Selasa, 28 September 2010

[TULISAN RINGAN] Elang Berperilaku Ayam

Catatan: Tulisan ini semata untuk bahan perenungan saja. Tidak ada niat untuk menghujat atau mengugat, apalagi menghakimi seseorang. Terima kasih atas perkenan Anda membaca tulisan ini. Semoga berfaedah adanya.

Elang Berperilaku Ayam
Oleh Khrisna Pabichara 

”Kecantikan abadi bukan terletak pada wajah rupawan atau pakaian menawan, melainkan pada keelokan budi dan ketinggian ilmu.”
Buya Hamka.


TERSEBUTLAH kisah, seperti pernah dituturkan Anthony de Mello, seorang petani menemukan telur burung elang di ladangnya. Karena rasa kasih yang dimilikinya, petani membawa telur itu pulang ke rumahnya, lalu meletakkan telur elang itu diantara tumpukan telur ayam yang sedang dierami oleh induknya. Tak lama berselang, telur itu menetas bersama telur-telur ayam lainnya. Sejak itu, elang kecil hidup tumbuh dan hidup laksana ayam, berjalan meniru induknya, mematuk-matuk makanan seperti saudaranya—anak-anak ayam—dan berperilaku sama seperti ayam-ayam yang lainnya. Hanya saja, ia terlihat lebih elegan dari ayam lainnya.

Ia terus bertumbuh hingga usianya mulai tua. “Ayam” itu tak pernah mencoba terbang apalagi meliuk di udara, ia hanya bisa berjalan seperti yang dipelajarinya sejak kecil. Meskipun ia tak bisa bertelur layaknya ayam betina atau birahi seperti ayam jantan. Hingga suatu ketika, “ayam” yang mulai tua itu bermain di ladang bersama ayam-ayam lainnya. Ketika melongok ke udara, ia melihat seekor burung melayang-layang dengan gagah mengintai mangsa. Ayam-ayam lain mengajak “ayam” itu segera mencari tempat yang aman untuk berlindung.

“Kenapa kita harus lari bersembunyi?” tanya “ayam”.

 “Kalau tidak, kita akan dimangsa burung perkasa itu,” jawab ayam lainnya.

“Makhluk apa itu?” cecar “ayam”.

Ayam lainnya menjawab, “O, itu burung paling perkasa. Namanya burung elang. Selain jago terbang, ia juga suka menunggu kita lengah agar bisa memangsa kita.”

“Kita juga punya sayap, kenapa tidak terbang saja?” sergah “ayam” itu.

“Kamu ada-ada saja,” jawab ayam yang lain, “kita ini hanya seekor ayam, tidak mungkin bisa terbang seperti itu.”

Karena penasaran, “ayam” itu keluar dari persembunyiannya. Ia abaikan peringatan saudara-saudaranya. Akibatnya, ia mati diterkam burung elang. Akhir kisah, “ayam” itu benar-benar mati sebagai ayam.

***

KELEMAHAN terbesar kita sebagai manusia adalah pikiran kita. Banyak orang cenderung menganggap dirinya lemah, bersikap apatis, dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang “kenyamanan” seperti yang lazim ia lakukan. Alhasil, orang-orang seperti itu menjadi “ayam” yang tak bisa terbang menari dengan gagah di angkasa, padahal ia memiliki kapasitas itu sejak ia dilahirkan. Hebatnya, banyak di antara kita yang betah berlama-lama memelihara paradigma yang salah itu, tak ubahnya “sang ayam” yang akhirnya mati sebagai ayam, bukan sebagai elang yang perkasa.

Jadi, tepatlah petuah Buya Hamka, seperti tertera di awal tulisan ini,”Kecantikan abadi bukan terletak pada wajah rupawan atau pakaian menawan, melainkan pada keelokan budi dan ketinggian ilmu.” Dengan berbekal ketinggian ilmu, kita akan lebih mudah meninggalkan paradigma salah, dan memilih pikiran yang lebih sehat memasuki benak kita secara lebih leluasa. Setiap mendapat kesulitan, kita akan menyaring pikiran, memilih pikiran-pikiran positif dan mengabaikan—bahkan menolak dan membuang jauh-jauh—pikiran-pikiran negatif. Dengan berbekal keelokan budi, kita akan memahami apa yang seharusnya kita lakukan, termasuk kapan dan bagaimana melakukannya.

Hanya saja, ketinggian ilmu dan keelokan budi itu tidak serta-merta terbawa bersama kelahiran kita, melainkan harus diusahakan, dilatih, dan dibiasakan.

Begitulah aturan hidup yang mesti kita jalani.

***

KEKUATAN terbesar kita sebagai manusia adalah pikiran kita. Orang-orang yang berhasil mengubah dunia adalah orang-orang yang berhasil keluar dari penjara mentalnya, yang sukses menyaring pikirannya—dengan memilih hanya yang positif—dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Sekadar menyebut nama, Thomas Alva Edison, Wright bersaudara, Soichori Honda, Bill Gates, atau yang lainnya adalah orang-orang yang memilih jadi ”elang” seutuhnya walaupun mereka hidup di lingkungan ”ayam”. Mereka berusaha optimal untuk keluar dari zona nyaman atau wilayah aman yang biasa mereka jalani. Bahkan mereka ikhlas dituding ”gila”. Hasilnya, mereka berhasil mewujudkan apa yang mereka impikan dan memberi faedah sebesar-besarnya bagi sesama manusia.

Maka, sebaiknya kita camkan nasihat Stephen R. Covey, “Kalau Anda menginginkan perubahan kecil, garaplah perilaku Anda. Jika menginginkan perubahan besar, garaplah paradigma Anda.” Sejatinya, ”ayam” sudah mencoba melakukan perubahan kecil dalam hidupnya, yakni memilih keluar dari persembunyiannya. Tapi ia belum sukses melakukan perubahan besar, mencoba terbang seperti layaknya elang yang lain. Dalam hidup ini, perubahan kecil saja belumlah cukup. Kita harus berani melakukan perubahan besar, dan prasyarat utamanya adalah mengubah paradigma.

Banyak di antara kita memiliki gagasan hebat, ide cemerlang, atau mimpi brilian, tetapi tidak membawanya ke tataran nyata. Itulah mengapa kita butuh mengubah perilaku. Mimpi saja belum cukup, kita butuh upaya keras dan usaha cerdas yang lebih nyata. Ketika gagasan-ide-mimpi itu tidak kita rancang lebih optimal, berarti kita telah melakukan kesalahan mendasar dalam hidup ini, yakni mengabaikan aset besar yang kita miliki. Sungguh, Mahatma Gandhi sudah pernah mengingatkan kita, ”Seseorang tidak dapat melakukan hal yang besar di satu sisi kehidupan, sementara ia sibuk melakukan kesalahan di sisi lain.” Jadi, tunggu apa lagi?

Sebenarnya, setiap hari, kita disuguhi banyak pelajaran berharga. Sayangnya, tidak banyak yang bisa kita serap. Setiap hari kita mendapatkan inspirasi, entah dari mana saja asalnya. Sayangnya, kita tidak melakukan apa-apa. Inilah paradigma, inilah perilaku. Tak ada bedanya dengan ”sang ayam” yang punya harapan berbuat lebih dari sesama ayam, tetapi ia tidak melakukan apa-apa kecuali keluar dari sarangnya.  Alhasil, pelajaran dan inspirasi berharga itu berlalu begitu saja, seperti mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang hanya terus mengendap dalam pikiran.

Anehnya, kita kerap mengeluhkan kebiasaan buruk dan menyesali diri manakala satu peluang telah kita biarkan lewat begitu saja, tanpa mengubah perilaku dan paradigma. Sungguh, malang nian nasib kita bila lebih memilih berkubang di zona nyaman dan tak kunjung meng-instal nyali agar bisa keluar dari penjara mental.

***

BETAPAPUN, kekuatan dan kelemahan kita, sejatinya, terletak di pikiran kita. Karena itu, hal mendasar yang seyogianya kita lakukan bila menginginkan perubahan adalah dengan menata, mengelola, dan mengatur pikiran itu. Apa pun yang terjadi, tak layak pikiran yang negatif berkuasa atau menguasai benak kita. Pilihan terbaik bagi kita adalah memutar pikiran positif berulang-ulang sampai terekam dengan baik dalam pikiran alam bawah sadar kita. Tak layak pula bagi kita untuk ”mati” terlebih dahulu baru menyadari betapa kita telah melakukan kesalahan besar sepanjang hidup, seperti yang dialami ”sang ayam” dalam petikan kisah di atas.

Pilihan terbaik bagi kita adalah memilih menjadi “elang sejati” daripada hidup sepanjang hayat sebagai “ayam”. Karena itu, mari kita mulai dengan menggarap perilaku dan paradigma. []

Bogor, September 2010

[ESAI] Reformasi Setengah Matang

Catatan: Tulisan ini didaras untuk membabar hasil pembacaan atas buku kumpulan puisi Konde Penyair Han anggitan Hanna Fransisca. Dimuat di Berita Pagi, Edisi Minggu (26/09/2010)


Reformasi Setengah Matang
Khrisna Pabichara


“Indonesia adalah dunia yang tak pernah sudah.”
—Rivai Apin.

Dua belas tahun setelah Reformasi 1998, investasi Republik Indonesia terhadap warganya masih perlu dipertanyakan. Padahal, keruntuhan Orde Baru adalah peristiwa yang demikian penting, yang menimbulkan harapan demikian besar bahwa setelah peristiwa tersebut kehidupan bernegara akan berubah. Tapi langit belum juga secerah harapan. Penculikan para aktivis pada 1997-1998, pembunuhan aktivis HAM, Munir, pada 2004, dan praktik-praktik intelijen untuk kepentingan rezim yang sedang berkuasa belum ketahuan siapa dalangnya. Semua itu, konon, dilakukan atas nama “keamanan negara”, walau tak jelas apa definisi dari “keamanan negara” itu.

Potret penegakan hukum pada kasus-kasus pelanggaran HAM masih berwajah buram. Tidak banyak “cerita sukses” yang dapat ditampilkan. Kasus-kasus dengan jumlah korban yang  banyak dan dampak yang luas—semisal kasus Trisakti, “Mei Berdarah”, Semanggi I dan II—tak pernah jelas hulu-hilirnya. Kejahatan HAM yang menyebabkan wafatnya beberapa mahasiswa dan ribuan korban lainnya, hanya menjadi “tumbal dan petasan reformasi”. Peran dan jasa para agen perubahan yang telah menjadi korban yang berpucuk pada lahirnya reformasi, tidak mendapat tempat untuk dihormati dan dihargai. Tak satu pun pelaku pelanggaran HAM pada saat kerusuhan, selang sebelum reformasi lahir, dapat dibawa ke pengadilan. Sungguh, siapa pun yang hari ini tengah mereguk nikmat reformasi seharusnya belum dapat mengumbar senyum, bertepuk dada, apalagi tidur dengan nyenyak, dan berkata santun seolah tengah atau telah melakukan reformasi.

Betapa!

Ini salah satu sisi yang disasar secara implisit oleh Hanna Fransisca lewat kumpulan puisinya, Konde Penyair Han. Dia sampaikan “tuntutan” yang berkecambah dari pengalaman-pengalaman batin dan berpucuk pada kegelisahan. Republik yang dibangun dari kerangka demokrasi ini tak kunjung menemukan hakikat perbedaan yang sejati. Setiap hari kita disuguhi tontonan yang lebih melibas yang kurang, atau yang mayoritas menggilas yang minoritas. Tengoklah puisi Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi. Dengan lugas Hanna berkata, “Bukan tempatmu tinggal di sini.” Begitupun dalam puisi Air Mata Tanah Air, penyair kelahiran Singkawang ini membabar metafora keperihan dengan, “Engkau telah dewasa. Jangan berjalan riang di jalan raya sebab semua aspal yang kaupijak bukan punya kita.”

Mestinya, siapa pun yang lahir di pelukan pertiwi, keamanan hidupnya dijamin oleh negara. Tapi kenyataan tidak seindah yang kita bayangkan. Semboyan ke-bhinneka-an dan ke-ika-an kita tinggal slogan belaka. Ketidaksanggupan menerima perbedaan bukan hanya marak di kalangan akar rumput, tetapi juga terang-benderang di jajaran elite bangsa. Maka, penting bagi kita mencerap teguran Hanna. Aku mengerti artinya benar penjara/ karena sewaktu-waktu kotak milikku/ bisa dibakar dan dijarah paksa.   


Bagi setiap warga negara, keturunan atau pribumi, dengan merujuk pada amandemen UUD 1945, terjamin kebebasannya untuk berpendapat, berserikat, atau berkumpul. Indonesia juga mempunyai UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan meratifikasi 2 konvenan, yaitu Convention on Civil and Political Rights dan Convention on Social, Economic, and Cultural Rights. Faktanya, penggunaan kekerasan dengan mengatasnamakan simbol-simbol etnis, kelompok, ras, dan agama masih tetap digunakan. Sebut saja kasus Poso, Ambon, Maluku Utara, Aceh, dan Papua. Atau yang paling anyar, penusukan terhadap pemuka agama HKBP—apa pun alasan pelaku yang melatari tindakannya.

Entah kenapa kekerasan seolah-olah menjadi satu-satunya jalan keluar. Mungkin itu pula sebabnya Hanna “bergumam” melalui puisi Layang-layang: Sebelum kita lupa aroma arak/ yang direndam sungai air mata ibu,/ beserta doa yang kini mengubahmu/ menjadi telur penyu./ Bunuhlah aku, Adik! Puisi ini menegaskan maraknya keadaan yang kontradiktif; kerinduan atas ketenangan berhadapan dengan kekerasan di sisi lain, harapan agar HAM bisa ditegakkan secara konsisten dihadapkan pada fakta kekerasan yang senantiasa digunakan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.

Inilah ironi di negeri beradab ini.

Bagaimanapun, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kenyamanan dan kesejahteraan warga negara terjamin. Pendeknya, investasi negara terhadap atau untuk warga negaranya adalah persoalan yang sangat penting. Hanya dengan cara seperti itu, ketakutan Rivai Apin bahwa—Indonesia adalah dunia yang tak pernah sudah—tidak terbukti. Dan setiap anak bangsa, termasuk Hanna, bisa berlutut takzim di makam leluhurnya sembari berdoa, “Aku datang padamu dengan sepasang lilin putih/ agar hidupku terang bercahaya.”

Mari kita rayakan perbedaan dengan saling memahami, agar Reformasi tidak "Setengah Matang".[]

Khrisna Pabichara, prosais dan motivator. Bermukim di Bogor.

[TULISAN RINGAN] Perseteruan Murid Zen

Catatan: Tulisan ini semata refleksi pribadi. Tidak bermaksud menghujat, menggugat, apalagi menjatuhkan pihak mana pun. Semoga berkenan membaca dan mengomentarinya.


[TULISAN RINGAN] Perseteruan Murid Zen
Oleh Khrisna Pabichara


TERKISAHKAN dalam banyak riwayat, dua orang murid Sang Guru Zen sedang melakukan perjalanan dalam rangka mempraktikkan ajaran yang telah mereka terima dari Sang Guru Zen. Murid Kesatu berbadan kecil berkulit kekuningan. Murid Kedua berbadan tinggi tegap berkulit agak kecoklatan. Murid Kesatu suaranya sangat lembut, bila bicara seolah seluruh isi alam takzim mendengarnya. Murid Kedua suaranya keras penuh wibawa, bila berbicara seolah seluruh isi alam patuh menyimaknya. Sepanjang perjalanan mereka bahu-membahu, tolong-menolong, dan saling ingat-mengingatkan.

Setelah berbulan-bulan melaksanakan amanat yang diembannya, mereka berencana pulang ke tempat pertapaan Sang Guru Zen untuk melaporkan segala yang telah mereka kerjakan. Tentulah bukan perjalanan yang mudah dan menyenangkan, tapi kegembiraan bakal bertemu guru tercinta begitu meruah dalam dada. Gunung dan lembah mereka lalui dengan riang. Hutan gelap mereka lewati begitu gembira.

Hingga mereka tiba di sebuah desa yang baru saja dilanda bencana banjir. Rumah-rumah dan pohon-pohon rubuh bertumbangan. Mayat-mayat bergelimpangan. Air yang mulai surut setinggi mata kaki penuh lumpur. Kedua murid Sang Guru Zen itu tidak surut. Mereka terus melangkah, meski kaki berat diayunkan.

Lalu mereka mendengar teriakan, seperti suara seseorang yang sedang meminta pertolongan. Meskipun pandangan keduanya terhalang, suara itu terdengar walau agak lamat. Mereka pun bergegas, dan terkesiap melihat seorang gadis, dengan pakaian penuh noda lumpur tersingkap di beberapa bagian, berdiri dengan muka pucat pasi.

“Ajaib, masih ada korban yang selamat,” kata Murid Kesatu sambil mengucek-ucek matanya seolah tak percaya.

“Ah, mustahil. Pasti halusinasi,” sergah Murid Kedua.

Murid Kesatu tersenyum lembut. “Apa pun namanya, kita tetap harus menolong gadis itu.”

“Tapi…. Tunggu dulu! Bagaimana kita akan menolongnya? Lihat, pakaian gadis itu acak-acakan, membangkitkan birahi. Itu melanggar ajaran guru. Lagi pula, tidak mungkin kita menggendong atau membopong tubuhnya. Mustahil.” Kata Murid Kedua dengan suara yang pelan tapi penuh wibawa.

“Tak perlu kita membopong tubuhnya sepanjang perjalanan. Cukup hingga ke kaki bukit itu. Ingat, di balik bukit ada perkampungan. Kita tinggal mengabarkan kepada penduduk kampung, di desa sebelah ada korban banjir yang masih selamat. Mudah, kan?” jawab Murid Kesatu dengan lembut.

Wajah Murid Kedua memerah. “Tidak. Aku tidak mau melanggar ajaran Guru. Selama ini kita berjuang mati-matian mengamalkan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Lantas karena seorang gadis semuanya jadi tak berarti? Tidak mungkin.”

Murid Kesatu pun melangkah ke arah Sang Gadis. Menyapanya dengan lembut, menenangkan hatinya, lalu meminta maaf karena harus menggendongnya. Sang Gadis pun mengiya dan segera bergelayut ke tubuh Murid Kesatu. Murid Kedua memejamkan mata, mulutnya komat-kamit memohonkan ampun bagi kesalahan saudara seperguruannya. Setelah susah payah melewati kubangan lumpur sepanjang sekitar 70 meter, mereka pun tiba di kaki bukit. Segera saja Sang Gadis turun dari gendongan, sinar matanya menyiratkan ucapan terima kasih yang sangat tulus. Murid Kesatu dan Murid Kedua pun melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya mereka tiba di perkampungan di balik bukit. Lantas menyampaikan kepada penduduk kampung ihwal gadis yang mereka selamatkan, lalu mereka teruskan perjalanan. Karena hari mulai gelap, mereka sepakat untuk istirahat.

“Bertobatlah, Saudaraku!” Kata Murid Kedua.

“Karena kesalahan apa?”

“Kamu telah melakukan perbuatan maksiat.”

“Aku cuma menggendong gadis itu sepanjang 70 meter, kamu menggendongnya dalam pikiranmu sepanjang 7 kilometer. Siapa yang mestinya bertobat?” tanya Murid Kesatu.

***

KERAP KALI ajaran agama yang kita yakini kita maknai sebagaimana adanya saja. Ada banyak nilai tersirat yang belum kita singkap. Sebutlah seperti pendapat Murid Kedua di atas. Benarlah adanya bahwa mereka harus taat pada ajaran Sang Guru yang mereka yakini kebenarannya. Akan tetapi, tidak berarti apa yang dilakukan oleh Murid Kesatu—menolong Sang Gadis—benar-benar salah. Ia memaknai ajaran Sang Guru dengan kemampuan merangkul dan menghayati ajaran itu hingga ke tataran penafsiran dan pengamalan yang lebih membumi.

Kisah di atas hanyalah tamsil belaka. Sebut saja betapa banyak anak-anak yang terpaksa turun ke jalan karena paksaan keadaan, lalu menadahkan tangan berharap belas kasihan dari para pengguna jalan. Bagi sebagian orang, larangan memberikan sedekah seperti yang dimaklumatkan pemerintah di beberapa kota adalah sesuatu yang “jelas”—seperti larangan melihat aurat perempuan dan berdekatan dengan perempuan bagi Murid Kedua—dan harus diterapkan. Belum lagi bila dikait-hubungkan dengan asumsi bahwa “gerombolan” pengemis itu sebenarnya “profesi samar” yang terorganisir. Maka, sedekah menjadi sesuatu yang “tabu”, bahkan “tidak boleh”. Apalagi bila kita meyakini bahwa tugas memelihara, melindungi, dan "mengasuh" orang miskin dan anak terlantar adalah kewajiban negara. Makin kompleks, kan?

Dalam tataran kebijakan, sekadar menyebut contoh, tilik pula SKB Menteri tentang pembangunan rumah peribadatan yang terus memicu konflik antar-umat beragama. Bagi umat yang “fanatik” akan menjadikan SKB itu sebagai senjata untuk melarang agama lain menjalankan ritual ibadatnya, bahkan kerap pula disertai dengan tindak kekerasan—yang sebenarnya tidak pernah dianjurkan oleh agamanya—atas nama agama dan menggunakan simbol-simbol agama. Sementara, Pemerintah tidak bersegera mencari solusi terbaik, semisal mengeja dan membaca ulang SKB itu.

Sungguh, ada banyak hal yang seyogianya butuh permenungan kita.

***

KEMBALI ke muasal perdebatan murid Sang Guru Zen di atas, tentulah banyak hikmah yang bisa kita petik. Selama ini kita sering—kadang-kadang sangat sering—berburuk sangka, menduga sesuatu yang belum tentu pasti, atau pikiran negatif yang belum tentu absah kebenarannya. Kita lebih suka memilih mendiamkan suatu masalah daripada berusaha mencari kebenarannya. Kita pun kerap mengambil keputusan sendiri, sebelum bersikeras mencari hakikat dan kejelasan masalah itu. Keberanian Murid Kedua untuk mempertanyakan “penyimpangan” yang dilakukan oleh Murid Kesatu, sejatinya, adalah ajakan bagi kita untuk belajar berterus-terang, belajar lebih terbuka, dan belajar menerima perbedaan.

Kisah di atas bukanlah pencarian siapa yang benar atau siapa yang salah. Bukan pula pemastian siapa yang lebih berbakti atau siapa yang sudah menyimpang. Kisah di atas hanyalah cermin bagi kita dalam hidup kekinian yang semakin “rumit”. []

Bogor, September 2010

Jumat, 24 September 2010

[TULISAN RINGAN] Antara Nelayan dan Pengusaha

Catatan: Jika Anda punya waktu senggang, bacalah tulisan ringan ini. Tulisan sederhana, bahasa yang mudah dicerna, semoga bisa jadi teman bermenung bagi Anda walau hanya sekejap. Terima kasih apresiasinya, Sahabat!


ANTARA NELAYAN DAN PENGUSAHA
Oleh Khrisna Pabichara

Tersebutlah kisah seorang pengusaha sukses yang bertemu seorang nelayan yang sedang santai duduk di pinggir pantai, membiarkan perahunya terapung sembari menikmati debur ombak menjilat lekuk pantai. Nelayan itu tampak begitu menikmati kesendiriannya. Pengusaha itu pun mendekatinya.

“Mengapa kamu asyik bermenung dan tak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha itu.

“Karena ikan yang kutangkap kemarin masih cukup untuk hari ini,” jawab nelayan itu dengan tenang.

“Bukankah kamu akan mendapat lebih banyak lagi jika tetap melaut?”

“Untuk apa?” nelayan itu balas bertanya.

“Agar kamu bisa mendapat uang lebih banyak,” jawab pengusaha, “dengan begitu kamu bisa mendapat hasil lebih banyak, lalu membeli jala dan perahu yang lebih besar agar mendapatkan hasil lebih banyak lagi. Dengan begitu, kamu akan kaya seperti saya.”

“Sesudah itu, apa yang harus saya lakukan?” tanya si nelayan.

“Kamu bisa beristirahat, bersantai, dan menikmati hidup dengan tenang.”

Nelayan itu tersenyum lembut. Lalu bertanya, “Menurutmu apa yang sedang saya lakukan sekarang?”


Siapakah di muka bumi ini yang tidak menginginkan kebahagiaan dan kekayaan? Siapakah di antara kita yang tidak menghendaki ketenangan dan menikmati hidup dengan nyaman? Si Pengusaha, seperti tersirat dari cerita di atas, adalah seseorang yang bergelimang harta dan menjadikan kekayaan sebagai takaran kebahagiaan. Sebaliknya, Si Nelayan adalah orang yang bersahaja yang menjadikan kebahagiaan sebagai ukuran kekayaan. Karakter Pengusaha dan Nelayan itu bertebaran di muka bumi. Ada yang sibuk menumpuk harta tapi tak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, ada pula yang hidup bersahaja tapi begitu berbahagia menikmati hidupnya. Ada yang hanya sibuk memburu kemegahan duniawi, ada yang menjadikan dunia sebagai jembatan semata. Tapi yang terbaik adalah mereka yang punya banyak harta dan berbahagia hidupnya. Tentu saja, tak ada yang lebih benar di antara Pengusaha atau Nelayan itu. Masing-masing bisa salah atau benar.

Di posisi manakah kita berada? Apakah seperti Pengusaha yang tak berhenti mencari harta atau seperti Nelayan yang hidup bersahaja? Ataukah kita malah berada di antara keduanya, gesit mencari harta sembari menikmati hidup mengalir semestinya?

Tentulah masih lekat dalam ingatan kita tentang Ramadhan yang baru saja berlalu. Jika tubuh kita laksana Pengusaha yang terus menerus berusaha tiada henti, maka Ramadhan adalah masa istirahat yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menikmati harta itu dengan cara yang semestinya, semisal berbagi kepada sesama—lewat zakat, sedekah, atau infak. Ramadhan menjadi bulan istimewa, di mana kita bisa mensyukuri limpahan nikmat tanpa harus kehilangan waktu-waktu berharga dalam kehidupan. Menyitir nasihat Winston Churchill, “Kita hidup dari apa yang kita dapatkan dan kita bahagia dari apa yang kita berikan.”

Dengan demikian, hikmah yang bisa petik dari Ramadhan adalah keseimbangan. Hidup membutuhkan harmoni. Dan harmoni terindah bagi orang-orang kaya adalah ketika mereka ikhlas memberi kepada yang membutuhkan. Memberi sepenuh cinta, seperti ditamsilkan oleh Rasulullah, memberi dengan tangan kanan yang tangan kiri sama sekali tak mengetahuinya. Dengan cara seperti ini, kondisi yang tercipta di tengah masyarakat adalah harmoni antara si kaya dan si miskin. Alangkah!

Kita pun bisa menjadikan pola hidup Nelayan sebagai cermin dalam kehidupan sehari-hari. Sejatinya, hidup memang tidak sekadar sibuk setiap hari. Melainkan, apa sebenarnya yang sedang kita sibukkan. Kemampuan memaknai hidup bukanlah kecerdasan yang bisa datang begitu saja, melainkan buah dari pengalaman dan kesigapan bersyukur. Jika takaran kemampuan kita sudah mencapai limit, bukankah tak bijaksana apabila kita harus memaksa diri? Ramadhan, sejatinya, bukanlah bulan berlapar-berhaus semata. Ramadhan adalah bulan pelatihan, waktu yang tepat bagi kita untuk menyadari diri, tujuan hidup, dan hakikat penciptaan. Selama 30 hari kita menjalani ritual puasa haruslah menghadirkan pencerahan bagaimana semestinya kita berperang melawan hawa nafsu. Bukankah setelah menahan haus dan lapar sepanjang hari, meskipun halal melahap apa saja setelah berbuka, kita tetap harus menahan diri untuk menikmati segala hidangan secara berlebihan?

Pandangan hidup Nelayan, seperti tersirat dalam cerita di awal tulisan ini, adalah petuah yang patut kita renungkan. Di dalamnya termaktub pula pelajaran tentang bersyukur, berserah diri, dan bertanya pada nurani. Dengan bekal itu, cukuplah bagi kita mengarungi kerasnya hidup dan persaingan kehidupan. Tak perlu kita sikut kiri-kanan demi kebahagian semu—harta duniawi—dan melalaikan kebahagiaan sejati. Tak perlu kita memaksa diri lebih besar pasak dari tiang demi memuaskan ambisi duniawi—lantas gelap mata melahap yang bukan hak.

Jika pelajaran itu bisa kita terapkan dalam kedupan sehari-hari, pastilah posisi teratas sebagai negara terkorup bisa kita tinggalkan. Insya Allah!


Setelah itu, kita patut merayakan Lebaran. Berbagi penganan, berbagi permaafan. Yang sempit kita lapangkan, yang tersumbat kita lancarkan, yang tersimpan kita berikan. Inilah kebersamaan yang patut kita lestarikan sepanjang masa. Kemampuan berbagi, keseimbangan memberi dan menerima, keindahan memaafkan dan dimaafkan, semuanya adalah pelajaran terbesar yang kita dapatkan dari tirakat sepanjang Ramadhan.

Sejatinya, selepas Ramadhan kita kembali dalam kondisi fitri. Akan tetapi, bukan berarti kita leluasa untuk menodai kefitrian itu lagi. Kita boleh memilih jalan hidup seperti Si Pengusaha atau Si Nelayan. Tapi kita juga bisa menjadi di antara keduanya. Nah… (*)

Bogor, September 2010