Rabu, 09 September 2009

ESAI "Esensi Puisi Pagar Kenyataan"

Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor, (Minggu, 06/09/2009) dan Harian Fajar (Minggu, 27/09/2009)


ESENSI PUISI PAGAR KENYATAAN
Oleh Khrisna Pabichara


KAMI tahu kami makhluk yang kekal. Kami hanya lupa di mana menaruh kunci pagar. Demikian pernyataan TS Pinang—sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya—dalam sajak Kekal (h. 51).

Jika Chairil Anwar menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” yang ingin hidup seribu tahun lagi, maka TS Pinang menisbahkan diri sebagai makhluk kekal. Hanya saja, kekekalan itu terhambat oleh dua hal, kunci dan pagar. Jika pagar adalah sekat nilai guna baginya, maka kunci merupakan ruang lapang untuk memanfaatkan nilai guna itu. Dengan demikian, pagar lebih daripada sekadar yang dapat kita pandang sebagai pembatas, seperti kunci yang semestinya berfungsi tidak sebagai pembuka-penutup belaka.

Kunci dan kami, simbol yang digunakan penyair, berfungsi sebagai pemampat jarak, semisal kejauhan dan kedekatan. Sebutan “Kami” mengandung muatan “kita”, dengan “aku” dan “dia” di dalamnya. Bahkan, boleh jadi, “kamu”. Sebutan kami tidak berciri personal, melainkan kolektif. Menyangkut jarak antara kelompok dan kelompok: antara mereka dan kami. kami membuka gerbang langit dengan anak kunci yang kami tempa dari bijih cinta. kami berdoa dengan secawan air tanah dan daun sirih, lalu kami saling menyapa. di depan pintu ini kami membaca salam di ambang gerbang, semoga semua makhluk berbahagia, dan semoga anak-anak kami sehat sentosa (Sajak “Kunci”, 14). Tafsir kita terhadap “gerbang langit” bakal beragam, namun keragaman itu tetap menggunakan kunci yang sama, kunci tempaan “bijih cinta”.

“Kami” adalah rumah atau tubuh ego dengan ruang-ruang lapang, yang tidak secara gamblang menghadirkan koherensi yang mudah dikenali. Kami, baik dalam Kunci, maupun sajak lainnya, menjadi narasi yang bersifat sangat prosaik dengan tidak menaruh “penderitaan” ke kedalaman maknanya. Melainkan, meminjam istilah Sartre, terinspirasi oleh penderitaan-penderitaan dan harapan-harapan itu. Dari penderitaan dan harapan itulah TS Pinang membangun rumah sajaknya.

Sebanyak 62 sajak dalam antologi ini merupakan ajakan sistemis yang mampu membangkitkan hasrat berpikir kita. Begitu penyair “amatir” kelahiran Pati ini membuka antologinya dengan sajak Sumur, kita langsung dijamu dengan sajian khas: ayo kita lihat realitas kehidupan. kami masih bercakap panjang dengan timba dan tambang, hingga lupa berapa kali kami telah pergi dan pulang (h. 1).

Ia juga menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal penting dalam hidup, seperti hak asasi, atau hak milik pribadi. Pergumulan itu disampaikannya lewat tampilan arsitektural yang menarik, kombinasi cantik antara sajak, kritik, dan filsafat. Pergumulan pikiran yang bisa menjebak kita ke dalam semesta yang penuh tanda tanya, terutama tentang realitas. Coba kita simak: lalu kami akan segera pulang ke kampung tempat kami berladang. membawa mentari kembali, ke negeri yang lama kehilangan siang (Sajak Arkade, 7).

Kampung dan ladang langsung menguak kesadaran kita tentang negara agraris, Indonesia, namun terhentak ketika tiba pada negeri yang lama kehilangan siang. Bagaimana rasanya negeri tanpa matahari, tanpa siang? Pasti gelap, karena terus diselubungi malam. Ini alegori. Semacam simile, bahkan sindiran telak, tentang rebaknya pengangguran di negeri ini.

Menarik membaca pandangan penyair tentang negerinya. selamat datang di negeri kami. di sinilah asal mula senyuman dan tangis, ditemukan oleh seorang penyair fakir dalam singgah kembaranya. di sini kami menanam biji tawa dan air mata, lalu menjualnya sebagai hasil bumi ke negeri tetangga (Sajak Jendela, 9).

Negeri rempah-rempah yang tenar karena kesuburan tanahnya dan keragaman hayatinya, ternyata hanya mampu mengekspor tenaga kerja murah ke negeri-negeri tetangga, kemudian mendapat perlakuan “tak senonoh” dari majikan tempat “kami” (TKI) bekerja. “Kami” dikirim ke Malaysia, Timur Tengah, Asia Timur, kemudian “kami” pulang dengan tubuh babak belur dan gaji yang dikebiri. “Kami” menghasilkan banyak devisa, tapi kami kehilangan banyak “hak asasi”. Tetap saja, kami akan pulang, ke negeri ini: ke sana pula kau pulang, kelak di akhir hayat (Sajak Kakus, 11).

Arsitek jebolan UGM ini memiliki nyali berlebih untuk menerabas batas-batas, melanggar tabu-menabu, dan membangkitkan gairah berkehendak yang selama berkurun-kurun tertimbun dalam timbunan mental “inlander”, tidak percaya diri, laksana katak yang terperangkap di bawah tempurung. kami tak secerdas yang kami inginkan, tapi pustaka kami memang bukan untuk mencerdaskan, cukuplah asal membuat kami takut tuhan (Sajak Bibliotek, 13).

Buku baginya, juga alam semesta, tidak berfungsi lebih banyak dalam mengayakan wawasan, malah lebih sering memaksanya berputar pada labirin doktrin: ajakan untuk takut pada tuhan. Lantas, jika “kami” takut pada tuhan, kepada siapa “kami” bisa berteman? Kepada setan?

Masih di sajak yang sama, penyair menohok kita dengan santun: kami tidur dan bercinta di atas buku-buku, majalah kaum lelaki, juga kamasutra versi playboy. “Kamasutra” dan “playboy” yang lazim digunakan sebagai simbol erotik atau panduan strategi perang di atas ranjang, dialih-fungsikan menjadi pengamsalan untuk melabrak penabuan seks, sesuatu yang hanya bisa diobrolkan di ruang sempit tempat tidur, yang cukup dipraktekkan saja, tanpa perlu dibincangkan, apalagi diseminarkan.

Selain itu, seperti dicatat dalam sajak Lampu (h. 16), penyair merancang sajaknya secara guyon dengan kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan: lampu di bilik kami suka mati sendiri, lalu hidup lagi. sebentar, lalu mati lagi. kami memang bukan penggemar api, tapi masih sering terpana oleh lampu kami yang agak sakti: hidup mati sendiri. lampu kami tak lagi patuh pada sakelar atau sekering. mungkin ia sedang mencoba makar, atau cuma humor yang garing. Sajak ini, mengingatkan kita pada kinerja PLN.

Sekarang, coba kita simak. kami menggoreng menumis. menggoreng menumis rempah amarah, merica cinta, bumbu cemburu: gairah yang memburu. begitulah kami memasak pagi, siang, malam, dengan api yang kecil atau besar, dengan nyala yang jinak atau liar. begitulah kami memasak pagi, siang, malam (Sajak Memasak, 57).

Juga, kami berpuasa dari sukacita, kami berpantang tertawa. kami membangun mimpi dari rasa cemas dan rasa takut yang akut. kami berpuasa agar kuat menanggung semua rasa air mata (Sajak Merebus Kesedihan, 36).

Setiap pergeseran waktu, kita dihadapkan pada banyak rintangan dan ketegangan, juga kemalangan. Kita selalu ingin beristirahat dari sergapan rintangan, ketegangan, atau kemalangan itu. Namun, jika itu terjadi, kita malah diburu-buru kebosanan. Maka, tidak heran jika Blaise Pascal (1623-1663) menyatakan bahwa kebesaran manusia adalah karena mengetahui dirinya malang. Segala rintangan-ketegangan-kemalangan-kebosanan itulah yang memproduksi kecemasan dan ketakutan. Sehingga, ada saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani.

Bagi TS Pinang, sajak bukan semata membagus-baguskan bahasa dan makna. Sajak tidak hanya merintis jalan penemuan kosakata untuk mewakili kenyataan. Ada nilai lebih yang diburunya. Sajak harus rela merayakan penamaan dan penandaan pergerakan semesta. Segala bentuk pagar yang selama berkurun-kurun telah menyempitkan makna dan keberadaan sajak, harus selekasnya dibuka selebar-lebarnya, agar ia dapat dimasuki oleh sebanyak-banyaknya “kaum sajak”.

Memang, pendapat ini sangat terbuka untuk kita perdebatkan. Stéphane Mallarmé, misalnya, menegaskan bahwa puisi diracik dari bahasa, bukan gagasan. Bagi Mallarmé, puisi adalah soal bahasa dan bukan sesuatu yang diwakilinya, entah itu gagasan tentang dunia, narasi, ataupun ekspresi perasaan. Karena itu, sergah Mallarmé, bahasa puitis membangun dunianya sendiri.

Namun, bagi banyak orang, bahasa menjadi medium penyingkapan, sekaligus penyampaian. Bahasa adalah “sangkar kenyataan”, dan tugas penyair adalah merawat “sangkar-sangkar kenyataan” itu. Maka, tidaklah berlebihan jika banyak orang mengamini, bahwa puisi merupakan sesuatu yang membuat manusia menemukan dunia penghayatan semiotisnya untuk bertahan hidup. Selain itu, dunia puisi menjadi medium penyingkapan kenyataan. Atau, “pagar kenyataan”.

Itulah yang dilakoni TS Pinang. ternyata, siapa saja yang terbang dalam puisi, tak pernah turun kembali (Sajak Terbang, 61). Setiap kali ia berlari menjauh dari puisi, semakin dekat ia pada “maqam-kepenyairannya”.

Ia, juga kita, tidak bisa mengingkari puisi, itulah kuncinya.

KHRISNA PABICHARA, Penyair dan motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar