Sabtu, 04 Juli 2009

[ESAI]: Keindahan Cinta

AWAL JUNI 2008, ayah mendapat kiriman e-mail dari beberapa sahabat. Bukan kiriman e-mail-nya yang luar biasa, karena ayah setiap hari akrab dengan beragam e-mail dari berbagai mailing-list yang ayah ikuti. Yang luar biasa sekaligus biasa-biasa saja adalah isi e-mail itu. Barangkali kelak jika engkau beranjak dewasa, cahaya mataku, e-mail sejenis tidak bisa kamu temukan lagi.

Itulah mengapa sehingga ayah mencoba mengabadikan e-mail itu lewat catatan cinta ayah ini.

☼☼☼

KABARNYA, suatu hari seorang Ibu meminta tolong kepada anaknya untuk membantu merapikan kamar tidurnya sendiri, karena sang Ibu, saat itu, sedang sibuk menyiapkan lauk di dapur. Tanpa mengucapkan sepatah kata, sang anak pergi meninggalkan Ibunya. Beberapa saat kemudian, anak itu kembali dan mendapati Ibunya masih sibuk menyediakan makan malam di dapur.

Kemudian dia mengulurkan selembar kertas bertuliskan sesuatu. Sang Ibu segera membersihkan tangan lalu menerima kertas yang diberikan oleh sang anak dan membacanya.

Ongkos membantu Ibu:
1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp 20.000
2) Menjaga adik: Rp 20.000
3) Membuang sampah: Rp 5.000
4) Membereskan Tempat Tidur: Rp 10.000
5) Menyiram bunga: Rp 15.000
6) Menyapu Halaman: Rp 15.000
Jumlah Hutang Ibu: Rp 85.000



Selesai membaca, sang Ibu tersenyum memandang anaknya yang raut mukanya berbinar-binar. Sang Ibu mengambil pena dan menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.

1) Ongkos mengandung dirimu selama 9 bulan: GRATIS.
2) Ongkos berjaga sepanjang malam ketika kamu sakit: GRATIS.
3) Ongkos mengasuh dan merawatmu selamanya: GRATIS.
4) Ongkos mendidikmu: GRATIS.
5) Ongkos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu: GRATIS.
Jumlah Keseluruhan Cinta Kasih Ibu padamu: GRATIS.



Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah Ibu, memeluknya dan berkata, "Saya mencintai Ibu". Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya, "LUNAS, telah dibayar". Lantas menyerahkan pada Ibunya.

Demikianlah cahaya mataku, kasih ibu selalu sepanjang jalan. Sementara, kasih sayang seorang anak boleh jadi hanya semata sepanjang galah. Meski, tentu saja, kasih sayang sang anak yang hanya sepanjang galah itu pasti bisa dijadikan sepanjang jalan. Selamanya. Abadi. Kasih hakiki. Kasih tanpa awal tanpa akhir.

☼☼☼

MATAHARI mulai berdandan, merias senja dengan rona memerah. Cahaya mataku, gerimis baru saja pergi membawa cemas. Anak-anak di jalanan bermain air genangan, pada seorang perempuan aku dikepung kenangan. Bundamu, cahaya mataku, yang tiga tahun kemarin meregang nyawa berjuang melahirkan kamu ke muka bumi, hari ini menjadi layaknya Ibu Kartini, mencecar benak Ayah dengan rerupa kampanye emansipasi. Bundamu, cahaya mataku, yang pernah menawarkan diri menjadi kuli tukang nyuci pakaian tetangga manakala dapur kita terancam kelangsungannya, menjadi geram melihat rerupa perilaku lelaki yang menjadikan perempuan semata subyek kehidupan, bahkan pelengkap penderita.

“Perempuan itu empunya cinta,” kata Bundamu. “Tidak semestinya perempuan diletakkan semata sebagai pendukung cerita, pemeran figuran yang kehadirannya hanya memberi secuil makna.“

Ayah berusaha bijak, mengirim senyum lewat angin yang berembus begitu semilir. Aku mengenal Bundamu sebaik seperti ayah mengenal diri sendiri.

“Bukan jamannya lagi perempuan dilecehkan!” tegas Bundamu.

Ya, ayah setuju. Oleh karena perempuan dicipta dari tulang iga, maka selayaknya perempuan berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan lelaki. Perempuan tidak boleh merasa lebih tinggi, apalagi merasa lebih berkuasa, karena bukan dicipta dari tulang kepala. Tak semestinya pula lelaki menginjak-nginjak keturunan Hawa, apalagi sampai berlaku semena-mena, karena dulu Hawa dicipta bukan dari tulang kaki.

Sekali lagi, perempuan itu sejajar dengan lelaki. Artinya, jika lelaki bisa jadi gubernur, menteri, atau presiden, kenapa perempuan tidak? Namun, kita tidaklah patut menjadi salah kaprah dengan begitu saja bersetuju ketika perempuan berkeras ingin menjadi petinju, pegulat, atau apa pun yang mengutamakan kekuataan otot. Bukan karena anti emansipasi, melainkan karena menyadari betapa perempuan dicipta dari tulang iga yang lemah dan rapuh, bukan dari tulang kering kaki ramping dan kokoh.

“Sejatinya, perempuan tidak semata untuk dinikahi, lantas dikawini dan dibuahi,” lanjut Bundamu.

“Perempuan itu rumah yang ramah, tempat semua bisa istirah meredam amarah dan gelisah. Perempuan itu benteng yang mentereng, tempat lelaki bisa bertahan dan menyusun strategi baru, guna melawan tekanan hidup yang tak terperi. Perempuan adalah istana tercinta, tempat kita semua bisa petantang-petenteng ke sana-ke mari menenteng bahagia.”

Ya, begitulah Bundamu memahami makna eksistensi gender: perempuan dan keperempuanan. Jadi, jangan pernah menyesali diri karena dilahirkan sebagai perempuan. Apalagi sampai memaksa diri berubah menjadi lelaki. Begitu sebaliknya, adalah naïf jika seorang lelaki mengingkari diri dengan melebur karakter menjadi perempuan.

Marilah menelisik kanan-kiri.

Bagaimana caranya orang-orang sekitar kita memandang dan menghargai perempuan? Benarkah mereka telah memperlakukan perempuan dengan cara yang semestinya? Apakah mereka masih mengikat diri bahwa perempuan hanya semata pemuas syahwat? Apakah mereka meletak makna betapa perempuan dicetak hanya semata untuk menjadi budak?

Perempuan itu surga.

Di dunia menjadi sandaran tempat kita bisa rehat melepas penat. Di akhirat menjadi bidadari dengan kecantikan dan kelimpahan cinta yang teramat memikat. Akan tetapi, tidak semua manusia sama. Manusia dicipta dalam kondisi berbeda. Baik secara fisik, maupun secara kejiwaan. Bahkan, kembar siam saja tidak akan pernah persis sama. Itu adalah kuasa Ilahi. Sunnatullah.

Bagaimana sikap kita menikmati perbedaan, itulah seni pilihan dalam hidup ini. Pilihan kita: dari mana kita menilai sikap kritis ini. Dari kecurigaan, ketersinggungan, kemarahan, atau dari kasih sayang, mahabah, dan kepedulian? Memulai sikap kritis dari kemarahan, kecurigaan, atau ketersinggungan akan berbeda sama sekali dengan memberangkatkan sikap kritis dari kasih sayang, mahabah, dan kepedulian.

“Kita bisa berbeda, Bunda, tanpa harus saling memaki,” kata Ayah, sembari menutup percakapan dengan selembar senyum, yang kabarnya senyum terindah bagi Bundamu.

☼☼☼

SUATU KETIKA, seorang sahabat bernama Jahimah pernah menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku berniat pergi berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihat.”

Ketika itu Rasulullah tidak langsung menjawab, malah balik bertanya. “Apakah ibumu masih hidup?”

“Ya,” jawab Jahimah.

Rasulullah berkata, “Teguhlah berbakti kepada-nya, karena surga berada di telapak kakinya!”

Cahaya mataku, apakah yang bisa kita simak dari pengalaman Jahimah? Banyak. Intinya, keutamaan berbakti kepada ibunda. Jika jihad kita utamakan karena buahnya adalah surga, maka surga itu ada di dekat kita, di telapak kaki ibu. Berarti, jika ingin menjadi penikmat surga, syaratnya ringan dan mudah: hanya berbakti.

Tidak perlu garansi sertifikat tanah atau BPKB kendaraan bermotor. Juga tidak harus dengan menjaminkan SK Pegawai atau mengajukan slip gaji. Surga itu, masya Allah, sangat dekat dengan kita. Sangat dekat. Begitu dekatnya, sehingga kita kerapkali melalaikannya.

Cahaya mataku, dari sejarah yang jejaknya direkam oleh An-Nasa’i berdasarkan rekomendasi rawi Mu’wiyah Ibn Jahimah itu, kita bisa bercermin diri. Sejauh mana kita memahami pentingnya bakti itu? Apakah kita calon penghuni surga karena sukses membuat ibunda tersenyum dan bahagia? Sebaliknya, jangan-jangan kita malah telah mengisi formulir menuju neraka, karena seringnya kita membantah dan bersuara keras kepada ibunda. Na’udzubillah.

Akan tetapi, cahaya mataku, janganlah picik menilai makna petuah Rasulullah itu. Sungguh, Maha Suci Allah. Rasulullah tidak sekadar bertitah tentang surga dan cara memasukinya. Apalagi jika kita menganggap penting kehadiran seorang ibu hanya karena kita ingin masuk surga. Sejatinya, kita memaknai pe-tuah itu dengan menempatkan sosok ibunda sebagai pribadi yang selalu menjadi anutan di tengah ingar-bingar modernisasi.

Sosok ibunda harus menjelma sebagai fokus utama cinta kita, dibanding kemaruk pada “rindu” berlebihan kepada “kekasih lawan jenis kita”. Sehingga, tidaklah layak kita berteriak “sebentar” jika ibunda meminta kita melakukan sesuatu, sementara dengan ringan kita menawarkan jasa “apa yang bisa aku bantu” kepada sang kekasih hati.

Dan, sangatlah mengenaskan jika kita sampai berkata, “Ibu di dalam saja, jangan keluar. Aku malu jika teman-temanku melihat ibu.” Masya Allah.

Dari segala penjuru kita sering diingatkan betapa pentingnya menghormati dan berbakti kepada ibunda. Hanya saja, seberapa jauh segala rerupa saran itu kita lakukan secara nyata? Bahkan, banyak remaja begitu piawai memilih alasan setiap kali mendapat “tugas” dari ibundanya.

Sebut saja F, tetangga sebelah rumah. Setiap kali disuruh ikut antri minyak tanah, jawabannya hanya dua. Pertama: “Sebentar Bu, lagi tanggung nih.” Kedua: “Nanti saja, Bu.” Lain lagi dengan R, teman sekelas bibimu di SD Negeri favorit di kecamatan kita. Setiap kali ibundanya minta tolong, jawaban yang dilontarkannya pastilah: “Aku melulu sih disuruh-suruh, yang lain dong bro.” Astaghfirullah.

Sekali lagi, hidup ini pilihan. Engkau, cahaya mataku, bisa memilih dengan leluasa: menjadi anak penuh bakti atau berlumur dosa.

Setiap manusia leluasa memilih antara pahala atau pun dosa. Hanya saja, alangkah ruginya kita, jika menjatuhkan pilihan pada rerupa dosa. Konon, sepotong dosa dan kesalahan adalah penjajah. Sebab sebuah dosa adalah segel di atas catatan malaikat. Mengikat abadi. Membuat kita tidak leluasa. Dosa demi dosa adalah deposito yang kita simpan di Bank Perbuatan. Kelak, deposito itu akan menentukan keputusan Pengadilan TUHAN.

Selain itu, orang yang bersalah tidak akan pernah tenang hidupnya. Hatinya serasa terus-terusan dikejar-kejar dosa. Hidupnya senantiasa merasa diburu-buru kesalahan. Yang ada dalam pikirannya adalah rasa bersalah. Ke kamar mandi, bebayang dosa menunggu di sana. Ke kamar tidur, bebayang dosa menunggu di sana. Ke mana saja, bebayang dosa menunggu di sana.

Itulah mengapa sehingga Rasulullah mengingatkan kepada kita,

Barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya senang dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah Muslim.

☼☼☼

MATAHARI masih juga mematut-matut diri. Senja semakin membayang di sebelah barat Parung. Para buruh pabrik garmen mulai berlomba meninggalkan gapura tempat mereka bekerja. Mari, cahaya mataku, mari kita mengurangi peluang dosa dengan lebih banyak berbakti. Tentu saja, terutama kepada ibunda.

Rasanya, baru kemarin ayah menikahi Bundamu.

☼☼☼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar