LIDAH MENARI, LIDAH MELUKAI
"Mulutmu harimaumu." Begitu tandas pepatah. Secara ringan, pepatah ini bisa dimaknai bahwa mulut kita adalah harimau yang dapat menyakiti, menerkam, dan membunuh orang lain, tetapi juga dapat menyakiti, menerkam, dan membunuh kita sendiri. Dengan kata lain, luka karena tebasan pedang mudah disembuhkan, tetapi luka karena sabetan lidah kerap musykil diobati.
Pada mulanya, saya prihatin mendengar pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi, Tiffatul Sembiring. Sebagai seorang tokoh publik yang gerak-gerik dan tutur-lakunya selalu diincar media, mestinya bersikap lebih bijak. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Entah karena niatan berseloroh, atau memang karena pemikiran yang entah bermula dari mana, mantan Presiden PKS itu melepaskan "harimau"-nya. Pada sebuah diskusi yang digelar dalam rangka menyikapi maraknya video mesum di Kementerian Kominfo (Jumat, 18/06/2010), tokoh yang gemar berpantun ini mengeluarkan pernyataan--dalam bentuk analogi--yang sangat mengejutkan dan menyentak. Mengejutkan karena saya menganggap pernyataan itu tak layak keluar dari "harimau" seorang tokoh publik. Menyentakkarena pernyataan itu diucapkan oleh seorang tokoh yang rajin menebar senyum.
Dari Mana Bermula Status Saya
Baiklah. Saya kembali ke muasal status yang saya terakan di facebook. Ini teks lengkap status saya: Mestinya Tiffatul Sembiring bisa bersikap lebih bijak. Ditilik dari sudut manapun, kasus video mesum taklah bisa dibandingkan dengan kisah penyaliban Yesus. Selain dapat memicu salah tafsir, juga melukai keberagaman bangsa. Maaf jika ada pihak yang tersinggung karena status ini!
Kemudian, saya menambahkan sebuah komentar--oleh karena keterbatasan ruang untuk status, jadi tak bisa dicantumkan secara kesuluruhan: Oleh karena pernyataan Pak Tiffatul tersebar luas di pelbagai media, maka permintaan maaf lewat akunfacebook dan twitter belumlah cukup. Bangsa harus dibangun dari keteladanan, dan pemimpin--terkait posisi Pak Tiffatul selaku Menkominfo--adalah salah satu acuan keteladanan.
Andai tak ada api, tentulah tak ada asap. Begitu pun dengan status saya di atas. Tersebab keprihatinan karena pernyataan Pak Tiffatul itulah maka saya uarkan "kegelisahan hati" lewat status. Bahkan jika status saya pun diselisik lebih teliti, kalimat pembukanya pun saran yang dibungkus dalam kemasan bernama kritik. "Mestinya Tiffatul Sembiring bisa bersikap lebih bijak." Baik secara tersirat ataupun tersurat, jelas bahwa saya "menyarankan" agar Pak Tiffatul bersikap lebih bijak, lebih arif. Baiklah, supaya lebih benderang, kita perlu menyimak kembali pernyataan Pak Tiffatul pada saat jumpa pers di Kementerian Kominfo (Jumat, 18/06/2010). Saat itu beliau bertutur bahwa perihal "mirip-mirip" (kaitannya dengan video mirip artis) itu pernah terjadi dalam sejarah penyaliban Yesus. Umat Islam, kata beliau, meyakini bahwa yang disalib bukan Yesus, melainkan seseorang yang "mirip" dengan Yesus. Sementara umat Kristen, kata beliau lagi, meyakini bahwa yang disalib adalah Yesus.
Nah, dari sudut pandang Pak Tiffatul, boleh jadi yang ditekankan adalah "mirip" itu. Tetapi, keliru adanya jika kasus video mirip itu menyeret-nyeret kisah penyaliban. Ini yang saya maksud dengan "dapat memicu salah tafsir", atau "melukai keberagaman bangsa". Agar persinggungan itu tidak semakin melebar, tentulah permintaan maaf bisa "menyembuhkan". Dan, di akhir status pun saya mencantumkan: "Maaf jika ada pihak yang tersinggung karena status ini!". Saya sendiri yakin status saya dapat memicu pro-kontra, dapat menyulut silang-pendapat, bahkan dapat membuat orang atau pihak lain terluka. Oleh karenanya, saya meminta maaf.
Bukan Sekadar Kritik
Sebuah pesan pendek--yang tak layak saya tuturkan siapa pengirimnya--menuding bahwa saya hanya bisa menyuguhkan "kritik". Padahal, seperti telah saya paparkan di atas, kalimat pembuka dari status saya pun sejatinya adalah sebuah "saran", sebuah ajakan santun agar Pak Tiffatul bisa lebih bersikap bijak, lebih bersikap arif. Mengapa? Karena beliau adalah seorang "tokoh publik". Apalagi, jabatan yang diamanatkan kepada beliau adalah Menteri Komunikasi dan Informasi. Bukankah salah informasi bisa berpontensi melahirkan salah tafsir? Informasi tentang perbedaan keyakinan "siapa sebenarnya yang disalib" antara Islam dan Kristen--sebagaimana diungkapkan Pak Tiffatul boleh jadi benar. Lantas, di mana letak kesalahannya? Karena informasi itu dikait-tautkan dengan kasus video mesum. Ini yang tak masuk logika saya--tersebabkan tentulah karena keterbatasan saya.
Jika alas pikir yang digunakan Pak Tiffatul semata karena "mirip-mirip" itu, mengapa analogi penyaliban yang didedah sebagai pembanding? Apakah tidak ada analogi lain yang lebih tepat untuk digunakan? Inilah yang saya sebut sebagai kesalahan di antaranya tersebabkan oleh kebodohan dan dianggap beberapa pihak sebagai komentar asal bunyi. Sah-sah saja jika komentar itu dianggap asal bunyi, tetapi saya pribadi merasa bahwa seandainya saja Pak Tiffatul berpikir lebih cerdas, analogi itu takkan menjadi "harimau" yang bisa menerkam balik. Bukankah diam lebih baik daripada mengeluarkan pernyataan yang berpotensi menyakiti banyak orang?
Dan, sekali lagi, saya tidak semata menguarkan kritik. Saya pun telah mengajukan saran. Entah apakah kelak saran itu tersampaikan kepada Pak Tiffatul atau tidak, biarlah "sesuatu di laur saya" yang bekerja. Saya juga tiidak semata berkomentar di status, tetapi juga dalam banyak dialog atau diskusi yang saya ikuti. Nah, sebagai pengingat semata, "saran" saya--yang sebenarnya juga disuarakan banyak tokoh pluralis--agar Pak Tiffatul berbesar hati untuk meminta maaf atas pernyataannya itu di media yang kuat pengaruhnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Sebut misalnya televisi atau media cetak.
Pada Akhirnya...
Memang tidaklah mudah, karena "meminta maaf" itu membutuhkan "kebesaran jiwa". Tetapi, sebagai seorang tokoh publik, saya berharap (ini saran juga!) agar Pak Tiffatul mau berbesar jiwa. Nah...
Khrisna Pabichara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar