Catatan: Tulisan ini dihajatkan sebagai epilog untuk kumpulan cerpen Ayahanda Saut Poltak Tambunan yang dijuduli "Sengkarut Meja Makan". Selamat datang buku baru!
Bertualang di Meja Makan: Sebuah Epilog
Oleh Khrisna Pabichara
Jika ingin dikenang sejarah, menulislah. Atau lakukan sesuatu yang layak ditulis.
—Benjamin Franklin
(1)
Pesan pendek Saut Poltak Tambunan (selanjutnya kita sebut SPT)—yang kerap saya sebut sebagai Ayahanda—untuk memilihkan 15 dari 22 cerita anggitannya yang, konon, akan disampaikan ke khalayak pembaca dalam sebentuk buku, mengejutkan saya di satu pagi yang masih bergelimun embun. Menolaknya adalah sesuatu yang mustahil, sedangkan bersedia berarti pula menyatakan kesanggupan menyingkirkan tujuh cerita yang, bagi saya, sebenarnya juga menarik untuk disertakan. Tetapi, konsekuensinya adalah hanya 15 cerita yang bakal terangkum di buku yang sedang dalam genggaman Anda, “Sengkarut Meja Makan”.
Alhasil, saya pun berkenan menjadi pemilih. Ada tiga alasan dasar yang saya gunakan sebagai alat takar pemilihan cerita. Pertama, cerita terpilih haruslah memiliki intensi yang kuat untuk “membetot” hati pembaca. Kedua, cerita terpilih—semestinya—bisa dicerap oleh setiap pembaca. Ketiga, cerita terpilih memiliki keunikan yang khas. Subjektif memang, karena berangkat dari “rasa baca” yang saya miliki. Tapi demikianlah kewajiban seorang pemilih. Konsekuensinya, boleh jadi, pembaca disuguhi cerita yang kemungkinannya akan lebih seandainya yang jadi kurator bukan saya. Meski demikian, harapan saya—terlebih lagi karena kepiawaian dan kemahiran SPT meracik ide dan imajinya—Sengkarut Meja Makan dapat menghadirkan keriangan, kenyamanan, keindahan, dan ketakziman pembacaan.
Sesungguhnya, kepekaan gramatikal dan kemampuan estetis, seiring dengan perjalanan kepengarangan SPT, sangat terasa dalam setiap cerita terpilih. Memang pada satu-dua cerita masih kental aroma konvensional, tetapi keliaran dan kecerdikan kemasan membuat yang satu atau dua itu tetap memikat. Kemampuan menikam di awal cerita, lekukan indah di tengah peristiwa, dan kejutan di akhir cerita selalu berpotensi menghadirkan sesuatu yang lain; sesuatu yang menghadirkan penderitaan dan kesenangan, ilusi dan ironi, atau pertengkaran sengit antara harapan dan kenyataan.
Tak perlu saya tuturkan kenapa 15 cerita bisa terpilih—yang sekaligus berarti tujuh cerita dikembalikan ke dalam almari dokumentasi—karena akan menyita banyak ruang. Tapi, setidaknya, saya akan membabar kenapa dan bagaimana saya memilih. Lebih spesifik lagi, interpretasi yang berarti menafsirkan karya sastra. Sederhananya, interpretasi ini hanya sebentuk apresiasi yang bukan dikehendaki sebagai penjelasan makna atau kedalaman cerita terpilih. Saya menamainya keriangan pembacaan.
Karenanya, mari kita mulai tualang pembacaan.
(2)
Kita semua menyadari bahwa mengarang adalah profesi yang membutuhkan cinta tak tepermanai dan gairah tak berkesudahan. SPT telah membuktikan cinta dan gairah itu lewat ketekunan dan keseriusannya. Seolah tak hendak berhenti, cerita terus mengalir tanpa mengenal kata usai atau tetapi. Bahkan, hingga kini, usia tak bisa menahan ambisi dan laju kreatifnya.
Oleh karena karya sastra kerap sangat dekat dengan kenyataan, Kampung Tamim seolah menghadirkan teguran kepada kita semua tentang bagaimana semestinya memelihara kenangan atau malah sejarah. Ketika membaca Kampung Tamim, ingatan saya langsung berkelana ke Benteng Somba Opu di Makassar, artefak “kegemilangan” masa lalu, yang kini hendak disulap menjadi taman permainan berwajah modern. Di sekitar kita banyak pula kebun atau sawah yang tiba-tiba ditanami beton, atau hutan yang disihir menjadi lapangan golf, atau gunung indah yang dimaraki villa-villa berpenghuni sekali seminggu, atau ihwal lainnya. Dan, tidak banyak orang yang bisa sekuat Romli dalam usaha mempertahankannya.
Tak jauh berbeda, Tas untuk Pak Bakri menegaskan hal yang sama. Betapa banyak guru SD, yang semasa kecil bersentuhan langsung dengan kita, masih seperti dulu. Tetap bersahaja, tetap sederhana. Dan banyak juga di antara kita yang tergerak hatinya untuk memberikan sesuatu—yang sebenarnya belum tentu berterima—kepada pahlawan kita itu. Cerita ini seolah mengingatkan kita untuk berani menoleh ke belakang.
Lalu tibalah kita di Meja Makan. Bukan, bukan karena hendak menyantap suguhan yang telah disajikan, melainkan melahap kenangan dan ingatan terhadap orang tua. Pun tentang kepahitan yang lebih rendah memandang yang lebih tinggi, meskipun itu masih terhitung kerabat dekat. Atau, katakan saja, bagaimana perasaan yang miskin ketika harus berhadapan dengan saudara kandungnya yang kaya. Cerita ini tidak semata membabar intrik dalam sebuah negara kecil bernama keluarga, tetapi juga menyingkap tirai yang selama ini membatasi kekerabatan kita terhadap sesama, terutama ketika itu berhubungan dengan status, strata sosial, atau dominasi. Maka, tidaklah keliru jika cerita ini didapuk SPT sebagai judul buku.
Masih berkait dengan kedalaman cinta, Aku Punya Papa seperti cermin yang tak henti memantulkan cahaya cinta. Tersebutlah Maya Gempita yang sepanjang usianya belum pernah melihat apalagi dekat dengan bapaknya, tiba-tiba harus bertemu dengan “tokoh” yang selama ini dirindui sekaligus dibencinya, “tokoh” yang dinamainya sebagai aktor intelektual yang menyebabkan dirinya sering diciderai oleh lecehan teman-temannya karena tak berbapak. Sebaliknya, Sang Bapak, menjauh dari keluarganya bukan karena tak cinta kepada keluarganya, melainkan karena dipaksa menjauh tersebabkan alasan yang sama sekali musykil untuk dipahaminya: dakwaan tanpa pengadilan sebagai “tokoh komunis”. Kenyataan bahwa banyak tuduhan salah kaprah oleh penguasa Orde Baru yang dialamatkan kepada orang-orang tak berdosa adalah salah satu warisan sejarah yang harus ditanggung anak-cucu korban. SPT menyuguhkan cinta kepada kita lewat sebentuk ironi.
Lantas, apa yang kita pahami tentang masa depan? Tak teramal, tak terbaca. Begitulah sekiranya yang dituturkan SPT lewat Sebentar Lagi 2011. Tokoh Bonggar menjadi sosok yang dirindu sekaligus yang dibenci. Kedatangannya tetap dinantikan, dengan waswas bercampur harapan. Betapa banyak di sekitar kita “tokoh” yang berkuasa menjadi lebih arogan dibanding semasa masih sebagai orang biasa, dan uniknya banyak yang tetap “menyembahnya” dengan cibiran ketika berada di belakangnya. Dualitas yang terawat baik di negeri tercinta ini. Dan, masa depan, yang disebut SPT sebagai 2011, betul-betul tak teramal.
Begitulah, jika saya diminta menyelam lebih dalam, banyak yang bisa disingkap dari cerita-cerita anggitan SPT ini. Karenanya, khalayak pembaca lebih berwenang untuk menerjemahkan sendiri Sengkarut Meja Makan ini.
(3)
Akhirnya, sampailah buku ini ke hadapan pembaca. Suspensi dan intensi yang coba dihadirkan SPT, semoga bisa menjadi teman setia kita dalam menikmati waktu luang—atau malah waktu sengaja kita luangkan—sembari menikmati teh hangat dan makanan ringan di langkan atau di selasar rumah. (*)
Khrisna Pabichara, Pengarang buku laris Mengawini Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar