken ia poenja soeami Tsai Kung Sih jang diboenoe mati oleh soldadoe Japan di Tsinan setjara kedjam.” Begitulah isi yang diberitakan Sinpo, kala itu.

Dalam majalah ini tidak terdapat lembar yang memuat susunan redaksi. Tapi setelah diperhatikan ada beberapa bidang pemberitaan yakni Indonesia, Tiongkok dan dunia. Banyak sekali pemberitaan yang terkumpul dalam satu tahun pada saat itu (1929). Membaca majalah ini menambah sedikit pengetahuan dan wawasan saya tentang sejarah pada masa itu. Salah satu contohnya pemberitaan tentang pemenang kontes
kecantikan di dunia. Dalam beritanya, Sinpo menyebutkan yang menjadi pemenangnya adalah Miss Austria.

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.” Tulisan ini ada dalam Sinpo edisi Saptoe 31 Augustus 1929 pada rubrik dunia.

Begitulah sedikit gambaran tentang beberapa koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin yang salah satunya mengoleksi majalah masa lalu hingga saat ini. Belum lagi tersimpang banyak karya dari berbagai sastrawan tersohor sampai yang tidak dikenal. Tapi Ironis, kondisi PDS HB Jassin ini tengah dilanda masalah anggaran. Pasalnya, terjadi pemangkasan anggaran yang sangat signifikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Seperti diungkapkan Ariany Isnamurti, kepala pelaksana PDS HB Jassin.

Ariany menyayangkan kondisi yang terjadi pada PDS HB Jassin saat ini. Menurutnya, pengelolaan PDS tersebut sangat terbentur permasalahan dana. Dana yang dihibahkan untuk PDS mengalami penurunan yang sangat signifikan. "Dana yang cair itu untuk tahun ini hanya Rp50 juta per tahun, jauh dari sebelum-sebelumnya. Dulu bahkan sempat mendapat bantuan dana lebih kurang Rp300 juta, tapi sekarang jauh sekali berkurangnya," ungkap Ariany.

Kendala pendanaan tersebut berimbas kepada masalah administrasi dan pelayanan di PDS HB Jassin tersebut. Proses digitalisasi pun jadi terkendala. Hingga saat ini tempat penyimpananan sastra-sastra Indonesia modern mulai dari tahun 1920-an tersebut belum dilengkapi dengan fasilitas komputer. "Bahkan di kantor saja masih menggunakan komputer jenis lama," terang Ariany.

Mengenai sosok HB Jassin, Ariany menyimpan kenangan tersendiri. HB Jassin, kata dia, sangat cinta dengan sastra. HB Jasin juga ingin masyarakat mencintai sastra. Sebab itu, saat mendirikan PDS, HB Jassin tidak berpikir untung dan rugi sehingga dia rela menyediakan waktu, tenaga dan dana sendiri untuk membangan taman sastra tersebut. "Pesan Pak Jassin, ini pelayanan masyarakat, jangan kenakan banyak uang ke masyarakat. Jangan persulit orang untuk mengetahui data tentang sastra. Jangan menjual sastra," ungkap Ariany menirukan pesan HB Jassin.

(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 11:29 wib

PDS HB Jassin, Terlupakan Atau Dilupakan?

JIKA Anda dilupakan oleh seorang sahabat, tentunya pasti akan merasa kesal. Seolah keberadaan Anda tidak lagi dianggap ada dan memiliki arti. Lalu bagaimana dengan kasus Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam punah karena tak ada biaya operasional? Kita harus marah pada siapa? Apa mungkin Pemerintah telah melupakan PDS HB Yasin yang merupakan salah satu pusat kekuatan karya sastra dunia?

Nyatanya, PDS HB Jassin terancam ditutup karena tak lagi mampu membayar gaji karyawan serta merawat buku. Anggaran yang diperoleh pihak yayasan bahkan cenderung mengejutkan, yakni hanya Rp50 juta untuk satu tahun. Tentu hal itu timpang jika dibanding dengan organisasi lain seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun RSPAD Gatot Subroto yang mendapatkan gelontoran dana operasional ratusan juta bahkan mencapai miliaran rupiah.

Mengapa pemerintah provinsi DKI Jakarta kok rasanya sayang mengeluarkan uang untuk merawat gudang ilmu sekelas PDS HB Jassin? Sampai–sampai gerakan menggalang koin sastra seperti kasus Prita Mulyasari kembali terulang dari masyarakat yang merasa prihatin. Rektor Universitas Indonesia (UI) yang juga Sosiolog, Gumilar R Somantri menilai keterpurukan PDS HB Yasin bukan sepenuhnya ada pada kesalahan pemerintah saja. Namun, Gumilar justru menilai PDS HB Yasin bisa jadi kurang mampu menampakkan eksistensinya dan pro aktif dalam hal mencari dana.

“Memang Pemprov DKI sudah mengakui bahwa mereka lalai, namun saya rasa ini bukan kesengajaan, bukan hanya salah pemerintah, lembaga PDS HB Yasin itu harus dipimpin oleh seseorang yang mampu menampakkan eksistensi lembaga itu sendiri dalam hal menyokong masalah pendanaan,” katanya kepada okezone, baru-baru ini.

Selain itu, menurutnya aksi penggalangan dana yang terjadi menunjukkan bahwa keberadaan PDS HB Jassin bukanlah dilupakan tetapi hanya terlupakan. Buktinya, kata dia, masih banyak masyarakat yang mencintai karya sastra. “Aksi galang dana itu baik, menunjukkan bahwa negeri ini masih memiliki orang–orang yang punya value atau nilai yang menghormati dokumen sastra, salah satu indikasi peradaban terus berkembang, dan dengan aksi itu menunjukkan PDS HB Jassin bukan dilupakan tapi terlupakan,” jelas Gumilar.

Berbeda pendapat dengan Budayawan JJ Rizal yang menuding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah peduli terhadap urusan ibukota, apalagi dengan masalah di internal PDS HB Yasin. Penulis Asrul Sani, kata dia, bahkan pernah menulis bahwa pemerintah memang tidak memiliki hasrat budaya. “Tidak ada atau belum ada lagi gubernur yang seperti Ali Sadikin yang mau peduli dan melatarbelakangi berdirinya PDS HB Yasin. Saat itu HB Yasin memang tengah terpuruk masalah keuangan dan Ali Sadikin berinisiatif untuk membuatkan PDS agar HB Yasin tidak diusir dari rumahnya,” kata JJ Rizal.

Kebetulan, JJ Rizal adalah budayawan yang langsung terjun sebagai pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris. Sehingga, dia bercerita banyak hal terkait kondisi pelik di dalam internal PDS serta rasa geram yang dipendam kepada pemerintah. “Persoalannya kita sudah lama merasa bermasalah dengan manajemen internal, persoalan dana yang membelenggu pusat sastra dunia dengan koleksi 50 ribu lebih karya sastra. Tak ada komputerisasi, tak ada digitalisasi, karena sedikitnya dana yang digelontorkan untuk perawatan karya sastra,” tegas JJ Rizal.

Selama ini, kata Rizal, banyak pihak sudah menyumbangkan dana seperti Coca Cola Foundation hingga partai politik. Namun tak ada satupun yang tulus memberikan bantuan memang didasari kecintaan terhadap karya sastra. “Pernah ada Coca Cola Foundation sumbang komputer tapi yang kualitasnya tidak begitu bagus, tiga bulan rusak lagi. Ada juga partai politik yang tujuannya sangat politis. Itulah sebabnya kami menolak tawaran Nasional Demokrat (Nasdem) salah satunya,” jelasnya.

Bahkan Rizal menolak tawaran baik Universitas Indonesia (UI) yang ingin merangkul PDS HB Jassin. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.

Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas. Sebab kini PDS HB Jassin nyaris tak bernyawa alias mati suri. Krisis keungan PSD HB Jassin membuat pengusaha properti Ciputra prihatin. Dia pun langsung mendatangi temoat dan memberikan bantuan dana senilai Rp100 juta. "Saya lihat di media. Saya sangat prihatin," ujarnya yang datang langsung dan disambut Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi dan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin, Ariany Isnamurti.

Minta Maaf
”Bukan saya mengatakan saya tidak tahu bahwa saya yang tanda tangani ini. Hanya, barangkali saya harus minta maaf kalau ini luput dari pengamatan saya.” Lontaran ini terucap dari Gubernut Fauzi Bowo saat mengunjungi PDS HB Jassin, i Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Foke, sapaan Fauzi Bowo juga menyesalkan atas kinerja Pemprov DKI yang mengurangi dana bantuan ke PDS. "Jika PDS HB Jassin tidak kita bantu sama saja orang DKI tidak berbudaya. Dokumen di sini tetap bermanfaat untuk masyarakat," katanya.

Dalam kaitan ini, Mendiknas M Nuh pun menyatakan PDS HB Jassin merupakan aset penting sehingga semua pihak berkewajiban menjaga eksistensinya. "Jadi persoalannya bukan mengambilalih atau tidak. PDS HB Jassin itu aset yang mahal dan penting," ujarnya. Mendiknas mengungkapkan pihaknya juga berkepentingan terhadap PDS HB Jassin. Sehingga akan turut serta melestarikannya. "Karena aset maka semua punya kewajiban untuk ikut mempertahankan dan melestarikan. Diknas juga punya kepentingan sebagai sumber pembelajaran," ujarnya.

Ya, mudah-mudahan sikap serius dari pemerintah ini tidak hanya sebatas janji, tapi direalisasikan dengan kebijakan yang memberikan ruang terhadap pengembangan karya sastra. Salah satunya dengan mempedulikan nasib PDS HB Jassin yang menjadi "taman sastra", tempat generasi sekarang dan seterusnya melihat perkembangan karya sastra nusantara dan umumnya dunia.

PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.

Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.

Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.

Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.

PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 12:49 wib

Membiarkan 'Jendela Dunia' yang Mulai Tertutup

PEPATAH menyebutkan bahwa buku adalah jendela dunia. Siapa saja yang akrab bergaul dengan buku tentu dengan mudah mengenal dunia. Salah satu tempat yang paling tepat untuk merawat buku dengan baik tentunya adalah perpustakaan.

Di sana merupakan gudang ilmu yang kaya akan pengetahuan serta pusat peradaban dunia. Namun bagaimana jadinya jika perpustakaan tak mampu lagi merawat buku? Bagaimana bisa setiap generasi penerus melihat dan mengetahui warisan dunia?

Itulah yang terjadi pada nasib Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Salah satu tempat yang memiliki banyak ‘jendela dunia’ itu kini hampir musnah. Sejak tersiar kabar bahwa perpustakaan yang menyimpan puluhan ribu karya sastra itu terancam tutup. Penyebabnya, karena tak ada dana operasional. Kok bisa? Aneh tapi nyata, keberadaan PDS HB Yasin kini seolah memang dilupakan. Padahal, PDS HB Jassin merupakan salah satu pusat karya sastra terlengkap di Indonesia.

Perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta yang terlalu disibukkan dengan berbagai persoalan Ibu Kota yang membludak, membuat PDS HB Jassin semakin terlihat kecil menyempil di tengah segudang polemik Jakarta. Sampai–sampai masalah dana menjadi momok yang selalu terjadi di perpustakaan sastra tersebut.

Bayangkan, untuk menggaji karyawan saja tak bisa, apalagi harus belanja buku ataupun merawat buku. Sistem dokumentasinya saja masih purba. Disusun dengan sistem digital? Sepertinya hanya mimpi. Nasib merana itu harus menimpa sebuah perpustakaan sastra yang didirikan oleh kritikus HB Jassin yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra. Maka tak heran, dia digelari sebagai Paus Sastra Indonesia. Tapi, apa gerangan yang terjadi, semua jerih-payahnya seolah-olah dilupakan.

Sekaliber PDS HB Jassin yang menyimpan kekayaan sastra Nusantara nyaris ditutup apalagi perpustakaan biasa yang dikelola alakadarnya. Mungkin sudah menjadi onggokan ruang dengan tumpukan buku usang yang berdebu. Dengan keadaan seperti itu, salah satu uluran tangan ditawarkan oleh perguruan tinggi negeri Universitas Indonesia (UI). Dengan senang hati, UI bersedia merangkul PDS HB Jassin terutama untuk melengkapi koleksi buku pada perpustakaan UI yang kini tengah dibangun dan diklaim sebagai salah satu perpustakaan terbesar dan terindah se–dunia.

“PDS itu penting bagi bangsa dan negara, karena itu UI berminat. Kebetulan di UI tengah membangun perpustakaan terbesar di dunia seluas 33 ribu meter persegi. Ada dua strategi mengatasi hal ini, pusat dokumentasai ini harus disahkan atau diakses dan dipergunakan masyarakat secara keseluruhan yang mencintai sastra Indonesia. Dijadikan bahan–bahan digitalisasi dengan akses yang tidak terbatas,” ujar Rektor UI Gumilar R Somantri kepada okezone, baru-baru ini.

Caranya, kata Gumilar, dengan memindahkan material atau koleksi sastra yang ada di PDS HB Yasin ke Perpustakaan UI. Bahkan Gumilar memiliki niat mulia untuk membuat pusat sastra HB Jassin di dalam perpustakaan UI. “Tak hanya koleksi buku yang saling melengkapi, nantinya kami akan membuat corner atau pusat sastra HB Jassin di Perpustakaan UI yang pertengahan tahun ini akan diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” jelas mantan Dekan FISIP UI itu.

Gumilar meyakinkan bahwa UI memiliki Information Communication Technology (ICT) yang kuat dan cepat untuk mendigitalisasi karya sastra yang ada di PDS HB Jassin. Tak hanya itu, lanjutnya, jika dokumentasi PDS HB Yasin dipindahkan ke UI seluruh pemanfaatan akan lebih jelas bagi civitas akademisi yang membutuhkan karya sastra.
“Pemanfaatannya jelas, apalagi UI ada Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Budaya (FIB), ini kan library terbuka yang boleh didatangi oleh masyarakat luas, tak hanya dalam bentuk hard copy, kami juga akan bentuk digitalisasi,” paparnya.

Permasalahannya, UI enggan merangkul PDS HB Jassin jika diikutsertakan dengan pegawai yang mengelola pusat sastra tersebut. UI menawarkan pilihan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk membantu dana operasional gaji karyawan PDS HB Yasin jika tetap akan dipindahkan ke UI. “Karena itu karyawannya dari UI saja, karena kita juga agak berat kalau harus menanggung semua. Kalau mau DKI tetap harus membantu dari segi pendanaan,” tegas Gumilar.

Rencana UI ini bukan pepesan kosong. Kepala Perpustakaan UI Lucky Wijayanti mengaku sudah menjalin pembicaraan dengan pihak Pemprov DKI Jakarta. Menurut Lucky, yang dilakukan UI hanyalah menyelamatkan karya sastra bagi bangsa dan negara. “Kami sudah menawarkan agar menjadikan karya sastra di PDS HB Yasin untuk didigitalisasi oleh UI, sambil menunggu audiensi dengan Pemprov DKI. Kalau tak boleh dokumentasi, kami akan lakukan digitalisasi,” kata Lucky.

Pihaknya, kata Lucky, sudah menyiapkan ruang seluas 500 meter persegi khusus untuk dokumentasi PDS HB Yasin di Perpustakaan UI. Menurutnya,masih banyak masyarakat yang menyadari dan peduli terhadap pentingnya karya sastra sebagai kekayaan budaya. “Setidaknya masyarakat kita masih banyak yang lebih senang dengan karya local content, yakni khas Indonesia, inilah yang harus diselamatkan,” tandas Lucky.

Namun Budayawan JJ Rizal yang juga pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris, menolak tawaran UI ini. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.

Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas.
(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 14:10 wib

PDS HB Jassin & Perpus UI, Bagai Langit dan Bumi

SEBAGAI tempat yang menyimpan banyak ‘jendela dunia’, perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang amat bernilai harganya. Tentu kita tak boleh menyia –nyiakan ilmu pengetahuan yang banyak tertulis di setiap buku yang menjadi nyawa dari perpustakaan.

Kapan terakhir kali Anda pergi ke perpustakaan? Mungkin sebagian besar adalah pada saat mengenyam studi di perguruan tinggi. Itupun karena harus memenuhi tugas kuliah saja atau menjelang ujian. Perpustakaan sejatinya menjadi pusat peradaban dunia karena merupakan gudang ilmu pengetahuan. Karena itu, memerlukan ahli pustaka dan tentunya dana yang cukup untuk merawat buku dan mendokumentasikannya dengan baik agar bermanfaat bagi generasi penerus.

Kalau tak ada dana, apakah perpustakaan bisa bertahan? Tentu saja tidak, hal itulah yang kini sedang terjadi pada Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam ditutup karena tak memperoleh dana yang cukup dari pemerintah. Menurut pihak PDS HB Jassin, dana yang didapat tahun 2011 dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya Rp 50 juta.

Itulah yang membuat mereka tak bisa memenuhi biaya operasional seperti membayar gaji karyawan, merawat 50 ribu karya sastra, hingga belanja buku. Lalu bagaimana jika kita bandingkan dengan obsesi Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar R Somantri dalam membangun perpustakaan terbesar di dunia?

Sungguh perbedaan yang sangat timpang, baik dari segi biaya, semangat, hingga sarana prasarana dan fisik gedung, serta sistem digitalisasi yang sama sekali tidak ditemukan di PDS HB Jassin. Memang betul, perpustakaan yang diklaim sebagai salah satu perpustakaan termegah dan tercantik di dunia itu saat ini masih dibangun. Namun tak lama lagi perpustakaan UI yang megah itu akan dapat dinikmati oleh para pecinta buku dari kalangan manapun.

“Saat ini perpustakaan UI sudah masuk tahap akhir design interior, hanya tinggal menyelesaikan urusan kontrak dengan para tenant yang akan menyewa di lantai dasar. Nantinya akan ada toko buku, bank, hingga kafe yang sangat nyaman. Juga ada meeting point atau ruang serba guna,” ujar Rektor UI Gumilar R Somantri kepada okezone, baru-baru ini.

Gumilar menambahkan, peresmian perpustakaan tersebut bahkan akan dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kelebihan lainnya, tutur Gumilar, perpustakaan tersebut adalah yang terbesar yakni seluas 33 ribu meter persegi. “Kami pakai sistem digitalisasi, jadi mahasiswa dari Surabaya ataupun dari luar negeri, tetap bisa membaca dokumen di perpustakaan kami. Tinggal cari katalognya, tak hanya original material, tentunya digital material, terdiri dari delapan lantai,” jelas Gumilar.

Perpustakaan UI diandalkan akan menjadi jantung akademik kegiatan perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab sebagai wadah untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu. Bayangkan saja, dana yang digelontorkan untuk pembangunan perpustakaan UI saja mencapai Rp200 miliar, belum lagi dana perawatan buku nantinya. Sangat timpang jika dibandingkan dengan dana yang diperoleh oleh PDS HB Jassin yang hanya Rp50 juta per tahun.

Uniknya lagi, sebagian dari kebutuhan energi menggunakan sumber energi matahari. Jadi sebuah perpustakaan megah yang hemat energi dan air. Selain itu, gedung ini juga bebas dari asap rokok dan mewajibkan pengunjung untuk menggunakan sepeda atau berjalan kaki. “Kami ingin menghadirkan suasana yang ramah lingkungan. Kami tidak akan menebang pohon-pohon besar yang diameternya mencapai satu meter. Perpustakaan tersebut menampung hingga 6 juta buku dengan kapasitas 20.000 pengunjung setiap harinya, dengan masing-masing lantai seluas 6 ribu m2,” kata Gumilar.

Keunikan lain, terdapat berbagai huruf aksara dari seluruh dunia yang akan ditulis di kaca gedung sebagai dinding. Perpustakaan akan dilengkapi sistem ICT mutakhir yang menungkinkan pengunjung menikmati secara leluasa sumber informasi elektronik seperti e-book, e-journal.

Mengenai alokasi dana, UI mendapat bantuan pendidikan negara serta dibantu oleh BNI 46. Lalu mengapa negara seolah sulit melakukan hal yang sama dengan PDS HB Yasin seperti halnya dengan perpustakaan UI? Padahal disana banyak tersimpan puluhan ribu karya sastra yang begitu bernilai.

Budayawan JJ Rizal yang juga Sekretaris Yayasan PDS HB Yasin memastikan jika tak ada gelontoran dana yang cukup dari pemerintah provinsi DKI Jakarta, tak ada pilihan lain bagi pengurus untuk menutup PDS HB Jassin. Mereka juga tak mau menerima uluran tangan keprihatinan dari sejumlah pihak yang hanya bermuatan politis. “Kami tak ingin dipindahkan, kami juga tak ingin dokumentasi karya sastra di PDS HB Jassin dipindahkan ke tempat lain. Kalau tak ada dana, kami tetap akan menutup, dan belum ada bantuan dari orang yang benar tulus karena cinta terhadap karya sastra,” tandas JJ Rizal.

Ketua Dewan Pembina Yayasan HB Jassin, Ajip Rosidi mengatakan, PDS HB Jassin bisa beroperi dengan baik bila mendapat kucuran dana sedikitnya Rp 1 miliar per tahun. Jika dana yang disediakan masih sama dengan tahun 2010, maka pihak yayasan tidak akan mampu meneruskan pengelolaan PDS HB Jassin.

"Jika tahun 2011 hanya disediakan dana Rp 50 juta, sangat mengejutkan kami, dan itu berarti PDS HB Jassin harus ditutup. PDS HB Jassin bisa berjalan lagi kalau dana yang disediakan paling tidak Rp 1 miliar setahun," kata Ajip dalam jumpa pers, beberapa waktu yang lalu.

PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.

Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.

Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.

Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.

PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 17:10 wib

Dari PDS HB Jassin, Koin Sastra & Minat Baca

MUNGKIN belum banyak yang tahu 17 Mei dicanangkan sebagai Hari Buku Nasional oleh pemerintah delapan tahun silam. Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah. Lagi-lagi disayangkan karena hanya mengedepankan simbolisasi tanpa ada upaya konkret yang konsisten, hasinya pun masih jauh api dari panggang.

Hasil survei lima tahunan dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) benar-benar membuat kita mengurut dada. Pasalnya, survei yang melibatkan siswa SD itu, hanya menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian.

Kemudian dalam penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002 juga menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut kemudian turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Kecenderungan ini sepertinya akan terus menurun karena tidak ada perubahan yang radikal dari pemerintah untuk menggenjot minat baca masyarakat, terutama di kalangan anak-anak.

Salah satu bukti, kurang diperhatikannya perpustakaan yang dimiliki pemerintah terutama di daerah. Pengelolaan perpustakaan daerah dilakukan ala kadarnya, sehingga tidak mampu mengimbangi tuntutan zaman. Padahal perpustakaan menjadi tempat alternatif untuk menyuburkan benih minat baca masyarakat khususnya generasi muda. Sebab itu, kemelut yang melanda Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin setidaknya menyadarkan semua pihak terlutama pemerintah agar tidak mengabaikan buku dan perpustakaan.

Isnain (51), staf bidang sirkulasi dan kliping yang telah bekerja 20 tahun di PDS JB Jassin menuturkan keprihatinan terhadap kondisi tempatnya bekerja. Untuk menghemat biaya agar pusat dokumentasi ini tetap berjalan dan melayani masyarakat, pengelola PDS HB Jassin harus mematikan pendingin udara pada saat pulang kerja.

Hal ini justru membuat ruangan koleksi karya sastra tersebut menjadi lembab dan mempercepat kerusakan kertas. "Padahal untuk menjaga dokumen-dokumen yang ada di sini kondisi ruangan harus tetap dingin agar kertas-kertasnya bisa awet. Kalau AC dimatikan dan dihidupkan lagi ruangan bisa menjadi lembab, sehingga bisa mempercepat perusakan pada kertas-kertas tersebut," papar Isnain.

Meski bekerja dalam kondisi demikian dan gaji pas-pasan, dia tetap semangat dan optimis PDS JB Jassin tidak akan tutup. Pasalnya, selain sering dikunjungi para peneliti mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga wisatawan asing, dia mengaku senang melayani pengunjung dan mengabdi di PDS HB Jassin.

"Yang menguatkan semangat untuk mengabdi di sini karena bisa menuangkan hobi dan kreativitas kami, seperti mengkliping sastra dari berbagai media dan karya, buku. Selain itu, bekerja di sini juga menambah wawasan karena leluasa membaca berbagai macam tulisan, karya, dan informasi mulai dari tahun 1920-an hingga sekarang," tutur Isnain.

Sementara itu Koalisi Perpustakaan dan Pustakawan Indonesia juga meminta Provinsi DKI Jakarta, Perpustakaan Nasional, dan Kementerian Pendidikan Nasional menyelamatkan keberadaan PDS HB Jassin. "Kami meminta agar pihak terkait berkewajiban mengelola Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin sesuai dengan standar perpustakaan yang berlaku," demikian melaui siaran pers yang dirilis di Jakarta.

Koalisi Perpustakaan dan Pustakawan Indonesia menolak PDS HB Jassin menjadi alat politik ormas atau partai tertentu untuk kepentingan politik. Selain itu, minta kepada para pustakawan atau program studi ilmu perpustakaan untuk membantu tenaga dan pikirannya agar dapat menyelamatkan koleksi PDS HB Jassin.

Adapun munculnya gerakan koin sastra yang dimotori para pecinta sastra dan aktivis mahasiwa di sejumlah kampus, menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang lalai terhadap tanggung jawab dalam meningkatkan minat baca masyarakat dengan membangun dan mengembangkan infrastruktur perpustakaan. Dua kejadian ini seyogianya menjadi pintu untuk memperbaiki kondisi perpustakaan tak hanya di PDS HB Jassin, melainkan seluruh perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah.

“Begitulah, tuan dan puan. Setelah bom buku, kini pemerintah kita menelantarkan buku.” Sindiran ini diutarakan Arlian Buana, mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN saat menggelak aski koin sastra, beberapa waktu yang lalu. “Mempertahankan PDS HB Jassin, berarti mempertahankan bagian sejarah dan kebudayaan bangsa,” tukas dia.

Dalam kaitan ini, pemerintah diminta jangan sebelah mata terhadap pendokumentasian karya sastra yang dianggap tidak banyak memberikan keuntungan. Nilai karya sasta tidak bisa dibeli atau diukur dengan uang. Karya sastra merupakan warisan budaya yang tak ternilai.

Arventa Aprilia, mahasiswi semester 6 jurusan Ilmu komunikasi Satya Negara Indonesia (Usni) pun meminta pemerintah segera mengambil tindakan konkret untuk menyelematkan aset PDS HB Jassin. “Ya, sayang aja pemerintah mengurangi dana untuk PDS HB Jassin. Soalnya biar gimana pun itu kan aset negara," ujarnya kepada okezone.

Senada diungkapan Abdul Ghofur, mahasiswa Usni lainnya. “Saya dukung gerakan mahasiswa untuk mengumpulkan koin. Dengan cara ini berharap pemerintah tersadar kalau masih banyak yang peduli dengan keberadaan perpustakaan tersebut. Pemerintah harus membantu, berikan subsidi yang layak ke PDS HB Jassin daripada memberikan fasilitas lebih untuk anggota dewan. Lebih baik untuk kemajuan dan perawatan perpustakaan aja.”

Aya, mahasiswa UIN jurusan tarbiyah mengungkapkan hal yang sama. “Itu menunjukkan pemerintah enggak punya perhatian sama peningkatan mutu. Udah minat baca masyarakat rendah, sosialisasi tentang perpustakaan kurang, terus sekarang perpusnya mau ditutup. Waduh waduh.....”
(ram)

Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 16:46 wib

Jumat, 04 Maret 2011

[Esai] Gender Voices in Literature

Gender Voices in Literature
Oleh Nana Podungge


Tahun 1998 konon dianggap sebagai awal mula digulirkannya tema-tema yang mengusung suara perempuan. SAMAN, novel pertama karya Ayu Utami, didapuk sebagai karya sastra yang mewakili tema ini. Dalam novel ini Ayu Utami mengkritisi pandangan masyarakat yang mengkultuskan keperawanan perempuan lewat keempat tokoh sentral yang kebetulan perempuan: Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Laila yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tingkat relijiusitas lumayan tinggi dikisahkan menghadapi dilemma tatkala ingin mendobrak kesakralan selaput dara dengan usahanya untuk melakukan sexual intercourse dengan kekasihnya yang kebetulan adalah suami perempuan lain. Cok dikisahkan sebagai pembangkang tentang hal ini dengan memiliki banyak pacar dan sexual intercourse jelas bukan hal yang tabu untuk dia lakukan. Sedangkan Yasmin – a too good to be true character – akhirnya pun menjerumuskan dirinya dengan terlibat pengalaman seksual dengan Saman, sang mantan frater. Shakuntala – mungkin karena kebenciannya pada kaum laki-laki yang dia anggap sebagai pangkal mula permasalahan yang menimpa kaum perempuan – merusak selaput daranya sendiri. Jika di buku yang kedua, LARUNG, Ayu Utami mengisahkannya sebagai seorang lesbian tentu sangat masuk akal. Kaum feminis radikal menyodorkan lesbianisme sebagai opsi agar sama sekali tidak terlibat dengan kaum laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.

SAMAN kemudian diikuti oleh novel-novel maupun cerita pendek cerita pendek karya penulis perempuan lain dengan menyuguhkan tema yang sama: mendobrak status quo posisi perempuan, baik dalam rumah tangga, maupun dalam relasi hubungan seksual. Beberapa nama penulis perempuan yang mengikuti ‘aliran’ ini misalnya Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu.

Bagaimana dengan penulis laki-laki? Adakah yang kemudian juga menghasilkan karya yang memiliki tema yang sama? Apakah mereka pun menyodorkan wacana dimana si tokoh perempuan bisa dikategorikan sebagai seorang Laila, Yasmin, Cok, atau Shakuntala? Dengan kata lain perempuan adalah subjek dalam menentukan kehidupannya sendiri. Terlepas dari campur tangan dan pandangan laki-laki tentang posisi perempuan yang konvensional.

Tulisan ini akan membandingkan tokoh perempuan dalam cerita pendek berjudul “Janji Jalu” karya Dewi Ria Utari dan “Mengawini Ibu” karya Khrisna Pabhicara.

JANJI JALU

Ada dua tokoh sentral dalam cerpen ini, Galuh dan Nyi Pamengkas, sang Bude. Galuh yang sejak kecil dibesarkan oleh sang Bude – karena kedua orangtuanya dikisahkan merantau ke Abu Dhabi demi masa depan yang lebih menjanjikan namun kemudian ternyata keduanya dikabarkan meninggal dunia dalam sebuah kebakaran yang herannya tidak melukai sang majikan – adalah contoh tokoh perempuan yang masih ‘hijau’, yang tidak mengenal karakter laki-laki dengan baik. Dalam kultur patriarki tidak terhitung jumlah laki-laki yang hanya memanfaatkan keluguan seorang perempuan demi keberhasilan sang laki-laki itu sendiri.

Nyi Pamengkas merupakan tokoh kebalikan dari Galuh. Pengalaman hidupnya mengajarkannya bagaimana dia bisa seolah-olah menjadi ‘korban’ ketamakan kaum laki-laki, namun sebenarnya dia mengambil keuntungan dari ‘sandiwara’ yang dia mainkan itu. Dia memiliki sejumlah laki-laki yang lebih muda darinya untuk klangenan. Para laki-laki itu berpikir mereka bisa mendapatkan keuntungan dari Nyi Pamengkas tanpa mereka sadari bahwa Nyi Pamengkas lah yang paling memperoleh untung dari hubungannya dengan para ‘klangenan’ itu: dia senantiasa awet muda dan memesona meski usianya telah lebih dari kepala lima.

Nyi Pamengkas yang seorang dalang tersohor ingin menurunkan kepiawaiannya kepada Galuh; tidak hanya dalam bidang mendalang namun juga bagaimana bersikap menghadapi laki-laki.

MENGAWINI IBU

Tokoh sentral dalam cerita pendek ini adalah seorang laki-laki yang tidak terima tatkala melihat ayahnya selalu dan selalu menyakiti hati ibunya dengan membawa pulang para perempuan untuk bercinta di rumah. Konon ‘kebiasaan’ ini dimulai ketika sang ibu telah kehilangan kemampuan untuk ‘serve’ sang ayah di tempat tidur.

Sang anak laki-laki selalu memprotes sang ibu yang diam saja dan tidak pernah memprotes tindakan sang ayah yang nampak telah menafikan perasaan istrinya. Sang ibu dikisahkan sebagai seorang perempuan yang senantiasa memiliki berjuta maaf dan berjuta cinta untuk memahami apa pun yang dilakukan oleh sang suami. Namun toh sang anak sering juga melihat luka di mata sang ibu, yang coba dia samarkan dengan kata-kata bijak penuh maaf.

Hingga satu kali sang ibu meninggal dengan membawa luka di hati. Sang anak pun berjanji pada diri sendiri untuk membalas dendam kepada sang ayah, meski sang ibu melarangnya untuk membalas dendam karena biar bagaimanapun, laki-laki berhidung belang itu adalah ayahnya. Dia ternyata tidak akan pernah bisa memaafkan tindak-tanduk ayahnya yang telah membunuh ibunya.

“Jangan tiru kelakuan ayahmu,” pesan sang ibu tetap terngiang di telinga sang anak.

Dia memang tidak dikisahkan menelantarkan istrinya secara psikologis kelak di kemudian hari. Dendamnya kepada ayahnya dia salurkan dengan cara meniduri perempuan-perempuan yang menjadi ‘ibu barunya’, tanpa sepengetahuan sang ayah tentu.

TOKOH PEREMPUAN DALAM KEDUA CERPEN

Dari ringkasan kedua cerita pendek di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pengarang laki-laki dan pengarang perempuan mendudukkan tokoh perempuan dalam posisi yang berbeda. Dewi mengisahkan Nyi Pamengkas yang perkasa, yang menguasai setiap permasalahan dengan kelihaiannya sebagai seorang perempuan. Dia tidak kehilangan kontrol emosi ketika Galuh mengkhianatinya dengan memberikan gunungan emas kepada Jalu, salah satu laki-laki klangenannya yang ternyata menipu Galuh. Bahkan dari kasus ini, dia mengajari Galuh bagaimana bersikap menghadapi laki-laki. Nyi Pamengkas adalah sang subjek.

Sedangkan Khrisna tetap memberikan karakter perempuan yang dipuja dalam kultur patriarki, seorang perempuan yang maha pemaaf dan maha pecinta. Perempuan sang maha ini – tak peduli bagaimana pun caranya meyakinkan sang anak bahwa cinta dan pengertian adalah segalanya dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan catatan pihak perempuan lah yang didudukkan dalam posisi “the most loving, loyal, and understanding angel” – akhirnya dikisahkan meninggal karena tak mampu lagi menahan duka. Kematian yang membebaskan segala duka duniawi? Apa pun itu, tokoh perempuan di sini adalah objek. Sang ibu objek permainan sang ayah. Tokoh-tokoh perempuan yang kemudian menjadi ‘ibu-ibu’ berikutnya adalah permainan sang anak dalam membalas dendam kepada sang ayah.

READER-RESPONSE THEORY

Tatkala sebuah karya diterbitkan dan sampai ke tangan pembaca, para pengikut teori ‘the death of the author’ pun berpesta-pora bagaimana mereka akan menanggapi karya tersebut. Seorang pembaca yang mengimani ideologi feminisme akan sangat memuja karya-karya yang memiliki tema seperti cerpen JANJI JALU, tokoh perempuan adalah subjek. Karya yang mendobrak status quo tentang posisi perempuan yang diobjekkan, yang hanya bisa menangis meski menggunakan ‘cinta’ sebagai tameng.

Meski tentu saja tak bisa kita negasikan bahwa dalam kultur yang masih saja mengunggulkan patriarki ini tokoh perempuan yang merupakan objek bisa jadi merepresentasikan kondisi perempuan dalam banyak kasus di tengah masyarakat. Masih banyak kasus perempuan yang membiarkan dirinya menjadi korban yang diam saja tatkala sang suami berbagi kelamin dengan perempuan lain. Apalagi dengan embel-embel label “perempuan merupakan makhluk sempurna, yang tidak pernah menyadari kesempurnaannya, sebagai satu-satunya kelemahannya.” Perempuan yang dininabobokkan dengan pernyataan “engkaulah ibu semesta dimana pusat segala cinta dan maaf ada dalam dirimu.”

KESIMPULAN

Laki-laki dan perempuan bisa saja mengusung tema yang sama, menyodorkan suara perempuan. Namun, hasilnya bisa jadi tetap terjebak dalam kultur yang telah menjajah kaum manusia sejak zaman yang entah.

GL7 11.44 040311

Kamis, 03 Maret 2011

[ESAI] Menyusuri Jejak-jejak Romantika Hingga Angkara Murka

Menyusuri Jejak-jejak Romantika Hingga Angkara Murka
Oleh: Sidik Nugroho


Damhuri Muhammad, dalam sebuah esainya menyebutkan bahwa pencapaian estetika prosa juga dipengaruhi oleh sebuah "rukun setengah wajib". Ia menyebut rukun itu "luka". Luka itu bisa "... luka pengarang sendiri, atau luka yang dipungutnya dari orang lain. Luka baru atau luka lama." Di sekujur esai ini, Damhuri kemudian menyindir berbagai novel dan karya sastra yang dilahirkan setelah sebuah bencana—sebagai salah satu jenis "luka" yang disebutnya tadi—terjadi atau dikenang oleh khalayak.

Nah, yang terjadi pada Khrisna Pabichara dalam buku Mengawini Ibu adalah jenis "luka" yang lain. Luka di dalam cerpen-cerpennya tidak dikisahkan dengan bertumpu pada suatu bencana atau masalah-masalah sosial yang fenomenal dan dikenang secara massal. Luka, dalam kisah-kisah yang ditampilkan oleh Khrisna berangkat dari berbagai kenangan, amatan atau imajinya.

Luka-luka itu mungkin kecil bila ditilik secara massal—juga bersifat personal. Namun tak dimungkiri amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari: cinta yang kandas di tengah jalan; adat-istiadat yang masih rentan diterabas untuk pembuktian kegigihan sebuah cinta; hingga amuk-amarah yang menyulut berbagai kemelut hidup karena tak kunjung surut akibat dendam dan kepahitan yang berlarat-larat.

***

Buku kumpulan cerita ini dibuka dengan cerpen Gadis Pakarena yang bercerita tentang percintaan sepasang insan beda suku, ras, agama dan budaya. Kisah ini memadukan nilai-nilai budaya Makassar (juga sebuah tarian Makassar yang disebut Pakarena) dengan kisah Romeo dan Juliet. Lahirlah sebuah kisah yang sarat dengan kegigihan, sekaligus begitu tragis.

Cerpen pertama ini begitu kuat membayangi cerpen-cerpen lainnya dalam buku ini. Hampir semua cerpen dalam buku ini bertema cinta yang tragis, yang kandas di tengah jalan—kisah-kisah cinta yang tertutur manis-getir. Cerpen-cerpen Khrisna mengingatkan saya pada sebuah kumpulan cerpen lain karya penulis Seno Gumira Ajidarma, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta: ada perjumpaan yang manis pada sepasang insan, ada romantika yang terbuhulkan di antara mereka dengan iringan berbagai peristiwa; namun, selalu saja, cinta itu kandas di tengah jalan.

Nah, bila Seno dengan kumpulan ceritanya memotret berbagai kisah cinta yang metropolis, di mana cinta disama-samakan dengan sebuah permainan, maka Khrisna memiliki suara yang lain atas kisah-kisah cintanya. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi buku ini. Khrisna mengisahkan kepada kita kisah-kisah cinta di antara insan-insan yang terkesan lugu, penuh nuansa kampung halaman, dan cinta yang pada awalnya lahir dari tekad berbuat baik dan kesetiaan. Nuansa kampung halaman yang begitu kental dalam cerita-cerita Khrisna ini mengingatkan saya pada Bulan Celurit Api, buku kumpulan cerpen karya Benny Arnas.

Di sebuah cerita Silariang (yang berarti kawin lari) misalnya, saya dibuat terpana dengan upaya gigih seorang pria yang hendak menemui gadis idamannya. Tak terhitung aral yang melintang di dalam jalinan asmara mereka. Namun, kegigihan itu membawa mereka berdua bertemu dan melepas rindu di kolong rumah si gadis! Ada pula cerita Rumah Panggung di Kaki Bukit yang begitu syahdu dan lembut. Saat membacanya saya jadi teringat beberapa lirik dalam lagu Huma di Atas Bukit yang dulu dinyanyikan grup band ternama God Bless. Cerita ini awalnya menjanjikan pernikahan dan rumah kecil bagi sepasang kekasih yang telah memadu hati sekian lama. Namun, ketika jarak memisahkan mereka, dan di tempat lain ada asmara lain yang mengundang selera untuk dijalin, impian memiliki rumah panggung itu pun harus ditepis.

Cerita-cerita berjudul Selasar, Lebang dan Hatinya, dan Hati Perempuan Sunyi saling berkaitan. Saya menganggap tiga cerita ini yang mewakili kepiawaian Khrisna menyajikan kisah cinta yang pedih dan tragis. Di dalamnya tercampur-baur berbagai luka yang menghalangi terwujudnya kesatuan hati sepasang insan manusia: adanya keserakahan, tipu-daya, hingga ilmu gaib yang membuat hati wanita takluk pada seorang pria bejat.

Lantas, bagaimana dengan—cerpen yang menjadi—judul buku ini Mengawini Ibu? Mengawini Ibu adalah cerpen yang menampilkan gejolak jiwa seorang pria yang kehilangan keperjakaannya setelah memadu asmara dengan salah satu istri ayahnya sendiri. Awalnya saya turut prihatin dengan kegelisahan si anak ketika melihat ulah ayahnya yang doyan bergonta-ganti pasangan. Sebabnya, istri pertama si ayah, ibu si anak, tak bisa lagi memberinya kenikmatan karena sebuah kecelakaan. Namun, setelah si anak menikmati manisnya madu yang mengalir dari hubungan intim bersama salah satu istri ayahnya, si anak menjadi gamang. Ia jadi tak lagi gelisah, jiwanya jadi mirip ayahnya yang doyan mereguk madu-surga-dunia itu.

Di antara 12 cerpen yang terhimpun dalam dua buku ini, ada dua cerpen yang tak mengangkat cinta sebagai tema utama. Pertama adalah Ulu Badik Ulu Hati yang cenderung konspiratif, mengisahkan tentang misteri pembunuhan seseorang yang disegani di masyarakat.

Cerpen lain yang tak bertema utama cinta berjudul Arajang, kisah tentang seorang bissu, pemuka adat di dalam tradisi Bugis-Makassar yang identik dengan sosok transgender: bukan laki-laki, bukan perempuan. Hal yang menarik di cerpen ini adalah bagaimana Khrisna memadukan penggalan-penggalan puisi Aan Mansyur dan puisinya sendiri untuk membangun cerita. Puisi-puisi itu jadi tampak lebih hidup dan maknawi, ketika baris-baris prosa yang ada di bawahnya menjalin narasi. Membaca perpaduan itu, saya jadi teringat salah satu definisi puisi di abad ke-18, bahwa puisi adalah "... apa yang sering terpikirkan, tapi tak pernah diekspresikan dengan begitu baik."

***

"Cinta itu menyembuhkan," tulis Khrisna dalam sebuah cerpennya. Dari cinta lahirlah berbagai romantika yang selalu saja berpeluang melahirkan kesunyian, keheningan, dan nuansa yang penuh warna. Dan kita memang tidak mudah melupakan saat-saat hati kita berdentang-denting menyambut kehadiran seseorang yang kita cintai. Kita selalu ingin bernyanyi, mungkin juga menari. Namun, tak jarang pula cinta itu berujung amukan, ketika kecumburuan, nasib, takdir, juga adat-istiadat, menghalangi insan-insan meraih kebahagiaan bersama cinta yang tumbuh-mekar di hati. Bagi Khrisna dan cerita-ceritanya, cinta selalu menyisakan berbagai jejak: dari romantika di sebuah selasar yang lengang, hingga angkara murka karena ada pihak yang menaruh benci atas cinta itu.

Namun, Khrisna adalah sosok yang beruntung dalam hal ini. Ia bahagia memiliki ibu, istri dan seorang putri yang mencintai dan dicintainya. Setidaknya itu yang saya tangkap dalam cerita Riwayat Tiga Layar yang ia tujukan bagi tiga insan tercinta itu. Dan, Khrisna juga sangat berbahagia karena ia memiliki para sahabat dan pencerita, yang sekaligus juga para pecinta, yang kegigihan dan semangat hidup mereka membuat dan membuat cerita tentu menjadi ilham tersendiri baginya. Setidaknya itu yang saya tangkap dalam cerita terakhir di buku ini Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu yang ia tujukan bagi Benny Arnas, Bamby Cahyadi, Fahri Azisa dan Prasodjo Chusnato Sukiman. Nah, untuk para penulis ini—saya rasa juga untuk para penulis lainnya—Khrisna menulis:

"... kamu (si kekasih dalam cerita) berkeras memintaku berhenti mengarang cerita hanya di hari Minggu—sebab istri pertamaku adalah cerita, menurutmu—... (namun) aku putuskan untuk tetap mencintamu dan tetap mengarang cerita di hari Minggu tentang cintaku kepadamu."

Sidoarjo, 3-4 Maret 2011
Sidik Nugroho, pembaca buku

Rabu, 02 Maret 2011

[TULISAN RINGAN] Negara Bermalu, Negara Berbudaya

Catatan: Tulisan ini hanya bagian kecil dari "rasa gerah" melihat perjalanan negeri tercinta, Indonesia.


Negara Bermalu, Negara Berbudaya
Oleh Khrisna Pabichara


Sejarah, hingga hari ini, masih merupakan rekaman sedih dari hal-hal mengerikan yang menyertai perjalanan bangsa. Sumpah Pemuda memang memantik gelegak “perlawanan” dan semangat kebersatuan, tetapi tak cukup kuat untuk “memaksa” kita agar segera melepaskan diri dari kungkungan penjajahan. Proklamasi memang menyulut harapan “hidup lebih bermartabat” dan merdeka dari segala bentuk “keterbatasan”, tetapi belum benar-benar mampu memerdekakan diri dari bentuk penjajahan lain, semisal kebodohan dan kemiskinan. Reformasi memang menyuguhkan euforia setelah sekian lama kita menjadi katak yang terperangkap di senyap tempurung, tetapi belum juga utuh mengawal kita menuju bangsa yang “lebih berbudaya”.

Harapan menuju kehidupan bernegara yang lebih bermartabat dan berbudaya memang masih ada, dan harus selalu ada, tapi kita seolah mengejar layang-layang putus—yang tidak semata mengandalkan kecepatan lari dan kejelian mata, tapi juga keberuntungan dan keramahan angin—yang tak jelas di mana bakal tersangkut atau tergeletak. Anak-anak terlantar semakin menjamur di jalanan, pengemis dan gelandangan jadi pemandangan nyaris di setiap persimpangan, kepala keluarga yang kesulitan mencari lapangan kerja, bencana yang mengintai setiap saat, dan berbagai masalah yang seakan tak mengenal kata selesai.

Begitulah, harapan memang harus selalu ada.

Sepanjang perjalanan bangsa, kita telah kehilangan banyak darah, nyawa, atau harta. Tapi kehilangan terbesar yang menimpa bangsa kita adalah kehilah “rasa malu”. Coba sejenak saja menoleh ke sekitar kita. Piranti hukum semakin tidak dipercaya, tak heran jika maling motor kerap “dihabisi” massa. Patut disesali pelajar sekolah menengah yang lebih rajin tawuran daripada belajar bersama, tapi yang lebih patut disesali adalah tawuran “wakil rakyat” di ruang sidang yang kerap disaksikan secara langsung oleh jutaan pemirsa. Suap menjadi sesuatu yang dianggap lumrah dan menerima suap mulai dinamai kebiasaan. Para pelaku kejahatan tingkat tinggi—setelah mencuri uang rakyat—malah tersenyum direkam kamera. Seolah melakukan kesalahan adalah sesuatu yang lazim, dan sesiapa yang tetap berkukuh pada kejujuraan itulah yang tak lazim. Alangkah!

Selain itu, pagelaran sandiwara bertambah dengan maraknya tuntutan kepada seorang tokoh untuk mengundurkan diri dari tampuk tertinggi sebuah organisasi, malah disikapi dengan "curhat" dan air mata di depan wakil rakyat. Ditambah ulah unik sang pemimpin rakyat yang selain selalu sibuk "merebut simpati", juga mulai repot karena direcoki urusan koalisi. Di sebelah lain, ketika sidang yang memakan biaya banyak dan ditonton rakyat banyak, terbentuk satu fraksi baru di DPR, fraksi yang dibentuk bukan lewat pilihan rakyat--dan uniknya, lintas parpol--melainkan karena "kehilangan rasa malu dan tanggung jawab". Fraksi itu bernama Fraksi Tidur Serempak. Belum lagi pola komunikasi yang sungguh tak layak dikemukakan di sebuah ruang sidang yang agung, semisal caci-maki dan pelototan yang serasa tak lengkap racikan bumbu sidangnya jika itu belum ada. Oh!

Betapapun musykilnya, harapan harus tetap ada. Bahkan ketika sebatang pohon saja tidak mendapatkan asupan sinar matahari, maka batang itu akan membelok ke arah dari mana sinar itu datang. Dan selaku manusia, seperti ditamsilkan Erich Fomm, kita lebih dari sebatang pohon, karena kita memiliki perasaan dan kesadaran. Hanya saja, perasaan dan kesadaran belumlah cukup. Kita masih memerlukan keyakinan dan kegigihan. Keyakinan bahwa kemiskinan bukan sesuatu yang mustahil untuk dientaskan, dan kegigihan berupaya akan memastikan terentasnya kemiskinan itu. Hanya saja, seberapa sadarkah kita? Atau, seberapa teguh keyakinan dan kegigihan kita?

Sejarah, pada akhirnya, mesti tetap menjadi cermin bagi kita. Dan, setiap kita berdiri di depannya, bayangan “malu” tetap memantul dari sana, agar kita berbudaya. Semoga!

Jakarta, Januari 2011

[CERPEN] Pembunuh Parakang

PEMBUNUH PARAKANG

[1]

Jika ada yang bertanya padaku apa sebenarnya yang paling ingin aku lakukan selama hidup di dunia, jawabanku pasti selalu sama: Membunuh Tutu. Tapi bila dicecar lagi, kenapa sehingga aku ingin membunuhnya, jawabannya ialah karena dia telah merampas segala yang bisa membuatku bahagia sepanjang hidupku. Mula-mula dia membunuh Ibuku, lalu dia rebut gadis idamanku. Maka, tidak akan tenang hidupku selama Tutu masih hidup. Bukan itu saja, setiap hari aku disergap sejenis rasa tak terjelaskan, semacam kehilangan sesuatu yang tidak kuketahui atau perjalanan jauh yang tak pernah sampai ke tujuan atau hasrat yang tak tercukupi.

Padahal aku memiliki segalanya. Istri-istri yang hebat, anak-anak yang berbakat, kemuliaan derajat, juga harta berlimpah yang tak bakal habis hingga tujuh turunan. Apa yang kurang dalam hidupku? Ada. Aku sangat menghasrati seseorang: Natisha Daeng Lebang!

Dan keinginan itu sulit kupenuhi selama Tutu masih hidup.

[2]

Hiduplah, Rangka, hidup. Itulah yang selalu kubisikkan kepada diriku sendiri, acapkali bayangan Natisha—yang lebih suka kupanggil Lebang—menari di benakku. Dia perempuan dengan kecantikan alami tanpa banding. Aku sudah melihat dalam hidupku banyak perempuan yang kuakui cantik, tapi dia selalu lebih cantik dari itu semua. Setiap pagi dengan seragam dokter dia melintas di depan rumahku dan selalu membiarkan dia leluasa melenggang. Aku tak pernah menyapanya. Hanya sesekali kucoba mengirimkan selengkung senyum sambil berpikir, “Dia milikku, ya, ku.”

Tapi dia milik Tutu. Aku sadari itu. Hanya saja, sesuatu di bagian lain dalam hatiku selalu menegaskan kata yang berbeda, “Sudahlah, abaikan saja nama Tutu. Peduli setan!” Dan, dengan kata-kata itulah aku menjalani hidup. Sekalipun andaikata itu akan menimbulkan penderitaan, aku tetap akan merebut Lebang dari Tutu. Aku bukan orang yang suci. Malah, bila boleh aku ungkapkan hal sebenarnya, aku culas. Lancung. Dulu, lama sekali, aku merasa telah kehilangan sesuatu dalam hidupku ketika mendengar kabar percintaan Lebang dan Tutu. Sekarang aku disiksa rasa irihati karena Tutu dicintai oleh Lebangku, Natishaku.

Apakah mereka, Lebang dan Tutu, memahami keinginanku?

Tidak! Buktinya mereka sering pamer kemesraan di depanku manakala paddekko—musik perkusi dengan lesung dan alu sebagai alatnya—setiap pesta panen digelar, atau ketika berlangsung ritual ajje’ne’-je’ne sappara—mandi massal menyongsong bulan Syafar di Pantai Tamarunang, atau saat ammotoki batara—tradisi gotong-royong pascapanen jagung.

Sungguh! Pada saat seperti itu merasuk hasrat di hatiku: Membunuh Tutu!

[3]

Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu kenapa aku begitu bernafsu menghabisi Tutu dan begitu menghasrati Lebang. Semua bermula ketika kami masih sama-sama remaja. Waktu itu, sepuluh tahun sebelum aku tuturkan kisah ini, bulan dengan kemilau cahaya keperakannya begitu sempurna menyepuh kampung kelahiran kami, Borongtammatea. Tapi, malam itu, sunyi menyungkupi kampung dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit. Benar-benar malam paling mencekam. Daeng Manrawa, sesepuh kampung yang sangat disegani, tergeletak tak berdaya di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Malam itu pula, nyaris semua pemuda dan lelaki dewasa di kampung kami berjaga dari kemungkinan yang tak dikehendaki di rumah Daeng Manrawa, terutama dari serangan makhluk jejadian yang gemar mengincar orang sekarat, semisal parakang—manusia berilmu hitam yang diyakini orang-orang kampung bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.

Betapa aneh, di zaman canggih, orang masih begitu percaya pada mitos.

Aku mencoba mengurai kembali kenangan semasa kelas satu SMP itu. Malam itu, yang kelak aku sebut sebagai malam paling durjana, Tutu muncul dari arah belakang perkampungan. “Ada parakang, ada parakang.” Begitu teriaknya. Waktu serasa mendadak berhenti. Segera saja kami—seluruh lelaki yang sedang berjaga—menghambur ke arah Tutu.

“Di mana?”

“Tunjukkan!”

Ketika kami mulai merangsek dengan pertanyaan dan pandangan ke arahnya, Tutu tersungkur, mukanya pucat pasi.

“Tunggu sampai dia siuman,” kata seseorang.

“Kita gotong, Daeng, ayo!”

Beberapa lelaki dewasa menggotong tubuh Tutu, lalu membaringkannya di balla-balla—semacam rumah-rumahan di pintu gerbang. Perempuan-perempuan yang dari tadi tenang mengelilingi Daeng Manrawa, sekarang berdatangan merubungi Tutu. “Kabar apa yang dibawanya?” Begitu bisik-bisik yang samar kudengar. “Dia melihat parakang.” Jawab yang lain, juga dengan suara yang sangat pelan, seolah berbicara di depan jenazah. Lalu, Daeng Tinja, seorang sanro—dukun perempuan yang diakui kesaktiannya oleh seluruh warga kampong—memercikkan air dari sebuah tempurung ke ubun-ubun Tutu. Lalu, ajaib! Tutu membuka mata, dan berdesis, “Parakang, aku memukulnya tiga kali, tapi, tapi....”

“Tapi apa....”

“Dia tidak mati!”

“Siapa?”

“Parakang.”

Parakang! Orang-orang saling berpandangan, saling bertanya, entah kepada siapa, atau malah kepada diri sendiri. Tutu terbangun. Dia mengibas-ibaskan kepalanya, butir-butir air di rambut, di dahi, dan di pelipisnya terpelanting. Matanya bercahaya, sekilap, lalu meredup.

“Ada parakang!” tegasnya.

“Di mana?” sergah Daeng Tinja.

“Di rumpun bambu di kebun Daeng Narang.”

Seperti digerakkan oleh tenaga mahadahsyat, orang-orang berlarian ke kebun Daeng Narang. Lelaki-perempuan, tua-muda, semua berlomba. Juga, aku. Hingga kami tiba di sisi kebun, di rumpun bambu, dan mendapati seekor anjing sedang terkaing-kaing, mendengking-dengking. Dan matanya, o, matanya itu meriapkan amarah seolah hendak menelan tubuh kami satu demi satu. Tuhan, aku kenal mata itu. Orang-orang mulai mengelilingi anjing itu, berdiri rapat, seakan tak hendak memberi sejengkal pun ruang bagi anjing sekarat itu untuk melarikan diri. Dan, mata anjing itu, o, mata anjing itu tajam menghujam ke mataku.

Aku terentak, terhenyak. Sungguh, aku kenal mata itu.

Lalu, dari arah rumah Daeng Manrawa, terdengar lolong perih yang menyayat hati. Seorang sepuh sudah mati. Dan, di hadapanku, seekor anjing—yang kukenali matanya itu—sedang sekarat. Lihatlah, lihat, orang-orang mulai beringas. Tangis dan ratap dari rumah Daeng Manrawa itulah penyebabnya, dan anjing—yang diyakini parakang itu—dituding pemicu kematiannya. Aku harus selamatkan anjing itu. Dan pelepah lontar di tanganku segera kusabetkan ke paha anjing itu. Oh, legenda yang selama ini kuyakini hanya dongeng pengantar tidur, sekarang menyata seperentang lengan saja di hadapanku. Orang-orang berteriak agar aku memukul anjing itu sekali lagi, agar tidak menghilang atau mati seketika, tapi semua sudah terlambat.

Anjing itu menghilang! Mata itu, o, mata yang tak asing itu ikut raib!

[4]

Tak kuhiraukan orang-orang yang panik atau takjub melihat anjing itu raib, tak juga aku pedulikan ratap menyayat dari rumah Daeng Manrawa. Aku segera bergegas pulang ke rumah dan mendapati Ibu sedang terbaring lemah di bawah selimut di kamarnya yang lembap, pengap, dan menguarkan aroma tak sedap. Di sudut kamar, Bapak mendekap matanya yang sembap dengan jemarinya yang bergeletar. Aku yakin Bapak baru saja menangis.

Ibu menatapku dengan sayu dan mengulurkan tangan ke arahku. Mari, Nak, Ibu ingin mendekapmu, begitu isyarat yang aku terima. Dan, belum lagi aku sempat merapat di dipan, Ibu berteriak dengan suara yang nyaris tak dapat telingaku menangkap suaranya dengan jelas. “Ambil, Nak, ambillah!” Begitu desis Ibu. Apa yang harus aku ambil, apa yang hendak Ibu berikan? Tapi semuanya terlanjur kasip, terlambat, Ibu sudah tiada. Dan, mata Bapak semakin sembap, semakin bengkak. Seperti Bapak, aku telah kehilangan, pikirku.

Sejak itu aku menganggap Tutu ialah muara tempat petaka ini berulu. Sejak itu pula persahabatan kami merenggang. Dan, aku ingin membunuhnya!

[5]

Tapi itu taklah mudah. Sejak lahir, Tutu mewarisi bakat tak terhingga dari kegemilangan masa lalu. Dia terlahir sungsang dengan kaki terjulur lebih dulu dan ari-ari terselempang membelit tubuh dan lehernya. Konon, itu pertanda dia memiliki banyak kekuatan gaib melihat segala hal yang musykil dan ganjil, termasuk parakang. Alhasil, dia disayang dan disanjung banyak orang. Sedangkan aku. Ah, aku bukan sesiapa. Selain anak tunggal yang kelak mewarisi kekayaan keluarga, dan ilmu yang sama sekali tak pernah hendak kuwarisi—parakang.

Namun, segala telah terjadi, aku harus menempa diri.

Aku melanglang buana demi dendam yang tak surut. Demi mendedah energi yang kerap dikisahkan Ibu, aku ziarah ke makam William Butler Yeats di Drumcliff, Irlandia. Demi aura magis yang kuharap merasuk ke jiwaku, aku sudah sambangi kastil yang dulu menjadi latar cerita Macbeth karya agung Shakespeare, Glamis Castle di Forfar, Skotlandia. Aku juga sengaja bertapa beberapa hari di Elo Progo, muara tempat dua sungai bersatu di dekat Candi Borobudur. Dan tak terbilang tempat lain yang telah kukunjungi. Konon, seperti pesan Bapak dan Ibu, aroma magis tempat-tempat itu akan menguatkan ilmuku.

Begitu kembali ke tanah kelahiran, Tutu semakin kuat, semakin tangguh. Aku tetap akan membunuhnya, seperti dulu dia sebabkan kematian Ibu. Malangnya, aku kalah duel satu lawan satu. Kembara selama berpuluh-puluh tahun, ternyata belumlah cukup untuk menaklukkan kekuatan Tutu.

[6]

Hanya ada satu cara untuk membunuh Tutu: Merebut Lebang. Dan, itulah yang kulakukan. Membawa lari perempuan cantik itu setelah menundukkan hatinya lewat mantra pengasih. Maka, di sinilah aku hari ini, di Makalehi—sebuah pulau di antara puluhan pulau terluar di Indonesia. Jauh dari Tutu, jauh dari kepahitan masa kecil karena kehilangan Ibu, jauh dari tatapan jijik orang-orang kampung tersebabkan satu tudingan: Keluargaku parakang.

Apa kabar, Tutu? Aku larikan nyawamu, Lebangmu! [*]

Jakarta, April 2010