"Apa kabar Pak Taufik?"
"Baik, cuma agak cenat-cenut nih."
"Kenapa, Pak?"
"Biasa, terbawa umur."
"Umur atau uzur, Pak?"
"Hehehe...."
"Terbawa umur atau terbawa peristiwa, Pak?"
"Maksudnya?"
"Akhir-akhir ini kan nama Pak Taufik begitu santer terdengar di media sosial."
"Wah, itu biasa. Namanya juga seleb."
"Biasa plagiat?"
"Apa hubungannya dengan plagiarisme?"
"Pak Taufik kenal Douglas Malloch?"
"Oh, kenal banget. Dia fans fanatikku, makanya aku abadikan puisinya."
"Jadi bukan plagiat ya, Pak?"
"Ya bukanlah. Kamu ini picik sekali. Buka wawasan dong."
"Tapi banyak orang meyakini itu plagiat, Pak!"
"Hehehe. Mereka itu cuma pengen tenar lewat namaku."
"Cemburu?"
"Bukan juga, cuma memanfaatkan nama besarku agar mereka lebih cepat popular."
"Kok Bapak bilang 'aku pelajari dulu puisiku'? Masak puisi sendiri dipelajari, Pak?"
"Loh, aku ini sudah menganggit banyak puisi, layak toh kalau ada yang lupa."
"Banyak menganggit atau banyak menjiplak, Pak?"
"Jangan menuduh, dong. Itu pencemaran nama baik."
"Faktanya, Bapak kok tutup mulut?"
"Buang waktu mengurusi 'kecemburuan' gila seperti itu."
"Kenapa Bapak begitu anti-Lekra? Sampai kirim pesan pendek segala, Pak?"
"Itu sikap. Pilihan. Kewajiban moral bagi setiap orang."
"Apakah plagiat tak bersentuhan dengan moral, Pak?"
"Wah, itu sangat tidak bermoral. Sama dengan maling. Kejahatan intelektual."
"Bagaimana dengan 'Kerendahan Hati', Pak?"
"Itu murni karyaku!"
"Tapi mirip sekali, Pak."
"Ya, itu sih biasa. Saling menginspirasi."
"Dengar-dengar, para penyair akan membentuk MPI, Pak."
"Apa tuh?"
"Majelis Puisi Indonesia."
"Tugasnya?"
"Komisi Fatwa akan mengkaji kehalalan dan keharaman sebuah puisi."
"Kata siapa 'Kerendahan Hati' itu puisi haram?"
"Loh, kok Bapak menyimpulkan sendiri?"
Dunia Imajiner, Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar