Rabu, 29 Juli 2009

ESAI "Syair Zikir di Tubuh Peluh"

CATATAN: Esai ini dimuat di Riau Pos (Minggu, 19/07/2009) dan Batam Pos (16/08/2009)


SYAIR ZIKIR DI TUBUH PELUH
Oleh Khrisna Pabichara


TETAPI sajak adalah sebuah tetapi. Demikian maklumat ringan Hasan Aspahani dalam Pengantar Penyair pada buku sajaknya, ”Telimpuh”. Ya, katanya lagi, sajak adalah sebuah pendedahan yang didahului oleh kata sambung tetapi. Lebih lanjut, penyair yang belajar secara otodidak ini menegaskan bahwa melalui ketetapian sajaknya, penyair mengingatkan. Jika seorang ilmuwan bekerja dengan metode, maka penyair bekerja lewat kata. Jika ilmu dibangun dari sekumpulan fakta sebagaimana rumah dibangun dari tumpukan batu-batu, maka sajak dibangun dari sekumpulan kata. Penyambungnya, di antaranya adalah tetapi. Namun, sekumpulan batu-batu belum tentu bisa disebut rumah. Sama seperti tidak semua kumpulan kata bisa dinamakan sajak.

Tidak ada jalan pintas menjadi penyair. Jika kita berniat menjadi penyair, kita harus membangun inteligensia, kepekaan, dan pengendalian-diri. Harus rajin membuka diri dan ”pintu tafakur” selebar-lebarnya, biar kecerdasan estetika masuk sebanyak yang kita inginkan. Harus telaten dan disiplin, tidak mudah berpuas diri, dan berani mengambil risiko berlatih secara bertahap dari awal, setapak demi setapak. Harus serius mencoba mematut gaya dan lelaku kepenyairan lewat beragam eksperimen. Harus ada kata ”tetapi” ketika serangkai kata sudah kita anggap sebagai sajak. Biar lebih padat, lebih rekat.

Hal ini kembali ditunjukkan Hasan pada Telimpuh. Baginya, eksperimen adalah satu-satunya ”jalan kepenyairan”. Ia seperti hendak ”menentang” pendapat Stéphane Mallamé: sajak terbangun dari bahasa, bukan gagasan. Baginya, sajak memikul tanggung jawab besar, tidak semata kedalaman makna dan akrobat bentuk. Ada sesuatu yang lebih dahsyat. Sebagaimana Tagore menyalakan bara patriotisme, Iqbal meneguhkan semangat kebangsaan, atau Rendra membangun hasrat perlawanan lewat sajak-sajaknya. Melalui berangkai eksperimentasi kemasan, semenjak Orgasmaya hingga Telimpuh, penyair kelahiran Kutai Kertanegara ini membangun sajaknya dari bahasa, sekaligus gagasan.

BAGAIMANA menyusun kau, aku dan langit/ dengan pendar selembut satin,/ dan balon percakapan yang penuh jerit? (Komik Strip, 2; 8). Jika Harris Firdaus menyebut pembacaan Telimpuh laksana menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah, maka saya menyebutnya sebagai sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban. Jika Agus Noor menamakannya sebagai ”seorang petualang estetis”, maka saya menamakannya sebagai penjelajah yang tak kenal henti mengembara dari satu langgam ke langgam lain.

Seorang kawan saya yang bukan penyair, Sofyan Hadi, bahkan pernah berkata, ”Jika ingin membuka kamus, baca saja Telimpuh.” Artinya, penyair berhasil menawarkan alternatif pemaknaan terhadap kata. Coba kita simak bagaimana Hasan memaknai kata.

ABAR: ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu/ laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan/ agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal A; 21).

CENGANG: nah, inilah. Aku yang menatap ke diri sendiri/ tak habis heran. Tak berjawab, semua pertanyaan./ Inilah. Aku yang meraba ke jejak sendiri. Tak jelas/ arahan, tak tentu tujuan. Pun tak pulang jadi niatan,/ sebab Rumah sendiri beralamat di entah. Kemungkinan,/ cuma di pembungan. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal C; 22).

GERSIK: hanya ombak masih setia. Datang. Ke pantai itu./ Pantai kita itu? Aku mencari kita. Mencari apa yang/ sisa. Mungkin suara. Gemerisik pasir. Karang kering./ Memungut sisa diam kita. Mengatakannya. Dengan/ sisa kata yang terbaca pada lengking lantun camar,/ lengkung pelangi samar. Tapi, kau tak ada. Hanya aku./ menyesali kita. Menyesaki kata. (Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G, 2; 24).

TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai/ sembah ini kau sentuh. ”Telah aku lewatkan beribu subuh,/ telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair,/ jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh,/ hingga menguap semua peluh, di tubuh. (Kamus Empat Kata Berhuruf Aal T, 2; 38).

Bagi saya, kepiawaian Hasan menerjemahkan kata-kata, seperti kata abar-cengang-gersik-telimpuh, lebih dari sekadar kecerdasan puitik: mengawin-silangkan metafora, repetisi, rima, dan irama. Ia memiliki kekuatan melebihi kemampuan kamus mengungkap daya kata. Kedalaman diksinya sarat daya laten yang menyingkap tabir eksistensi kita dan menorehkan sejarah kepenyairan baru sebagai hasil dari petualangan liar semiotika yang dilakukannya. Bagaimana dengan bangunan konvensi? Tidak masalah. Hasan tidak mendobrak, apalagi merubuhkan konvensi bahasa formal. Ia, dengan cergas, malah memanfaatkan konvensi bahasa yang ”biasa” itu menjadi ”tidak biasa” dan ”lebih khas”.

Kebebasan adalah pengandaian tepat keseluruhan sajak Hasan. Pernak-pernik sepakbola, kiasan yang digunakannya, hanya sebentuk tamsil dari ketakbebasan manusia.

”Tolong dicuci bekas luka dan bisa atau bawa saja lari,/ sampai hilang pedih nama dan perih angka di punggungnya,”/ katanya seperti penyair membacakan bait puisi. (Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan; 46).

Kaos itu ”seolah-olah” tak betah lagi pada keriuhan pertandingan, hendak menjauh dari ingar-bingar pemujaan, berhasrat kuat melarikan diri dari berhala kepalsuan, kemudian memilih hidup otentik dan berusaha memilih wilayah eksistensi. Menentukan pilihan: kebebasan. Kebebasan, seperti yang pernah diperjuangkan Sartre, menjadi diri sendiri.

Bandingkan dengan sebuah pertanyaan:

Kalau bola harus memakai kostum, berapa/ nomor punggung yang cocok untuknya? (Solilokui Sang Bola Kaki, 1; 52).

Bagi pemain bola, nomor punggung termasuk ”dikeramatkan”. Angka 7 bisa identik dengan Christiano Ronaldo, 10 untuk Diego Maradona, 5 bagi Paolo Maldini, dan sebagainya. Tapi, tidak semata itu yang hendak dicapai Hasan. Bola, baginya, menjadi alegori. Kita terlalu lama membiarkan diri abai terhadap alur hidup. ”Biar mengalir seperti air,” begitu jawaban diplomatis yang sering kita dengar, lebih bermakna sebagai ”kesahajaan”. Atau, ”ketakberdayaan”? Hidup tidak sesederhana itu. Manusia adalah pengada, ungkap Climacus, yang memiliki kesadaran (consciousness). Bukan hanya kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi juga kesadaran terhadap diri sendiri (self-consciousness). Dengan kata lain, kesadaran untuk menentukan hidupnya: ”bagaimana seharusnya hidup” dan ”bagaimana semestinya mati”.

Penyair menolak ketidakberdayaan, keputusasaan, atau kepasrahan total. Hal ini ditunjukkannya pada:

bisakah bola membedakan, ia sedang/ digocek oleh Ronaldinho atau Zidane? (Solilokui Sang Bola Kaki, 2; 54).

Ia juga menolak militerisme, termasuk perang sebagai perangkatnya.

KENAPA semua tentara tidak dilatih menjadi/ pemain sepakbola saja?// Bukankah pemain bola tidak perlu sepatu/ lars, topi baja, apalagi peluru dan senjata?// Bukakah kostum pemain bola lebih meriah/ dan enak dilihat daripada seragam tentara? (Solilokui Sang Bola Kaki, 3; 56).

Memang, menjaga negara dari ancaman musuh, tidak semudah mengamankan pertandingan sepakbola dari gangguan perusuh. Tetapi, perang memang tidak mungkin diselesaikan lewat permainan sepakbola. Bukankah sepakbola juga sering menciptakan perang?

Terlepas dari keragaman garapan gagasan penyair, melalui Telimpuh, banyak hal yang bisa kita rekam dalam jejak ingatan. Ajakan untuk berpikir menjadi diri sendiri, keberanian menyuarakan ”zikir-pikir” demi kemajuan bangsa dan negara, serta tidak larut dalam luluh peluh yang mengalir di sekujur tubuh. Semisal lelakon Socrates, meneguhkan diri pada sesuatu yang diyakininya. Bahkan, meski harus mati.

Pada akhirnya, setiap penyair akan menemukan ”jalan kepenyairan” yang hendak ditempuhnya. Sebagai penyair, lewat banyak kembaranya, Hasan Aspahani menempuh segala yang diyakininya. Syair yang digubahnya dalam bingkai sajak, seolah-olah adalah lelantun zikir. Atau, seruan untuk sejenak berpikir. Itulah gunanya ia menyair, katanya.

KHRISNA PABICHARA adalah penyair, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar