Sabtu, 12 September 2009

CERPEN "Rumah Panggung di Kaki Bukit"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika (Minggu, 13/09/2009).


RUMAH PANGGUNG DI KAKI BUKIT
Khrisna Pabichara


SAYA sudah kaya. Sudah berilmu. Dan, alim. Karena dengan tiga syarat itu aku sudah bisa menyuntingmu, besok pagi aku tiba di kampung halaman.

☼☼☼

“AKHIRNYA engkau pulang, Bori,” desis Kana perlahan-lahan. Kana membaca pesan pendek itu sekali lagi. Lalu, dia memasukkan handphone ke saku roknya. Pesan pendek itu diterimanya kemarin sore. Sudah berkali-kali dibacanya, tapi Kana tak pernah bosan. Wajahnya berseri. Matanya bercahaya. Di pucuk lontar, dia lihat wajah Bori tersenyum. Sangat menawan. Masih seperti senyumnya lima belas tahun silam. Dan, ketika Kana mengalihkan pandangan ke halaman rumah, senyum Bori kembali memenuhi semua ruang yang terlihat olehnya. Lalu, dicobanya membongkar ingatan. Bagaimana sesungguhnya mata Bori. Bagaimana alisnya, hidungnya, dahinya, dan bibirnya. Tapi, tak satu pun bisa diingatnya lagi dengan pasti. Semua samar. Lamur.

Sungguh, Bori itu lelaki idaman semua perempuan. Tiada nila-cela pada dirinya. Tegap badannya. Berwibawa penampilannya. Taat ibadahnya. Santun tutur-lakunya. Pandai membawa diri. Dan, tatapan matanya! Alamak! Maka, banyaklah perempuan menaruh hati padanya. Termasuk Kana. Tak disangka, Bori pun jatuh cinta padanya. Senang tiada terkira hati Kana.

Sayang, Bori bukan laki-laki keturunan bangsawan. Darahnya biasa, merah. Bukan darah biru. Meski demikian, mereka nekat. Diam-diam menjalin cinta. Ibarat lubuk, permukaan airnya tampak tenang. Tak beriak. Tapi di bawah, arusnya deras. Terus bergolak, terus bergerak.

☼☼☼

WAKTU itu, Kana baru kelas satu SMP, sedang Bori sudah kelas tiga. Sebenarnya sangat tidak nyaman menjalin cinta dengan terus sembunyi, tapi tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan. Apalagi setelah ayahnya secara tersirat melarang hubungan mereka.

“Kaeng tahu hubungan kalian. Cinta memang tidak memandang martabat. Tapi, pikirkan kehormatan keluarga. Tak layak kamu bersanding dengan Bori, Nak.”

Sejak itu, mereka tidak lagi pacaran. Namun, mereka masih saling mencinta. Setamat SMP, Bori merantau ke Jakarta. Katanya, ia ingin melanjutkan sekolah, mengumpulkan uang, dan nyantri biar jadi orang alim. Jika Bori memiliki ketiga hal itu, barulah berhak Kana dilamarnya. Ya, begitulah adat orang Turatea. Adat yang dipiara turun-temurun. Adat yang meletakkan manusia berdasarkan derajat. Adat yang menakar harkat karena warna darah.

Kelas terendah disebut ata. Golongan rakyat biasa. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan. Di atas golongan ata, namanya daeng. Seperti ata, lelaki berdarah daeng tidak bisa menikahi perempuan berdarah karaeng. Kecuali mereka memenuhi tiga syarat. Pertama, kaya. Kedua, berilmu. Ketiga, alim. Dulu, Syekh Yusuf Al-Makassari, ulama besar yang dibuang penjajah ke Afrika Selatan, pernah mengalami hal sama. Ia tidak bisa menikahi putri Sultan Gowa, maka ia merantau ke Banten. Namun, ketika ketiga syarat sudah dipenuhinya, Syekh Yusuf tidak kembali ke tanah Gowa.

Kelas tertinggi, karaeng namanya. Biasanya turunan raja atau bangsawan. Keistimewaan golongan ini, lelaki berdarah karaeng bisa menikahi perempuan mana saja yang mereka suka. Baik daeng maupun ata.

Kana sendiri merasa ada ketidakadilan adat dalam memperlakukan manusia. Bayangkan, orang dari kasta terendah ”tidak dibenarkan” menikahi golongan di atas mereka, sementara mereka yang berkasta lebih tinggi bisa dengan leluasa menikahi golongan di bawah mereka. Tapi Kana, juga Bori dan umat adat lainnya, tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tunduk dan menyerah pada ketentuan adat.

Tidak adil memang, tapi begitulah kenyataannya.

☼☼☼

HARI ini Bori pulang. Kana bangun pagi-pagi benar. Mandi sejenak, hanya satu-dua timba. Biasanya, Kana bisa mandi berjam-jam. Sampai-sampai pintu kamar mandinya sering diketuk ibunya. Tapi, hari ini ibunya tak perlu mengingatkannya. Sekarang Kana sudah berdiri di depan cermin. Mematut diri. Memoles pipi dan bibir dengan rupa-rupa kosmetik. Sudah tiga kali dia berganti baju. Namun belum juga bersua yang pantas. Selalu ada yang terasa kurang. Hingga dia memilih baju berwarna putih. Baju kiriman Bori ketika dia ulang tahun ke dua puluh. Lalu, disemprotkannya parfum ke tubuhnya. Bau harum segera tercium. Merebak ke pojok-pojok kamar. Kana tertawa girang. Mengangkat tangan kiri, menghidu ketiaknya. Memastikan yang tercium bau wangi, bukan wangi kecut tubuhnya.

Kana tak pernah membayangkan kalau Bori akan kembali, meskipun dia sering berharap lebih. Setiap hari dia menutup salat dengan doa yang sama, Tuhanku, jadikan hanya Bori sebagai jodohku. Doa sama, harapan sama. Doa dengan pembuka dan penutup yang sama. Begitu setiap hari. Dan, akhirnya Tuhan mengabulkan harapannya. Hari ini Bori pulang untuk meminangnya.

Jangan dikira Kana tidak banyak peminat. Sudah banyak lelaki datang melamarnya. Ada tentara, ada polisi. Ada dosen, ada guru. Ada pengusaha ternama dari ibukota. Bahkan keturunan kesultanan dari negeri jiran. Semuanya berdarah biru. Karaeng. Tapi Kana menampiknya. Kana tak silau oleh harta dan kegagahan fisik. Juga pada gelar dan tahta. Hingga kemudian tersiar kabar: Bori telah menjadi “orang kaya” di Jakarta. Menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Dan sering mengisi ceramah agama di televisi. Ya, Bori telah memenuhi tiga syarat untuk menaklukkan benteng tradisi ─ilmu, harta, dan alim. Karena itu, hanya Bori yang ditunggunya.

“Akhirnya engkau pulang, Bori.”

Kana meraih handphone di ujung meja riasnya. Lalu berjalan ke tempat tidur. Membaringkan tubuh. Dan, membaca kembali pesan pendek dari Bori, sekali lagi. Sepertinya kurang percaya, dia baca lagi. Benar. Tidak berubah, baik koma maupun titiknya. Kalau sms ini tidak bohong, hari ini Bori pulang. Berarti pula, hari ini kaeng bakal punya menantu. Tak perlu lagi kaeng mengeluh tentang usianya yang kian renta. Dan takut tak bisa menimang cucu hingga ajal keburu menjemput. Tak akan ada lagi gunjing tetangga, kasak-kusuk di belakang kupingnya, tentang hikayat perawan tua. Apalagi cibiran bahwa dia perempuan tak laku. Tidak lagi. Hari ini semuanya akan berubah.

Semua gonjang-ganjing itu akan terjawab sempurna: Bori.

Perempuan sekampung bakal iri padanya. Siapa yang tidak bangga disunting lelaki ternama. Bori sekarang kebanggaan orang-orang Turatea. Keluarga kerajaan telah menisbahkan gelar Karaeng Marewa, karena jasanya menggugah semangat pemuda dan remaja. Lelaki berdarah daeng, yang dulu ditampik adat hingga tak mungkin menyuntingnya, kini telah jadi idola. Harapan semua perempuan, dari karaeng hingga ata. Namun lelaki kebanggaannya itu tidak maruk pada ketenaran.

☼☼☼

TIBA-TIBA handphone Kana berdering. Sebuah isyarat pesan pendek telah diterima. Bergegas Kana membacanya: Saya sudah tiba di kampung tercinta, sebentar lagi ke rumahmu. Dada Kana serasa hendak pecah berantakan disesaki rasa bahagia. Air mata bahagia ingin meloncat keluar dari matanya. Tapi, dia tidak membiarkannya. Hidungnya yang mancung bergerak-gerak. Jodoh, jika sudah ditentukan, tak bakal ke mana. Begitulah yang Kana yakini. Sekali lagi Kana membaca pesan pendek itu.

Sekarang dia masih gadis, sebentar lagi dia bersuami. Menjadi milik Bori. Seutuhnya. “Akhirnya engkau pulang, Bori.”

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Lamat terdengar suara kaeng.

“Ada tamu mencarimu, Nak.”

Itulah kalimat yang paling ditunggunya.

Kana segera melompat dari pembaringan. Tergesa merapikan bajunya. Mematut diri di cermin. Lalu berjalan ke pintu kamar. Dia tak sempat melihat air muka kaeng-nya yang muram. Dia bahkan tak sempat menangkap bening air mata tergenang di mata kaeng-nya. Dia ingin segera bertemu cintanya, Bori. Langkahnya terasa ringan. Ringan sekali. Hingga akhirnya dia tiba di ruang tamu. Dan matanya menangkap sosok yang lama dirindunya.

Masih seperti dulu.

Ya, Bori tidak banyak berubah. Tetap ganteng. Bahkan sekarang terlihat lebih matang. Lebih dewasa. Makin membuat jantungnya berdetak tak beraturan.

Saya takkan melupakanmu, Kana. Hanya satu perempuan yang hendak kusunting jadi ibu dari anak-anakku, hanya kamu. Betapapun keras adat menentang cinta kita.

Tiba-tiba membayang kilap masa lalu, ketika Bori pamit hendak merantau, mengadu untung ke Jakarta. Waktu itu, Kana tak bisa berkata sepatah pun. Hanya air mata. Dan bayangan perpisahan yang mengerikan.

Jangan ragu, Kana. Tunggu saya pulang. Biar saya penuhi semua ketentuan adat. Baru kita tunaikan mimpi: rumah panggung di kaki bukit, dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja.

Kala itu, Kana tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Bori. Ah, cinta terlarang. Dia rasakan geletar jemari Bori mengelus punggung dan rambutnya. Menenangkan hatinya.

Jangan lupa mimpi kita, Kana. Rumah panggung di kaki bukit, keluarga bahagia dan cinta sepanjang masa.

“Apa kabar, Kana?” Bori membuyarkan lamunan Kana.

Bori segera berdiri menyongsong Kana. Tangannya terulur. Kana tersenyum. Menyambut uluran tangan Bori, merasakan darah mengaliri telapaknya, dan terus menjalar memenuhi seluruh pori wajahnya. Ah, lama sekali aku rindukan pertemuan ini. Rasanya dadanya bakal pecah karena gelegak rasa bahagia.

Bori tidak sendirian. Ada juga ayah dan ibunya. Kana sangat akrab pada mereka. Pasti ini dalam rangka melamar saya, pikir Kana. Tidak pernah sebelumnya Bori bertandang bersama orangtuanya. Lalu, untuk apa jika bukan karena ingin meminangnya?

☼☼☼

TAPI, ah, siapa gadis yang duduk di sisi Bori? Kenapa tiba-tiba sembilu mengiris jantungnya? Duh, cemas menyergap dan memiuh-miuh uluhatinya. Siapa gadis itu, tanya Kana dalam hati. Wajahnya akrab di matanya. Seperti pemain sinetron. Atau, bintang iklan. Yang jelas, Kana merasa sering melihatnya. Tapi, di mana? Entah.

“Kenalkan, ini istri saya, Kayla.”

BUG! Jantung Kana bergetar-getar. Berdenyar tak karuan. Mata Kana langsung berkunang-kunang.

Jadi, apa maksud sms itu? Bukankah kedatangan Bori, hari ini, karena ingin melamar saya? Apa saya hendak dijadikan istri keduanya? Tidak! Tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan impian dan cita-cita masa lalu: rumah panggung di kaki bukit dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja? Bagaimana dengan mimpi indah: keluarga penuh tawa, cinta, dan bahagia sepanjang masa?

Rasanya semua darah di tubuh Kana mengalir ke satu arah, ke wajahnya. Panas. Merah. Panas membara. Panas membakar. Tangannya mengeras, mengepal. Sia-sia penantian selama puluhan tahun. Penantian yang menyulut gelegak amarahnya. Yang membuatnya kalap dan gelap mata. Ingin rasanya dia cincang tubuh Bori. Juga, istrinya.

Tapi, Kana tak bergerak sama sekali. Hanya air matanya jatuh satu-satu.

Apa Bori sengaja ingin melunaskan amarah masa lalunya? Jika memang Bori mau menentang adat, mengapa harus saya yang dikorbankan? Jika ya, mengapa Bori balas dendam dengan cara sekeji ini? Biadab! Benar-benar lelaki biadab. Bisakah saya memaafkannya?

Sejak itu, Kana tak ingat apa-apa lagi.

☼☼☼

Catatan kaki:
Kaeng: Panggilan Bapak bagi kalangan karaeng di Jeneponto.
Turatea: Sebutan lain dari Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Ata: Kelas terendah di kalangan masyarakat Turatea. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan.
Daeng: Golongan di atas ata, terdiri dari laskar kerajaan (tubarani) dan kaum ahli (tupanrita)
Karaeng: Kelas tertinggi, biasanya golongan bagsawan dan keturunan raja.
Pammole cera': Syarat untuk memenuhi ketentuan adat penitahan gelar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar