Kamis, 31 Maret 2011

Warna-warni #Koinsastra

“Prampoean paling Tjantik di Doenia. Sebagi hasilnja perlombahan katjantikan ini taon Miss Austria dianggap sebagi prampoean paling tjantik di doenia dan Miss New York sebagi djago kecantikan dari New York.”


Istana Koleksi Langka

Kutipan di atas dinukil dari Roebrik Doenia Majalah Sapto, edisi Saptoe, 31 Augustus 1929. Ada 517 lagi koleksi majalah langka yang akan susah ditemukan di tempat selain Pusat Dokumentasi (PDS) HB Jassin. Tentulah ini aset berharga bagi sejarah kesusastraan Indonesia. Koleksi yang sangat berharga untuk diabaikan atau dilupakan. Selain majalah, terdapat sekitar 18.000 buku fiksi, 12.000 buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, dan 740 foto pengarang.

Kesejarahan dan kelangkaan menjadikan upaya perawatan yang maksimal menjadi sesuatu yang niscaya. Jika tidak, generasi kita 100 tahun ke depan bakal kehilangan naskah berharga, semisal buku Boekoe Tjerita Dahoeloe Kala di Benoewa Negri Tjina diterbitkan tahun 1886 oleh Lie Kim Hok & Co, atau Sjair Tjerita Jaitoe Satoe Nasehat Boeat Peringetan pada Anak-Anak Moeda yang diterbitkan di Batavia oleh Yap Goan Hu tahun 1897.

Pada mulanya, koleksi-koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin adalah milik pribadi kritikus yang digelari Paus Sastra Indonesia itu. Koleksi itu tersimpan sebagian di rumahnya, Gang Siwalan No. 3. Sebagian lainnya dititipkan di rumah saudaranya di Gang Kecapi No. 8 tersebabkan terbatasnya ruang di rumahnya. Ada juga yang ia titipkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jln. Diponegoro No. 82. Melihat kegigihan dan ketekunan HB Jassin, serta permintaan berbagai pihak yang memandang perlunya “perawatan serius” koleksi-koleksi HB Jassin itu, Gubernur DKI Jakarta—saat itu, Ali Sadikin—pun menawarkan sebuah gedung di kitaran Taman Ismail Marzuki untuk ditempati. Gedung itulah yang kini dikenali sebagai Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.

Alkisah, berdasarkan Akta Notaris tertanggal 28 Juni 1976, Yayasan PDS HB Jassin secara resmi berdiri. Dari sana pula bermula pasang-surut upaya pemeliharaan aset bangsa itu. Untuk membiayai pemeliharaan dan pemutakhiran dokumen, Yayasan PDS HB Jassin menerima banyak bentuk kepedulian, termasuk bantuan dari Pemerintah DKI Jakarta—pihak yang sebermula menawarkan perawatan secara intensif itu—yang nilainya terus berubah setiap tahun. Setelah sempat mendapat bantuan sebesar Rp 500.000.000 setiap tahun, kemudian susut menjadi Rp 300.000.000, lalu makin menyusut menjadi Rp 164.000.000, puncaknya tahun ini, 2011, hanya dihibahi dana sebesar Rp 50.000.000.

Surat Keputusan bernomor IV 215 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta, Fawzi Bowo, tak pelak memicu reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Bentuk keprihatianan pun mencuat di media sosial Twitter dan Facebook sejak 18 Maret 2011. Dan, mulai 19 Maret 2011, Gerakan #Koinsastra Peduli PDS HB Jassin pun dilansir. Pegiat dan penyuka sastra bergerak secara bersamaan di 3 kota; Jakarta, Denpasar, dan Malang. Lantas merebak di Depok, Ciputat, Semarang, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Kendari, Makassar, Bandung, Padang, dan Bogor. Lambat laun, Gerakan #Koinsastra menjalar ke dunia kampus. Begitulah, Gerakan #Koinsastra yang bermula dari kecemasan akan masa depan peradaban bangsa itu, sekarang telah menggalang simpati masyarakat dari pelbagai kalangan.

Tercatat, hingga usia 10 hari sejak digulirkan, Gerakan #Koinsastra mengumpulkan dana sebesar Rp 107.684.000. Dan bentuk peralatan untuk program digitalisasi literatur sebanyak 6 komputer, 4 alat pemindai, dan 2 printer, yang jika dirupiahkan bernilai Rp 43.000.000. Hal ini menjadi bukti konkret betapa masyarakat sangat peduli terhadap keberadaan, keberlangsungan, dan keselamatan PDS HB Jassin, pun perpustakaan-perpustakaan lain di seluruh Nusantara yang semakin “terlupakan”—bisa juga disebut sebaga sengaja "dilupakan".

Jejak Kelahiran #Koinsastra

Sesungguhnya, usaha pengumpulan koin hanyalah simbol belaka. Ada hajat lain yang hendak disalurkan, di antaranya bagaimana merancang kegiatan yang semua anak bangsa atau komponen bangsa bisa ikut memberikan andil. Sebagai simbol, bila ada pihak yang berkenan menyumbangkan Rp 100.000,- misalnya, tetap bisa disalurkan. Begitupun dengan rakyat jelata yang hanya punya Rp 500,- atau Rp 1.000,- tetap bisa ikut berpartisipasi. Jadi, konsepnya bukanlah uangnya, melainkan bagaimana gerakan ini bisa menjadi perwujudan kecintaan anak bangsa terhadap kelestarian dan keberlangsungan peradaban bangsa.

Gerakan #koinsastra tidak dirancang sebagai kegiatan temporal berdurasi 1 atau 2 tahun saja. Visi Gerakan #Koinsastra dirancang dengan asumsi generasi 100 tahun ke depan. Bayangkan jika dokumen penting—semisal surat-surat para sastrawan—musnah saat ini, apa yang bisa diteliti, dibanggakan, dan disikapi oleh generasi nanti? Melalui gerakan ini, kita menawarkan program pemeliharaan dan pemutakhiran data. Dengan demikian, harapan kita, PDS HB Jassin selalu bernyawa dan bertumbuh. Sekali lagi, bukan seberapa banyak uang dikumpulkan, melainkan seberapa besar cinta dinyatakan.

Logikanya, pemeliharaan dokumen bukanlah pekerjaan ringan yang semudah mematangkan makanan cepat saji. Pemeliharaan dokumen butuh banyak biaya dan tenaga yang ahli. Begitupun dengan fasilitas sarana yang lebih kondusif dan memadai, yang nyaman bagi pengunjung dan aman bagi laku pendokumentasian. Jadi, waktu dan jumlah hanyalah perantara, tujuan utamanya adalah memberikan wahana bagi seluruh komponen bangsa untuk membuktikan dan menyatakan cintanya. Karenanya, misi yang diusung Gerakan #Koinsastra adalah usaha keras menyediakan “dana abadi” bagi pengelolaan PDS HB Jassin dengan perkiraan sementara Rp 15 miliar.

Oleh karenanya, Gerakan #Koinsastra diniatkan semata sebagai bentuk kepedulian dan penyadaran untuk menghindari tradisi “pembiaran”, terutama pembiaran terhadap aset bangsa yang bersejarah, yang tak ternilai. Mimpi besar lainnya adalah mengupayakan ketersediaan “dana abadi”, maka tentulah partisipasi seluruh komponen bangsa sangat dibutuhkan.

Memang, mengumpulkan koin hingga mencapai kisaran Rp 15 miliar, bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bukan juga sesuatu yang mustahil. Apabila seluruh lapisan masyarakat berkenan bahu-membahu, segalanya bisa saja terjadi.

Parung, Maret 2011

Disusun dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar