Rabu, 26 Januari 2011

[ESAI RINGAN] Curhat SBY, Buku SBY

Curhat SBY, Buku SBY
Oleh Khrisna Pabichara

Sejarah yang Berulang
Ada dua hal menarik seputar Presiden SBY minggu ini. Pertama, curhat tentang gajinya yang tidak naik selama 7 tahun, meskipun dana taktisnya terus membengkak setiap tahun. Kedua, buku seri profilnya, Lebih Dekat dengan SBY,direkomendasikan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai bahan pengaya bagi siswa SMP/SMA, yang berpotensi memantik pengkultusan. Amboi!

Dari sanalah tulisan ini bermula. Tentu masih lekang dalam ingatan, terutama generasi yang lahir 1980-1990, bagaimana Soeharto menjejali siswa sekolah menengah dengan kisah kepahlawanan dan kebesarannya. Saat itu, Soeharto kerap menghiasi lembar pelajaran PSPB sebagai pahlawan pembela Pancasila, yang taklah bisa “bertahan” Pancasila sebagai spirit bangsa jika bukan Soeharto yang mempertahankannya. Dengan motif berbeda, sekarang sedang beredar di beberapa daerah, serial profil SBY yang direkomendasi tim independen atas persetujuan Kemendiknas untuk menjadi bahan baca pengaya bagi siswa sekolah menengah.

Sungguh, sesuatu yang naif jika Presiden yang masih aktif dianjurkan untuk dibaca profilnya oleh generasi kita. Kenapa? Karena bisa mempengaruhi dampak perkembangan kejiwaan siswa yang mengarah pada pengkultusan individu. Uniknya, saya yakin, penulisan buku ini pastilah dirampungkan setelah mendapat “restu” Pak SBY. Hanya saja, serial berisi 10 buku ini seolah lepas dari amatan orang-orang di lingkar istana.

Curhat yang Salah Kaprah
Belum lagi polemik seputar buku itu reda, Pak SBY kembali menghadirkan lelaku tidak simpatik lewat curhat ihwal gajinya yang tidak pernah naik selama 7 tahun. Apa pun alasannya, rakyat akan membaca “kemarukan” Pak SBY sebagai upaya mencari simpati seperti yang kerap dilakukan olehnya. Sayangnya, rakyat sudah semakin cerdas. Tidak berlebihan jika kemudian banyak bermunculan protes dari masyarakat luas, terutama di dunia maya, atas “keluhan” kurangnya gaji Presiden itu. Hal ini terwujud dalam gerakan Koin untuk Presiden. Semestinya, setelah berkali-kali salah curhat, Presiden bisa bersikap lebih arif, terutama bila itu terkait dengan perasaan 220 juta rakyat yang dipimpinnya.

Bayangkan, pada saat Presiden curhat, gencar berita tentang tewasnya satu keluarga karena keracunan tiwul. Bukan “tiwul”-nya yang jadi masalah, tapi realitas pahit dari peristiwa itu. Bagaimana bisa Presiden bernyanyi tentang gajinya yang jalan di tempat, sementara rakyatnya pusing mencari warung yang bersedia meminjamkan beras barang setengah liter? Bagaimana mungkin Presiden sanggup berkoar tentang minimnya pendapatan dibanding tanggung jawab yang diembannya selaku Kepala Negara, tepat ketika banyak kepala keluarga sibuk mencari lapangan kerja atau kelimpungan ketika anaknya butuh biaya pendidikan atau biaya berobat?

Semestinya Presiden lebih peka membaca kondisi rakyat yang dipimpinnya. Jangankan meminta kenaikan gaji, mendapatkan pekerjaan layak saja susahnya minta ampun. Belum lagi bila hal ini dikaitkan dengan risiko. Pada saat berniat maju menjadi Presiden, sejatinya yang dipikirkan adalah hakikat melayani, bukanmakrifat dilayani. Sejatinya, Presiden yang baik adalah yang sibuk memperjuangkan keberlangsungan “rumah tangga rakyatnya”, bukan malah kelimpungan mengurus “kemewahan rumah tangga”-nya.

Di sinilah perlunya Presiden SBY kembali merenungi amanat yang diembannya, yakni yang melayani dan bukan yang dilayani.

Pada Akhirnya
Kembali ke ihwal buku, tim independen yang menilai layak tidaknya satu buku dijadikan bahan pengaya—mestinya—tidak hanya mempertimbangkan kelayakan materi buku tertentu, tetapi juga dampak yang bisa ditimbulkannya, sebut misalnya kemungkinan pengkultusan individu. Dan itu sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa. Akan berbeda jika yang ditawarkan adalah biografi para mantan Presiden; Presiden Soekarno—dengan muatan nasionalismenya, Presiden Habibie—dengan kandungan cinta pengetahuannya, atau Presiden Gus Dur—dengan materi kemampuannya menerima seluruh lapisan masyarakat.

Sedangkan ihwal “gaji buruk” yang dikeluhkannya—meskipun Anas Urbaningrum membantah bahwa itu bukan keluhan—Presiden bisa bersikap lebih legowo.Cukuplah dana taktis Rp 2 miliar untuk menjaga “asap dapurnya”, dan tidak memantik kecemburuan rakyat dengan hasratnya yang berlebihan. Bahkan, akan lebih kesatria apabila Presiden SBY mengeluhkan kinerja “pasukan” yang dipimpinnya, termasuk mengganti “pembantunya” yang bekerja di bawah ekspektasi rakyat.

Semoga Pak SBY bisa berbesar hati.

Ragunan, Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar