Rabu, 30 Juni 2010

KOLECER & HARI RAYA HANTU: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal

Catatan: Penulis yang anggitan ceritanya termuat di Kolecer & Hari Raya Hantu: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal masing masing Benny Arnas, Cessilia Ces, Gunawan Maryanto, Hanna Fransiska, Iwan Soekri, Khrisna Pabichara, Nenden Lilis A, Noena, Oka Rusmini, Sastri Bakry, Saut Poltak Tambunan.


Kolecer & Hari Raya Hantu: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal

BERANGKAT dari beragam latar belakang pendidikan, profesi, dan usia, buku ini diikat oleh satu simpul nilai yang menarik: Kearifan lokal. Penulis-penulis cerita pendek dalam buku ini membabar tema yang sama dengan sudut pandang dan gaya penceritaan berbeda. Lokalitas didaras dengan apik dan penuh pikat. Semua cerita seolah mengajak kita kembali ke dunia yang hangat, alam yang pernah diakrabi, dan suasana yang selalu ingin diputar-ulang tidak semata dalam kenangan.

Cerita-cerita yang disajikan adalah rangkain peristiwa yang mungkin asing bagi mereka yang lahir dan besar di kota besar, tetapi menjadi semacam "kunci pembuka" imajinasi yang dengan santun menuntun kita memasuki dunia "seolah-olah". Seolah-olah kita sendiri yang mendengar nyanyian khas kolecer, seolah-olah kita sendiri yang berjalan di atas pematang sawah, seolah-olah kita sendiri yang mendapati hantu di hari raya, seolah-olah kita sendiri yang rindu kampung halaman, dan pelbagai seolah-olah lainnya yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja.

Sebagai salah seorang dari 11 penulis yang bersepakat membabar cerpen-cerpennya dalam buku ini, saya mengusung cerita dengan latar Sulawesi Selatan sebagai tempat segala ingatan dan kenangan mengalir. 

Ini pendapat DR. Free Hearty tentang cerpen-cerpen saya yang dimuat dalam buku ini.

Khrisna Pabichara dari Sulawesi Selatan, memberikan warna lokal dalam tiga cerpennya Laduka, Pembunuh Parakang, dan Selasar. Ada dendam yang tak pernah padam dalam hasrat yang selalu disimpan. Kepercayaan terhadap mitos. Mitos sering menggiring ke arah yang salah. Ketika mitos tak lagi memberi pengaruh maka pragmatisme merampas semua. Ketika kekasih bisa direbut, maka bukan mistis yang bekerja, tetapi hati yang patah lebih menunjukkan kekuatan akan kehancuran atau untuk menghancurkan. Orang yang merasa diri hebat dan terhormat sering merasa pantas untuk membalas dendam demi kehormatan yang berbau gengsi tetapi kadang mengorbankan harga diri. Maka orang sering salah membedakan yang harus dipertahankan, Gengsi atau harga diri? Itulah yang ditampilkan Khrisna dalam Pembunuh Parakang.

Laduka berkisah tentang kerinduan perantau yang akhirnya memilih pulang, meski dengan tangan hampa. Karena kepulangan perantau biasa membawa kesuksesan. Tetapi kepulangan lelaki Laduka hanya membawa kerinduan yang akhirnya berakhir tragis dalam sebuah tragedi. Hanya arwah dirinya yang pulang. Tradisi pulang dengan sukses atau ketidaksuksesan harus diputus dengan berpulang?

Dalam Selasar, Khrisna menyuguhkan cinta yang tak lekang dan kukuh disetiai. Si lelaki patah tetap datang menunggu setiap hari di selasar kenangan rumah orangtua si gadis, kendati ia tahu itu sia-sia. Ia mencoba tak percaya bahwa Si Gadis yang dia cintai terkena doti—mantra ampuh penakluk perempuan—dari Rangka, lelaki kaya teman sepermainan masa kecil yang beristri dua beranak delapan itu. Nyatanya, si gadis meninggalkannya dan nekad dibawa silariang—kawin lari. 

Jadi, tunggu tanggal edarnya. Buku ini layak Anda miliki.

Salam takzim,
Khrisna Pabichara 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar