Kamis, 27 Agustus 2009

[ESAI] Kabar Sederhana Seorang Pengarang

catatan: Tulisan ini dimaksudkan sebagai epilog bagi buku Kumpulan Cerita Pendek Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi.

1


BAMBY CAHYADI, manajer sebuah restoran cepat saji di kawasan Pondok Indah, memiliki ciri dan karakter khas dalam menulis cerita. Ia menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal remeh dan sederhana dalam keseharian kita, namun kita sering abai menyikapinya. Pergumulan itu disampaikannya secara sederhana, tapi sarat kejutan. Memang ada celah pada keterampilan bertutur—kadang tercium aroma tersendat dalam penceritaan. Namun, itu tidak mengurangi kegairahan saya dalam pembacaan cerpen demi cerpen. Mengapa? Karena setiap cerpen dihiasi kejutan, kelokan, bahkan tikungan tajam.

Kelebihan Bamby dalam bercerita adalah kesanggupannya menyuguhkan akhir cerita yang ”mengagetkan”. Rasa kaget yang membidani lahirnya ”keheranan”, bahkan ”ketakjuban”. Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik menisbahkan kekuatan Bamby dalam bercerita. Sebagai pengarang yang meneruka jalan kepengarangan lewat ”dunia maya”, dunia yang dicap sebagai alam lain oleh banyak sastrawan, ia menawarkan hal remeh yang sederhana. Hal yang biasa. Seperti mimpi. Ya. Bukankah mimpi adalah hal biasa bagi kita? Mimpi itu yang dikuak dengan cerdas oleh pengarang kelahiran Manado ini. Mimpi yang menyuguhkan keperihan, ketegangan, dan kemalangan. Sesekali hadir keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan.

Semula, menulis cerita menjadi terapi hati bagi Bamby. Merupakan kebahagiaan baginya ketika cerpen yang ditulisnya terbaca, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Dari sana lelaku kepengarangannya bermula. Ada gairah meletup setiap ia menerima tanggapan pembaca cerpennya. Komentar pedas, kritik tajam, bahkan caci maki sesama Kemudianers—sebutan bagi anggota situs penulis Kemudian.com—tidak lantas membuat nyalinya ciut. Malah menyulut gairahnya untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas.

Hasilnya, kita bisa temukan kejutan demi kejutan dalam kumpulan cerpen perdananya ini.

2

APA yang bisa Anda lakukan jika Anda terlahir tanpa sepasang tangan? Bagaimana cara Anda menyuap makanan? Seberapa terampil Anda menunaikan hajat pribadi—semisal mengelap keringat di alis mata, membersihkan kuping, menutup hidung ketika mencium aroma tak sedap, atau ritus remeh lainnya—jika Anda tak memiliki sepasang tangan? Dalam realitas yang menyehari, tangan memiliki fungsi strategis dalam melakukan apa saja. Kehilangan tangan, berarti kehilangan peluang dan potensi untuk berbuat banyak hal. Tak soal bila Anda hanya memiliki otak standar, Anda masih bisa merasa sejajar dan bergaul dengan banyak orang. Tak soal ketika kemampuan berbicara Anda sering gagap, Anda masih leluasa menyelesaikan banyak tugas. Tapi, apa jadinya jika cacat bawa lahir yang Anda miliki adalah tidak memiliki sepasang tangan?

Inilah gagas-pikir sederhana yang didedahkan Bamby Cahyadi ke dalam cerpen unggulan, Tangan untuk Utik. Ketika pertama kali membaca cerpen itu, yang mengendap di memori saya adalah kenyataan bahwa cerita ini sebentuk ”karib-intim” persahabatan yang menyertakan perhatian mendalam dan tulus. Saya membaca cerpen ini dengan tiga hal mendasar—dengan mata terbuka dan membayangkannya, dengan pikiran terbuka dan memercayainya, serta dengan hati terbuka dan merasakannya. Tidak mudah melakoni hidup dengan cacat bawaan lahir. Namun, lebih tidak mudah lagi menjadi sahabat ”lahir-batin” dari seorang penderita cacat.

Alkisah, Udin berhasrat menyerahkan sepotong tangannya bagi Utik, sahabatnya yang yatim piatu dan cacat semenjak rahim. Pada mulanya, kisah ini berasa sederhana. Namun mulai pelik ketika Udin tak mampu lagi membendung hasratnya untuk membantu Utik. Maka, diambilnya gergaji lalu dipotongnya tangan kirinya. Potongan tangan itu disambungkan pada lengan kiri Utik dan diikat dengan tali plastik. Tapi, alangkah kecewanya Udin, ketika tersadar dari lamunannya, ternyata tangan kirinya masih utuh dan sepasang tangan Utik tetap buntung di pangkal lengannya.

Begitulah Bamby Cahyadi sebagai seorang pengarang mengajak kita memaknai secara utuh hakikat persahabatan. Empati itu keniscayaan dalam menjalin persahabatan. Tidak ada persahabatan tulus tanpa disertai rasa empati. Baik dalam gelimang air mata, maupun ketika riuh tertawa bahagia. Sahabat sejati, dalam bayangan Bamby, selalu bisa memberi dan menerima. Dengan tulus, dengan ikhlas. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.

3

LEWAT Televisi Ibu, Bamby menampilkan suasana intim antar-ibu-dan-anak dari titik tolak sederhana. Pada cerpen ini, Bamby menuturkan kisah tiga orang anak yang silih berganti mencoba membelikan televisi bagi ibunya, sebagai tanda bakti, untuk mengganti televisi ibunya yang makin usang digerogoti jaman dan menjadi langganan tukang servis. Uniknya, semua pemberian anaknya itu ditolak dan dikembalikan oleh sang ibu. Aku—tokoh utama dalam cerita ini—lantas dicecar penasaran. Maka bergegas ”aku” mencari tahu penyebab kegigihan ibunya mempertahankan televisi tua peninggalan bapaknya.

Kenapa ibu begitu setia dengan televisi peninggalan almarhum ayah yang sering rusak itu? Apakah ibu sering memintal serat-serat kenangan setiap kali melihat televisi itu? Apakah ibu selalu merindukan sosok ayah dan bisa membentang ingatan tentang ayah lewat televisi itu? Mengapa ibu selalu mengembalikan televisi baru yang kami belikan untuknya?

Demikian tanda tanya yang merasuki benak ”Aku”. Setiap hari. Maka, ”Aku” dan keluarganya bertandang ke rumah ibunya. Selain melepas kangen, juga untuk sebuah misi rahasia: menyibak misteri televisi ibu. Cerita menjadi tidak sederhana ketika ”Aku” diajak ibunya menonton televisi tepat pada jam sembilan. Dari layar kaca memancar kilau dengan warna-warni cahaya. Seketika ”Aku” merasa berada di sebuah ruangan luas. Tak bertepi. Dan, secara ajaib, ”Aku” melihat dan merasakan kedatangan ayahnya yang tersenyum hangat.

Tak ada yang istimewa dari cerita ini. Hanya kisah tentang anak yang ingin membahagiakan ibunya. Kita pasti sering menjumpai hal sama dalam keseharian. Tetangga kita pasti banyak yang pernah melakukan hal seperti itu. Bahkan, kita pun pernah melakukannya. Tapi, menjadi ”luar biasa” ketika Bamby menggiring kita pada ”penutup cerita” yang khas dan mengejutkan. Saya seperti membaca cerpen Danarto atau Putu Wijaya, dengan karakter berbeda dalam mengakhiri ceritanya dengan penuh kejutan. Mengherankan, sekaligus menakjubkan.

4

JIKA Nabi Sulaiman dikabarkan memiliki kesaktian menguasai segala jenis bahasa, termasuk bahasa binatang, dalam Percakapan dengan Bayi, Bamby berkisah tentang Kinar yang menguasai bahasa bayi. Bukan hanya itu, Kinar malah mampu bercakap-cakap dengan semua bayi. Kapan dan di mana saja. Pada mulanya, cerita ini pun bertolak dari gagasan sederhana, perihal bagaimana semestinya orang dewasa memasuki dunia bayi, agar terjalin komunikasi yang laras dan harmoni. Namun, menjadi unik dan tidak sederhana ketika Kinar mengetahui dirinya memiliki kemampuan luar biasa: bercakap dengan bayi.

Mengapa saya menyebut cerita ini bertolak dari hal sederhana? Lihat sekeliling kita, bayi ada di mana-mana. Setiap hari ada bayi dilahirkan. Setiap hari banyak orang berkomunikasi dengan bayi. Namun, tidak banyak orang yang bisa memahami bahasa bayi. Apalagi menguasainya. Lebih rumit lagi, ketika Kinar bertemu dengan Andrea, bayi yang menolak menjadi dewasa. Mengapa? Bagi Andrea, dunia orang dewasa adalah dunia palsu. Dunia kemunafikan. Dunia kebohongan. Dan Andrea enggan tenggelam atau terseret arus kepalsuan, kemunafikan dan kebohongan itu.

Gagasan yang diusung Bamby lewat cerita ini, juga sederhana. Semata mengajak kita menjalin keintiman dengan anak-anak kita. Semacam permintaan sederhana agar orang dewasa mencoba memasuki dunia bayi dari sisi berbeda, bukan malah memaksa sang bayi untuk memasuki dunia mereka, dunia orang dewasa. Selain itu, ada pesan etis yang disampaikan secara estetis: mari belajar menghentikan kebohongan.

Masalahnya, apakah kita sanggup menghentikan pembelajaran ”kebohongan-kepalsuan-kemunafikan” agar generasi sesudah kita lebih bermoral?

Ini yang tidak sederhana.


5

MENARIK membaca pemikiran pengarang tentang rasa kebangsaan. Melalui Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini, pengarang seakan mengabarkan keprihatinan mendalam karena menipisnya nasionalisme kita. Bermula dari kejutan yang dialami Topo ketika terlelap dan bermimpi. Ia terkejut ketika terbangun dari tidurnya, dan mendapati istrinya tidak menyiapkan kopi seperti pagi-pagi sebelumnya. Lebih kaget lagi, ia tidak melihat satu pun warga mengibarkan bendera merah putih. Padahal, hari itu hari kemerdekaan. Biasanya selalu ramai. Jika tidak dihiasi keramaian rutin tujuh-belasan—semisal panjat pinang, balap karung, bahkan menangkap bebek berkalung gambar teroris—setidaknya ada kibaran bendera negara. Tapi, hari itu, tak ada satu pun bendera menghiasi halaman rumah tetangganya. Bahkan, bendera merah putih yang dikibarkannya satu hari sebelumnya, juga raib. Topo makin bingung.

Sekali lagi, ide yang diusung Bamby pada cerpen ini, juga sederhana. Hal rutin yang setiap tahun kita lakukan, perayaan tujuh-belasan. Tentu saja kita sudah sering mengalaminya. Namun, menjadi tidak sederhana jika ditarik pada ranah ”rasa memiliki”. Bamby seakan menyentil haru-biru kebangsaan kita. Coba tengok lelaku negeri tetangga yang suka pamer kapal perang di perairan kita. Belum lagi kepongahan mendaku budaya kita sebagai budaya mereka. Reog, batik, lagu Rasa Sayange, lanun, dan paling mutakhir Tari Pendet. Konon, mereka juga sedang bersiap mengklaim bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka, dengan sedikit polesan baru, bahasa Melayu.

Hal menggelitik dari cerpen ini, seberapa tebal nasionalisme yang masih kita miliki? Ayo, kita telisik diri kita masing-masing. Cerita ini alegorik. Sindiran telak.

6

KABAR sederhana yang diuarkan Bamby, juga dapat kita simak pada cerpen lain dalam Tangan untuk Utik. Ia menegaskan gunjingan metaforis lewat Mimpi dalam Stoples Kaca. Sebuah totalitarianisme kekuasaan yang mengabarkan penderitaan akibat perburuan mimpi. Mimpi berkuasa, mimpi menguasai. Kabar sederhana ini, sebenarnya, berpijak dari sebuah gagasan besar, semacam amsal tentang keserakahan.

Melalui Tameng untuk Ayah, kita bakal bersua dengan etos kepahlawanan seorang anak, Jamal Ahmad Fayyad, dalam melindungi ayahnya dari keganasan pucuk bedil serdadu Israel. Juga mimpi sederhana seorang Surip, seorang anak yang selalu dikejar mimpi aneh tentang berbakti pada orang tua, dalam Hadiah untuk Ibu. Surip, yang tidur dan awasnya selalu menawarkan kegelisahan, akhirnya bisa membahagiakan ibunya dengan memenangkan sebuah sayembara berhadiah uang. Dan, piagam.

Tak kalah dahsyatnya dengan cerpen lainnya, Koran Minggu berkabar tentang hajat sederhana seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Namun, kenyataan hidup tidak sesederhana itu, pilihan menjadi penulis atau pengarang, seperti tutur Putu Wijaya, adalah pilihan yang tidak menjanjikan. Dunia gelap tanpa harapan. Hal itu dianggit dengan gesit oleh Bamby. Pada akhirnya, tidak cukup kegembiraan saya, sebelum menuntaskan pembacaan kumpulan cerpen ini. Sejumlah kisah sederhana yang menjadi ”teror indah” dan membahagiakan. Bamby berhasil mendedahkan konflik di alam bawah sadar (baca: mimpi), sekaligus mengabarkan masalah sosial dengan penceritaan yang bermula pada ”hulu sederhana”, tapi bisa mengecoh pembaca karena ”hilir penuh kejutan”.

Bagaimana dengan Anda? Saya yakin, Anda akan temukan kejutan menakjubkan, sama seperti yang saya alami.

7

TANGAN untuk Utik menjadi pintu masuk bagi Bamby Cahyadi ke dunia sastra. Ia datang dengan kunci rahasia sebagai ”juru kabar” yang andal dan menjanjikan. Ia mengantar amsal, tamsil, dan umpama yang sederhana. Ia mengusung metafora dan alegori, ajakan untuk merujuk-bandingkan antara kemasan penceritaan dengan kenyataan kehidupan. Ias membawa ”kabar baik” bagi semua ”umat sastra”. Meski demikian harus jadi batu loncatan ini dan monumen bersejarah baginya untuk membuktikan kapasitas lebih yang dimiliki sebagai seorang pengarang ”masa depan”.

Selamat datang mimpi sederhana. Selamat datang, Bamby Cahyadi.

Khrisna Pabichara,
penyair dan penyuka cerpen, tinggal di pinggiran Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar