MUNGKIN belum banyak yang tahu 17 Mei dicanangkan sebagai Hari Buku Nasional oleh pemerintah delapan tahun silam. Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah. Lagi-lagi disayangkan karena hanya mengedepankan simbolisasi tanpa ada upaya konkret yang konsisten, hasinya pun masih jauh api dari panggang.
Hasil survei lima tahunan dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) benar-benar membuat kita mengurut dada. Pasalnya, survei yang melibatkan siswa SD itu, hanya menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian.
Kemudian dalam penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002 juga menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut kemudian turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Kecenderungan ini sepertinya akan terus menurun karena tidak ada perubahan yang radikal dari pemerintah untuk menggenjot minat baca masyarakat, terutama di kalangan anak-anak.
Salah satu bukti, kurang diperhatikannya perpustakaan yang dimiliki pemerintah terutama di daerah. Pengelolaan perpustakaan daerah dilakukan ala kadarnya, sehingga tidak mampu mengimbangi tuntutan zaman. Padahal perpustakaan menjadi tempat alternatif untuk menyuburkan benih minat baca masyarakat khususnya generasi muda. Sebab itu, kemelut yang melanda Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin setidaknya menyadarkan semua pihak terlutama pemerintah agar tidak mengabaikan buku dan perpustakaan.
Isnain (51), staf bidang sirkulasi dan kliping yang telah bekerja 20 tahun di PDS JB Jassin menuturkan keprihatinan terhadap kondisi tempatnya bekerja. Untuk menghemat biaya agar pusat dokumentasi ini tetap berjalan dan melayani masyarakat, pengelola PDS HB Jassin harus mematikan pendingin udara pada saat pulang kerja.
Hal ini justru membuat ruangan koleksi karya sastra tersebut menjadi lembab dan mempercepat kerusakan kertas. "Padahal untuk menjaga dokumen-dokumen yang ada di sini kondisi ruangan harus tetap dingin agar kertas-kertasnya bisa awet. Kalau AC dimatikan dan dihidupkan lagi ruangan bisa menjadi lembab, sehingga bisa mempercepat perusakan pada kertas-kertas tersebut," papar Isnain.
Meski bekerja dalam kondisi demikian dan gaji pas-pasan, dia tetap semangat dan optimis PDS JB Jassin tidak akan tutup. Pasalnya, selain sering dikunjungi para peneliti mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga wisatawan asing, dia mengaku senang melayani pengunjung dan mengabdi di PDS HB Jassin.
"Yang menguatkan semangat untuk mengabdi di sini karena bisa menuangkan hobi dan kreativitas kami, seperti mengkliping sastra dari berbagai media dan karya, buku. Selain itu, bekerja di sini juga menambah wawasan karena leluasa membaca berbagai macam tulisan, karya, dan informasi mulai dari tahun 1920-an hingga sekarang," tutur Isnain.
Sementara itu Koalisi Perpustakaan dan Pustakawan Indonesia juga meminta Provinsi DKI Jakarta, Perpustakaan Nasional, dan Kementerian Pendidikan Nasional menyelamatkan keberadaan PDS HB Jassin. "Kami meminta agar pihak terkait berkewajiban mengelola Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin sesuai dengan standar perpustakaan yang berlaku," demikian melaui siaran pers yang dirilis di Jakarta.
Koalisi Perpustakaan dan Pustakawan Indonesia menolak PDS HB Jassin menjadi alat politik ormas atau partai tertentu untuk kepentingan politik. Selain itu, minta kepada para pustakawan atau program studi ilmu perpustakaan untuk membantu tenaga dan pikirannya agar dapat menyelamatkan koleksi PDS HB Jassin.
Adapun munculnya gerakan koin sastra yang dimotori para pecinta sastra dan aktivis mahasiwa di sejumlah kampus, menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang lalai terhadap tanggung jawab dalam meningkatkan minat baca masyarakat dengan membangun dan mengembangkan infrastruktur perpustakaan. Dua kejadian ini seyogianya menjadi pintu untuk memperbaiki kondisi perpustakaan tak hanya di PDS HB Jassin, melainkan seluruh perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah.
“Begitulah, tuan dan puan. Setelah bom buku, kini pemerintah kita menelantarkan buku.” Sindiran ini diutarakan Arlian Buana, mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN saat menggelak aski koin sastra, beberapa waktu yang lalu. “Mempertahankan PDS HB Jassin, berarti mempertahankan bagian sejarah dan kebudayaan bangsa,” tukas dia.
Dalam kaitan ini, pemerintah diminta jangan sebelah mata terhadap pendokumentasian karya sastra yang dianggap tidak banyak memberikan keuntungan. Nilai karya sasta tidak bisa dibeli atau diukur dengan uang. Karya sastra merupakan warisan budaya yang tak ternilai.
Arventa Aprilia, mahasiswi semester 6 jurusan Ilmu komunikasi Satya Negara Indonesia (Usni) pun meminta pemerintah segera mengambil tindakan konkret untuk menyelematkan aset PDS HB Jassin. “Ya, sayang aja pemerintah mengurangi dana untuk PDS HB Jassin. Soalnya biar gimana pun itu kan aset negara," ujarnya kepada okezone.
Senada diungkapan Abdul Ghofur, mahasiswa Usni lainnya. “Saya dukung gerakan mahasiswa untuk mengumpulkan koin. Dengan cara ini berharap pemerintah tersadar kalau masih banyak yang peduli dengan keberadaan perpustakaan tersebut. Pemerintah harus membantu, berikan subsidi yang layak ke PDS HB Jassin daripada memberikan fasilitas lebih untuk anggota dewan. Lebih baik untuk kemajuan dan perawatan perpustakaan aja.”
Aya, mahasiswa UIN jurusan tarbiyah mengungkapkan hal yang sama. “Itu menunjukkan pemerintah enggak punya perhatian sama peningkatan mutu. Udah minat baca masyarakat rendah, sosialisasi tentang perpustakaan kurang, terus sekarang perpusnya mau ditutup. Waduh waduh.....”
(ram)
Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 16:46 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar