Sabtu, 04 Juli 2009

[ESAI] Membaca Logika, Membangun Alusi

MEMBACA LOGIKA, MEMBANGUN “ALUSI”
Kata Penutup Kumpulan Puisi "ALUSI"
Karya Pringadi AS



I

“TIDAK mudah menjadi penyair!” Demikian, suatu ketika, tutur seorang penyuka sajak, Damhuri Muhammad, pada sebuah diskusi ringan seputar fenomena bermunculannya “penyair-penyair” di dunia maya. Bagi Damhuri, jika untuk mendapatkan lisensi “penasehat hukum” seorang lawyer harus menguasai banyak hal perihal dakwa-mendakwa atau tuntut-menuntut, seorang penyair pun wajib menapak jalan atau tangga kepenyairan. Setiap penyair dituntut menguasai, setidaknya mengetahui, langgam kepenyairan. Baginya, tidak semata karena piawai memainkan rima, mendedahkan metafora, atau memainkan alegori, lantas seseorang berhak menyandang gelar “penyair”. Tidak semudah itu.

“Pada batas tertentu, jalan kepenyairan sejajar dengan jalan kenabian!” Boleh percaya boleh juga tidak. Meskipun agak sulit kita mengamini pendapat Damhuri, tidak serta-merta kita bisa menampik kebenarannya. Untuk menjadi penyair handal, kita harus bisa menapak anak-tangga paling puncak guna menangkap pesan-pesan profetik, sebagaimana kemampuan para Nabi menyambut risalah kenabian (Damhuri Muhammad, 2009).
Dengan demikian, betapa berat seorang penyair memikul beban kepenyairannya, seperti juga Nabi menanggung amanat kenabiannya. Tidaklah mudah. Tidaklah bisa semaunya.

Lantas, adakah jalan pintas menjadi penyair? Ini memang pertanyaan klasik. Namun, jawaban yang bakal ditemukan tetap sama: tidak ada. Ya, tidak ada. Untuk menjadi penyair, kita harus belajar keras dan belajar cerdas, setidaknya, untuk memiliki kecerdasan estetik. Dan, guna mendapatkannya, kita harus banyak melakukan penggalian, pencarian, bahkan pemberontakan terhadap tradisi estetik yang sudah ada. Artinya, penyair ─sama halnya profesi lain─ butuh keseriusan, ketekunan, dan kesungguhan.

II

MENELISIK, atau menelaah, lebih dari sekadar membaca karya sastra. Sebagai sebuah hasil rekaan yang bersifat imajinatif, kita harus piawai mengembalikan karya sastra dari dunia alegori ke dunia kenyataan. Hal-hal yang aneh, unik, dan berbeda, kita sambung-hubungkan dengan dunia keseharian. Dengan kata lain, membaca dan memahami karya sastra membutuhkan proses, “lelaku kepengamatan”. Mengapa? Karena karya sastra adalah buah dari pohon imajinasi. Maka, untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang sistem kode, seperti kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra (A. Teeuw, 1991: 12-14).

Demikianlah, ketika saya diminta menulis “kata penutup” oleh Pringadi, saya terhenyak. Jika mengiya, otomatis saya harus memiliki bahasa sama dengan yang digunakan penyair. Saya pun harus paham latar “lelaku kepenyairan” dan “jalan kepenyairan” yang telah ditempuh Pringadi, sehingga memudahkan saya dalam mendedahkan “hasil-baca”. Tentu saja, tafsir yang saya miliki bisa saja menyempitkan penafsiran pembaca lainnya, yang sudah terbangun setelah mengeja sajak demi sajak.

Bukankah Sutardji sudah pernah mengajak kita untuk memerdekakan kata dari beban makna, gagasan, juga pesan? Maka, biarlah kata berdiri sendiri.

III

ADALAH lumrah bila akuntan bicara tentang angka-angka, karena memang di sanalah “maqam”-nya. Tapi, akan berbeda “rasanya” jika seorang akuntan memilih “jalan kepenyairan” dengan lelaku eksperimen “meniupkan ruh” kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian “yang baharu” dalam ungkapan, sususan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Hanya saja, jika kita sempatkan diri berlama-lama menyelami kedalaman setiap demi setiap sajak Pringadi, tampak beberapa puisi yang terkesan lekas-lekas diselesaikan. Akibatnya, kedalaman yang dijanjikan ─sebagaimana terbaca dari judul antologinya─ sukar untuk diselami.

Penyair, yang sehari-hari dibelit tetek-bengek akuntansi, memperlihatkan gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila ditakar dengan langgam estetika puisi “liris” yang sedang marak dan dan digandrungi banyak penyair mutakhir. Pringadi berusaha melebur kejanggalan “rasa-baca” melalui perkawinan-silang antara angka dan kata. Angka dan kata disambung-tautkan menjadi kombinasi ajaib. Simak sajak berikut:


dari eSDe, hingga eSeMA, dia selalu
menjadi yang tercepat, pernah sampai
empat koma dua dalam empatpuluh yard
(dunia kecepatan cahaya yang sulit
dan langka ditempuh manusia


(Sprinter)

Anehnya, pada eksperimen lain, Pringadi meneropong kondisi bangsa dengan menawarkan protes sosial, sebagai penafsiran rasional, terhadap monopoli “segelintir” komponen bangsa terhadap kekayaan alam. Ia berkeras merambah sebuah medan, yang lagi-lagi berhubungan dengan (kekayaan) angka, kesenjangan antara keberkuasaan kaum minoritas terhadap kaum mayoritas. Ia memotret, terlalu banyak kejanggalan dan keanehan tumbuh-subur di negeri gemah ripah loh jinawi ini, namun sedikit sekali perhatian dan perlakuan serius pengelola negara untuk menyelesaikan kejanggalan dan keanehan itu. Kemiskinan dan kemelaratan, komoditas yang sering jadi bahan baku ide, tumbuh bagai tunas-tunas muda yang kemudian bermekaran di seantero nusantara. Dengan lugas, penyair mengumandangkan protesnya:


ayat keempat:
tak berlaku ketiga ayat
sebelumnya; bumi, air, dan
kekayaan alam lainnya bebas kita
eksploitasi, bebas kita kuasai dan
kita jual ke luar negeri

biar tak sibuk kita nanti
(Menyoal Ayu)


Fanatisme membela “wong cilik” kerap kita jumpai pada diri anak-anak muda, termasuk Pringadi. Namun, bagi saya, ketertarikan Pringadi terhadap tema kemiskinan dan kerakyatan, bukanlah hal baru. Bukan pula kecenderungan baru. Rendra, Wiji Thukul, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, telah lebih dahulu melakoninya. Sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan pihak penguasa ─sebagai pelayan pilihan rakyat─, tidak menyejahterakan rakyat. Kekayaan alam yang sejatinya diperuntukkan guna memenuhi hajat hidup orang banyak, digelincirkan lalu dinikmati segelintir orang di sekitar penguasa. Tapi, Pringadi berusaha pula merambah ranah lain. Ia tidak semata “menyentil” penguasa, ia pun menyindir orang-orang sekitarnya, termasuk kalangan tokoh, bahkan “menertawakan” dirinya sendiri.

Anehnya, kekuatan Pringadi justru lebih nampak pada sajak-sajak pendeknya. Misalnya:

Pada secangkir kopi
Teringgal jejak

Bulan malam tadi

(Sajak Le Mois)

Apa yang salah dari
Dua bola mata yang
Tak bisa saling
Membaca?

(Sajak Bola Mata)

Di bibir bulan kutemukan
Sepotong wajahmu yang sempat

Kaulupakan

(Sajak Potongan Wajah)

Secara hermeneutik, bulan pada Le Mois adalah tanda yang khusus, tanda yang tidak biasa. Artinya, bukan sekadar bulan seperti yang nampak secara lahiriah, melainkan simbol yang menerangkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa tercerap secara inderawi. Demikian pula dua bola mata yang tak bisa saling membaca (dengan penulisan yang bersambung) pada sajak Bola Mata, yang bisa dimaknai sebagai mulai usangnya dua orang yang pernah intim, lalu tiba-tiba merasa saling-asing, semisal dua bola mata yang berderet-berjajar tapi tak saling bisa memahami. Perhatikan pula pola penggalan suku kata (enjambemen) pada sajak Potongan Wajah. Pringadi berusaha membangun efek bunyi dari pilihan tipografinya.

Membaca sajak-sajak Pringadi yang dipenuh-sesaki oleh gairah menyala-nyala, kita seperti terhisap gairah kanak, diasak rasa ingin tahu, lalu berlekas menyasar pola-lariknya sampai akhirnya menemukan makna yang “meringkuk” dan bersembunyi dalam kerimbunan pilihan temanya. Demikianlah, betapapun rumit takwil yang didedahkan Pringadi ke dalam sajaknya, kita masih bisa menemukan keindahan makna sebagaimana kita menikmati sajak penyair-penyair lainnya. Dan, antologi ini adalah pernyataan kegundahan penyair dalam “membaca” kenyataan di sekitarnya.

Sekaligus mewartakan kepada pembaca tentang hakikat puisi yang multi-tafsir.

IV

BEGITULAH Pringadi. Ia berusaha mengajak kita menari bersama kata. Kadang lewat tarian yang terasa asing, terasa aneh. Dan, janggal. Kadang dengan tarian yang biasa saja. Yang sahaja, yang sederhana. Namun menawarkan keindahan yang “tidak biasa”. Tentu saja, Pringadi akan terus berproses, terus bertumbuh. Dan, kita berharap, kelak Pringadi menyajikan tarian yang lebih “menghibur”, lebih “mencerahkan”. Bahkan, lebih dari menghibur atau mencerahkan.

Betapapun, memang, tidak mudah menjadi penyair.

KHRISNA PABICHARA
Penyuka sastra, Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar