Senin, 14 Februari 2011

Khrisna Pabichara: Menulis Prosa dengan Latar Sulsel

Menulis Prosa dengan Latar Sulsel
Oleh: Muhammad Nursam


KHRISNA mulai serius menekuni dunia sastra sekitar 2007. Jenis karya yang pertama ditulisnya adalah kritik sastra ataupun artikel tentang sastra. Selain pernah diterbitkan di Harian FAJAR Makassar, karya-karya Khrisna juga pernah dimuat di pelbagai media di Indonesia. Di antaranya Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Jurnal Bogor, Story, Pedoman Rakyat, dan berbagai media lainnya.

Menurut Khrisna, untuk mengetahui adat istiadat suatu daerah, sebenarnya sangat mudah, cukup dengan membaca karya-karya prosa para pengarang di daerah tersebut.

"Dulu kita mengenal para pengarang yang bercerita tentang adat istiadat daerahnya. Sebut saja Marah Rusli, Buya Hamka, Kuntowijoyo, dan se-zamannya. Dewasa ini kita mengenal Damhuri Muhammad, Benny Arnas, Nenden Lilis A, dan lain-lain. Kita sangat mudah mengenali adat istiadat setempat hanya dengan membaca karya-karya mereka," ucap Khrisna.

Khrisna melihat, penulis prosa di Sulsel yang menulis dengan latar khas Sulsel masih sangat minim. Mungkin baru Lily Yulianti Farid dan Dul Abdul Rahman yang benar-benar konsisten menulis dengan latar khas Sulsel.

Sementara, lanjut penulis yang sejauh ini sudah menulis 12 buku ini, jika melihat sejarah, kesusastraan dan kepengarangan di Sulsel lebih membara dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sulsel memang punya sejarah besar dalam hal kepenulisan. Lontara atau aksara lontarak menjadi trademark kepenulisan nenek moyang Sulawesi Selatan. "I La Galigo misalnya, masterpiece ini masih tercatat sebagai karya sastra terpanjang di dunia," ujarnya

Sekadar diketahui, kitab sastra I La Galigo, menurut sejarawan ternama Belanda R.A.Kern merupakan kitab sastra terpanjang di dunia. Kern menempatkan kitab I La Galigo setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India atau sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Kepada pengarang-pengarang muda Sulsel, Khrisna berharap para penulis bisa menyemarakkan dunia literasi yang latarnya bertutur tentang Sulsel. "Banyak sekali yang bisa kita ceritakan. Sebut misalnya Rambu Solo di Tator, Maudu Lompoa di Takalar, Ritual pencucian benda-benda keramat di Gowa, dan masih banyak epos-epos yang bisa kita tulis menjadi prosa," sarannya.

Kepada masyarakat Sulsel, Khrisna berharap, buku kumpulan cerpennya yang berjudul "Mengawini Ibu" dapat dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena buku tersebut lebih banyak bertutur tentang Sulsel. "Saya bahagia karena FLP Sulsel sangat bergairah menulis. Saya juga turut menghadiri deklarasi Komunitas Pena Hijau di Takalar. Mudah-mudahan ini tanda-tanda menggembirakan dari geliat kepengarangan di Sulsel," harapnya. (sam)

Sumber: Harian Fajar Makassar Edisi Minggu, 13 Februari 2011, Rubrik Persona.

3 komentar:

  1. setuju sekali,,, kita punya budaya hebat yang harusnya bisa kita tunjukkan pada dunia... jangan hanya bisa terpengaruh oleh budaya lain, tapi tidak bisa memperkenalkan budaya sendiri..
    saya akan menulis lontara yg telah di terjemahkan kedalam bahasa indonesia di blogku, jgn lupa berkunjung yah!

    BalasHapus
  2. mas, maaf saya mau tanya.
    kan saya mau analisis salah satu novel karya Mas Khrisna melalui pendekatan sosiologi sastra, nah saya kan kebingungan mencari keterkaitan atau hubungan pengarang dengan karya nya itu sendiri, apalagi mengenai sosiologi pegarangnya, jadi saya ingin tahu kehidupan mas krishna dengan keterkaitan novel yang ber judul sepatu dahlan

    BalasHapus