Sabtu, 18 Juli 2009

[ESAI] Kampung Sebagai Rumah Estetik

CATATAN: Esai ini dimuat di Jawa Pos (Minggu, 19/07/2009)


KAMPUNG SEBAGAI RUMAH ESTETIK
Oleh Khrisna Pabichara


KAMPUNG. Dari sanalah Juru Masak (2009) antologi cerpen karya Damhuri Muhammad berpangkal. Dari kampung, Damhuri, mulai merakit-merangkai sehimpun cerita yang dikemasnya dengan telaten. Kampung, realitas itu pula yang menyingkap gerbang ingatan masa kecil saya dan membuat saya bersinggah pada kisah demi kisah yang dikabarkan Damhuri dalam buku itu. Kenapa? Karena saya orang kampung, itu jelas. Namun, ada pernik lain yang menyeret segala ingatan saya pada “kampung”.

Ketika saya menelisik cerpen-cerpen Damhuri, saya tiba-tiba teringat sentilan cerpenis Raudal Tanjung Banua. Pengarang sebagai narator, dalam teropong Raudal, belakangan tampak begitu dominan dengan balutan bahasa yang rimbun dan miskin dialog.

Beruntunglah, ketika saya memasuki realitas kampung Damhuri yang dirancang lelaku tutur sederhana dan bersahaja, narasi dan dialog yang tertata begitu imbang. Boleh jadi, sebagaimana kata Damhuri, ia menulis cerpen layaknya meraut sepasang bilah layang-layang dengan tekun dan sabar, hingga permukaan kedua bilah itu benar-benar halus, imbang bila ditimbang. Perfeksionis, perlu pengendapan, tidak instan. Dibaca lagi, diraut lagi. Dibaca lagi, ditimbang lagi. Begitu selalu.

Lewat Juru Masak, Damhuri menampilkan suasana kampung dari segala sudut pandang. Pada cerpen Gasing Tengkorak, ia berkisah perihal kehebatan Dinir menaklukkan semua perempuan yang diinginkannya ─tak peduli gadis perawan, janda kembang, atau bini orang─ dengan jimat keramat warisan turun-temurun. Namun, ketika jimat itu digelandang ke kota sebagai aset untuk diniagakan, atas hasutan isteri-isterinya, ternyata tidak mempan lagi. Kampung di sini, terasa jauh lebih lapang, lebih menjanjikan ketimbang kota. Setidaknya, selama masih bisa bertahan di kampung, gasing tengkorak ─jimat keramat Dinar itu─ tiada bakal terkalahkan.

Sementara pada Ratap Gadis Suayan, pengarang menyeret saya ke masa lalu. Di pelosok Jeneponto, sekitar 80 kilometer dari Makassar ke arah selatan, memang ada tradisi appitoto, menangis-meratap-meraung setiap ada orang yang meninggal. Hanya saja, dalam cerpen ini, Damhuri meletakkannya dengan suguhan warna yang lain, meratap itu menjadi profesi yang dibenci, sekaligus dicari-cari. Dibenci karena mengais upah dari upacara kematian, dan dicari-cari karena upacara kematian dianggap kurang khidmat tanpa ritus ratapan. Ini mengingatkan saya pada rasya’ (ratapan), sebuah genre sajak yang khusus dibacakan guna meratapi tetua-tetua kabilah dalam tradisi kesusatraan Arab klasik. Barangkali itu sebabnya, Damhuri menamai tokoh utama cerpen ini dengan Raisya. Lalu, apa yang akan terjadi jika jenazah yang mesti diratapi Raisya adalah mayat mantan suaminya sendiri? Lelaki yang telah membuatnya meratap seumur-umur. Berbeda dengan realitas kampung pada Gasing Tengkorak, kampung dalam cerpen ini justru membuat tokoh cerita semakin terpuruk di kerak kemelaratan.

Suasana kampung juga sangat kental dalam Tikam Kuku. Di sejumlah daerah memang ada ritual “bekal khusus” bagi mereka yang hendak merantau. Sebelum meninggalkan kampung, calon perantau itu biasanya dibekali dulu dengan rupa-rupa jurus silat. Berkisah tentang kesaktian Harimau Campo dan kedigdayaan Dahlan Beruk. Tapi, bukan semata-mata dunia persilatan yang hendak digambarkan pengarang dengan narasi yang sedemikian heroik itu. Bila direntang lebih lapang, kisah ini menjadi semacam alegori bagi “tengkulak-tengkulak modern” yang menguasai negara, lebih dari kuasa “tengkulak tembakau” yang tak segan-segan menyingkirkan “patriot” seperti Dahlan Beruk. Inilah realitas kampung yang semakin modern, sebuah kurun di mana menjadi kaya jauh lebih bermartabat daripada menjadi jujur.

Sebagai cerita andalan, Juru Masak juga menawarkan aroma khas “kampung”. Kali ini, pengarang menyuguhkan realitas kampung dari hingar-bingar keriuhan sebuah kenduri pernikahan. Agaknya, di kampung manapun, pesta pernikahan menjadi semacam prestise yang menunjukkan kelas dan martabat sebuah keluarga.

Bukan sekadar bercerita tentang betapa “wah” sebuah helat pernikahan, Damhuri mengerucutkan kisahnya pada aneka “masakan” yang tersuguh dalam suasana pesta ala kampung itu. Alkisah, tidak lengkap sebuah kenduri, jika bukan Makaji yang menjadi Juru Masak-nya. Persoalan mencuat ketika “sohibul hajat” adalah Mangkudun, tuan tanah yang pernah menakar harga diri Makaji. Sementara, yang hendak bersanding di pelaminan adalah Renggogeni, perempuan yang sangat dicintai Azrizal, putra juru masak handal itu. Inilah kampung feodal, kampung anti-egalitarianisme, yang dalam istilah Minangkabau, masih membedakan antara orang asli (orang berpenghulu dan berninik-mamak) dan “orang di pinggang” (kaum pendatang). Cinta sejati, tidak akan berdaya di kampung Mangkudun dan Makaji ini.

Ibarat sebuah jamuan makan malam ala kampung, antologi Juru Masak khas racikan bumbu Makaji ini, menyuguhkan sebuah menu penutup, yang lagi-lagi perihal kampung. Ini kampung yang tak biasa. Bukan lagi kampung yang kasat-mata, melainkan kampung yang hilang, seperti tergambar secara tragedik pada Sumanda.

Begitulah, saya membaca Juru Masak seperti orang kampung membaca kitab di surau. Khidmat, dan nikmat. Dan, bagi saya, tidak ada kegirangan yang lebih hebat bagi seorang perantau selain kegirangan ketika pulang kampung, atau menemukan kembali “suasana kampung” yang lama hilang.

Kampung yang dibangun Damhuri, kampung Juru Masak. Kampung kita.

☼☼☼


Parung, 19 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar