Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun membuat "berang" banyak kalangan.
Dengan anggaran sebesar itu, sangat jauh dari yang disebut cukup. Bayangkanlah, untuk biaya pengasapan buku saja sudah habis Rp 40 juta sendiri dan pemeliharaan dengan pengasapan idealnya dilakukan dua kali setahun agar buku tidak mudah hancur dan dimakan ngengat? Belum lagi penggajian 14 pegawai yang sudah sebegitu setia berada di tempat itu dengan gaji yang sangat minim.
Melihat kondisi tersebut, salah seorang pelaku sastra, Khrisna Pabichara, penyair dan prosais, tergerak hatinya menggalang dana untuk menyelamatkan keberadaan PDS HB Jassin melalui kegiatan "Koinsastra". Bersama para pencinta sastra, "Koinsastra" pun menggelinding hingga ke daerah-daerah di luar Jakarta.
Berikut adalah catatan Khrisna untuk mengetuk hati para pencinta sastra khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya untuk bersama-sama menggalang dana demi menyelamatkan PDS HB Jassin.
18 Maret 2011, 13:15
Jumat sore (18/03, 13.15) saya membuka akun twitter. Belum beberapa menit berselang, berita mengenaskan seperti menampar-nampar muka saya: PDS HB Jassin terancam ditutup karena keterbatasan dana pengelolaan. Segera saja saya bersinggungan dengan teman-teman di twitter untuk "melansir" lebih gencar kabar tersebut, sekaligus mencari jalan alternatif untuk menghindari "kebangkrutan" PDS HB Jassin.
Saat itu, saya paling sering bertukar kabar dengan Putu Fajar Arcana, Indah Ariani, dan Ahmad Makki. Seluruh teman twitter saya pun segera saya kirimi ajakan untuk "memikirkan" keberadaan PDS HB Jassin. Tak melintas sejenak pun hajat untuk menjadi "malaikat penyelamat". Semuanya dilatari oleh cinta dan kecemasan. Kecintaan pada peradaban yang menggunung di PDS HB Jassin, dan kecemasan membayangkan nasib generasi mendatang jika mereka kehilangan PDS HB Jassin.
Tak puas bermain kabar di twitter, saya mainkan status saya di facebook. Bahkan saya mengirim pesan pendek ke beberapa Sahabat yang saya yakin memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap nasib PDS HB Jassin. Alhasil, menjelang pukul 19.00, muncullah ide penggalangan dukungan untuk "istana sastra" yang dibangun dengan sepenuh cinta oleh HB Jassin itu. Persoalannya, bagaimana cara menggalang ide yang bisa "gaung"-nya berdentum hingga ke hati seluruh komponen rakyat? Lalu, mencuatlah ide Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin. Bahkan, ide itu semakin merebak dan merambah luas ke daerah-daerah. Bung Warih W. menginisiasi penggalangan dana #koinsastra di Museum Sidik Jari Denpasar, Bung Nanang Suryadi menggelar baca puisi di UMM Malang, dan rencana inisiasi gerakan di daerah lainnya.
Maka, saya pun terserang penyakit susah tidur (padahal malam-malam sebelumnya bahkan lebih susah tidur).
19 Maret 2011, 08:00
Saya berkemas. Hajat hari ini adalah bertandang ke PDS HB Jassin, mengajak teman-teman sejawat untuk berbincang tentang Gerakan #koinsastra di TIM. Saya pun mengirim pesan pendek ke beberapa teman. Gayung bersambut, semuanya menjawab pesan pendek yang saya kirim.
Ketika jarum jam sudah bertengger di angka 08:30, saya pun bergegas ke Jln. Taman Margasatwa. Rencananya mau naik taksi (karena ingin tiba di TIM sebelum pukul 10:00), tapi ketika sebuah bus KOPAJA melintas dengan aksi pengamen di sela penumpang yang berdesakan, saya pun membatalkan niat mencegat taksi. Dan, sebuah ide "aneh" menyesaki benak saya. Ketika bus KOPAJA berikutnya tiba di hadapan saya, buru-buru saya melompat naik. Dan....
"Mohon maaf penumpang yang budiman, supir dan kenek yang baik hati, karena saya pastilah akan menyita waktu dan kenyamanan Anda dalam perjalanan ini. Oh ya, belakangan ini kita akrab dengan dunia perbukuan. Setiap hari media mengabarkan buku, yakni bom buku."
Saya berhenti sejenak, menelan ludah. Mencoba membaca apa yang kira-kira berkelindan di benak para penumpang.
"Akan tetapi, ada kabar lain yang jauh lebih mematikan ketimbang bom buku. Kabar itu adalah ancaman ditutupnya PDS HB Jassin karena kekurangan dana operasional. Saya yakin, kita semua peduli pada peradaban bangsa. Saya juga yakin, kita semua peduli pada generasi setelah kita. Dan, jika PDS HB Jassin ditutup hanya karena alasan tak masuk akal, kekurangan dana, maka generasi mendatanglah yang akan menderita akibatnya."
Perlahan berpasang-pasang mata terpusat ke wajah saya. Ternyata begini rasanya dulu ketika Imam Ma'arif bertualang di Jakarta, mengamen baca puisi di bus kota. Dan, dengan irama khas "appitoto Turatea", saya pun membaca puisi "Suatu Malam Ketika Aku Merindumu". Sesudahnya, mengalir air mata saya ketika banyak penumpang bertepuk tangan. Maka, saya hadiahkan puisi kedua, "Tuhan Punya Musuh". Kemudiaan, seusai dua puisi saya bacakan, saya pun mengedarkan topi yang saya kenakan ke setiap penumpang. Ada yang menyumbang Rp 20.000, ada yang Rp 10.000, ada yang Rp 1.000, ada yang Rp 500. Ada yang pura-pura tidur, ada juga yang melambaikan tangan dengan senyum di bibirnya. Bus pertama saya meraup Rp 87.500. Lalu, saya turun. Pindah ke bus kedua mengulang proses yang sama, lantas berpindah lagi ke bus ketiga untuk mengamen baca puisi lagi.
Keringatan, bahagia, gemetaran: setelah menghitung hasil ngamen sebesar Rp 215.500.
19 Maret 2011, 10.35
Saya takut terlambat, tapi setiba di PDS, suasana masih sepi. Saya pun beranjak ke Rumah Makan Nikmat di TIM. Memesan es teh manis sambil memuaskan mulut dan hidung saya dengan asap rokok. Tak lama berselang, datanglah Mas Gemi Mohawk. Lalu disusul Shinta Miranda dan Agustinus Abraham De Fretes. Disusul lagi oleh kedatangan Mas Imam Ma'arif. Selanjutnya adalah Pringadi Abdi Surya. Dan akhirnya ditutup oleh kehadiran Bamby Cahyadi.
Kami bersepakat untuk membentuk Tim Kecil Jakarta untuk Gerakan #koinsastra Peduli PDS HB Jassin, menyusun langkah yang hendak dilakukan, merancang berbagai strategi pengumpulan dana dan penyebaran informasi, dan menentukan koordinator Jakarta yang dipercayakan ke pundak saya.
19 Maret 2011, 18.02
Tim Kecil Jakarta tiba di Kalimalang. Selain berniat mengikuti acara peluncuran buku Kurnia Effendi yang berjudul Anak Arloji, saya juga mendapat kesempatan untuk membacakan cerpen yang akan diikuti dengan pengedaran kenclengan sumbangan #koinsastra. Bak kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Penonton yang ramai, sesak, meskipun ditingkahi gerimis, taklah menghalangi kemeriahan acara. Setelah penampilan Budiman Sudjatmiko, Ine Febriyanti, dan Tiara Wijanarko, saya pun tampil membacakan petikan cerpen "Laut Lepas Kita Pergi".
Antusiasme penonton sungguh luar biasa. Saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan oleh Serambi Ilmu untuk menggalang dana, pun kepada Kurnia Effendi selaku pemilik hajat. Alhasil, dana yang terkumpul setelah saya membaca cerpen adalah Rp 1.239.500. Sesuatu yang sangat berharga.
20 Maret 2011, 08:35
Mulailah berdatangan pesan pendek tentang Gerakan #koinsastra. Ada sahabat dari kalangan politisi, ataupun pengusaha. Ada juga dari teman sepermainan kata. Dan terhenyak juga ketika mendapat kabar Nasional Demokrat akan menanggulangi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengelola PDS HB Jassin. Saya bersyukur sekaligus "curiga". Kenapa? Saya bersyukur kada sudah ada yang mulai peduli. Saya curiga--lebih tepat dinamai sedih--karena khawatir jangan-jangan ini hanya bagian dari politik pencitraan Nasional Demokrat. Apa pun itu, Gerakan #koinsastra harus tetap jalan, karena ada banyak hal yang hendak kami perjuangkan.
Untuk menjawab kegelisahan teman-teman tentang apa, bagaimana, dan kenapa mencuat Gerakan #koinsastra tersebut, saya pun menulis di twitter semacam "jawaban" dasar. Sila dibaca:
1. Gerakan #koinsastra Peduli #PDSHBJassin tidak dimaksudkan untuk mempermalukan atau menjatuhkan pihak mana pun. Semata karena cinta.
2. #koinsastra bukan pula ditujukan menyindir atau menohok Pemerintah, Yayasan, Pengelola #PDSHBJassin. Tapi karena peduli peradaban bangsa.
3. #koinsastra adalah wujud cinta dan kepedulian rakyat Indonesia terhadap masa depan peradaban bangsanya.
4. #koinsastra murni gerakan kepedulian yang dilatari oleh rasa cinta pada #PDSHBJassin. Tak ada muatan atau niatan lain, apalagi aroma politik.
5. Jika pihak Pemerintah tersindir atau tersinggung karena geliat gerakan #koinsastra, semoga lahir kebijakan baru yang lebih peduli.
6. Gerakan #koinsastra digagas untuk menampung lebih banyak lagi partisipasi rakyat. Koin hanyalah simbol, cinta adalah segalanya.
7. Gerakan #koinsastra dirancang untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan keberlangsungan #PDSHBJassin.
8. Oleh karena dasarnya adalah cinta, maka Gerakan #koinsastra semata tanda bakti bagi dokumentasi sastra Indonesia. Tak lebih, tak kurang.
9. Layaknya gerakan lain, Gerakan #koinsastra pun menuai pro-kontra. Lumrah saja, tapi peduli tak semata lewat kata-kata, kadang butuh aksi.
10. Gerakan #koinsastra adalah wujud mimpi anak bangsa untuk memiliki pusat dokumentasi sastra yang terus bernyawa dan bertumbuh.
11. Gerakan #koinsastra adalah kristal hajat rakyat untuk meneruskan cita-cita luhur Bapak HB Jassin. Jika bukan kita, siapa lagi?
12. Jika seluruh komponen bangsa peduli #PDSHBJassin, banyak hal yang bisa kita lakukan. #koinsastra hanya sumbu, nyalakanlah!
13. Seperti bara, Gerakan #koinsastra dihajatkan menjaga agar api tetap mengada. Bukan sekadar kerdip tapi menyalakan api abadi di hati.
14. Pada akhirnya, salurkan cinta Anda lewat Gerakan #koinsastra di Rek. Dana a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.
15. Penggagas #koinsastra mengucapkan terima kasih atas wujud cinta Anda di rek. a.n. Zeventina Octaviani Bank Mandiri AC: 131-00-0971505-5.
Demikian sekadar coretan saya. Semoga berkenan!
Parung, Maret 2011
Sumber: Kompas.com Senin, 21 Maret 2011 | 14:06 WIB Editor: Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar