Hikayat Cinta Perakit Roket [2]
—kepada Atik Bintoro
Dulu aku manusia juga. Sungguh. Seorang lelaki, benar-benar lelaki. Tapi itu dulu, dulu sekali, jauh sebelum aku kenal dirimu dan terowong angin melantakkan roket kesadaranku. Lalu lambai tanganmu makin lemah dan kamu makin jauh, makin tak terjangkau, seperti pelangi yang bernyanyi sebelum hujan kenang datang mengepung mataku, laki-lakiku. Dan senja diam-diam menguburnya bersama remuk doa.
Dulu aku manusia juga. Sungguh. Seorang lelaki, benar-benar lelaki. Tapi itu dulu, jauh sebelum matamu berkeredip dan cahaya mengelam di sana. Lalu senyummu melambaikan luka serupa sendu seruling gembala. Yang rapuh, yang lepuh. Dan kamu ialah jarak dan rentang dari harapan yang tergenang di mataku. Benar aku mendambamu seolah manusia pencinta hujan yang lupa warna-warni awan, hingga kabut bernama takdir turut menggenapi lukisan hidupku lewat sapuannya yang ganjil.
Sekarang, kamu adalah hujan yang datang merubung jiwaku.
Jakarta, Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar