Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011
Hari Pertama (Senin, 13 Juni 2011)
Buku Menunggu, Menunggui Buku
Sebenarnya ini adalah perjalanan kembali ke tanah kelahiran. Semacam tapak-tilas yang—sambil menyelam minum air—memungkinkan saya dapat mengikuti program Makassar International Writers Festival (MIWF) 2011 sekaligus menyambangi keluarga di Makassar. Begitulah awalnya. Saya terima ajakan Lily Yulianti Farid untuk berpartisipasi di MIWF sebagai penulis tamu, semacam sumbangsih saya, penulis kelahiran Makassar, bagi dunia literasi di tanah kelahiran.
Tentulah perlu saya tuturkan alasan yang melatari ketakziman saya pada kegiatan dahsyat ini. Sebagai seorang praktisi perbukuan, dunia literasi adalah panggilan jiwa. Tak elok rasanya jika menampik tawaran untuk berpartisipasi dalam kegiatan ‘mewah’ ini. Betapa tidak, MIWF 2011 dirancang serius untuk memperkenalkan sastra dunia dan menumbuhkan minat baca dan tulis di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan muda agar lahir generasi yang mengapresiasi sastra dan memiliki minat baca yang tinggi. Selain itu, kegiatan ini dalam upaya membangun citra Makassar sebagai kota yang ramah, aman dan representatif bagi kegiatan seni dan budaya, yang diharapkan sekaligus bersinergi dengan sektor pembangunan lainnya, termasuk pendidikan sastra dunia, dan promosi wisata sejarah dan budaya.
Jelas sekali, kegiatan ini ibarat oase bagi petualang, menyegarkan!
Masih siang, Parung sedang mendung. Taksi yang saya tumpangi mulai bergerak ke bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 12.00 BBWI. Sebenarnya pesawat yang saya tumpangi tinggal-landas pukul 17.30 BBWI, tetapi karena takut macet merintangi perjalanan, akhirnya saya berangkat lebih cepat. Apalagi saya berencana singgah di kantor teman, Bamby Cahyadi, untuk mengambil beberapa buku yang dulu saya titip simpan di kantornya. Benar saja, jarak yang hanya sekitar 50-an km dari Parung ke Cipete harus ditempuh selama 2 jam. Macet memang luar biasa! Alhasil, tibalah saya di kantor Bamby Cahyadi setelah melalui perjuangan penatnya ditelan macet. Sebatang rokok putih tamat riwayatnya, mumpung turun dari taksi. Lalu, perjalanan ke bandara pun dilanjutkan.
Alhasil, pukul 16.17., tibalah saya di bandara. Saya pun bergegas masuk, boarding pass dan segera ke ruang tunggu. Tentu saja, sebagai perintang jenuh menunggu jadwal terbang, Maria, novel anggitan Vladimir Nabokov menemani liuk tarian mata saya. Masih lama, 17.35. baru naik ke pesawat. Novel sejumlah 205 halaman yang bertutur tentang kisah cinta pertama Maria dan seorang pemuda yang terperangkap di masa silam itu tamat, tepat ketika pengumuman penundaan pesawat disampaikan oleh petugas bandara. Aih, lagu lama! Segera saya buka tas lagi, kali ini tangan saya bertukar sapa dengan Umar Kayam, Jalan Menelikung. Menunggu memang menjemukan, tapi membaca selalu menenangkan!
Waktu di telepon genggam saya sudah menunjukkan pukul 18.45. ketika amar ke pesawat singgah di telinga. Dua buku untuk maskapai yang, konon, merugi karena terbiasa delay. Katanya rugi, kok delay melulu. Heran, kan?
Gairah Itu Terbaca di Mata Mereka
Sudah pukul 22.25 BTWI ketika telepon genggam saya berdering. Di layarnya terpampang nama penyair yang kerap menyihir hati saya lewat sajak-sajaknya, M. Aan Mansyur. Darinya saya dapat kabar ihwal nomor kamar dan—yang paling menggembirakan—saya sekamar dengannya. Sebut saja ini reuni, semacam tualang di semenanjung kenang sembari menyigi kembali sejarah kepenulisan saya. Betapapun, dari Aan-lah bermula gairah menulis di hati saya, ia yang menyemangati dengan cara yang samar dan menantang dengan cara tak lumrah. Jadi, tak pelak lagi, rianglah hati ini, dan segala letih di perjalanan lesap sudah.
Semakin ruap bahagia di hati ketika mendapati kakak saya, Bakaring, begitu setia menunggu kedatangan saya. Alamat tak perlu pusing mencari kendaraan menuju hotel tempat menginap. Gratis, bro! Lagi-lagi, seperti biasa, sayalah yang selalu memulakan perbincangan. Hahaha, namanya juga tukang kompor. Meski saudara sekandung, tabiat saya dan kakak saya bak pinang tak pernah dibelah, satu pendiam satunya lagi rajin bicara. Hingga tibalah saya di Hotel Valentino. Risno, menantu Kak Baka, langsung kembali ke Sudiang. Sedangkan saya langsung disambut penjemput tamu dengan senyum khas—senyum yang disetel seperti mesin—dan mengabarkan bahwa kamar 303 sudah siap ditempati. Hmmm, bakal tidur lelap nih!
Begitu keluar dari lift di lantai 3, Aan sudah menanti saya dengan pelukan hangat, mata sarat cahaya, dan senyum tulusnya. Aih, rindu terbayarkan. Saya pun masuk kamar, bertukar kabar dengan Aan, dan bersegera membuka akun twitter. Ternyata, kamar 303 bakal diserbu sahabat-sabahat yang lama tak bersua. Anchu Amarah, Bondan, Mubarak, Reysha, dan Jimpe siap bertandang dan menyasar makanan malam khas Makassar. Letih? Tidak juga. Bertemu sahabat adalah ritual penting yang selalu ‘membahagiakan’.
Malam pertama MIWF 2011 saya habiskan bersama semangkuk coto bagadang dan segelas kopi Daeng Rustam. Tentu saja, digelimuni sahabat-sahabat yang di mata mereka gairah selalu bercahaya.
Alangkah!
Di Atas Tanah Kelahiran
Demikianlah. Setiap kecintaan dan kepedulian terhadap ranah leluhur selalu bisa melahirkan rupa-rupa warna emosional. Ketika hasrat itu terpenuhi, rasa bahagia berkelindan di hati, mengalami kesenangan dan ketenangan tak tepermanai, dan merasakan kegembiraam tak berhingga. Betapa tidak, sepanjang hidup di perantauan, kabar yang marak didendangkan media dari Makassar acapkali tak beranjak jauh dari perselisihan, tawuran, demonstrasi rusuh, atau pertumpahan darah. Seolah Makassar itu tak ada apa-apa selain kekasaran dan kekerasan.
Malam ini, saya turut ambil bagian dalam kerja budaya yang luhur, bergabung dengan penulis Makassar dan mancanegara untuk berbagi pengalaman dan pemikiran. Dari sudut ini, patutlah kiranya panitia mendapat acungan jempol. Salut atas kerja cerdas teman-teman Rumata' dan seluruh pihak yang berkontribusi sehingga acara ini dapat terlaksana.
Di atas tanah kelahiran. Ini nyata. Bukan mimpi!
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar