PEPATAH menyebutkan bahwa buku adalah jendela dunia. Siapa saja yang akrab bergaul dengan buku tentu dengan mudah mengenal dunia. Salah satu tempat yang paling tepat untuk merawat buku dengan baik tentunya adalah perpustakaan.
Di sana merupakan gudang ilmu yang kaya akan pengetahuan serta pusat peradaban dunia. Namun bagaimana jadinya jika perpustakaan tak mampu lagi merawat buku? Bagaimana bisa setiap generasi penerus melihat dan mengetahui warisan dunia?
Itulah yang terjadi pada nasib Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Salah satu tempat yang memiliki banyak ‘jendela dunia’ itu kini hampir musnah. Sejak tersiar kabar bahwa perpustakaan yang menyimpan puluhan ribu karya sastra itu terancam tutup. Penyebabnya, karena tak ada dana operasional. Kok bisa? Aneh tapi nyata, keberadaan PDS HB Yasin kini seolah memang dilupakan. Padahal, PDS HB Jassin merupakan salah satu pusat karya sastra terlengkap di Indonesia.
Perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta yang terlalu disibukkan dengan berbagai persoalan Ibu Kota yang membludak, membuat PDS HB Jassin semakin terlihat kecil menyempil di tengah segudang polemik Jakarta. Sampai–sampai masalah dana menjadi momok yang selalu terjadi di perpustakaan sastra tersebut.
Bayangkan, untuk menggaji karyawan saja tak bisa, apalagi harus belanja buku ataupun merawat buku. Sistem dokumentasinya saja masih purba. Disusun dengan sistem digital? Sepertinya hanya mimpi. Nasib merana itu harus menimpa sebuah perpustakaan sastra yang didirikan oleh kritikus HB Jassin yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra. Maka tak heran, dia digelari sebagai Paus Sastra Indonesia. Tapi, apa gerangan yang terjadi, semua jerih-payahnya seolah-olah dilupakan.
Sekaliber PDS HB Jassin yang menyimpan kekayaan sastra Nusantara nyaris ditutup apalagi perpustakaan biasa yang dikelola alakadarnya. Mungkin sudah menjadi onggokan ruang dengan tumpukan buku usang yang berdebu. Dengan keadaan seperti itu, salah satu uluran tangan ditawarkan oleh perguruan tinggi negeri Universitas Indonesia (UI). Dengan senang hati, UI bersedia merangkul PDS HB Jassin terutama untuk melengkapi koleksi buku pada perpustakaan UI yang kini tengah dibangun dan diklaim sebagai salah satu perpustakaan terbesar dan terindah se–dunia.
“PDS itu penting bagi bangsa dan negara, karena itu UI berminat. Kebetulan di UI tengah membangun perpustakaan terbesar di dunia seluas 33 ribu meter persegi. Ada dua strategi mengatasi hal ini, pusat dokumentasai ini harus disahkan atau diakses dan dipergunakan masyarakat secara keseluruhan yang mencintai sastra Indonesia. Dijadikan bahan–bahan digitalisasi dengan akses yang tidak terbatas,” ujar Rektor UI Gumilar R Somantri kepada okezone, baru-baru ini.
Caranya, kata Gumilar, dengan memindahkan material atau koleksi sastra yang ada di PDS HB Yasin ke Perpustakaan UI. Bahkan Gumilar memiliki niat mulia untuk membuat pusat sastra HB Jassin di dalam perpustakaan UI. “Tak hanya koleksi buku yang saling melengkapi, nantinya kami akan membuat corner atau pusat sastra HB Jassin di Perpustakaan UI yang pertengahan tahun ini akan diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” jelas mantan Dekan FISIP UI itu.
Gumilar meyakinkan bahwa UI memiliki Information Communication Technology (ICT) yang kuat dan cepat untuk mendigitalisasi karya sastra yang ada di PDS HB Jassin. Tak hanya itu, lanjutnya, jika dokumentasi PDS HB Yasin dipindahkan ke UI seluruh pemanfaatan akan lebih jelas bagi civitas akademisi yang membutuhkan karya sastra.
“Pemanfaatannya jelas, apalagi UI ada Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Budaya (FIB), ini kan library terbuka yang boleh didatangi oleh masyarakat luas, tak hanya dalam bentuk hard copy, kami juga akan bentuk digitalisasi,” paparnya.
Permasalahannya, UI enggan merangkul PDS HB Jassin jika diikutsertakan dengan pegawai yang mengelola pusat sastra tersebut. UI menawarkan pilihan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk membantu dana operasional gaji karyawan PDS HB Yasin jika tetap akan dipindahkan ke UI. “Karena itu karyawannya dari UI saja, karena kita juga agak berat kalau harus menanggung semua. Kalau mau DKI tetap harus membantu dari segi pendanaan,” tegas Gumilar.
Rencana UI ini bukan pepesan kosong. Kepala Perpustakaan UI Lucky Wijayanti mengaku sudah menjalin pembicaraan dengan pihak Pemprov DKI Jakarta. Menurut Lucky, yang dilakukan UI hanyalah menyelamatkan karya sastra bagi bangsa dan negara. “Kami sudah menawarkan agar menjadikan karya sastra di PDS HB Yasin untuk didigitalisasi oleh UI, sambil menunggu audiensi dengan Pemprov DKI. Kalau tak boleh dokumentasi, kami akan lakukan digitalisasi,” kata Lucky.
Pihaknya, kata Lucky, sudah menyiapkan ruang seluas 500 meter persegi khusus untuk dokumentasi PDS HB Yasin di Perpustakaan UI. Menurutnya,masih banyak masyarakat yang menyadari dan peduli terhadap pentingnya karya sastra sebagai kekayaan budaya. “Setidaknya masyarakat kita masih banyak yang lebih senang dengan karya local content, yakni khas Indonesia, inilah yang harus diselamatkan,” tandas Lucky.
Namun Budayawan JJ Rizal yang juga pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris, menolak tawaran UI ini. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.
Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas.
(ram)
Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 14:10 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar