Minggu, 27 September 2009

Khrisna Pabichara di Harian Global Medan

Catatan: Sajak-sajak ini dimuat di Harian Global Medan (Sabtu, 06/09/2009)


Berkubang di Genang Kenang


Aku tidak bisa begitu saja berhenti memeram segala jenis kenangan dalam rabun ingatan. Pada ilalang kering tempat duka berbaring, di setiap gerimis, kita racik geletar hati yang selalu ngilu. Hawa dingin dengan sempurna merekam jejak tempias hujan pagi, kelindan rindu yang mengendap dalam bulir harapan. Rasanya, tak mudah melangkah pergi, meninggalkan tumpak-tumpak sejarah.

Aku lebih suka sendiri di lubuk sepi, seperti saat pertama kali dilahirkan dan merapal isak-tangis: sesak perkabungan. Ada beruk mabuk berayun-ayun, memanjat pohon-pohon purba. Ada hikayat seludang menolak mayang. Ada sendu sirih meminang perih. Ada desir doa parau kemarau. Ada mantra jerih batang ilalang. Ada selasar sunyi daun cemara. Ada gurinda luka daun kelapa. Dan, ah, aku seorang lajang yang belum siap mengecap pedas lada.

Aku ingin, sejenak saja, menurunkan gerimis: membangun jembatan lengang ke masa lalu, menjemputmu yang tenang berdiang dalam lipatan kenang. Tapi, aku seperti ikan yang asing di lubuk, atau belalang yang berang di padang.

Aku cuma sanggup mengenang hujan, terus menyisir landai sungai: berkubang di genang kenang.

Bogor, Desember 2008


Perjalanan Rindu


Rindu berdiri di halaman hari. Matahari masih mengepul di mata sepinya. Mata pengap: menjerang air mata dan senyap. Kupu dan serangga berloncatan: melenting, menggelinding. Dukanya tanak, mengepul di cangkir kopi: menguapi cinta yang sederhana.

Rindu sekarang berjalan di beranda senja. Langkahnya ringan menapak pucuk rumputan sunyi. Wajahnya masih sama: tenang-terang, hening-bening. Detik dan menit berlomba-melaju: melompat, menjingkat. Rindu yang sepi menimang-nimang kenangan: menjaga cinta yang sederhana.

Rindu pulang ke pangku malam. Matahari sampirkan letih di kening bulan. Rindu gemeretak menahan gigil, berderit di telikung pilu. Malam ini ingin sekali dia menangis. Sudah lama dia tidak menangis: terakhir dia menangis ketika pacarnya pergi selepas merampok selembar selaput dara. Dan dia tercatat sebagai bekas perawan: meratapi cinta yang tidak sederhana.

Bogor, November 2008


Lelaki Paling Puisi


Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai wajah ibu: ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali.

Hari ini, kubangun rumah pasir. Membayangkan ibu duduk tenang di salah satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia. Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai memasang atapnya.

Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim laut. Agar tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang. Sepanjang siang aku menjala kenangan: ibu, dulu dirimbun bakau, aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi:

Menghitung sesak.

Depok, Pebruari 2009


Dan Pias Menahan Laju Kenangan
—Untuk Atisatya Arifin


Lagi-lagi aku terseok sepanjang gigil ingatan. Jalan setapak di sebelah rumahmu, lagu-lagu yang selalu menumbuhkan rindu, kelecer yang bergerak searah gelinjang daun ketapang, ayah-bundamu yang selalu datang memecah angan dengan tutur-sapa yang selalu bisa menyalakan senyuman. Dan, ah, jantungmu berdetak terburu-buru. Tanpa rima, tanpa irama.

Masih pagi waktu kuseruput wajahmu lewat secangkir teh hangat, mengundang kenangan melindap di jantung pagi. Seperti adam yang tak henti menyasar bumi hingga arafah mempertemukannya dengan hawa.

Langit keburu pecah pagi ini, memuntahkan rupa-rupa sungkawa purba. Apalagi yang melambai dari arah barat laut, jika bukan tembangmu dengan pelan menidurkan ombak. Tanpa riak, tanpa sesak.

Beranjak siang aku masih di beranda, ongkang-ongkang kaki mengaji rindu. Bunga ketapang, kembang bulan, dan sepi rumput teki: semua bersepakat menyeret-nyeret ingatan. Mengapa aku tak pernah bisa menggulung ingatan? Ya, rasanya aku tak bisa beranjak pergi, selangkah saja, melarung luka dari celah-celah jiwa ketika senja mulai hamil tua. Sepanjang pandang, bayangmu merupa lukisan. Tanpa senyuman, tanpa harapan.

Parung, November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar