Minggu, 26 Juli 2009

ESAI "Alienasi Kenangan: Lelaku Estetis yang Etis"

CATATAN: Esai ini dimuat di Jurnal Bogor (Minggu, 26/07/2009) di Rubrik Jendela Halimun. Ditulis untuk menelisik kumpulan sajak Cinta yang Marah karya M. Aan Mansyur


ALIENASI KENANGAN: LELAKU ESTETIS YANG ETIS
Oleh Khrisna Pabichara


KEMATIAN adalah perihal keniscayaan. Pasti terjadi. Tidak satu pun makhluk bernyawa bisa menghindar darinya. Dan, tidak pula sanggup mencegahnya. Kebanyakan manusia takut mati muda, atau takut mati dalam keadaan susah. Apalagi, susah setelah kematian. Ya, kesepian sebagai salah satu akibat yang dilahirkan kematian, jauh lebih mengerikan dibanding kematian itu sendiri. Tidak semua manusia bisa ikhlas. Kita kerapkali tidak siap memaksa diri sendiri agar sudi mengalienasi nostalgia untuk sementara, dan mulai membiasakan diri dengan fakta-fakta: kehilangan karena ”kematian”.

Pemahaman kita, sebagai manusia, cenderung mengarah pada abstraksi. Kita terbiasa berlekas mendedahkan substansi dan realitas pada hal-hal yang berlalu atau yang sedang kita hadapi. Lebih condong reaktif daripada reflektif. Kecenderungan inilah yang sering mengakibatkan kita lalai meneruka ”jalan kesadaran” sebagai ”makhluk terpilih”. Kehidupan manusia, yang dicirikan oleh kemewaktua, adalah bukti kefanaan dan ketidakberdayaan kita ”melawan” kuasa-di-luar-diri kita. Maka, alangkah sia-sia jika kehidupan sementara itu digunakan untuk sesuatu yang percuma.

Setali tiga uang dengan kematian, ”kenangan” pun dominan dalam menguasai ”bangunan ingatan” manusia. Saya teringat petuah Étienne Bonnot de Condillac (1715-1780). Kita dilahirkan di tengah-tengah labirin, katanya, dengan seribu kelokan yang dibuat hanya untuk satu tujuan: menyesatkan kita. Seperti itulah kenangan. Kalaupun terlihat ada ”jalan keluar” menuju kemerdekaan pikiran dari ”penjajahan kenangan”, jalan itu tidak lapang dan tidak bisa langsung terlihat. Kadang samar, kadang terang. Kadang tidak terlihat sama sekali. Dan, tampak tidak menjanjikan. Karenanya, kita harus berhati-hati. Kita perlu melangkah perlahan dengan cermat, mengaji semua tempat yang sudah terlewati dengan teliti, sehingga kita bisa leluasa bergerak menuju jalan keluar itu. Yang paling penting adalah mengetahui di mana diri kita pertama kali berada, kata Condillac, daripada cepat-cepat meyakini bahwa kita telah berhasil keluar dari labirin itu, kenangan itu.

BEGITULAH. M. Aan Mansyur sebagai seorang penyair mengajak kita agar memahami secara rasional segala yang terjadi di sekitarnya. Ia sendiri, kelihatannya, terlibat secara pribadi dalam peristiwa-peristiwa yang didedah ke dalam serangkaian sajaknya, ”Cinta yang Marah”. Sesekali ia, seolah-olah, berdiri di luar panggung drama kehidupan manusia dan hanya mengamati apa yang terjadi. Ia berlaku sebagai pemberi kabar kepada kita, pembaca. Juru kabar yang menguarkan keperihan, pengkhianatan, dan luka-nanah orang-orang kalah. Terkalahkan. Atau, malah sengaja dikalahkan.
Namun, lebih banyak, ia naik ke atas panggung dan menjadi ”pelakon utama”. Memainkan peran manusia dan kemanusiaannya. Mengalami suka-duka sebagai pelaku, menjalani tahdir sebagai manusia. Lewat Aku, penyair membincangkan kecemasan, tegangan antara hidup dalam waktu dan kerinduan akan keabadian, serta bersunyi-sepi setiap hari setelah Aku, oleh kematian, dipisahkan dari Kau.

aku terus menggesek senar biola atau mengawinkan
benang dan kain atau mengata-ngatai kematian dan sebab
itu seluruh kau masih jelas bahkan huruf terakhir yang kau
sebut kali pertama menjanjikan kesetiaan
(Sajak #1)

Dalam alegori Sajak #1, yang Aku lakukan adalah terus ”menggesek senar biola” atau ”mengawinkan benang dan kain” sebagai wujud keyakinan, bahkan jika harus berhadapan dengan kematian, pada keteguhan ”janji kesetiaan”. Kau, yang dimaksud Aku, boleh jadi perempuan idamannya. Tapi, boleh juga, Kau disini adalah ”caleg” yang banyak mengumbar ”janji perubahan” dan Aku adalah konstituen yang memilihnya dan bersetia menunggu pembuktian janji itu.

Sebanyak 21 (duapuluh satu) sajak dalam ”Cinta yang Marah”, pada satu sisi, merupakan penanda kebiasaan manusia yang hidup dari hasrat spontannya saja sebagai ”lelaku estetika”. Pada wilayah lain, Aan mengajak kita berhitung tentang kategori baik dan jahat dalam ”lelaku etika”. Baik dalam wilayah estetis maupun pada wilayah etis, Aan bertutur begitu liris. Bahkan, miris. Lihat misalnya pada Sajak #3, penyair kelahiran Bone ini ”bersiul” tentang perilaku cinta anak-anak modern ”mengandangkan” orang tua mereka di panti jompo.

aku akan mengajak kau menginap semalam di salah satu
panti jompo, tempat orang-orang yang punya anak-anak
terlalu sibuk, tempat orang-orang merasa dekat sekali
dengan makam, tempat orang susah payah
mengingat bagaimana caranya tersenyum. di sana aku dan
kau akan membacakan sajak-sajak cinta kepada mereka.
dengan begitu kita bisa membayangkan bagaimana kelak
kalau kita sudah tua, bagaimana rasanya berjalan-jalan di
tepi jurang maut
(Sajak #3)

Keinginan untuk hidup langgeng dan bahagia bersama orang yang dicintai, bukan hanya dambaan penyair ─yang tahun kelahirannya selalu disembunyikan itu. Namun, hal itu menjadi harap-cemas setiap orang. Ia menegaskan keinginan agar orang yang dicintainya menjadi pasangan hidupnya, melalui kehidupan bersama dan menemukan kebahagiaan, dan tidak terpisahkan hingga tua-renta. Akan tetapi, perpisahan bukankah selalu membayangi? Kematian mengintai setiap hari, mengancam untuk memisahkan Aku dari Kau, atau sebaliknya.

begitu setiap pagi, aku dan kau tetap berlatih berhitung
sebab aku dan kau harus menjawab pertanyaan cucu:
kenapa cinta kakek dan nenek tidak pernah kurang dan
lebih dari satu?
(Sajak #4)

Layaknya kebanyakan orang, Aku memilih ”keyakinan” dan ”kepastian”. Bukan ”kebimbangan” dan ”ketidakpastian”.

Sekarang, coba kita lihat bagaimana Aan ”merekam” peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

anak itu semakin deras menangis, sedihnya tidak hendak
sudah melihat sungai ikut tersedu. dan wajah anak itu
pelan-pelan bersih, dibersihkan airmatanya sendiri
(Sajak #6)

Mengapa anak itu menangis? Keperihan hidupkah? Buku dan biaya sekolah yang tak terbayarkah? Atau, ”ongkos hidup” yang tak tertanggungkah sebagai penyebabnya? Kita, sebagai penikmat, bisa menafsirkan semau yang kita suka. Hal ini dimungkinkan karena Aan menyuguhkan sajak-sajak yang memiliki kedalaman gagasan dan keluasan penafsiran.

Aan juga berbicara mengenai kerinduannya pada suasana agraris. Di sini, isu mengenai epistemologi, kenangan masa kecil sebagai ”aku yang lahir dari rahim petani”, menjadi sangat kentara. Ia sadar, bahwa pergeseran dari budaya bertani atau budaya melaut menjadi anak-cucu teknologi adalah realitas obyektif yang telah mereduksi kemampuan banyak orang untuk sekadar bertahan hidup. Pada sajak #10, ia menegaskan kecemasan dan kegelisahannya itu. Begitupun pada Sajak #11, pesan untuk tidak semata menanam jati dan beringin merupakan fatwa ringan tentang bagaimana mengelola hutan produksi, hutan bagi rakyat belaka. Bukan hutan yang hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang. Jangan lupa membaca Sajak #13. Lalu, bayangkan! Betapa untuk menjadi dokter yang dipercayai pasien sudah bisa dilakukan oleh seorang anak kecil dengan ”kesaktian batu celup”. Sungguh, Aan memindahkan peristiwa ke dalam sajaknya secara elegan: fenomena Ponari. Dan musibah langganan: banjir. Atau, tengoklah Sajak #17, niscaya akan kita temukan keperihan hidup kaum buruh yang bahkan tidak sanggup bernafas lega karena dililit hutan kredit. Mengenaskan. Tapi, begitulah kenyataan hidup.

Tidak berhenti sampai di sana, Aan juga bermain dalam wilayah religius. Ia menohok ”gereja” yang mulai sunyi dari ”nyanyi doa” pada Sajak #9. Juga gumam kritis terhadap resistensi MUI karena terlalu kerap memasuki wilayah pribadi umat lewat fatwa haramnya:

menurut kau, apakah akan lahir sebuah fatwa haram
mencintai seseorang jika aku dan kau dikuburkan saling
berpelukan dalam sebalut kafan?
(Sajak #17)

MEMBUAT pilihan dan mengambil keputusan bukanlah hal mudah. Apalagi memilih jalan hidup di luar kelaziman: menjadi penyair. Bagi Aan, itulah pilihan hidupnya. Dan, konsekwensinya, ia menjalaninya dengan tekun, dan bersungguh-sungguh. Ia, seperti tutur Nurhady Sirimorok pada Catatan Pembacaan Seorang Kawan, tidak serta merta tumbuh-lahir sebagai penyair. Melainkan bersusah-susah menggauli Neruda, Rimbaud, Rilke, Yeats, Frost, dan sejumlah nama lainnya. Juga Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Aslan Abidin, hingga Hasan Aspahani. Artinya, dari lelaku asketik menggumuli sajak demi sajak, ia berjuang melalui ”jalan kepenyairan” untuk bisa menemukan tidak sekadar kemampuan linguistik, tapi juga kecerdasan estetik.

Pendek kata, bagi Aan, segala kegetiran atau kebahagiaan hidup dapat dibingkai dalam ”kerangka esensial”, tanpa menafikan ”keunggulan estetik” dan ”kenyamanan puitik”, sehingga kematian dan kenangan tidak lagi menjadi ”momok” yang menakutkan atau mengerikan untuk diperbincangkan. Maka, Aan pun bersajak dengan cara yang berbeda ─meski sesekali masih mirip─ dengan Sapardi, idolanya. Atau dengan Hasan Aspahani, sahabat sekaligus mitra-latihnya.

KHRISNA PABICHARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar