Menciptakan Sosok Imajinatif dalam Cerita:
Pengantar Perbincangan
Pernahkah Anda bayangkan bagaimana bisa Karl May menciptakan “sosok imajinatif” yang sedemikian kental nuansa Indian-nya, padahal ia belum pernah bertemu dengan orang Indian? Tahukah Anda bahwa Jules Verne menciptakan tokoh-tokoh dalam Kapten Nemo dan bertutur tentang kehidupan bawah laut dan kapal selam, padahal Verne belum pernah bertemu dengan teknisi pembuat kapal selam dan belum pernah menyelam ke dasar laut? Bahkan saya sendiri mengisahkan “tokoh bissu”—lelaki menyerupai perempuan—dalam cerpen “Arajang” sebelum saya dipersuakan oleh ruang dan waktu dengan komunitas yang jumlahnya semakin menyusut itu.
Akan tetapi, menciptakan “tokoh”—termasuk penokohan—bukan hal yang gampang bagi saya. Kenapa? Karena itu akan berkaitan dengan karakter, cara bicara (dalam cerita akan berbentuk dialog), dan ihwal lain yang akan sangat menentukan kualitas cerita dan penceritaan. Bahkan Saut Poltak Tambunan, kabarnya, sangat berhati-hati dalam memilih nama tokoh-tokoh imajinatifnya. Artinya, cara kita menciptakan tokoh akan sangat mempengaruhi bangunan cerita. Maka tidaklah berlebihan jika banyak prosais—sebut saja pencerita—yang sangat memperhatikan “tokoh” dan “penokohan” yang ia ciptakan.
Suatu ketika seorang teman Facebook menanyakan tentang bagaimana cara saya menciptakan sosok imajinatif dalam cerita. Jujur saja, pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” adalah soal paling sulit bagi saya. Kenapa? Karena bangunan cerita saya—termasuk alur, dan tokoh—selalu bersentuhan dengan “rasa”, sesuatu yang selalu sukar untuk ditunjukkan cara penciptaannya. Namun bukan berarti tidak bisa. Baiklah, saya bocorkan kebiasaan yang kerap saya lakukan sebelum menciptakan “tokoh rekaan”.
Pada mulanya, setelah ide dan kerangka cerita saya temukan, hal yang suka saya lakukan adalah mencari tokoh di sekeliling saya—baik di masa lalu apalagi di masa kini—yang mendekati gambaran tokoh yang saya inginkan. Saya simak gaya tuturnya, gerak tubuhnya, bahkan hal sepele yang kerap dilakukannya—semisal mengedikkan bahu atau memegang ujung hidung setiap hendak berhenti bicara. Hasil amatan itu saya pindahkan ke dalam cerita. Meskipun tidak terlalu rinci, cara itu sangat membantu saya dalam menggarap satu cerita.
Selepas lelaku amatan itu, saya akan memikirkan latar belakang tokoh rekaan itu, misalnya jenis kelaminnya (yang pasti akan berbeda cara tutur dan sikap antara lelaki dan perempuan), pendidikan, strata sosial, dan hal lainnya. Ini sangat membantu saya dalam meracik cerita sekaligus merampungkannya. Betapapun tokoh dan penokohan adalah hal yang sangat penting dalam keutuhan sebuah cerita, karenanya saya sangat berhati-hati.
Lantas, bagaimana dengan Anda? Saya yakin Anda pasti punya teknik tertentu dalam menciptakan “tokoh imajinatif”. Dan, jika Anda sudi berbagi di sini, tentulah itu sangat berharga bagi teman-teman yang lain sebagai pembanding. Apalagi jika Anda berkenan berbagi teori atau pengalaman sendiri, sesuatu yang sangat berharga. Ditunggu dengan takzim.
Rumah Kata,
Khrisna Pabichara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar