Kamis, 23 Juni 2011

Makassar Tidak Kasar

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Kedua (Selasa, 14 Juni 2011)


Berperang Melawan Rasa Enggan

Alarm yang sengaja saya setel pukul 07:00 ternyata tidak sanggup menyeret saya dari peluk mimpi. Sudah pukul 08:25 ketika saya terjaga, padahal hari ini rencana ikut program perjalanan penulis ke Galesong. Ya, hari kedua MIWF 2011. Mestinya pagi ini saya sudah berada di Galesong bersama Mazaa Mengiste (Ethiopia), Rodhaan Al Galidi (Irak), Gűndűz Vassaf (Turki), Abeer Soliman (Mesir), Ton Van De Langkruis dan Judith Uyterlinde dari Belanda, serta Wendy Miller dari Australia. Mestinya saya sudah bercengkerama dengan komunitas dan pelajar di pesisir Galesong bersama penulis Makassar yang saya kagumi, Hendragunawan S. Thayf, dan peteater yang namanya sudah lama intim di hati saya, Shinta Febriany. Mestinya saya sudah menyisir bibir pantai, bertukar sapa dengan penduduk pesisir bareng Hamran Sunu—novelis muda Makassar yang semalam suntuk dituturkan kepiawaiannya oleh M. Aan Mansyur—dan penulis muda Makassar lainnya, Erni Aladjai.

Faktanya, saya masih bertangkup selimut, belum sikat gigi, belum cuci muka, apalagi mandi. Ketika mata saya menoleh ke dipan Aan, tilamnya sudah kosong. Saya langsung teringat linikala Esha Tegar Putra di twitter yang menyebut Aan sebagai kurator plus LO.

AC yang disetel di angka 16 mulai terasa dinginnya. Matahari sudah menyelinap lewat gordin yang sedikit tersingkap. Yang pertama memikat hati saya, seperti biasa, adalah telepon genggam. Dan, di layarnya. Bujug! Ada 12 panggilan tak terjawab, 8 pesan pendek, dan akun twitter yang seolah melambai untuk segera disambangi. Handphone itu saya taruh kembali, lalu bergegas bangkit, bermalas-malasan meraih sebotol air mineral yang telah disediakan pihak manajemen hotel di sisi lemari pakaian. Terasa kesegarannya ketika air itu meniti tenggorokanku. Aih, lebay deh!
Baru saja berniat ke kamar mandi, handphone-ku menjerit. Ternyata Si Cantik dari Parung, Shahrena.

“Ayah lagi ngapain?”
“Mau mandi!”
“Idih, jorok. Penulis internasional kok malas mandi.”
“Eh, dilarang ceramahi orangtua, kualat.”
“Hehehe, Ayah diktator.”
Dan, tawa renyah bidadari kecilku berayun-ayun di telinga.

Begitu Rena menutup perbincangan, saya segera bergegas ke kamar mandi.

Makassar Tidak Kasar

Matahari sudah terasa teriknya begitu saya tiba di pelataran hotel Valentino. Tak ada taksi, tak ada pete-pete yang lewat. Tapi, di sudut kanan jalan, seorang tukang becak sedang mangkal. Segeralah tanganku melambai, begitu melihat ia menoleh kepadaku. Langkahku terayun begitu ringan. Dan setelah bertanya ongkos ke Museum Kota Makassar, saya segera duduk di joknya. Naik becak di Kota Makassar, lama nian tak merasakaannya. Dan, setelah perbincangan ringan dengan daeng becak, ternyata ia sekampung dengan teman SMP saya di Jeneponto. Nah, makin rindu kampung deh!

Begitulah. Makassar sudah terik sepagi ini.

Akhirnya tibalah saya di Museum Kota Makassar. Bisa ditebak, wajah yang langsung saya kenali adalah penyair kelahiran Bone yang selalu dirahasiakan tahun kelahirannya, Aan. Tanda pengenal dan buku program segera berpindah ke tanganku. Aan juga yang mengabarkan bahwa penyair kelahiran Surakarta, Sapardi Djoko Damono, sudah tiba lebih dahulu. Bersama istrinya, Prof Sapardi—begitu biasa saya menyapanya—sedang asyik mengamati koleksi museum. Sembari mengulurkan tangan, dengan lembut saya sapa penyair yang sajaknya kerap diterakan di kartu undangan pernikahan itu.
Ya, hari ini, saya akan duduk semeja dengan Prof Sapardi untuk berbincang soal kreativitas bersama komunitas di Makassar. Acara Bincang Komunitas ini terselenggara berkat kerja sama antara MIWF 2011 dengan Gerakan Makassar Tidak Kasar, gerakan yang selama ini hanya kerap saya baca di media maya. Yang menggembirakan adalah karena pagi ini saya juga bertemu dengan pemilik akun @SupirPete2 di twitter. Ternyata!

Pukul 10.00. Aan segera menyapa seluruh peserta dan mengajak mereka menempati kursi yang telah disediakan. O ya, salah satu keunikan pengemasan acara ini adalah becak yang berderet rapi, sengaja disediakan sebagai tempat duduk bagi para penghadir. Unik, selera unik yang menggelitik. Dan, Keyka pun mulai mengenalkan apa dan hendak mengapa Gerakan Makassar Tidak Kasar itu.

“Tidak bisa dimungkiri, media turut menanam saham, sehingga wajah Makassar yang kesohor di luar adalah wajah yang ‘sangar’ dan ‘kasar’. Berita yang dikabarkan pun selalu berkisar pada kekerasan. Mengingat berita memang membutuhkan hal-hal aneh, kita terpaksa memakluminya. Tapi, seandainya boleh berharap, setidaknya disampaikan secara berimbang, atau menuturkan pula muasal tindak kekerasan itu,” begitu kata Keyka saat dipersilakan Aan untuk memulai perbincangan.

Bagi saya, kritik semacam itu perlu. Tugas media bukanlah semata mencari sensasi, mereka juga wajib mengambil bagian dalam upaya “membangun kecerdasan bangsa”. Berita seputar Makassar, hingga saat ini, memang didominasi rekaman sedih dari hal-hal mengerikan yang mewarnai pertumbuhannya: perkelahian antar-gang, demonstrasi rusuh, dan tindak kekerasan lain, semua ini adalah potret buram Makassar yang menghiasi ruang media, terutama media televisi. Seolah asin dan garam, Makassar dan kekerasan seolah kembar identik yang tak terpisahkan. Akan tetapi, media kan memang gemar memburu sensasi.

Keyka juga berkisah tentang kegiatan yang selama ini telah dilakukan, termasuk kampanye menumbuhkan kreativitas kalangan muda Makassar. Mawar, seorang penyiar radio yang turut aktif dalam gerakan ini, juga memaparkan program Piknik Asyik, pelesir ke ruang-ruang publik—yang jumlahnya makin terbatas—dengan santai dan menyenangkan. Unjuk saran pula, Ancu Amarah, pegiat Kampung Buku, bertutur tentang program layar tancap. Semacam ajakan bagi kalangan muda untuk menonton film-film berkualitas. Konon, lewat @dewi_boelan, komunitas ini secara rutin menyajikan kutipan-kutipan inspiratif dari petikan dialog film.

Lalu, tiba giliran saya bertutur soal pengalaman menggiatkan Gerakan #koinsastra, gerakan yang bersama-sama teman-teman juga bermula dari kicauan di twitter. Bincang asyik itu pun diakhiri dengan gaya khas Prof Sapardi yang membabar pentingnya kreativitas dalam hidup ini.

Tradisi Massure’ dan Film Persembahan

Akhirnya, tibalah kita di malam pembukaan. Inilah salah satu di antara sekian banyak keunikan MIWF 2011. Sebenarnya, Sekar Chamdi dan Ana P. Diwayana sudah memulakan rangkaian program MIWF pada hari pertama (Senin, 13 Juni 2011) lewat program Creating Bookcraft bersama Forum Indonesia Membaca. Begitu pun Aan dan penulis Makassar yang telah mengangkasa lewat program Sastra di Udara, tepatnya di Selebes FM. Namun, secara resmi, pembukaan MIWF 2011 baru akan dilakukan malam ini.

Malam ini saya ditemani guru teater semasa di SMKI Negeri Ujung Pandang, Asia Ramli Prapanca. Menyasar Pantai Losari, lalu masuk ke Hotel Pantai Gapura. Dan, gila! Saya takjub—boleh juga disebut terkagum-kagum—melihat arsitektur restoran Balla’ Irate yang terapung di pinggir Laut Makassar. Betapa tidak, tiang-tiang penyangga terpacak kukuh ke tubuh laut. Alangkah!

Dan, sayat kesok-kesok, alat musik tradisional yang kerap mengiringi sinrilik—sastra tutur khas Makassar—menyambut tetamu. Sungguh, tak banyak orang yang kukenal. Hingga tampaklah Moch. Hasymi, esais yang dulu kerap saya baca karyanya di koran-koran. Lantas Arman Dewarti, peracik film. Yang lebih mengejutkan adalah perjumpaan saya dengan teman seangkatan di SMKI Negeri Ujung Pandang, Ancu Batara. Bayangkan, saya terpisah dengannya nyaris 16 tahun.

Setelah acara makan-makan (hiks, ada ikar bakar favorit saya!), malam pembukaan pun dimulai. Luna Vidya, jago monolog yang sudah melanglang buana, membuka ritual dengan celetukan-celetukan yang segar. Lagi-lagi, satu kejutan yang menggetarkan, Indo’ Masse tampil Massure’, sastra lisan Bugis yang kini jarang tertemukan. Mozaik tradisi yang memukau. Setiap lengkingnya adalah simfoni merdu membelai kalbu. Tak lama berselang, seperti lumrahnya ritual pembukaan acara, sambutan demi sambutan digelar. Bermula dari Direktur MIWF 2011, Lily Yulianti Farid, lalu Direktur Rumata’ yang juga sineas kelahiran Makassar, Riri Reza. Terakhir, sambutan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Ritual pembukaan ditandai dengan pemukulan 4 gong secara serentak oleh Lily, Riri, Walikota, dan Direktur Writers Unlimited de Hague Literatue Network, Ton Van De Langkruis.

Pada saat menuturkan sambutannya, Lily juga memperkenalkan 4 pendekar sastra Makassar yang dipilih kurator menjadi peserta MIWF 2011, yakni Hendragunawan S. Thayf, Shinta Febriany, Hamran Sunu, dan Erni Aladjai. Kemudian, Lily memperkenalkan pembicara tamu kelahiran Makassar, yakni Ryana Mustamin, Fauzan Mukrim, dan saya.

Tibalah giliran Ton menampilkan satu demi satu peserta dari mancanegara. Bermula dari Mazaa Mengiste. Novelis kelahiran Ethiopia ini kini bermukim di New York, Amerika Serikat. Lalu, Abeer Soliman. Penulis asal Mesir ini memulai debutnya lewat Diary of an Old Spinster. Konon, ia termasuk pegiat revolusi Mesir. Berikutnya, esais dari Turki, Gűndűz Vassaf. Terakhir, Rodhaan Al Galidi, penyair kelahiran Irak yang kini menetap di Belanda. Kelak, di catatan berikutnya, akan saya tuturkan kehebatan karya mereka, termasuk duet maut saya dengan Rodhaan dan kolaborasi cantik saya dengan Abeer.

Kejutan lain akhirnya tiba. Film persembahan untuk Muhammad Salim tayang di layar. Tampillah sosok sejarawan dan pejuang literasi yang dengan tekun menerjemahkan I La Galigo, karya sastra Bugis yang diamini banyak kalangan sebagai epik terpanjang di dunia. Tidak banyak sosok yang bisa setekun Salim dalam menceburkan dirinya secara menyeluruh ke dunia literasi. Maka, layaklah film ini dipersembahkan secara khusus kepadanya. Film dokumenter ini diracik oleh sutradara eksentrik, Arman Dewarti. Di ujung tayang film, tersaji lagi adegan yang memiuh-miuh hati: penyerahan film kepada istri almarhum Muhammad Salim. Apresiasi yang menggetarkan dari kalangan muda kepada pendahulunya. Salut!

Ritual pembukaan pun ditutup dengan parade pembacaan sajak Sapardi Djoko Damono yang dianggitnya dari terjemahan I La Galigo. Hamran, Erni, Shinta, Hendra, dan Aan tampil satu per satu, kemudian dipungkasi oleh Prof Sapardi.

Dan, berakhirlah acara pembukaan yang menggetarkan hati.

Sejam di Gedung Kesenian Makassar

Selepas acara pembukaan, saya tak bersegera ke hotel Valentino. Alih-alih merebahkan penat di kamar, saya malah bertandang ke Gedung Kesenian Makassar—yang hingga kini renovasinya tak kunjung rampung. Adalah kegembiraan bersejarah bisa kembali mencecap angin mammirik di pelataran gedung. Rupa-rupa tingkah ada di sana. Satu meja digelimuni anak-anak muda yang asyik main domino, satu meja sedang sibuk bercengkerama, satu meja lagi menyaksikan adu strategi catur. Sesekali terdengar gurauan khas Makassar.

Begitulah. Hari kedua MIWF. Tak terlupakan!

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar