Kamis, 27 Januari 2011

[ESAI RINGAN] Nurdin Halid dan Budaya Malu

Nurdin Halid dan Budaya Malu
Oleh Khrisna Pabichara

Tutuki rikana-kana, inga’ ki ripanggaukang
Jai tau panra’, battu ri kana gau'na
(Hati-hati saat bicara, waspada saat bertindak
Banyak orang merugi, karena kata dan tindakannya)
Pepatah Makassar


Tahukah Anda kenapa Timnas Indonesia bisa kalah agregat melawan Timnas Malaysia beberapa hari yang silam? Jawabannya sederhana: Karena Alfred Riedl terlalu egois dan tak mendengarkan harapan penonton yang bergema sepanjangleg kedua di Senayan. Ya, waktu itu penonton meminta agar Riedl “menurunkan” Nurdin Halid. Alih-alih mengiya, Riedl malah “menurunkan” Arif Suyono.

Seloroh di atas saya cantumkan di status Facebook saya pada Jumat, 21 Januari 2011, pukul 18.51. Sebut saja itu semata gurauan, bukan sesuatu yang pantas dibaca sambil mengerutkan kening. Seloroh itu hanya racauan kegalauan saya terhadap Nurdin Halid—sosok yang nyaris tak tergantikan di Istana PSSI—dan makmun-makmun yang setia mengamini segala tindak-tanduknya. Seloroh itu cuma sebentuk kekecewaan dari seseorang yang selalu rindu Timnas Indonesia masuk ke jajaran persepakbolaan dunia.

Akan tetapi, seandainya saya yang jadi objek teriakan penonton sepanjang laga, langkah pertama yang akan saya lakukan adalah introspeksi diri. Saya akan memilih tempat paling sepi—yakni hati—untuk merenungkan apa gerangan, kenapa bisa, dan untuk apa penonton serempak menyanyikan koor “Nurdin Turun” sepanjang pertandingan. Langkah kedua, saya akan menilik untung-rugi jika saya tetap bertahan sebagai Ketua Umum PSSI, dan apabila “turun takhta” adalah langkah terbaik, saya akan melakukannya dengan legowo. Demi Garuda, demi Indonesia.

Sayangnya, saya bukan Nurdin. Di negeri bernama kenyataan, Nurdin dan konco-konconya menggunakan Statuta PSSI sebagai tameng yang seolah tak bisa disentuh oleh siapapun. Tiga klub yang transmigrasi ke LPI langsung dipecat—bukan semata karena tudingan berkhianat, tapi juga strategi jitu meredam lawan—dan dicabut status keanggotaannya dari PSSI. Padahal, sejatinya, keputusan pencabutan hak keanggotan hanya bisa dilakukan lewat Kongres, bukan karena “kebakaran jenggot”-nya pengurus PSSI melihat pembangkangan anggotanya.

Inilah negeri, yang seolah-olah, dalam dongeng itu.

Budaya Malu
Apakah yang akan Anda rasakan jika Anda yang diteriaki nyaris 80.000 orang? Di depan Presiden dan petinggi negara pula? Di hadapan ratusan juta pencinta Garuda—yang menonton lewat layar kaca? Saya yakin, Anda akan merasa “malu”, sama seperti yang saya rasakan. Tetapi itu tidak terjadi pada diri Nurdin Halid. Bahkan dengan bangga ia bertitah bahwa kesuksesan Timnas adalah karena jasanya dan “jaket kuning” yang dikenakannya.

Ini sungguh memalukan. Terlepas dari aksi heroik para punggawa Timnas kita,runner-up Piala AFF bukanlah prestasi baru—atau benar-benar baru—karena Timnas sudah pernah meraih prestasi itu sebelumnya. Lantas apa jasa Nurdin? Apa pula peran “jaket kuning” yang ia kenakan? Mengapa sepak bola diseret ke ranah politik? Apakah tidak cukup poster-poster memalukan dipajang di Bukit Jalil?

Amboi, ke mana “rasa malu” itu disembunyikan?

Ketika tulisan ini dirampungkan, saya terperangah melihat semakin susutnya “budaya malu” di negeri tercinta ini. Betapa tidak, koruptor melenggang gemulai di layar kaca seolah tak bersalah telah mengemplang uang rakyat; wakil rakyat yang tak betah bekerja di ruang statis sehingga ruang kerjanya harus direnovasi setiap tahun—agar bisa tidur di kamar kerja dan terhindar dari “rasa malu” karena tertangkap kamera memproduksi liur saat sidang—dengan biaya yang bisa menyekolahkan puluhan ribu anak jalanan; petinggi negara yang tak puas dengan gaji bulanannya, padahal gajinya sangat “wah” dibanding kepala rumah tangga yang sibuk cari upah harian; ada pengemplang pajak yang tiba-tiba berhasrat jadi penasihat di sebuah lembaga anti-korupsi; ada banyak lagi yang bikin mual jika semua saya ingat.

Meskipun demikian, saya masih bersyukur karena saat ini sedang digalakkan pembangunan “karakter” bangsa lewat dunia pendidikan. Dan, saya harap, Kemendiknas menyisipkan “kurikulum malu” agar bangsa ini lebih berbudaya.

Arogansi Nurdin Halid
Benarkah Nurdin Halid itu sosok tak tersentuh, sehingga upaya memaksanya turun dari takhta PSSI takkan berhasil? Tampaknya, demikianlah adanya. Coba saja Anda baca tabloid Bola edisi Kamis-Jumat, 27-28 Januari 2011. Hasil wawancara dengan Nurdin Halid dijuduli dengan puitis oleh Bola, Tak Ada yang Bisa Menyuruh Saya Berhenti. Sebutlah Ketua Umum PSM Makassar bermasalah secara pribadi dengannya, tapi taklah pantas hal seperti itu jadi konsumsi publik, seperti yang ditegaskan Nurdin Halid. Mestinya ada upaya berpikir, setidaknya mempertanyakan muasal penyebab hengkangnya PSM Makassar ke liga sebelah.

Bahkan, pandangan pribadi Nurdin Halid terhadap Arifin Panigoro—tokoh penggagas LPI—pun disampaikan di wawancara itu. Ketika ditanya apakah Nurdin Halid mengenal Arifin Panigoro, Nurdin menjawab, “Kenal dan tahu saat masih bersama-sama di DPR. Yang pasti saya dan dia pernah menjadi tersangka pada saat yang bersamaan. Tapi, mungkin dia lebih kuat dibandingkan saya. Makanya saya lanjut ke pengadilan, dia tidak.”

Saya langsung teringat pada “tembakan” Gayus ke Denny Indrayana, atau “bom” yang dikirim Dipo Alam kepada Din Syamsuddin. Andai pun benar Arifin lebih kuat, bagi saya, tak penting mengungkapkan hal seperti itu karena tidak menyentuh esensi pertanyaan, malah tak lebih dari “rasa sirik” ketika yang lain bebas dan ia terjerat. Sepertinya Nurdin harus bergaul dengan anak muda zaman sekarang, agar ia dengar istilah “sirik tanda tak mampu”.

Sementara pada hasil wawancara yang dijuduli “Mosi Tak Percaya Dihargai Rp 25 Juta”, Nurdin kembali mengejutkan saya dengan kalimat, “Ini soal sepak bola, jangan dibawa ke hal yang lain.” Sungguh, siapa sebenarnya yang memanfaatkan? Apakah sepak bola nasional yang memanfaatkan kemampuan Nurdin memimpin PSSI, ataukah PSSI dan sepak bola yang ditunggangi Nurdin untuk kepentingan politiknya?

Pulau Bintan dan Harapan Baru
Meskipun peluangnya sangat kecil, saya sangat berharap kongres PSSI di Pulau Bintan nanti akan menghasilkan perubahan, setidaknya muka-muka lama yang itu-itu juga di tubuh kepengurusan PSSI bertemu pengganti yang layak. Saya juga berharap ada tokoh bola yang bersedia mencalonkan diri menjadi pesaing Nurdin Halid, agar kongres tidak berjalan layaknya opera yang sudah diatur oleh seorang sutradara tunggal. Sebutlah pada masanya Nurdin tetap terpilih, setidaknya Nurdin akan tahu bahwa bukan hanya dia yang peduli pada sepak bola nasional.

Pada akhirnya, saya berharap Pulau Bintan akan menghasilkan “kitab baru” bagi kemajuan sepak bola kita. Meminjam istilah Ian Situmorang, “Semoga peserta kongres memilih berdasarkan ‘bisikan hati’, bukan karena ‘bisikan materi’.”

Semoga, semoga, semoga!

Ragunan, Januari 2011

2 komentar:

  1. kabarnya surat dukungan untuk pencalonan arifin panigoro dari pengurus pssi jambi juga hilang setelah diserahkan ke seorang staff di pusat

    BalasHapus