JIKA Anda dilupakan oleh seorang sahabat, tentunya pasti akan merasa kesal. Seolah keberadaan Anda tidak lagi dianggap ada dan memiliki arti. Lalu bagaimana dengan kasus Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang terancam punah karena tak ada biaya operasional? Kita harus marah pada siapa? Apa mungkin Pemerintah telah melupakan PDS HB Yasin yang merupakan salah satu pusat kekuatan karya sastra dunia?
Nyatanya, PDS HB Jassin terancam ditutup karena tak lagi mampu membayar gaji karyawan serta merawat buku. Anggaran yang diperoleh pihak yayasan bahkan cenderung mengejutkan, yakni hanya Rp50 juta untuk satu tahun. Tentu hal itu timpang jika dibanding dengan organisasi lain seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun RSPAD Gatot Subroto yang mendapatkan gelontoran dana operasional ratusan juta bahkan mencapai miliaran rupiah.
Mengapa pemerintah provinsi DKI Jakarta kok rasanya sayang mengeluarkan uang untuk merawat gudang ilmu sekelas PDS HB Jassin? Sampai–sampai gerakan menggalang koin sastra seperti kasus Prita Mulyasari kembali terulang dari masyarakat yang merasa prihatin. Rektor Universitas Indonesia (UI) yang juga Sosiolog, Gumilar R Somantri menilai keterpurukan PDS HB Yasin bukan sepenuhnya ada pada kesalahan pemerintah saja. Namun, Gumilar justru menilai PDS HB Yasin bisa jadi kurang mampu menampakkan eksistensinya dan pro aktif dalam hal mencari dana.
“Memang Pemprov DKI sudah mengakui bahwa mereka lalai, namun saya rasa ini bukan kesengajaan, bukan hanya salah pemerintah, lembaga PDS HB Yasin itu harus dipimpin oleh seseorang yang mampu menampakkan eksistensi lembaga itu sendiri dalam hal menyokong masalah pendanaan,” katanya kepada okezone, baru-baru ini.
Selain itu, menurutnya aksi penggalangan dana yang terjadi menunjukkan bahwa keberadaan PDS HB Jassin bukanlah dilupakan tetapi hanya terlupakan. Buktinya, kata dia, masih banyak masyarakat yang mencintai karya sastra. “Aksi galang dana itu baik, menunjukkan bahwa negeri ini masih memiliki orang–orang yang punya value atau nilai yang menghormati dokumen sastra, salah satu indikasi peradaban terus berkembang, dan dengan aksi itu menunjukkan PDS HB Jassin bukan dilupakan tapi terlupakan,” jelas Gumilar.
Berbeda pendapat dengan Budayawan JJ Rizal yang menuding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah peduli terhadap urusan ibukota, apalagi dengan masalah di internal PDS HB Yasin. Penulis Asrul Sani, kata dia, bahkan pernah menulis bahwa pemerintah memang tidak memiliki hasrat budaya. “Tidak ada atau belum ada lagi gubernur yang seperti Ali Sadikin yang mau peduli dan melatarbelakangi berdirinya PDS HB Yasin. Saat itu HB Yasin memang tengah terpuruk masalah keuangan dan Ali Sadikin berinisiatif untuk membuatkan PDS agar HB Yasin tidak diusir dari rumahnya,” kata JJ Rizal.
Kebetulan, JJ Rizal adalah budayawan yang langsung terjun sebagai pengurus di yayasan PDS HB Jassin sebagai sekretaris. Sehingga, dia bercerita banyak hal terkait kondisi pelik di dalam internal PDS serta rasa geram yang dipendam kepada pemerintah. “Persoalannya kita sudah lama merasa bermasalah dengan manajemen internal, persoalan dana yang membelenggu pusat sastra dunia dengan koleksi 50 ribu lebih karya sastra. Tak ada komputerisasi, tak ada digitalisasi, karena sedikitnya dana yang digelontorkan untuk perawatan karya sastra,” tegas JJ Rizal.
Selama ini, kata Rizal, banyak pihak sudah menyumbangkan dana seperti Coca Cola Foundation hingga partai politik. Namun tak ada satupun yang tulus memberikan bantuan memang didasari kecintaan terhadap karya sastra. “Pernah ada Coca Cola Foundation sumbang komputer tapi yang kualitasnya tidak begitu bagus, tiga bulan rusak lagi. Ada juga partai politik yang tujuannya sangat politis. Itulah sebabnya kami menolak tawaran Nasional Demokrat (Nasdem) salah satunya,” jelasnya.
Bahkan Rizal menolak tawaran baik Universitas Indonesia (UI) yang ingin merangkul PDS HB Jassin. Ia tidak percaya UI mampu mengelola dan merawat karya sastra yang bernilai berlian. “PDS HB Jassin adalah situs sejarah, tak bisa dipindah–pindah, sudah di situ letaknya. Kalau memang UI mau copy data secara digital itu adalah hal yang terlambat. Mahasiswa Malaysia sudah melakukan itu. Intinya kalau tak ada dana dari pemerintah, kami tak punya pilihan lain selain menutup PDS HB Jassin,” tegasnya.
Karena itu, jika pemerintah masih mempunyai rasa memiliki dan tidak melupakan PDS HB Yasin, pasti gudang sastra nasional itu akan kembali bernapas. Sebab kini PDS HB Jassin nyaris tak bernyawa alias mati suri. Krisis keungan PSD HB Jassin membuat pengusaha properti Ciputra prihatin. Dia pun langsung mendatangi temoat dan memberikan bantuan dana senilai Rp100 juta. "Saya lihat di media. Saya sangat prihatin," ujarnya yang datang langsung dan disambut Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin, Ajip Rosidi dan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin, Ariany Isnamurti.
Minta Maaf
”Bukan saya mengatakan saya tidak tahu bahwa saya yang tanda tangani ini. Hanya, barangkali saya harus minta maaf kalau ini luput dari pengamatan saya.” Lontaran ini terucap dari Gubernut Fauzi Bowo saat mengunjungi PDS HB Jassin, i Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Foke, sapaan Fauzi Bowo juga menyesalkan atas kinerja Pemprov DKI yang mengurangi dana bantuan ke PDS. "Jika PDS HB Jassin tidak kita bantu sama saja orang DKI tidak berbudaya. Dokumen di sini tetap bermanfaat untuk masyarakat," katanya.
Dalam kaitan ini, Mendiknas M Nuh pun menyatakan PDS HB Jassin merupakan aset penting sehingga semua pihak berkewajiban menjaga eksistensinya. "Jadi persoalannya bukan mengambilalih atau tidak. PDS HB Jassin itu aset yang mahal dan penting," ujarnya. Mendiknas mengungkapkan pihaknya juga berkepentingan terhadap PDS HB Jassin. Sehingga akan turut serta melestarikannya. "Karena aset maka semua punya kewajiban untuk ikut mempertahankan dan melestarikan. Diknas juga punya kepentingan sebagai sumber pembelajaran," ujarnya.
Ya, mudah-mudahan sikap serius dari pemerintah ini tidak hanya sebatas janji, tapi direalisasikan dengan kebijakan yang memberikan ruang terhadap pengembangan karya sastra. Salah satunya dengan mempedulikan nasib PDS HB Jassin yang menjadi "taman sastra", tempat generasi sekarang dan seterusnya melihat perkembangan karya sastra nusantara dan umumnya dunia.
PDS HB Jassin ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi HB Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun.
Dokumentasinya ini menggugah perhatian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang akhirnya turun tangan untuk ikut memelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Karena itulah Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada HB Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki sebagai lokasi Pusat Dokumentasi ini.
Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.
Pada Mei 2006, pusat dokumentasi ini mempunyai koleksi sebanyak 48.876 dalam bentuk buku-buku fiksi, non-fiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini disimpan pula sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan, seperti NH Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang.
PDS HB Jassin memberikan pelayanan kepada para pengunjung perpustakaan dan siapa saja yang ingin mencari informasi yang terkait dengan dunia sastra, baik para guru, mahasiswa, sastrawan, di luar Jakarta yang sedang mengerjakan skripsi ataupun disertasi.
(ram)
Sumber: okezone.com Senin, 28 Maret 2011 12:49 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar