Menyusuri Jejak-jejak Romantika Hingga Angkara Murka
Oleh: Sidik Nugroho
Damhuri Muhammad, dalam sebuah esainya menyebutkan bahwa pencapaian estetika prosa juga dipengaruhi oleh sebuah "rukun setengah wajib". Ia menyebut rukun itu "luka". Luka itu bisa "... luka pengarang sendiri, atau luka yang dipungutnya dari orang lain. Luka baru atau luka lama." Di sekujur esai ini, Damhuri kemudian menyindir berbagai novel dan karya sastra yang dilahirkan setelah sebuah bencana—sebagai salah satu jenis "luka" yang disebutnya tadi—terjadi atau dikenang oleh khalayak.
Nah, yang terjadi pada Khrisna Pabichara dalam buku Mengawini Ibu adalah jenis "luka" yang lain. Luka di dalam cerpen-cerpennya tidak dikisahkan dengan bertumpu pada suatu bencana atau masalah-masalah sosial yang fenomenal dan dikenang secara massal. Luka, dalam kisah-kisah yang ditampilkan oleh Khrisna berangkat dari berbagai kenangan, amatan atau imajinya.
Luka-luka itu mungkin kecil bila ditilik secara massal—juga bersifat personal. Namun tak dimungkiri amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari: cinta yang kandas di tengah jalan; adat-istiadat yang masih rentan diterabas untuk pembuktian kegigihan sebuah cinta; hingga amuk-amarah yang menyulut berbagai kemelut hidup karena tak kunjung surut akibat dendam dan kepahitan yang berlarat-larat.
***
Buku kumpulan cerita ini dibuka dengan cerpen Gadis Pakarena yang bercerita tentang percintaan sepasang insan beda suku, ras, agama dan budaya. Kisah ini memadukan nilai-nilai budaya Makassar (juga sebuah tarian Makassar yang disebut Pakarena) dengan kisah Romeo dan Juliet. Lahirlah sebuah kisah yang sarat dengan kegigihan, sekaligus begitu tragis.
Cerpen pertama ini begitu kuat membayangi cerpen-cerpen lainnya dalam buku ini. Hampir semua cerpen dalam buku ini bertema cinta yang tragis, yang kandas di tengah jalan—kisah-kisah cinta yang tertutur manis-getir. Cerpen-cerpen Khrisna mengingatkan saya pada sebuah kumpulan cerpen lain karya penulis Seno Gumira Ajidarma, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta: ada perjumpaan yang manis pada sepasang insan, ada romantika yang terbuhulkan di antara mereka dengan iringan berbagai peristiwa; namun, selalu saja, cinta itu kandas di tengah jalan.
Nah, bila Seno dengan kumpulan ceritanya memotret berbagai kisah cinta yang metropolis, di mana cinta disama-samakan dengan sebuah permainan, maka Khrisna memiliki suara yang lain atas kisah-kisah cintanya. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi buku ini. Khrisna mengisahkan kepada kita kisah-kisah cinta di antara insan-insan yang terkesan lugu, penuh nuansa kampung halaman, dan cinta yang pada awalnya lahir dari tekad berbuat baik dan kesetiaan. Nuansa kampung halaman yang begitu kental dalam cerita-cerita Khrisna ini mengingatkan saya pada Bulan Celurit Api, buku kumpulan cerpen karya Benny Arnas.
Di sebuah cerita Silariang (yang berarti kawin lari) misalnya, saya dibuat terpana dengan upaya gigih seorang pria yang hendak menemui gadis idamannya. Tak terhitung aral yang melintang di dalam jalinan asmara mereka. Namun, kegigihan itu membawa mereka berdua bertemu dan melepas rindu di kolong rumah si gadis! Ada pula cerita Rumah Panggung di Kaki Bukit yang begitu syahdu dan lembut. Saat membacanya saya jadi teringat beberapa lirik dalam lagu Huma di Atas Bukit yang dulu dinyanyikan grup band ternama God Bless. Cerita ini awalnya menjanjikan pernikahan dan rumah kecil bagi sepasang kekasih yang telah memadu hati sekian lama. Namun, ketika jarak memisahkan mereka, dan di tempat lain ada asmara lain yang mengundang selera untuk dijalin, impian memiliki rumah panggung itu pun harus ditepis.
Cerita-cerita berjudul Selasar, Lebang dan Hatinya, dan Hati Perempuan Sunyi saling berkaitan. Saya menganggap tiga cerita ini yang mewakili kepiawaian Khrisna menyajikan kisah cinta yang pedih dan tragis. Di dalamnya tercampur-baur berbagai luka yang menghalangi terwujudnya kesatuan hati sepasang insan manusia: adanya keserakahan, tipu-daya, hingga ilmu gaib yang membuat hati wanita takluk pada seorang pria bejat.
Lantas, bagaimana dengan—cerpen yang menjadi—judul buku ini Mengawini Ibu? Mengawini Ibu adalah cerpen yang menampilkan gejolak jiwa seorang pria yang kehilangan keperjakaannya setelah memadu asmara dengan salah satu istri ayahnya sendiri. Awalnya saya turut prihatin dengan kegelisahan si anak ketika melihat ulah ayahnya yang doyan bergonta-ganti pasangan. Sebabnya, istri pertama si ayah, ibu si anak, tak bisa lagi memberinya kenikmatan karena sebuah kecelakaan. Namun, setelah si anak menikmati manisnya madu yang mengalir dari hubungan intim bersama salah satu istri ayahnya, si anak menjadi gamang. Ia jadi tak lagi gelisah, jiwanya jadi mirip ayahnya yang doyan mereguk madu-surga-dunia itu.
Di antara 12 cerpen yang terhimpun dalam dua buku ini, ada dua cerpen yang tak mengangkat cinta sebagai tema utama. Pertama adalah Ulu Badik Ulu Hati yang cenderung konspiratif, mengisahkan tentang misteri pembunuhan seseorang yang disegani di masyarakat.
Cerpen lain yang tak bertema utama cinta berjudul Arajang, kisah tentang seorang bissu, pemuka adat di dalam tradisi Bugis-Makassar yang identik dengan sosok transgender: bukan laki-laki, bukan perempuan. Hal yang menarik di cerpen ini adalah bagaimana Khrisna memadukan penggalan-penggalan puisi Aan Mansyur dan puisinya sendiri untuk membangun cerita. Puisi-puisi itu jadi tampak lebih hidup dan maknawi, ketika baris-baris prosa yang ada di bawahnya menjalin narasi. Membaca perpaduan itu, saya jadi teringat salah satu definisi puisi di abad ke-18, bahwa puisi adalah "... apa yang sering terpikirkan, tapi tak pernah diekspresikan dengan begitu baik."
***
"Cinta itu menyembuhkan," tulis Khrisna dalam sebuah cerpennya. Dari cinta lahirlah berbagai romantika yang selalu saja berpeluang melahirkan kesunyian, keheningan, dan nuansa yang penuh warna. Dan kita memang tidak mudah melupakan saat-saat hati kita berdentang-denting menyambut kehadiran seseorang yang kita cintai. Kita selalu ingin bernyanyi, mungkin juga menari. Namun, tak jarang pula cinta itu berujung amukan, ketika kecumburuan, nasib, takdir, juga adat-istiadat, menghalangi insan-insan meraih kebahagiaan bersama cinta yang tumbuh-mekar di hati. Bagi Khrisna dan cerita-ceritanya, cinta selalu menyisakan berbagai jejak: dari romantika di sebuah selasar yang lengang, hingga angkara murka karena ada pihak yang menaruh benci atas cinta itu.
Namun, Khrisna adalah sosok yang beruntung dalam hal ini. Ia bahagia memiliki ibu, istri dan seorang putri yang mencintai dan dicintainya. Setidaknya itu yang saya tangkap dalam cerita Riwayat Tiga Layar yang ia tujukan bagi tiga insan tercinta itu. Dan, Khrisna juga sangat berbahagia karena ia memiliki para sahabat dan pencerita, yang sekaligus juga para pecinta, yang kegigihan dan semangat hidup mereka membuat dan membuat cerita tentu menjadi ilham tersendiri baginya. Setidaknya itu yang saya tangkap dalam cerita terakhir di buku ini Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu yang ia tujukan bagi Benny Arnas, Bamby Cahyadi, Fahri Azisa dan Prasodjo Chusnato Sukiman. Nah, untuk para penulis ini—saya rasa juga untuk para penulis lainnya—Khrisna menulis:
"... kamu (si kekasih dalam cerita) berkeras memintaku berhenti mengarang cerita hanya di hari Minggu—sebab istri pertamaku adalah cerita, menurutmu—... (namun) aku putuskan untuk tetap mencintamu dan tetap mengarang cerita di hari Minggu tentang cintaku kepadamu."
Sidoarjo, 3-4 Maret 2011
Sidik Nugroho, pembaca buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar