Sabtu, 01 Agustus 2009

Sajak Khrisna Pabichara di Republika

Catatan: Sajak-sajak ini dimuat di Republika (Minggu, 02/08/2009)



Labirin Lebaran

Namanya lebaran. Semua orang pasti tahu, apalagi aku. Sejak berusia belasan, aku mulai mengenal puasa. Dari separuh hingga sepenuh hari. Ya, puasa selalu berasa istimewa. Laksana kawah candradimuka tempat aku bisa melepuh dosa dan memenjara setan-setan durjana. Duh, indah nian meniti zirah ibadah, membedah lengah laksana kabilah mencecah gelisah. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"

Namanya takbiran. Semalam sebelum lebaran, takbiran selalu mengundang gairah. Berarak keliling kampung dengan obor dan gelegar petasan. Nyala api menari-nari di pucuk-pucuk penggalan batang bambu, meliuk-liuk laksana geliat para pujangga membaca prosa. Pada kedalaman hati aku menggurat janji, "Tak ada yang lebih maha dari-Nya." Ya, takbiran selalu bisa menjinakkan keresahan hati, menidurkan ketakutan jiwa, dan mengundang turun butiran sesal. Segera hati mendulang ingatan, inilah malam ketika kuduk merinding karena gema takbir membelah angkasa. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"

Namanya lebaran. Selalu ada butiran hujan ketika tiba lebaran. Anak-anak berbaju baru dengan renyah bermain di kubangan kenangan. Orang-orang berduyun-duyun salam-salaman. Kanak-kanak berlomba berebut ketupat dan uang recehan. Nafasku terbanting ke atas meja penuh taburan penganan, mencoba bertahan dari siksaan rasa penasaran. "Bisakan aku, Tuhan, bersua lebaran tahun depan!"

Bogor, Oktober 2008


Tuhan Punya Musuh
untuk Salahuddien GZ

Sebelum matahari terbenam, ia datang dengan sesumbar kabar, "Apakah benar tuhan punya musuh?" Aku terhenyak seperti matahari kehilangan bara. Karena pada semua kitab, katanya lagi, semua bertutur tentang musuh-musuh tuhan. Telisik saja, dari Qabil sang pembunuh hingga israel sang penjagal, pintanya pula

Sebentar lagi matahari diasak malam, membenam cahaya pada kelam. "Musuh tuhan hanya iblis yang membangkang ketika diminta sukarela mengakui kehebatan Adam. Selebihnya hanya keturunannya. Sebut saja Qabil, Namrud, Fir'aun, Abu Lahab, dan yang lainnya."

Matahari sedang mematut diri, sebelum jenak menggantung cahaya. Selembing tanya menghunjam tepat di pori hati, "Tuhankah yang memusuhi iblis hingga mengusirnya keluar surga, atau ibliskah yang memusuhi Tuhan sehingga berani membangkang perintah?"

Ia dengan ringan menenteng matahari. "Dalam semesta pikiran Tuhan Yang Mahatahu, pemberontakan itu mestinya bukan sebagai perlawanan, tapi sesuai rancang-citanya biar iblis punya kesibukan menuntun manusia masuk neraka."

Aku berdiri tepat sejengkal di depannya, merebut matahari dari tentengnya. "Jadi, Tuhan tidak punya musuh?" Ia berkeras, "Tuhan kita berbeda!"

Bogor, Januari 2009

Selembar Surat untuk Tuhanku
untuk Barrack Hussein Obama

Tuhan, aku ingin sekali mengajakmu singgah di rumah seorang sahabat. Ia baru saja terpilih mejadi penghulu adat negara paling adi di bumi ini. Siapa tahu di sana kita bisa sejenak bercengkerama, melupakan kisah-kisah pembangkangan dan hikayat-hikayat pembantaian. Kali saja kita disuguhi pundi-pundi air mata setelah segala telaga kita dikuras perompak serakah. Tuhan, ayolah, sebentar saja

Tuhan, aku tak tahu siapa lagi yang bisa menampung gelegar gelisah. Sahabatku itu memilih menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Mungkin di negerinya berlaku juga pepatah purba, "diam itu emas." padahal, sebelum dirinya meraup banyak simpati, ia menguar janji paling koar, "Menjadikan negerinya negeri paling negeri, tempat bermukim manusia paling manusia." Tapi, ia tetap menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Sahabatnya ia biarkan membantai ratusan nyawa. Tuhan, singgahlah sebentar saja

Tuhan, aku bosan melihat kelamin ganda negara sahabatku itu. Ketika Irak dituding menyapih banyak senjata biologi, negaranya langsung mengirim pasukan perdamaian yang semena-mena mengoyak-ngoyak harkat kemanusiaan. Di Afghanistan, mereka tidak lagi menjadi manusia, melainkan durjana yang menjadi hamba syahwat: syahwat berkuasa dan syahwat menguasai

Tuhan, patik tulis surat ini di tengah riuh air mata. Terlalu lama patik berdoa sampai tanggal perih diamuk senyap. Terlalu lama patik menanggung sendu hingga luka menjadi batu. Jika Kau punya tangan, Tuhan, pinjamkan padaku sebentar saja: biar kujitak sahabatku itu. Jika Kau punya mulut, Tuhan, pinjamkan padaku sejenak saja: biar kuludahi muka Israel. Berkali-kali. Berhari-hari

Bogor, Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar