Catatan: Terima kasih kepada Endah Sulwesi dan Penerbit Serambi yang telah mempercayakan novel "Korupsi" untuk saya baca. Salam takzim.
Republik Korupsi
Oleh Khrisna Pabichara
"Kekayaan adalah sesuatu yang tanpa itu kita bisa tetap hidup."
—John Roger dan Peter McWilliams
Berhentilah mencari letak Republik Korupsi di sejumlah peta, karena negeri itu tidak berada di antara lima benua besar yang selama ini kita ketahui. Padahal negeri itu benar-benar ada, sangat nyata, bahkan—boleh jadi—di sanalah kita lahir dan bertumbuh. Di negeri itu, orang-orang beramai-ramai menyembah berhala (harta) dan karena itu segala cara untuk meraupnya didapuk sebagai budaya, termasuk korupsi.
Dari mana cikal Republik Korupsi itu bermuasal? Bermula dari sebuah novel dengan latar Maroko—yang pada pelbagai sisi persis Indonesia—berjudulKorupsi karangan Tahar Ben Jelloun, novelis kelahiran Maroko peraih Hadiah Sastra Prix Gouncourt. Berangkat dari perbandingan antara yang sedikit denganyang banyak atau yang kaya dengan yang miskin, pengarang yang pada awal 1990-an sempat bertandang ke Indonesia untuk menemui Pramoedya Ananta Toer ini berkisah tentang penderitaan batin Murad—sang tokoh yang bertahan ditelikung ironi budaya korupsi—karena teror istri dan mertuanya yang setiap hari membandingkannya dengan Haji Hamid (asistennya) atau kerabat istrinya yang memiliki harta berlimpah ruah. Akan tetapi, Murad memilih bertahan pada kejujuran hatinya meski harus menjadi bulan-bulanan cibiran dan cacian. Ia mengasingkan diri dari lingkaran korupsi yang menggurita di kalangan pejabat—dari yang kecil hingga yang besar—tempatnya mengabdi.
Merujuk pada kisah Murad, kekayaan memang sering dianggap sebagai satu-satunya kunci untuk membuka pintu kebahagiaan. Banyak yang mengirakebahagiaan itu dibungkus oleh kekayaan, maka segala cara pun dilakukan untuk mendapatkan “pembungkus” itu. Ada yang tega menyikut orangtua atau kerabat sendiri, ada pula yang menyikat milik teman atau lembaga atau bahkan milik negara. Yang haram disabet, apalagi yang halal.
Manakala seseorang bertahan agar tak terbelit gurita korupsi, sebutan “aneh” atau “bodoh” segera diterakan kepadanya, seperti nasib yang menimpa Murad. Bahkan, tak jarang sengaja dirancang muslihat keji guna menjatuhkan pejabat bermoral seperti itu untuk membunuh nuraninya, mematikan masa depannya, atau digalikan lubang—untuk kemudian dijorongkan dan ditimbun di sana—agar tak menghalangi lelaku korup yang dilangsungkan secara berjamaah itu.
Jebakan itu pula yang akhirnya sukses menjerumuskan Murad ke dalam penyesalan tak berujung, tak berhingga. Sejak semula Murad mencoba bertahan dengan moral dan kecintaan pada negeri sebagai bentengnya, tapi rongrongan hidup yang seolah mendukung rekayasa sejawat di kantornya telah melemahkan ketahanan benteng itu. Alkisah Murad pun tergoda menandatangani dokumen proyek tanpa terlebih dahulu memeriksanya dengan teliti, seperti hari-hari sebelumnya, karena amplop berisi dollar yang sangat menggiurkan dan dipastikan akan menolong biaya sekolah anak sulung dan operasi putri keduanya.
Ya, akhirnya Murad kalah (atau dikalahkan?) dan takluk karena terjangan tuntutan hidup, dan perjuangan melawan korupsi menjadi sesuatu yang sia-sia. Penolakan-penolakan yang telah lama mengakar di hatinya, akhirnya dicerabut oleh keinginan-keinginan atau hasrat-hasrat atau nafsu-nafsu duniawi yang tak terhitung jumlahnya. Dan, penyesalan terbesar bagi Murad ketika pertama kali melakukan penyelewengan atas wewenang yang dimilikinya adalah karena ia telah mengkhianati hatinya. Penyesalan itu pula yang mengalihkan wajahnya pada perempuan lain—yang bukan istrinya—untuk mencari penghibur luka yang tak tersua lagi di wajah istrinya.
Sejatinya, Korupsi adalah simbol atau tamsil yang dihadirkan oleh Tahar ke hadapan kita. Meskipun latarnya terjadi di Maroko, ini adalah kenyataan pahit yang dihadapkan kepada kita sebagai senjata mematikan yang tak terelakkan. Semacam cermin yang memantulkan sosok ibu pertiwi kita yang sedang terhuyung, terpelecat ke ngarai kehancuran akibat perilaku bejat dan serakah dari anak-anaknya yang “lupa diri”. Coba kita lihat sejenak saja berita-berita di media massa, yang tersaji di hadapan kita adalah kabar bupati, walikota, gubernur, polisi, jaksa, menteri, anggota dewan—baik yang sudah mantan apalagi yang masih menjabat—yang berwajah tenang setelah mengemplang uang rakyat. Bahkan sandiwara Gayus seolah sinetron terpanjang yang tak pernah tamat ditayangkan setiap hari. Sebut pula kasus Bank Century yang pelakunya seolah tuyul karena hingga kini tak diketahui siapa biangnya.
Tak heran jika pertanyaan sederhana berdentum setiap hari: Bagaimana bisa seorang tahanan melancong ke sana-sini, bahkan ke luar negeri? Bagaimanacaranya uang triliunan bisa raib begitu saja tanpa ketahuan rimbanya? Bagaimana ini, bagaimana itu?
Bila kita menyelam lebih dalam, dapat dikatakan Korupsi adalah sebuah nyanyian, elegi yang memiuh ulu hati. Nyanyian sumbang yang tak henti merajam hati lewat liriknya yang lirih. Atau, sebut saja, elegi dari negeri ironi. Elegi yang juga alegori, kebenaran yang tersembunyi di balik kebohongan yang indah. Elegi tentang pertarungan emosi dalam jangka yang lama, pertempuran klasik antara keyakinan yang terdalam melawan kebutuhan hidup. Pertarungan itulah yang menjadi kenyataan batin di hadapan diri sendiri, sebelum akhirnya menjadi kenyataan lahir yang menghubungkan Murad dengan orang lain. Keyakinan dan perilaku batiniah yang kemudian dibenturkan dengan hasutan lingkungan, dan akhirnya berulu pada peperangan sengit antara “yang baik” melawan “yang buruk”. Peperangan itu terjadi setiap hari di sekitar kita karena korupsi bukan lagi bahaya tersembunyi yang bergerak secara laten, melainkan virus ganas yang menjalari seluruh jaringan birokrasi.
Inilah elegi tentang Republik Korupsi yang, entah, berada di sini atau di sana! (*)
Judul : Korupsi
Judul Asli : L’Homme Rompu
Pengarang : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Okke K.S. Zaimar
Penyerasi : Anton Kurnia
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : 236 halaman
Parung, Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar