DILARANG MENGARANG CERITA DI HARI MINGGU
(Refleksi satu dari kisah “Mengawini Ibu” Khrisna Pabichara)
Oleh: Fitrawan Umar*
Benar aku mencintaimu, tetapi mengarang cerita dan aku seperti tubuh dengan ruh, saling mencukupi dan melengkapi.
Benar aku tak ingin berpisah denganmu, tetapi mengarang cerita bagiku seperti langit dan bumi, yang tak terpisahkan, yang tak terjauhkan.
(Cerpen Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu, Khrisna Pabichara)
***
Mentadarrusi karya Khrisna Pabichara dalam “Mengawini Ibu”, seperti kita sedang membaca jalannya kehidupan yang penuh drama ini. Ada saat di mana lakon cinta menyeruak memenuhi panggung sandiwara, namun di saat lain, ada momen di mana benci memaparkan cerita pilu. Khrisna Pabichara ingin meniti kita menapaki anak tangga realitas dengan pijakan kebudayaan yang sungguh eksotis. Dengan iringan nyanyian serta tabuhan kata-kata yang berdendang menusuk hati. Bahwa benar, arus kemajuan tak boleh menghilangkan kesadaran kita tentang arifnya kebudayaan, sama dengan bijaksananya sebuah cinta, dan kekalnya sebuah benci yang teriring.
Anda sudah kenal Khrisna Pabichara? Itulah sulitnya kita karena selalu menempatkan kemuliaan orang pada kekayaan harta, tidak pada kekayaan karya. Khrisna Pabichara adalah tulen Makassar. Aktif bersastra. Dan, lebih memilih kesunyian dalam dunia perbukuan ketimbang menghirupi udara penat Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya. Mungkin kita bertanya, kenapa mesti merantau ke Kota Metropolitan jika ujung-ujungnya hanya ‘menganggur’ bersama pena dan secarik kertas, atau setiap hari duduk menekan tuts pada keybord laptop?
Sunyi adalah sahabat paling asing untuk diintimi (Khrisna Pabichara).
***
Menurut Shawqi Dayf, karya sastra adalah ekspresi sosial, yang berkaitan dengan pranata, ideologi, sendi-sendi ataupun gagasan. Karya sastra ialah refleksi kehidupan yang terjadi pada zaman pengarang. Meski bahwa karya sastra adalah rekaan imajinatif, namun sesungguhnya substansi dari proses imajinasi itu disadur langsung dari buku kehidupan. Etienne Balibar dan Pierre Macherey juga senada dengan hal itu. Bahwa karya sastra bukanlah gejala yang berdiri sendiri. Ia terikat dengan kondisi-kondisi sosial dan sejarahnya.
Maka, dalam cerpen “Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu”, Khrisna Pabichara membentangkan realitas yang terjadi pada semua pengarang di negeri ini. Kita lagi-lagi diajak untuk berjalan pada bentangan sajadah itu, sehingga ketika tiba di ujung, kita bersujud dan tersadar dengan apa sesungguhnya yang terjadi.
Cerpen kedua belas dari Buku “Mengawini Ibu” ini, mengisahkan cerita seorang pengarang yang cintanya bertepuk angin. Ya, bertepuk angin tersebabkan tokoh ‘aku’ itu adalah seorang pengarang. Sementara, perempuan tempat hatinya tertambat ialah anak keturunan bangsawan dalam tradisi Bugis-Makassar.
Mahar apa yang bisa diberi oleh pengarang? Puisikah?
***
Anda kenal Gerson Poyk? Seorang politisi Australia dan ilmuwan Jerman pernah mendapatkan gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) dengan tesis tentang Sastrawan Indonesia tersebut. Gerson Poyk pernah menerima hadiah sastera ASEAN pada tahun 1989. Bagaimana nasib beliau hingga di penghujung usia?
“Tetap kere. Inilah nasib sastrawan di sebuah negara besar. Sengsara betul jadi sastrawan Indonesia,” katanya pada acara Sastra Reboan #19 di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Jakarta Selatan tahun 2009 lalu. Lanjutnya, “Karya-karya saya sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Belanda dan Turki. Orang luar negeri lebih menghargai karya kita.”
Cerpen Khrisna Pabichara yang kita perbincangkan ini hendak berteriak kepada kita semua. Sastra adalah dunia yang harus kita beri penghargaan pada salah satu ruang di hati. Betul memang bahwa harta bukanlah tujuan utama para pengarang. Sebab dunia sastra serupa dengan dunia transeden, yang untuk menuliskannya, pikiran harus menjaga jarak dengan dunia. Namun, mengakui mereka sebagai orang yang memberi sumbangsih terhadap masyarakat adalah keharusan.
Tahukah ayahmu, yang angkuh dan menjengkelkan itu, bahwasanya sastra bisa melembutkan hati dan menenangkan jiwa?
Tahukah ayahmu, yang merasa paling jago itu, bahwasanya bangsa yang besar dan bermartabat adalah bangsa yang menghargai bahasa?
Bolehlah segala tudingan dilancarkan, tetapi bukankah perubahan tidak harus ditanggung sendiri oleh puak pengarang?
Bolehlah segala cibiran diderakan, tetapi bukankah imbalan seadanya tidaklah puncak yang dituju para pencerita? (Khrisna Pabichara)
***
Khrisna Pabichara sangat pandai menyuguhkan cerita di mana keindahan dan kengerian seiring-sejalan. Satu sisi kita hanyut, sisi lain kita tersentak. Buku “Mengawini Ibu” sangat patut kita apresiasi. Dan, semoga bertambah pengarang-pengarang Bugis-Makassar yang bersanding dengan nama pengarang besar di negeri ini, yang tak pernah amnesia terhadap kearifan lokal tanah kelahiran.
Cinta itu, Sayang, anak kandung pengertian dan pengorbanan.
Cinta itu, Sayang, dimasak dari ramuan paling purba bernama ketulusan (Khrisna Pabichara)
***
*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel
Dimuat di Apresiasi Kolom Budaya Fajar, Minggu 30 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar