Sabtu, 11 Juni 2011

Kado Cinta untuk Rena

Kado Cinta untuk Rena
Sebuah catatan ringkas di usia ke-6 Shahrena Adenia Pabichara


Setiap menjejak 11 Juni, Anakku, yang terpampang adalah detik-detik menjelang kelahiranmu. Ayah ingat, Nak, waktu itu, Jumat malam, ketika dompet Ayah sedang kering-keringnya, perut bundamu melilit menunjukkan isyarat kamu--yang waktu itu masih dalam rahim--hendak segera diayun di lengan ringkih Ayah. Tengah malam, Sayang, tak ada kendaraan atau apa pun yang bisa digunakan untuk berangkat ke rumah bidan.

Kamu tahu, Nak, seperti kerap Ayah ceritakan kepadamu, Ayah membangunkan Daeng Uddin untuk mengantar ke rumah Kak Susan, tantemu yang bidan itu. Tetapi kelahiranmu--yang sengaja dipilihkan di kampung leluhur Ayah--memang sudah digelimuni cinta. Tiba-tiba saja banyak yang datang menawarkan motor atau mobil untuk mengantar Bunda dan tante-tantemu ke rumah Kak Susan. Begitulah, Nak, semesta kerap menyediakan rahasia keburuntungan yang kita tak tahu bilamana dan dari mana.

Seperti telah pula Ayah kisahkan kepadamu, Nak, tersebabkan terlahir dengan tanda-tanda khusus yang diyakini masyarakat Turatea, dulu Ayah dicap akan sulit mendapatkan keturunan. Tetapi takdir memang telah digariskan, bahwa engkau--cahaya mataku--sungguh adalah kegembiraan dan kebahagiaan tak tepermanai. Maka, tentulah kelahiranmu ditunggu-tunggu keluarga besar Yadli Malik Daeng Ngadele.

Proses menunggu kelahiranmu pun istimewa. Setelah pembukaan pertama pada Sabtu dinihari, segala terhenti. Tak ada tanda bakal segera tuntas, kecemasan menggantung di benak Ayah, peluh menggantung di kening Bundamu, dan Kak Susan yang takjub dan tetap tersenyum, hingga selepas azan Ashar barulah isyarat itu menjadi nyata. Om Armin, pamanmu yang dulu menemani masa remaja Ayah, mendorong perut Bundamu, bersama Tante Upi dan Ayah yang terperenyak melihat Bundamu tak mampu lagi mengejan. Nyaris diputuskan untuk menempuh cara lain, tapi Ayah berkukuh memilih kelahiran alamiah. Tuhan dan semesta memberikan kemudahan, kamu terlahir sempurna tanpa isak tanpa tangis seperti lumrahnya bayi yang baru lahir. Bahkan hingga pundakmu ditepuk lembut Kak Susan dan Ayah membacakan sajak cinta di kupingmu, kamu belum juga menangis. Keanehan yang mencemaskan.

Terlahirlah kamu, 11 Juni 2005, dengan nama yang sudah dipilihkan oleh Ayah: Shahrena Adenia Pabichara, putri Pabichara yang riang yang seharum bunga Adenium. Begitulah, Nak, kamu lahir di tengah suasana prihatin, tetapi Ayah dan Bunda selalu punya cinta. Ketika usiamu 42 hari, dengan menumpang kapal laut Bukit Siguntang, kamu berangkat ke Parung bersama Bunda dan nenekmu, Milah Jamilah, yang menyusul ke Makassar 3 hari setelah kelahiranmu. Sementara Ayah masih harus tinggal di Jeneponto karena menjadi Kepala Asrama di sebuah kegiatan, Akademi Pelajar Cerdas Turatea 2005. Ayah baru bisa memelukmu lagi, mencium keningmu lagi, membacakan dongeng-dongeng lagi, ketika usiamu sudah tiga bulan. Sejak lahir kamu memang jarang bersama Ayah, tapi bukan karena tak cinta, Sayang.

***

Kini, kamu sudah berusia enam tahun. Sudah bisa membaca, sudah mulai mengaji, dan terus menagih janji Ayah untuk mengajarkan cara mengeja aksara lontarak. Pertemuaan kita yang kerap tak lebih dari dua atau tiga kali dalam seminggu, tentulah bukan penghalang bagi kita untuk tetap saling mencinta. Ibundamu, Mamas Aurora Masyitoh, selalu ada di sampingmu, Nak. Menemanimu bertumbuh, menemanimu bertambah.

Kini, di rahim bundamu, sedang tumbuh janin adikmu. Telah kita sepakati namanya, Rayya atau Rendra, yang bagimu adalah kado ultah terindah. Tetaplah penuh cinta, Nak, tetaplah penuh cinta. Seperti bundamu, seperti ayahmu. Seperti kedua almarhum kakekmu: Yadli Malik Daeng Ngadele dan Didin Syamsudin. Seperti cinta pamanmu, Bakaring Yadli, dan seluruh kerabat di Makassar. Seperti cinta eyangmu, Mak Iyoh Rosmiah, yang baru berpulang ke sisi-Nya seminggu silam.

Dan, tahukah kamu, Nak? Diam-diam Ayah menangis ketika kamu meminta kado. "Kehadiran Ayah di sisi Rena adalah kado terindah yang paling membahagiakan bagi Rena." Terima kasih, Nak. Kamulah cahaya yang selalu memerkah di hati Ayah dan Bunda.

Selamat Ulang Tahun, Sayang. Ayah mencintaimu. Selalu. Bahkan lebih dari sekadar selalu!

Parung, 11 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar