SEBAGAI tempat yang menyimpan banyak ‘jendela dunia’, perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang amat bernilai harganya. Tentu kita tak boleh menyia –nyiakan ilmu pengetahuan yang banyak tertulis di setiap buku yang menjadi nyawa dari perpustakaan.
Kapan terakhir kali Anda pergi ke perpustakaan? Mungkin sebagian besar adalah pada saat mengenyam studi di perguruan tinggi. Itupun karena harus memenuhi tugas kuliah saja atau menjelang ujian. Perpustakaan sejatinya menjadi pusat peradaban dunia karena merupakan gudang ilmu pengetahuan. Karena itu, memerlukan ahli pustaka dan tentunya dana yang cukup untuk merawat buku dan mendokumentasikannya dengan baik agar bermanfaat bagi generasi penerus.
Kalau tak ada dana, apakah perpustakaan bisa bertahan? Tentu saja tidak, hal itulah yang kini sedang terjadi pada Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam ditutup karena tak memperoleh dana yang cukup dari pemerintah. Menurut pihak PDS HB Jassin, dana yang didapat tahun 2011 dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya Rp 50 juta.
Itulah yang membuat mereka tak bisa memenuhi biaya operasional seperti membayar gaji karyawan, merawat 50 ribu karya sastra, hingga belanja buku. Lalu bagaimana jika kita bandingkan dengan obsesi Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar R Somantri dalam membangun perpustakaan terbesar di dunia?
Sungguh perbedaan yang sangat timpang, baik dari segi biaya, semangat, hingga sarana prasarana dan fisik gedung, serta sistem digitalisasi yang sama sekali tidak ditemukan di PDS HB Jassin. Memang betul, perpustakaan yang diklaim sebagai salah satu perpustakaan termegah dan tercantik di dunia itu saat ini masih dibangun. Namun tak lama lagi perpustakaan UI yang megah itu akan dapat dinikmati oleh para pecinta buku dari kalangan manapun.
“Saat ini perpustakaan UI sudah masuk tahap akhir design interior, hanya tinggal menyelesaikan urusan kontrak dengan para tenant yang akan menyewa di lantai dasar. Nantinya akan ada toko buku, bank, hingga kafe yang sangat nyaman. Juga ada meeting point atau ruang serba guna,” ujar Rektor UI Gumilar R Somantri kepada okezone, baru-baru ini.
Gumilar menambahkan, peresmian perpustakaan tersebut bahkan akan dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kelebihan lainnya, tutur Gumilar, perpustakaan tersebut adalah yang terbesar yakni seluas 33 ribu meter persegi. “Kami pakai sistem digitalisasi, jadi mahasiswa dari Surabaya ataupun dari luar negeri, tetap bisa membaca dokumen di perpustakaan kami. Tinggal cari katalognya, tak hanya original material, tentunya digital material, terdiri dari delapan lantai,” jelas Gumilar.
Perpustakaan UI diandalkan akan menjadi jantung akademik kegiatan perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab sebagai wadah untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu. Bayangkan saja, dana yang digelontorkan untuk pembangunan perpustakaan UI saja mencapai Rp200 miliar, belum lagi dana perawatan buku nantinya. Sangat timpang jika dibandingkan dengan dana yang diperoleh oleh PDS HB Jassin yang hanya Rp50 juta per tahun.
Uniknya lagi, sebagian dari kebutuhan energi menggunakan sumber energi matahari. Jadi sebuah perpustakaan megah yang hemat energi dan air. Selain itu, gedung ini juga bebas dari asap rokok dan mewajibkan pengunjung untuk menggunakan sepeda atau berjalan kaki. “Kami ingin menghadirkan suasana yang ramah lingkungan. Kami tidak akan menebang pohon-pohon besar yang diameternya mencapai satu meter. Perpustakaan tersebut menampung hingga 6 juta buku dengan kapasitas 20.000 pengunjung setiap harinya, dengan masing-masing lantai seluas 6 ribu m2,” kata Gumilar.
Keunikan lain, terdapat berbagai huruf aksara dari seluruh dunia yang akan ditulis di kaca gedung sebagai dinding. Perpustakaan akan dilengkapi sistem ICT mutakhir yang menungkinkan pengunjung menikmati secara leluasa sumber informasi elektronik seperti e-book, e-journal.
Mengenai alokasi dana, UI mendapat bantuan pendidikan negara serta dibantu oleh BNI 46. Lalu mengapa negara seolah sulit melakukan hal yang sama dengan PDS HB Yasin seperti halnya dengan perpustakaan UI? Padahal disana banyak tersimpan puluhan ribu karya sastra yang begitu bernilai.
Budayawan JJ Rizal yang juga Sekretaris Yayasan PDS HB Yasin memastikan jika tak ada gelontoran dana yang cukup dari pemerintah provinsi DKI Jakarta, tak ada pilihan lain bagi pengurus untuk menutup PDS HB Jassin. Mereka juga tak mau menerima uluran tangan keprihatinan dari sejumlah pihak yang hanya bermuatan politis. “Kami tak ingin dipindahkan, kami juga tak ingin dokumentasi karya sastra di PDS HB Jassin dipindahkan ke tempat lain. Kalau tak ada dana, kami tetap akan menutup, dan belum ada bantuan dari orang yang benar tulus karena cinta terhadap karya sastra,” tandas JJ Rizal.
Ketua Dewan Pembina Yayasan HB Jassin, Ajip Rosidi mengatakan, PDS HB Jassin bisa beroperi dengan baik bila mendapat kucuran dana sedikitnya Rp 1 miliar per tahun. Jika dana yang disediakan masih sama dengan tahun 2010, maka pihak yayasan tidak akan mampu meneruskan pengelolaan PDS HB Jassin.
"Jika tahun 2011 hanya disediakan dana Rp 50 juta, sangat mengejutkan kami, dan itu berarti PDS HB Jassin harus ditutup. PDS HB Jassin bisa berjalan lagi kalau dana yang disediakan paling tidak Rp 1 miliar setahun," kata Ajip dalam jumpa pers, beberapa waktu yang lalu.
PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.
Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.
Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.
Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.
PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)
Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 17:10 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar