Rabu, 16 Februari 2011

Biodata Amburadul: Bukan untuk Melamar Pekerjaan

Catatan: Seandainya bukan karena diminta oleh Helga Inneke Worotitjan, mungkin biodata amburadul ini tak saya tulis. Dan, jujur saja, Cah Ndeso ialah sumber inspirasi terbesar sehingga saya menuliskannya dalam bentuk seperti ini. Selain terkesan unik, juga terasa lebih nyastra--oalah, kok malah bawa-bawa sastra--dan enteng nulisnya.


Biodata Amburadul: Bukan untuk Melamar Pekerjaan
Benar-benar ditulis sendiri oleh Khrisna Pabichara



Khrisna Pabichara lahir 10 November 1975 di Makassar. Sebenarnya lahir di Jeneponto, tapi tersebabkan semasa SD takut kalau Jeneponto tidak tampak di peta, maka ia ganti ketika mengajukan data sebelum ujian kelulusan. Untungnya, tidak perlu akikah ulang akibat perubahan tempat lahir dan tahun kelahiran yang lebih dimudakan setahun--sebenarnya lahir tahun 1974.

Putra kelima dari pasangan Yadli Malik Dg. Ngadele dan Shafiya Djumpa ini terlahir dengan cara yang ajaib, yakni dalam posisi sungsang dan menyelempangkan ari-ari. Lebih unik lagi, karena harus terpisah dari sang bunda, hanya sempat disusui selama tiga bulan. Yang pasti, sejak kecil dilimpahi bakat narsis yang luar biasa.

Semasa SMA mengakrabi tradisi Makassar, termasuk teater rakyat dan kesenian daerah lainnya, setelah memprakarsai terbentuknya Teater Tutur Jeneponto bersama Agus Sijaya Dasrum, Ahmarullah Sahran, dan Syarifuddin Lagu. Sempat pula menjadi penyiar di sebuah radio swasta, pengalaman yang membuatnya kerap gemetar ketika mendapat tugas mewawancarai tokoh yang diundang untuk mengudara. Beberapa kali tampil sebagai juru bicara untuk cerdas cermat antarsekolah atau kelompencapir--semasa jayanya Departemen Penerangan. Ia mendapat gelar singa podium setelah 3 tahun berturut-turut memenangkan Lomba Pidato Tingkat Pelajar SLTA se-Sulsel dari 1989-1991, Pelajar Cerdas karena kerap memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tahun 1990, dan Wartawan Muda Berbakat setelah menggondol juara pada Lomba Mading Se-Sulsel Tahun 1990.

Pada 1996 sempat berbakti sebagai guru Matematika, Fisika, dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tanetea setelah berhenti sebagai tenaga audit di sebuah lembaga perbankan swasta. Setelah itu hijrah ke Jakarta dengan niat mulia untuk menjadi penulis--karena hasutan guru SMA-nya, Asia Ramli Prapanca--yang dibuktikan secara serius dengan mencantumkan "penulis" di segala tanda pengenal kependudukannya. Tapi semuanya tak semudah membalik telapak tangan, manuskrip buku yang diajukannya ke sebuah penerbit ditolak mentah-mentah karena dianggap belum punya nama. Alhasil, malah terjun sebagai pamong desa di Desa Pangkal Jaya dan Desa Bantar Karet--di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Lepas dari masa pengabdian di tengah masyarakat (kesannya disetel lebih heroik), ia mulai mempelajari dunia neurologi secara serius dan menggeluti profesi sebagai trainer dan motivator semenjak 2000. Hajat menjadi penulis baru terwujud pada 2007 ketika Kolbu berkenan menerbitkan buku pertamanya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Sejak itu, dunia perbukuan menjadi sesuatu yang tak bisa, atau tak akan, ditinggalkannya. Maka bersentuhanlah ia dengan para praktisi perbukuan semisal Bambang Trim, Hernowo, dan yang lainnya.

Kecelakaan terjadi ketika tahun 2008 berkenalan dengan Bamby Cahyadi, Aulya Elyasa, dan Atisatya Arifin. Kebiasaan menganggit puisi--yang ini karena pengaruh M. Aan Mansyur--terlecut kembali karena pengaruh ketiganya. Keinginan menjadi pengarang membuatnya "bersentuhan" dengan banyak pegiat sastra, terutama Gemi Mohawk, Damhuri Muhammad, Maman S. Mahayana, Putu Wijaya, Hanna Fransisca, Hudan Hidayat, Hasan Aspahani, Kurnia Effendi, Saut Poltak Tambunan, Endah Sulwesi, dan koleganya saat ini di Kayla Pustaka--Salahuddien Gz. Kecelakaan itulah yang menyebabkannya tercebur ke dunia prosa, dan mulai mengarang cerpen pada bulan Agustus 2009. Anehnya, kecelakaan itu pula yang membidani kelahiran bukunya, Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan.

Sempat menderita alergi yang tak terdata di dunia kedokteran, yakni alergi partai--tolong jangan diterjemahkan sebagai separuh kotoran--terutama karena pernah mengalami trauma politik ketika tidak mau memilih "partai" tertentu yang dianjurkan oleh Pak RT di wilayah kediamannya. Belakangan ia malah kerap bersentuhan dengan akademisi, pejabat, dan politisi, terutama yang berhubungan dengan dunia perbukuan. Sebut misalnya ketika terlibat sebagai tim penyunting buku Komaruddin Hidayat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Anas Urbaningrum, Ahmad Nizar Shihab, Rokhmin Dahuri, Riza Shihbudi, dan yang lainnya. Sekarang ia sedang sibuk menggarap buku Terapi Ikhlas, Nuwun Sewu Pak Beye, dan The Dance of Parakang.

Satu-satunya mimpinya yang belum terwujud adalah membangun kafe baca, istana buku yang sekaligus diharapkannya menjadi rumah kreatif bagi siapa saja yang mencintai buku.

Jakarta, Februari 2011

2 komentar: